MENGHADIRKAN SHALAWAT
DIMANA-MANA... SAMPAI DI LERENG MERAPI
Merapi yang
sekarang ini kita kenal, sesungguhnya bukanlah
hanya sebuah gunung saja, tetapi sebuah
kehidupan, yang di dalamnya ada banyak
mitos-mitos tentang kehidupan ghaib dan ekologi
peradaban. Konon tatkala lahar Merapi keluar,
setelah itu katanya akan muncul sosok wanita
cantik yang lemah gemulai dengan berpakaian
hijau-hijau, turun gunung menghampiri ladang dan
sawah serta hutan di sekelilingnya. Wanita itulah
yang dikenal sebagai Nyai Dadhung Mlati, yang
merupakan makluk penyangga kesuburan dan
kesegaran alam. Dan masih ada lagi, misalnya
Eyang Merapi, Mbah Petruk, dan lain-lain. Adanya
interaksi kehidupan mikro dan makro kosmos itulah
yang pada akhirnya memunculkan sebuah peradaban
Merapi.
Berbagai tokoh dan kalangan malam itu, hadir
untuk merefleksikan tentang Merapi dari berbagai
sisi, yang tersusun dalam acara Gelar Budaya
Merapi. Ada Bupati Magelang, Romo Sindhunata,
Uskup Agung Mgr. Ign. Soeharyo Pr . Dan Dinas
vulkanologi. Mereka saling merefleksikan Merapi
baik dari bahayanya maupun manfaatnya. Salah satu
pembicaraan yang menarik adalah semakin
meningkatnya penambangan pasir secara liar, yang
dirasa merugikan baik secara alamiah maupun
pendapatan masyarakat sekitar.
"Merapi itu istri kita, seluruh alam semesta
adalah istrinya manusia". Kata Cak Nun
mengawali pembicaraan malam itu, yang tiba-tiba
didaulat oleh moderator untuk menyampaikan
mutiaranya. Lebih lanjut Cak Nun mengatakan ,
" alam memiliki gunung, dan istri kita juga
memilikinya, alam memiliki lembah, istri kita
juga punya lembah, daan lain-lain. Alam adalah
istrinya manusia, jadi kalau ada eksplorasi yang
besar-besaran,maka sama saja kita sedang
memperkosa istri kita.
Ada empat (4) hal perumpamaan terhadap
persuami-istrian ini; pertama, manusia itu suami
dan alam itu istri, dua (2), Tuhan itu suami, dan
makluk itu istri. Tiga (3), pemerintah itu suami
dan rakyat itu istri. Maka istrilah yang
sesungguhnya berkuasa, sebagaimana "bocah
angon", yang diasuh tentu saja ada di depan.
Inilah hakekat demokrasi ".
Ada terobosan yang bukan main, saat Kiai kanjeng
akan mengawali acara do,a dan shalawatan, karena
yang disuguhkan oleh Kiai Kanjeng dan Emha Ainun
Nadjib, disebutnya bukan acara kesenian, dan
bukan sebuah hiburan, karena itu Kiai Kanjeng dan
Emha datang kesini, hanya untuk keperluan
kemanusiaan, pertama, menyatakan
persaudaraan,yang kedua, menyatakan cinta dan
kebersatuan kita, terserah agamamu apa, partaimu
apa, sukumu apa, dan yang ketiga kami cuma ingin
dengan cara kami membangun tradisi spiritual,
berdo'a, wiridan dan shalawatan.
Dan inilah bagian dari refleksi Kiai kanjeng dan
Emha atas Merapi, sebab terhadap hal-hal yang
bersifat ekologi dan kerusakan alam tentu tidak
bisa ikut mencari solusinya dengan mekanisme
birokrasi, perlawanan, ataupun seruan dan
pencegahan-pencegahan, yang bisa dilakukan oleh
Emha dan Kiai Kanjeng adalah mengajak
bersama-sama untuk protes langsung dan minta
langsung pada Big-bossnya, yakni Allah, swt.
Memang penampilan Kiai Kanjeng dan Emha, malam
itu agak kurang sempurna, karena masih ada
keterkejutan-keterkejutan dari jama'ah terhadap
format yang sedang dibawakan oleh Emha dan Kiai
Kanjeng. Dimana secara teknis bentuk panggung
diubah menjadi lesehan di bawah dalam bentuk
melingkar saling bersinergi, dengan lebih banyak
bersifat do"a dan shalawatan. Tentu saja ini
berbenturan dengan image atau referensi yang
dimiliki oleh masyarakat tentang Kiai Kanjeng dan
Emha yang dipahami masih dalam konsep lama, yakni
panggung dan musik-musik shalawatan. Nampaknya
perlu waktu lama untuk terus memperkenalkan
konsep dan format baru yang sedang dibangun oleh
Emha dan Kiai Kanjeng ini pada masyarakat, dan
semuanya tentu memerlukan proses. Semoga proses
itu terus berjalan dan semakin dinamais.
Dari acara Gebyar Budaya Merapi,
Sumber,Dukun Magelang, 31 Agustus 2001. Janis,LB.
|