Jawa dan Sunda Itu Etnis,
Arab Belum Tentu Islam
Posted on
2002/6/17 3:42:29
Lebih kurang 20 ribu jamaah maiyah malam itu
terpernjat dan tertegun saat Cak Nun dan Kiai
Kanjeng tampil di halaman masjid Sabililllah
Malang (18/5/02), dengan khidmat Cak Nun
menyanyikan lagu gereja "Malam Kudus"
yang syairnya diubah menjadi "Sholatullah
salamullah 'ala thoha
rosulillah
",
belum lagi hilang ketertegunan mereka, Cak Nun
langsung menyahut, bahwa "Inilah kemesraan
kami kepada rekan-rekan dan saudara-saudara kaum
nasrani, karena kami cinta mereka semua".
Lebih lanjut ia menjelaskan, bahwa tidak ada
larangan dan kesalahan kalau kita memakai
lagu-lagu seperti itu, kita boleh saja
mempertukarkan lagu, syair, asal jangan aqidah
yang kita pertukarkan, itu semua hanya baju.
" Boleh ndak baju saya ini dipakai oleh pak
pendeta ke gereja"? pancing Cak Nun. Maka
ia-pun dengan lugas dan cair menguraikan, bahwa
itu sesungguhnya bukan lagu gereja, tetapi lagu
Eropa atau lagu barat, sebab nabi Isa dulu lahir
di Arab bukan di Eropa, jadi beliau tidak
mengenal lagu barat. Maka lagu itu Cuma pakaian,
Cuma pisau, dan bisa kita pakai untuk membelah
mangga atau menyembelih ayam. Dan sama dengan
agama, adalah urusan pribadi, sama juga seperti
istri-istri kita, bahwa istri itu urusan pribadi,
anda tidak bisa membanding-bandingkan atau
mencela, pantatanya lebih besar atau lebih kecil.
Maka mulailah kita bisa berpikir lebih arif, luas
dan lentur, dan jangan mudah terjebak oleh
simbol-simbol dan mitos-mitos yang menyesatkan.
Jangan dikiran bahwa kalau Arab itu sudah pasti
Islam, sebab di Turki, Mesir di night club sana
itu lagu-lagunya memakai bahasa Arab, yang kadang
untuk mengiringi penari-penari erotis.
Orang-orang Kristen Ortodok di Syria mereka ini
kalau berdoa juga memakai bahasa Arab. Dengan
guyonan yang segar, Cak Nun mengatakan,
"bayangkan kalau ini didengerin oleh orang
Jawa, pasti di-aminin terus".
Cak Nun juga mengatakan bahwa ia baru saja
diundang oleh umat Kristen untuk menjelaskan,
bagaiaman mereka mencintai umat Islam, di GKJ
Joglo Jakarta Barat. Sebagai kunci tolorensi, ia
secara tegas mengatakan, bahwa kadang-kadang kita
dirancukan oleh istilah tolerensi beragama,
padahal menurutnya tolerensi itu secara sederhana
cukup menyatakan, kalau bagi orang Kristen sudah
pasti bahwa Islam itu salahdan tidak baik. Sebab
kalau ia menilai baik dan benar malah masuk
Islam, begitu juga sebaliknya bagi orang Islam,
Katolik, Hindu ataupun Budha. Maka yang perlukan
dalam hal ini adalah sifat "rahman-
rokhim". Rahman itu cinta yang mendalam, dan
Rakhim cinta yang meluas, artinya bahwa di dalam
setiap dimensi tidak hanya memerlukan kedalaman
ilmu saja (intelektual) tetapi juga memerlukan
keluasan (moralitas dan kearifan), orang tidak
saja hanya cerdas tetapi juga perlu arif dan
santun, bangsa Indonesia ini rusak seperti ini
karena banyak orang pinter tetapi kurang arif
dalam sikap dan perilakunya.
Cak Nun juga menawarkan bahwa inilah maiyah,
sebagai dekonstruksi sistem budaya, sosial,
ekonomi dan politik, bahwa maiyah itu memahami
heteregonitas, pluralisme, tidak ada kaya dan
miskin, tidak ada monopoli, tdiak ada saling
mengincar dan menindas, yang ada hanyalah saling
bersama-sama mencintai, menghargai, hidup rukun,
tanpa mempedulikan apa gama, ras, suku dan
golongannya, yang dilandasi oleh spirit bahwa
Allah dan Rasulullah selalu ada dan bersama dalam
gerak hidup kita.**(Jns).
|