MENU ARTIKEL



Personal Photos

Halaman Utama

"REPUBLIK INI...,PANGGUNG PERAGAWAN...."

Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) meminta kepada siapapun dalam setiap penyelenggaraan acara agar mentiadakan format panggung, sehingga tidak ada kesan ceramah, pentas, show, dll. Apa sebab kita menghindari panggung, karena dunia ini menurut Ahmad Albar adalah "panggung sandiwara" dan meskipun tidak ada panggung tetapi sandiwaranya tetap terus ada. Disamping itu panggung itu tempat untuk mempertunjukkan diri, tempat orang show, tempat orang memperagakan diri. Dan saat ini semua orang sedang memperagakan diri. Sehingga disekeliling kita muncul banyak peragawan-peragawan yang tidak terikat oleh dirinya. Bintang-bintang iklan,mengiklankan produk-produknya tetapi sebenarnya ia setiap hari tidak mengkonsumsi produk itu. Mandra mengiklankan Honda, walaupun ia tidak pernah pakai motor itu. Jadi peragawan adalah orang yang memperkenalkan sesuatu tetapi dia tidak bertanggung jawab terhadap yang dilakukannya/dibawanya.
Dan peragawan bukan hanya dibidang iklan, peragawan juga ada di wilayah politik, agama, dll. Di wilayah politik para peragawan memperagakan demokrasi dan mereka sebenarnya mengingkarinya. Para politisi MPR, DPR, DPRD, pejabat pemerintah memperagakan nasib rakyat tetapi sesungguhnya nasib rakyat tidak pernah dirapatkan, tidak pernah diagendakan,karena mereka sesungguhnya hanya peragawan-peragawan demokrasi, peragawan nasib rakyat.
Di bidang agama, sekarang ini sudah inflasi peragawan,. Ulama-ulama mempergakan nilai-nilai agama,tetapi mereka belum tentu bertang gung jawab kepadanilai-nilai yang dipergakan. Bahkan kadang-kadang qori mempergakan Al-qur'an tetapi mereka sendiri belum tentu terkait kehidupannya dengan sistem nilai Al-qur'an. Artinya ini bukan suatu bentuk perlawanan pada Indonesia, Yahudi, atau Nasrani,tetapi sebuah pilihan untuk tidak mau diganggu siapa-siapa, dan karena saya dan Kiai Kanjeng ini juga tidak mengganggu Indonesia, maka kalau kami diganggu kami juga akan ganggu Indonesia. adalah sebuah sikap, karena maiyah itu sendiri sebuah sikap, yakni sikap spiritual, budaya, ekonomi, politik dan semuanya.
Emha mengatakan hal itu dalam pengantarnya pada acara rutin Gambang Safaat di halaman Masjid Baiturahman Simpang Lima Semarang, Selasa (25/9/01). Acara Gambang Safaat kali ini lebih khusuk dan teduh dibandingkan bulan lalu,dimana Emha pada waktu hadir tanpa "kekasih"-nya yakni Kiai kanjeng "Sepuh". Kali ini acara Gambang Safaat di cerahkan dengan kehadiran Kiai Kanjeng Sepuh dengan membawa format baru yang disebut maiyahan. Meskipun format baru maiyahan ini sudah dilakukan yang ke-16 kali, dan Semarang baru kali pertama malam itu.
Emha dan juga Kiai Kanjeng Sepuh yang mengenakan baju/kostum putih-putih khas maiyahan mendapat simpati yang mendalam, ketika mengawalinya dengan nderes Al-Qur'an surat Ar-rahman, yang dibarengi koor oleh jamaah pada setiap bacaan Fabiayyi aalaa i robbikumaa tukadzdzibaan (Maka Nikmat Tuhan kamu yang manakah yang engkau dustakan?). Sehingga dari sekitar 8000 jamaah ikut larut dalam suasana yang tenang, khusuk, dan khidmat. Maka maiyah malam itupun lebih terbangun suasananya, dan setiap wirid, doa dan shalawat yang juga diselingi dengan narasi dan puisi oleh Emha Ainun Nadjib, Joko Kamto, dan Wahyudi Nasution terasa sangat mendalam dan sakral.
Lebih jauh Emha mengatakan, bahwa maiyah ini membutuhkan tingkat konsentrasi batiniah seperti orang sholat,butuh energi dan butuh konsentrasi seperti orang sholat, dengan catatan maiyah bukan ibadah mahdoh. Sedangkan disisi budaya,inijuga sebuah bentuk budaya untuk supaya kalau punya kenthongan, kendang,terbang, dll. Sebaiknya bisa dipergunakan untuk kebaikan. Sedangkan batu saja berada ditengah jalan bisa anda singkirkan, dan memberi nilai kebaikan pada orang yang menyingkirkan. Maka setiap benda ini kita khalifahi untukmenjadi manfaat bagi kedekatan kita pada Allah, tidak sekedar mempergakan kedekatan Allah, mempergakan sholawat lagi.