" ..KESALAHANMU
ADALAH BAHWA KAMU EMHA....!"
Posted on
2002/6/24 11:59:03
Tidak ada kenikmatan dan kenyamanan yang menyamai
kota yang melahirkan Emha, secara budaya, kecuali
Jogyakarta. Emha selalu punya kerinduan yang
mendesak-desak dan cinta terhadap kota ini tak
pernah pupus. Ada kebiasaan "ngantor"
setiap Emha tidak ada acara dan berada di rumah
bersama keluarga di Jogyakarta. Tentu saja yang
dimaksud "ngantor", tidak seperti Pak
Kayam atau Mas Faruk di PPKS UGM, tidak
sebagaimana Sultan di Kepatihan.
"Ngantor"nya Emha adalah di
warung-warung pinggir jalan, yang bisa leluasa
kembali menikmati kebebasan, kenyamanan, santai,
kongkow-kongkow, di warung soto pak Sholeh, atau
di SGPC lor UGM, atau di warung tahu telupatnya
pak Damar, atau ngeteh-hot di warungnya Yu Jum
lor stasiun Tugu, atau di warung merconnya Pak
Mari, atau di makan gudeg di Lor Permata, bisa
juga makan thengkleng solo di warungya mas Is
Lowanu. Itulah hari-harinya "ngantor"
bagi Emha. Setelah hampir 95 % tenaga dan
waktunya di dayagunakan untuk ngancani rakyat
kecil, me-maiyahi tanah air, berdiskusi, dialog
inter-kritik, saling menegakkan cinta kasih dan
kemesraan kemanusiaan, bergembira bersama dan
saling menghargai satu sama lain, di berbagai
pelosok tanah air, berkeliling Indonesia bersama
Kiai Kanjeng.
Sehingga kadang Emha sangat sulit untuk menjadi
dirinya sendiri, karena harus melayani ribuan
permintaan yang memaksa dan mengaharuskannya
untuk disebut Kiai, tokoh nasioanal, budayawan,
malah kadang juga danggap dukun atau paranormal
yang orang datang untuk minta kesembuhan. Ketika
itulah Emha menjadi milik publik, milik umat,
hingga tidak bisa menikmati kebebasannya.
Maka ketika ada hari bebas yang di dalam
jadwalnya biasa ditulis acara;
internal/studio/perjalanan, itulah
"surga" menurut istilahnya Emha, hari
"ngantor" nya. Barangkali kalau
umpamanya di Surabaya, Jombang, Malang, Cirebon,
Banten, atau kota yang lain, Emha tidak bisa
se-santai makan dan minum di warung pinggir
jalan, pastilah Emha akan diserbu, disalami,
dimintai tolong, disuruh do'a-in agar sukses dan
tenteram hidupnya. Tapi karena di Jogja tidak
dikenal tradisi silaturakhmi kerakyatan , dan
hanya mengenal wacana kecongkakan intelektual,
maka Emha justru menjadi lebih rileks, apalagi
Emha ini orang yang tidak "dikenal" di
Jogja, lha, gimana, wong Emha ini sudah hampir 30
tahun di Jogja, masak orang Jogja tidak paham
juga, karena kalau kadang bertemu disuatu toko
atau di warung-warung, ia mesti disapa, "Ada
acara apa Cak Kok di Jogja, lagi shoting ya"
? Ini artinya bahwa orang sekedar paham bahwa ia
ini warga Jogja dan lama tinggal di Jogja saja
tidak mau. Konon juga ada yang menyebutnya bahwa
Emha ini tidak begitu disukai oleh
"beberapa" kelompok di Jogja, lantaran
ia menjadi salah satu sembilan orang yang
diundang Pak Harto ke istana untuk dimintai
pendapatnya soal kemundurannya, ia dicap
"mewakili siapa itu orang kok ada di
istana" ? Bahkan salah seorang aktor monolog
yang terkenal di Jogja menyebutnya sebagai
"Konsultan dadakan", Ia juga dicap
sebagai tidak reformis, kroninya Soeharto, dll.
Maka Emha setiap berada di warung-warung pinggir
jalan merasa tidak ada yang mengganggunya. Emha
menjadi lebih bisa sangat leluasa menikmatinya.
Di Jogja Ia bisa menikmati kebencian itu, karena
kesalahannya adalah bahwa ia bernama EMHA AINUN
NADJIB, yang suka bawa-bawa Allah, bawa-bawa Nabi
Muhammad, bawa-bawa Islam. Karena ia pernah
ketemu Pak Harto, ketemu Prabowo, Mbak Tutut,
atau Harmoko, maka ia wajib dicurigai, Makanya
Emha jangan disuruh ketemu sama orang-orang besar
lagi dong! Makan bareng sama Pak lurah, atau
Jum'atan bareng Pak Camat kalau bisa jangan
sampai. Nanti orang jadi bersedih dan berdosa
karena mencurigai Emha. Kalau terhadap Gus Dur,
Malik Fajar, Cak Nur, atau Yusril, yang pernah
ketemu sebelum Soeharto lengser, ndak apa-apa,
tapi karena ia bernama Emha maka harus difitnah
dan dicurigai.
Bahkan tidak hanya di Jogja, kalau mau masuk
teve-pun kalau ada nama Islam sedikit boleh, ada
sholawat sedikit boleh, tapi kalau ada Emha,
pastilah akan ditolak, karena ia bukan tokoh make
news. Di Indonesia ini yang dianggap tokoh, ialah
orang yang dimuat di koran, masuk teve, kalau
rakyat kecil, pedagang, yang berjuang
mempertahankan hidupnya, atau rakyat yang
berkumpul mencari kebaikan pastilah tidak akan
pernah dimuat koran atau masuk teve.
Emha pernah mengatakan pada teman-teman Kiai
Kanjeng, bahwa " ... Saya hampir-hampir
percaya pada rumus ini ; Kesenian itu boleh hidup
asalkan bukan seni Islam. Tapi seni Islam masih
mungkin boleh hidup, asalkan tidak bagus, Tapi
seni Islam yang bagus bisa boleh hidup, asalkan
bukan Emha dan Kiai Kanjeng".
Maka baginya Emha itu tidak penting, Emha itu
nomor sekian, yang penting bahwa ia manusia, ia
roh, dan kita sama-sama manusia, sama-sama roh,
berjuta roh satu jumlahnya, dan ia tidak bisa
benci mereka, ia tidak dendam pada orang-orang
yang membenci dan menyakitinya.
Dari ngobrol di perjalanan, Jl. Kaliurang -
Kadipiro, 2001/Jns.
|