MASIH DIANGGAP JURU HIBUR
"Mas, kalau
bisa nanti pentasnya Kiai Kanjeng dan Cak Nun,
dibikin lebih banyak musiknya daripada
dialognya" ! Usul salah seorang panitia
peresmian masjid Kharisma Darussalam II di
Cikampek Karawang Jawa-Barat, pada 28 Agustus
2001. Sebagai puncak acara malam itu panitia
memang menghadirkan Emha Ainun Nadjib dan Kiai
Kanjeng. Usulan itulah yang akhirnya membuat
Wahyudi Nasution "Managernya" Hamas,
Joko Kamto Tetuanya Kiai Kanjeng, Ali Suryadi,
terpaksa harus berunding soal acara, re-negosiasi
dan menawarkan tentang format baru yang sedang
dibangun oleh Kiai Kanjeng.
"Ada perubahan mendasar yang sedang kami
lakukan, khususnya pada format penampilan Kiai
Kanjeng dan Cak Nun, bahwa akan tidak ada lagi
panggung, dan penonton, dan sebisa mungkin dapat
saling berdialog, egaliter dan menyatu dalam
kebersamaan. Maka sebenarnya kehadiran kami di
sini sudah menyiapkan format baru kami, yakni
Ma\rquote iyahan\rdblquote . Ujar Wahyudi
Nasution. Dan kemudain secara panjang - lebar
baik Wahyudi Nasution maupun Joko Kamto,
menjelaskan tentang Ma'iyahan.
Ma'iyahan adalah istilah yang sebenarnya
diketemukan secara tidak sengaja oleh Emha Ainun
Nadjib atas muatan ceramah yang dilakukan oleh
Ustadz Wijayanto, tatkala Emha secara priba di
mengundang beberapa kerabat dan
sahabat-sahabatnya untuk hadir di Ndalem Kadipiro
kediaman pribadi Emha, dalam rangka untuk diajak
bareng-bareng yang dalam pesan lewat sms, Emha
mengajak "Tolong teman-teman ngumpul di
Kadipiro, dgn. Pakaian putih-putih, kita
Shalawatan Maulid". Dan malam itu, tepatnya
Sabtu, 21 Juli 2001, bersamaan dengan saat MPR RI
sedang menyusun kekuatan untuk Sidang Istimewa
MPR RI, yang dipercepat menjadi tanggal 23 Juli
2001, seluruh sahabat karibnya Emha, terutama
anggota Kiai Kanjeng hadir, dan acara itu
berlangsung lewat tengah malam dengan secara
khusuk, ada shalawataan, puitisasi riwayat nabi
oleh Wahyudi Nasution dan Joko Kamto, wiridan,
dan do'a.
Bisa jadi, bahwa sesungguhnya Emha sedang
mengajak kepada siapa saja, terutama pada
orang-orang yang berada dalam lingkaran
pergaulannya untuk lebih tenang, arif, tidak usah
bingung-bingung apakah mau Dekrit ataupun SI,
sebab sudah pasti yang kalah adalah Islam, dan
rakyat itu sendiri. Kalaupun SI, hasilnya sudah
pasti bisa kita ketahui,"bahwa setelah Gus
Dur, nanti ribut lagi soal Mega, dan Mega akan
terus diributkan lagi pada soal-soal lain yang
tidak pernah akan selesai", kata Emha di
tengah-tengah acara itu. Dan selanjutnya Emha,
menegaskan bahwa bentuk, acara seperti ini perlu
terus kita lanjutkan, karena ini merupakan
ungkapan cinta kita pada Rasululullah dan terus
akan disemangati oleh rasa kebersamaan dengan
Allah (Ma'iyatullah), yang insya Allah
orang-orang yang terus berada dalam lingkaran
kebersamaan ini akan selamat di hadapan Allah.
Maka lahirlah dan dideklarasikanlah istilah
Ma'iyah pada malam itu, yang akhirnya biasa
diucapkan menjadi Ma'iyahan.
Bersamaan dengan itu, sesungguhnya Emha Ainun
Nadjib dan Kiai Kanjeng sedang banyak melakukan
kekhusukan dan laku-laku spiritual serta
"ilmu Kasepuhan", guna lebih mencapai
kejernihan dan kesungguhan dalam kehidupannya.
Inilah nilai yang sedang dan akan ditawarkan
kepada masyarakat, termasuk saat mengisi acara di
Masjid Kharisma Darussalam II Cikampek. Maka
akhirnya setelah negosiasi cukup lama, mencapai
kesepakatan, bahwa pertama, acara dilakukan
dengan Ma'iyahan di dalam masjid, kemudian, kedua
Kiai Kanjeng dan Emha akan berdialog secara
langsung, lesehan bersama rakyat sambil sesekali
diselingi dengan musik dan shalawatan.
Nampaknya masyarakat masih begitu kuat terhadap
image Kiai Kanjeng dan Emha, yang dipandang masih
dinikmati sebagai tontonan (hiburan) padahal
nilai yang dibawa oleh Kiai Kanjeng dan Emha
adalah konsep Tuntunan. Maka kerumunan diseputar
masjid pada malam itu, masih sebatas
"menonton Ma'iyahan", artinya belum
terlibat atau melibatkan langsung dalam Ma'iyahan
itu. Begitu juga saat di halaman depan masjid,
masyarakat masih datang ke acara itu untukmencari
hiburan musik dan sedikit mendengarkan ceramah
yang akan dibawakan oleh Emha Ainun Nadjib.
Itu semua bagian dari episode awal, format baru
Kiai Kanjeng untuk kali pertama di hadirkan di
tengah masyarakat. Tentu saja setiap aturan itu
mesti mengandung resiko, bahkan Allah-pun bikin
salah satu ayat, pasti ada resikonya, dan mungkin
juga akan dieksploitasi oleh orang. Misalnya
"Surga ada di bawah telapak kaki ibu".
Itu pemahaman untuk anak, karena mengandung
bentuk penghormatan dan kerendahan hati pada ibu.
Dan kalau dipakai oleh ibu, bisa jadi ibu akan
sewenang-wenang terhadap anak.
Dari acara di Masjid Kharisma Darussalam Cikampek
Jawa-Barat 28 Agustus 2001, (Ali, S. dan Janis,
LB)
|