MENU ARTIKEL



Personal Photos

Halaman Utama

ISAK TANGIS DI TENGAH MA'IYAHAN

GEMA wirid, sholawat dan do'a mengalun menghiasi lereng perbukitan kapur, di kawasan Ceweng, Dander, Bojonegoro. Minggu (9/09/01) malam itu, tepatnya di Pondok Pesantren Al-Asy'ari. Di tengah halaman pesantren itu ada panggung tinggi kira-kira setengah meter, dan lebar empat meter dan diatasnya diisi oleh serombongan orang berpakian serba putih, dengan duduk melingkar, membentuk lingkaran penuh, dan membelakangi jama'ah yang malam itu berjubel memadati halaman pesantren.
Memang malam itu Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dan Kiai Kanjeng, hadir di pesantren untuk me-ma'iyahi pesantren itu, yang kebetulan pimpinan pondok Gus Khoirul adalah sahabat Cak Nun. Gara-gara persahabatannya dengan Cak Nun inilah pesantren Al-Asy'ari di"jauhi" oleh pesantren-pesantren lain di Bojonegoro. Sebagaimana diketahui oleh beberapa orang NU, Cak Nun dianggap sebagai orang yang paling "gencar" merusak citra Gus Dur, hingga al-Asy'ari-pun terkena imbasnya . Tetapi justru karena itulah, Cak Nun malah berkenan untuk menjadi pengasuh di pondok itu. Dan ini merupakan metode yang dilakukan oleh Cak Nun dalam merespon setiap langkahnya, yang dianggap kontroversial dengan melakukan semacam "istidrot" dalam bahasa Jawa di "lulu" atau di biarkan sepuasnya. " Kalau saya memang pengasuh pondok pesantren ini, anda mau apa?" katanya.
Oleh sebab itu hampir setiap bulannya, Cak Nun menyediakan waktu untuk meng-ilmui santri-santri pondok itu, yang akhirnya tidak hanya santri itu saja yang hadir tetapi banyak juga jama'ah yang datang dari luar daerah. Seperti Tuban, Madiun, Jombang, Surabaya, dan lain-lain, hingga halaman pondok itu benar-benar dipadati oleh kurang lebih 8.000,- jama'ah.
Ma'iyahan (kebersamaan) itulah sebuah metode "ijtihad" di jalan Allah yang akhir-akhir ini sedang ditawarkan kepada masyarakat oleh Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dan Kiai Kanjeng, yang sekarang ini lebih enak disebut sebagai Kanjeng Sepuh. Persisnya ma'iyah itu berasal dari bahasa Qur'an dan Arab yang berarti bersama, ma'iyatullah artinya bersama dengan Allah, yang secara konotatif maknanya menjadi "orang yang bersama-sama mencari keselamatan hidup bersama Allah."
Meski malam itu Emha dan Kiai Kanjeng dalam me-ma'iyahi agak kurang maksimal, tetapi cukup luar biasa dalam membungkus acara ma'iyahi di pondok itu. Tidak seperti acara ma'iyah yang lain, malam itu sempat ada beberapa session dialog yang cukup hangat dan aktual. Usai dialog langsung diteruskan ma'iyahan dengan dibuka oleh wirid tangkisan, al-fatikhah, syair doa dan sholawat.
Di Pesantren al-Asy'ari inimerupakan pesantren yang mentradisikan bershalawat dalam setiap waktu dan aktivitasnya, maka metode ma'iyah yang sedang dilangsungkan oleh Emha semakin bertambah bobot nilai spiritualnya. Hampir seluruh jama'ah yang hadir malam itu terlibat langsung secara khusuk dan lebih dinamis, bahkan muncul letupan-letupan ungkapan cinta pada Rasulullah yang saling bersahut-sahutan satu sama lain.
Ketika Emha membacakan syair doa dengan gaya suluk yang khas, ditambah pilihan kalimatnya yang kontekstual dalam mewakili kondisi sosial-psikologi masyarakat, terlebih ini dilakukan di Jawa-Timur, maka suasana malam itu benar-benar teduh dan hening, muncul suara isak tangis disela-sela para jama'ah, baik putra ataupun putri. Mereka mengaku, pertama begitu sangat takut dan pasrah pada Allah. Kedua; rasa cinta dan harapan akan mendapatkan safa'at Rasulullah begitu sangat kuat melekat, dan seolah Rasulullah dirasakan oleh mereka hadir pada malam itu. Ketiga; mereka sangat kagum dan takzim pada Emha Ainun Nadjib yang biasa kalau di Jawa Timur sering disapa dengan Cak Nun. Salah seorang jama'ah dari Surabaya yang juga seorang pengusaha muda Yan Haryono, malam itu juga berpakaian putih-putih, sangat khusuk mengikuti do'a, ia terlihat terus menundukkan kepala, dan memejamkan matanya, sehingga terlihat tetesan air mata tampak membasahi baju putihnya.
***

MENAPAK TILASI JEJAK WALI
SELURUH anggota Kiai Kanjeng bersama Emha Ainun Nadjib siang itu bergegas meninggalkan pesant ren Al-Asy'ari untuk melakukan perjalanan spiritual, ziarah ke makam salah satu wali yakni Sunan Kalijaga. Sebelum berangkat memang sempat terjadi diskusi seputar kontroversi adanya tiga lokasi makam Sunan Kalijaga, yang ada di Tuban, kemudian Kadilangu, dan juga di Bangkalan Madura. Tetapi oleh Emha hal ini tidak perlu menjadi sebuah perdebatan untuk dicari mana yang asli ataupun tidak.
Sebab sebagaimana dulu di dalam dunia pewayangan Bambang Ekoloyo yang tidak pernah bertemu dengan Begawan Durna, tetapi ia menciptakan patung Durna dan ia terus berguru kepada patung itu, karena pancaran ilmu yang diyakini dari patung itu, maka Bambang Ekoloyo justru lebih sakti dari murid-murid Durna yang lain. Bahkan ia bisa mengalahkan dan membunuh murid Durna yang paling sakti yakni Harjuna. Kemudian karena oleh Bathara Kresna dirasa, Harjuna masih punya banyak tugas-tugas keduniaan yang belum selesai, maka ia dihidupkan kembali oleh Kresna melalui kembang Wijayakusuma. Sedangkan Bambang Ekoloyo, dicarikan sebab-sebab yang logis untuk membinasakannya. Atas penjelasan itu, maka serombongan ziarah itupun berangkat dengan kelegaan dan keikhlasan dengan harapan akan bertemu dengan Sunan Kalijaga.
Rombongan Emha yang juga diantar oleh pimpinan Al-Asy'ari itu berjumlah 8 mobil, ditambah dua mobil pick up Banser yang setia mengawal rombongan ke mana saja pergi. Kurang lebih 1,5 jam perjalanan, akhirnya kami sampai di komplek makam Sunan Kalijaga, yang terletak di tengah arena persawahan antara dua perbukitan kapur yang tandus. Se belum masuk ke dalam komplek makam itu, Emha serombongan diharuskan untuk berwudlu dahulu. Selama di dalam komplek makam itu Emha dan rombongan khusuk berdoa, yang siang itu dipimpin oleh ulama setempat.
Sebelum kembali ke Ceweng Bojonegoro, Emha serombongan sempat singgah berziarah di komplek makam Mbah Jabar yang terletak di puncak Gunung Nglirit Tuban. Konon Mbah Jabar ini adalah murid dari Mbah Ganyong. Pada suatu hari muridnya ini meninggal dunia dan jasadnya berbau harum semerbak, lalu gurunya yang bernama Mbah Ganyong ini entah karena kebanggaannya atau kesombongan, mengatakan pada murid-murid yang lain serta penduduk di sekitarnya, " Itu baru murid saya saja bisa harum semerbak seperti itu, apalagi kalau saya gurunya yang mati, mesti akan lebih harum lagi," kata Mbah Ganyong. Rentang satu minggu kemudian, Mbah Ganyong ini meninggal dunia, dan anehnya jasadnya berbau amis menyengat dan membusuk, maka oleh murid-muridnya dan penduduk sekitar jasad Mbah Ganyong, guru dari Mbah Jabar ini dilempari batu, hingga lemparan batu itu menumpuk menutupi seluruh jasad Mbah Ganyong, sehingga sekaligus membentuk punden tumpukkan batu sebagai makam Mbah Ganyong. Dan letak makamnya ini juga sangat jauh, Mbah Jabar diletakkan di atas bukit Nglirit, sementara Mbah Ganyong terletakjauh di kaki bukit itu, tepatnya dipinggiran sungai yang tampak kumuh dan tak terpelihara, yang hanya diberi atap genting sederhana, tidak selayaknya seperti makamnya Mbah Jabar yang rapi, bersih, terpelihara dan megah bangunannya.
Emha tampak lebih lama berada di dalam makam Mbah Ganyong yang sederhana itu, ia terlihat lebih khusuk dan tenang, kemudian tampak juga Emha menatap dalam-dalam tumpukan batu yang juga nisan Mbah Ganyong itu, dengan pandangan yang penuh makna.
"Kita semua harus belajar ilmu Allah ini dari Mbah Ganyong, karena ini semua baru pandangan dunia, atas dan bawah, guru dan murid. Yang di atas itu belum tentu lebih mulya dari yang di bawah, yang busuk di dalam pandangan dunia ('ainunnas) belum tentu busuk juga dalam pandangan Allah ('ainullah). Mbah Ganyong ini justru telah diselamatkan oleh Allah, sebab ia telah membayar kaffarah atas kibriyahnya. Ia terus saja dianggap busuk sepanjang abad oleh manusia tetapi ia sesungguhnya harum di hadapan Allah. Ia hanya dilempari batu oleh manusia tapi tidak oleh malaikat Allah. Maka ketika saya berada di makam Mbah Jabar, saya merasakan bau yang kadang wangi, kadang berbau busuk, tetapi ketika saya berlama-lama di makam Mbah Ganyong justru saya tidak menemukan bau apa-apa kecuali ketenangan dan kearifan. Kita belajar dari ini semua, masak hanya karena satu kesalahan saja, bisa merusak seluruh kebaikan yang pernah ia lakukan, wallahu allam," kata Emha.
***

MA'IYAHAN DI BATHARA KATONG PONOROGO
Sebelum di Bojonegoro, sebenarnya Emha dan Kiai Kanjeng me-ma'iyahi masyarakat Padhang Mbulan di Ponorogo, Sabtu (8/09/01). Tepatnya di komplek masjid Bathara Katong yang jadi satu dengan makam Bathara Kathong. Malam itu acara ma'iyah dibungkus dalam pengajian Tombo Ati, sehingga sejak selepas Maghrib jama'ah sudah berjejal memenuhi arena masjid itu.
Ketika Emha serombongan masuk ke arena pengajian itu, langsung dielu-elukan, yang disambut dengan tepuk tangan dan sholawat Badar. Sebelum memulai ma'iyah Emha sedikit memberi pengantar, seputar ma'iyah dan me ngajak restropeksi atas kepemimpinan nasional, agar tidak lagi salah dalam memilih pemimpin.
Ma'iyah di Ponorogo ini benar-benar lain daripada format ma'iyah yang selama ini dilakukan oleh Emha. Seluruh jama'ah yang kurang lebih berjumlah 15 ribu itu, semuanya tenang, khusuk dan lebih familiar. Mereka lebih akrab dan sangat tawadhuk. Setiap doa, wirid dan sholawat yang dilantunkan oleh Emha, tampak diresapi dalam-dalam. Dan nampaknya inilah bentuk ma'iyah yang paling ideal untuk pencarian Allah dalam kebersamaan dan persaudaraan yang indah.