PAKET INFAK MAIYAHAN,
DIMULAI DI BANTUL
Setelah hampir
empat bulan Cak Nun dan Kiai Kanjeng, yang
sekarang lebih pas disebut Kiai Kanjeng Sepuh,
tidak memberi paket infak, yakni menyediakan
sekali dalam satu bulan untuk tampil gratis pada
masyarakat sekitar Jogjakarta berupa penyajian
musik Kiai Kanjeng dan pengajian. Malam itu Rabu
(21/11/01) dihadapan lebih dari 10 ribu jamaah,
Cak Nun dan Kiai Kanjeng Sepuh tampil memukau
dengan format maiyahan di halaman masjid
Al-Falaah jalan Parangtritis km. 12, Ngaglik
Patalan Jetis Bantul.
Untuk kali pertama format maiyah, ditawarkan
kepada jamaah paket infak di Bantul , walau
sesungguhnya Cak Nun dan Kiai Kanjeng Sepuh sudah
melakukan serangkaian maiyah di berbagai tempat
dan malam itu yang ke 32. Sehingga kebanyakan
jamaah masih canggung dan ragu dalam mengikuti
maiyah, tetapi Cak Nun rupanya cukup punya
antisipasi, hingga diawal acara, malam itu ia
banyak menjelaskan seputar maiyah sambil sesekali
diselingi musik dan shalawatan khas Kanjengan.
Dan jamaah-pun akhirnya bisa masuk dalam suasana
maiyah.
"Maiyah itu menumbuhkan kebersamaan,
kesediaan untuk bebarengan, saling merelakan
perbedaan-perbedaan dan belajar saling
menyayangi, berupaya untuk saling menyantuni, dan
kesiapan untuk bertolerensi. Inna ma'iya rabbi ,
tutur Musa alaihissalam, untuk meyakinkan
ummatnya bahwa Allah ada bersamanya. Rasulullah
Muhammad, juga menggunakan kata yang sama di gua
Tsur, tatkala dikejar-kejar oleh pasukan musuh,
untuk menghibur dan meyakinkan Abu Bakar , nabi
bersabda: "La takhaf wa la tahzan, innallaha
ma'ana" Jangan takut dan jangan sedih, Allah
ada menyertai kita. Jadi, asal usulnya dari ma'a,
artinya: dengan, beserta, bersama. Ma'iyatullah
artinya kebersamaan dengan Allah. Ma'iyah itu
kebersamaan, ma'ana bersama kita" Demikian
pengantar Cak Nun.
Lebih lanjut, Cak Nun mengatakan " Maiyah
itu bukan ibadah makhdoh, ia hanya kegiatan
budaya yang menggali inspirasi dari agama. Dan
tidak merelakan dirinya kalau hanya diperuntukkan
buat yang yang bukan Allah, karena Sabbaha
lillahi mafis samawati wama filaardli, seluruh
makluk yang di langit dan di bumi ini bertasbih
kepada Allah, dan yang bertasbih bukan hanya jin
dan manusia tapi juga benda-benda, saron, biola,
seruling, terbang, bahkan batu dan
daun-daunan".
Berbeda dengan pena mpilan Kiai Kanjeng
sebelumnya, malam itu sebagaimana konsep dalam
format maiyah, Kiai Kanjeng Sepuh tidak berada di
panggung dan tidak untuk ditonton oleh siapapun.
Mereka duduk melingkar, dan jamaah boleh atau
tidak mengikuti lingkaran itu, dan Kiai Kan jeng
sepuh tidak lagi mempertunjukkan musik dan
suaranya kepada penonton, tetapi mereka hanya
bernyanyi, bershalawat, berwirid, membaca puisi,
atau apapun, dan yang ada dihadapan mata
kesadaran mereka adalah Allah swt.
"Tidak usah lihat besar-kecilnya, tetapi
lihatlah kebersamaannya, dan harus selalu ada
kebersamaan diantara kita satu sama lain.
Megawati bukan hanya untuk PDIP, tetapi ia sudah
harus milik Indonesia, demikian pula Gus Dur,
bukan hanya untuk PKB atau NU, Amin Rais bukan
hanya untuk PAN, tetapi untuk Indonesia, ini cara
kalau Indonesia mau sembuh. Indonesia 350 tahun
dijajah, itu karena kita saling berantem,
berkelahi satu sama lain. Sejak zaman dulu, tidak
ada wong cilik belajar kepada wong gede, tetapi
wong gede-lah yang harus belajar pada wong
cilik", ujar Cak Nun.
Ia-pun setuju tatkala ada salah seorang jamaah
yang mengutip kalimatnya Umar bin Khatab; La
quwwata bila jama'ata, la jama'ata bila immarota,
la immarota bila to'ata, Tidak ada kekuatan bila
tanpa ada kebersamaan, tidak kebersamaan bila
tanpa ada pemimpin dan tidak ada pemimpin bila
tanpa ada ketaatan. Acara malam juga diisi dengan
pengajian oleh Ustadz Wijayanto, dan diteruskan
dengan maiyah secara lebih khusuk, melalui
bacaan-bacaan wirid, sholawat dan doa, hingga
akhirnya ditutup dengan doa yang dipimpin
langsung oleh Cak Nun.
|