BENAR HARUS BAIK, BAIK
HARUS BENAR !
"Kita mulai
dengan menata posisi duduk dan kuda-kuda batin
yang sebaik-baiknya, serta sekukuh-kukuhnya.
Sebulan terakhir ini mungkin sebagian besar anda
mendapat tekanan-tekanan di dalam hidup anda,
mungkin mendapat ha l-hal yang membuat anda
"nggresulo", membuat anda sedih,
kecewa, bingung. Apapun tema kebingungan itu tapi
mari kita mencoba satu olah rasa, olah pikir
mungkin juga olah tubuh, agar apapun yang menimpa
anda semua akan sanggup menyangganya.
Anda boleh disir am api, tetapi anda tidak
terbakar " Yaa naarkuni bardan wa salam 'ala
Ibrohiim". Anda boleh digigit nyamuk tetapi
anda tidak mengurbankan darah anda ke nyamuk itu
, sementara si nyamuk tetap merasa bisa kenyang
sesudah menggigit anda. Anda boleh difitnah
orang, tetapi anda bergembira oleh fitnah itu,
dan semoga Allah mengampuni orang-orang yang
memfitnah anda.
Kita berharap bahwa pertemuan-pertemuan seperti
ini, bisa membangun kekuatan dan ketentraman
batin, sehingga anda diapakan saja tetap utuh,
kalau kita gampang kesakitan, gampang marah dan
dendam pada yang menyakiti kita, maka itulah
kelemahan kita, padahal kalau kita tetap kuat,
kalau tidak dianiaya orang lain, malah kita
merasa kasihan pada orang itu, "lho kok,
ndak ada yang nyakiti saya,ya?". Demikian
ungkap Cak Nun mengawali acara Macapat Safaat
(17/04/02) di Komplek TKIT Al-Khamdulillah,
Tamantirto Kasihan Bantul Jogjakarta, sebuah
yayasan pendidikan yang dikelola oleh Novia
Kolopaking bersama adik-adiknya Cak Nun yang
lain.
Lebih jauh Cak Nun meng ajak bahwa anda harus
menyelamatkan diri dari segala macam ketidak
menentuan yang menaburi Indonesia, ketidak
menentuan ekonomi, politik, sosial, budaya. Kalau
anda tidak bisa menyelamatkan diri secara ekonomi
atau politik, paling tidak bisa menyelamtkan diri
secara nurani, hati kita tetap teguh, jiwa kita
tetap tenang, pikiran kita tetap obyektif dan
mental kita tetap tidak bisa diisi oleh ketidak
benaran - ketidak benaran. Silahkan menyakiti
saya, membunuh saya tetapi saya tetap tidak akan
mengubah yang " ya" menjadi
"tidak" dan tidak akan mengubah yang
"tidak" menjadi "ya". Itulah
mati yang sangat membanggakan, mati yang
diidam-idamkan.
Sama seperti sang Abunawas, ketika ditanya
Sultan, "berapa jumlah bintang di
langit?". Jawab Abunawas : "kumpulkan
seribu kambing, sebab jumlah bintang sama dengan
jumlah bulu seribu kambing, kalau tidak percaya,
hitunglah sendiri!". Itulah Abunawas. Kalau
anda tidak bisa menggunakan ilmu Abunawas di
Indonesia, maka anda malah akan "di
Abunawas-i" oleh DPR/MPR, oleh pemerint ah.
Sekarang ini mainstream kebudayaan kita adalah
"Glenyengan" (cengengesan), maka jadi
anggota DPR kalau mau sukses karier politiknya
malah harus "glenyengan", sebab kalau
serius malah akan disikat atau tersingkirkan.
Manusia itu lengkap, memiliki intelek tualitas,
spiritualitas, dan juga mentalitas, sedangkan
mentalitas itu sendiri produknya adalah
moralitas. Tetapi anda tidak bisa mendapat
sentuhan apapun dengan hikmah-hikmah, ilmu dan
rezeki Al-Qur'an kalau anda tidak berada pada
frekuensi yang inlited, frekuensi yang
tercerahkan pada dimensi aqliyah/intelektual dan
dimensi ruhiyah/spiritual serta dimensi nafsiah
atau mental.
Dulu sudah kita pelajari, bahwa ada orang pintar
tapi jelek, ada orang baik tapi bodoh, ada orang
pinter, baik tetapi tidak berani, sehingga tidak
begitu berguna. Ada orang berani, baik tetapi
bodoh sehingga selalu salah, dan ada lagi ada
orang berani, pintar, tetapi jahat, inilah orang
yang menghabis-habiskan dana Bulog, dll. Sehingga
pemimpin-pemimpin Indonesia itu adalah
manusia-manusia sepertiga, ada yang baik saja
tetapi tidak efektif, karena tidak punya wawasan
intelektual dan tidak punya keberanian kejuangan.
Ada yang sangat pintar tetapi tidak baik dan
tidak berani. Maka menujulah pada Insan Kamil
yakni kalau kita mencoba, mendayagunakan
penumbuhan dari ke-tiga dimensi itu sekaligus,
artinya jadilah orang baik yang pntar, kalau
sudah baik dan pintar tunjukanlah keberanianmu.
Di dalam gerakan-gerakan progresivisme, dan
revolusionisme pada kalangan anak-anak muda, Cak
Nun orang pa ling bisa memabaca stamina, artinya
ia akan meniupinya agar semakin besar, jika
memang kekecilan ,tetapi kalau sudah kebesaran,
maka iapun sanggup menyiraminya dengan air, agar
mengecil, karena kalau terlalu besar apinya nasi
menjadi hangus, dan kalau ter alalu kecil apinya,
nasi malah "nglethis", dan kedua -
duannya tidak produktif bagi bangsa Indonesia.
Maka lagu-lagu, musik, sastra, sebisa bisa harus
mengartikulasikan budaya manusia dalam
mengekspresikan seluruh unsur kejiwaan manusia,
bahkan unsur iblis harus anda lampiaskan sampai
batas-batas yang halal, karena unsur iblis itu
unsur api, dan anda tidak bisa hidup tanpa api,
tetapi api tidak boleh mengendalikan anda, api
harus anda kendalikan.
Salah satu nilai yang oleh Cak Nun sering lakukan
adalah bahwa ia selalu mencoba ngomong apa saja,
secara merdeka tetapi memahami ilmu-ilmu mengenai
batas - batasnya. Dengan selalu mengembalikannya
pada ideologi dasar, agama Islam, yakni Islam itu
bukan tidak boleh semua kecuali yang diperintah,
melainkan Islam adalah boleh apa saja, kecuali
yang dilarang. Kalau ada bayi baru lahir,
idiologinya sudah tidak boleh semua kecuali yang
diperintah, maka setiap mau menangis, harus
konsultasi dulu, boleh tatau tidak, mau kencing
boleh atau tidak? Maka begitu bayi lahir yang
kita miliki adalah kemerdekaan, kita menjadi
besar, dewasa dan tua adalah untuk mempelajari
dari batas - batas kemerdekaan itu. Sehingga di
tengah-tengah kita membebaskan diri, kita tetap
menyadari dan memahami bersama-sama mengenai
proporsi-proporsi masing-masing.
Dan maiyah malam itu, benar-benar sebauh mimbar
kebebabasan dan kebersamaan, bukan saja jamaahnya
yang beragam melainkan karena hadirnya cerpenis
Indra Trenggono, yang istilah Cak Nun, merupakan
sahabatnya sejak 20 tahun yang lalu, yang
seakan-akan baru "pulang dari Rusia",
juga ada Halim HD, Sutanto seniman Mendut, dan
tokoh teater daerah Bondan Nusantara, tentu saja
mereka mengekspresikan maiyah malam itu dengan
bahasa dan wacananya masing-masing. (Jns).
|