PERAGAWAN
dan PERAGAWATI RAMADHAN
Posted on
2002/12/2 19:41:11
Beban berat seakan-akan telah disandarkan pada
pundak seni budaya. Bagaimana tidak, dalam rihlah
maiyah kemaren baik dari Purwokerto, Serang,
Sukabumi hingga Bandung hampir semuanya memilih
budaya sebagai pembicaraan utama maiyah. Apalagi
yang terjadi di Cilegon, dimana saat itu
pengunjung yang hadir begitu sedikit tak
sebanding dengan jumlah undangan yang menyebar.
Lepas itu karena kurang publikasi atau sebab
lain, ada ancungan jempol buat pengunjung
terutama bagi para penyelenggara.
InsyaAllah ada dua pahala kebaikan buat
panitia. Kata Cak Nun dalam orasi budayanya
di Padepokan Seni Budaya Krakatau Steel. Cak Nun
yang saat itu tampil bersama Prof. Dr. H. A.
Tihami, MA (Bantenolog) menguraikan alasan dua
kebaikan itu. Pertama, didalam perusahaan besar
ini dimana setiap detik selalu penuh aktivitas,
mengecheck mesin, dan segala kegiatan produksi
lainnya ternyata masih ingat Allah padahal kita
hidup ditengah mainstream budaya dimana Allah
sudah tidak diperhitungkan. Kedua, karena yang
datang sedikit. Kalau kita bikin dangdut maka
yang datang akan banyak karena kita mengikuti
mainstrem arus budaya yang berjalan.
Khusus terhadap geliat musik dangdut tersebut
kita patut kecewa dan prihatin. Musik dangdut
yang saat ini berada pada puncaknya sedang
menggali lubang kuburnya sendiri. Musik dangdut
berada pada puncak keterpurukannya. Dahulu
masyarakat dan media industri menempatkan musik
dangdut sebagai musik yang kampungan dan tidak
layak tayang. Namun, kegengsian masa lalu
sekarang berbalik menjadi maskot. Sekarang dari
pagi hingga malam media-media sibuk menayangkan
acara Dangdut. Bahkan vcd-vcd dangdut bertebaran
dimana-mana ada kios pinggir jalan. Padahal,
bukanlah suguhan musiknya yang ditunggu-tunggu
tapi goyangannya. Musik dangdut mengalami
degradasi dalam hal kualitas estetika
keseniannya. Ironisnya, penghancurnya tidak lain
adalah pelaku musik itu sendiri yang mengalami
kesulitan dalam menghargai hasil karyanya
sendiri.
Sungguh kasihan keimanan kita kalau berharap pada
kegiatan seni budaya yang marak dilakukan oleh
masyarakat kita akhir-akhir ini. Arus berkesenian
kita mengalir tidak menuju Tuhan, tetapi malah
menjauhi-Nya. . Tengok saja acara televisi pada
saat bulan Ramadhan menjelang, terutama pada saat
menjelang sahur dan berbuka puasa. Seluruh
stasiun TV bersaing untuk menarik minat pemirsa
dengan memajang artis-artis cantik dan ganteng
lengkap dengan busana muslimnya. Layar TV tidak
ubahnya fashion show. Mereka memperagakan
kehidupan yang sangat islami, dan terpuji, tapi
apakah akan terpancar pula dalam kehidupan
sehari-harinya ?. Masing-masing nurani kita akan
berbicara lugas : tidak. Meski opini ini tidak
dapat diberlakukan pada semua pelaku
kepura-puraan yang menghuni layar TV kita.
Cak Nun membeberkan lebih lanjut saat maiyahan di
Ponpes YASTI, Sukabumi bahwa televisi adalah
sebuah industri, yang dengan sendirinya sangat
menghindari kerugian , dan selalu berorientasi
pada keuntungan. Syarat utamanya adalah menuruti
keinginan pemirsa. Sebuah acara dikatakan laku
bila menempati rating tertinggi, dan selama ini
selalu diramaikan oleh tema-tema seks dan
kejahatan. Tayangan semacam inilah yang mampu
mencetak uang. Otomatis acara yang berbau agama,
seperti ceramah agama , sinetron ramadhan, sholat
terawih langsung dari Mekkah, tidak termasuk
dalam tayangan yang laku keras. Kendati acara
Ramadhan tetap ada yang mensponsori, tetapi harus
tetap siap bahwa itu adalah acara yang dibiayai
oleh uang hasil jualan tayangan lainnya. Ada
semacam subsidi silang untuk tetap bertahan pada
posisi yang menguntungkan. Disini, Cak Nun
mengilik perasaan kita dengan mempertanyakan
kembali bagaimana pendapat kita tentang acara
keagamaan yang biayanya disuntikkan dari
keuntungan hasil berjualan tayangan lain yang
sekuler ?. Sebuah hal yang ironois. Televisi
bukanlah satu-satunya potret seni budaya kita,
tapi televisi lah yang paling mengintervensi
kehidupan sehari-hari kita. Realitas sesungguhnya
menunjukkan ada jarak yang tidak dekat antara
kegiatan seni budaya dengan keimanan kita. Tidak
seperti yang diharapkan pada tema-tema rihlah
maiyah ini. Kendati demikian, institusi dan
gerakan keagamaan lah yang menjadi tandingan arus
kebudayaan kita yang semakin kental nuansa
kesementara-annya. Agama yang mampu mengajarkan
manusia kembali pada keabadian. Jika mainstream
kebudayaan memiliki media industri elektronika
dan cetak sebagai corong untuk memeperkeras gaung
suaranya, maka agama memiliki senjata agar
bertahan di dalam kepungan kebudayaan yang vulgar
ini. Senjata itu adalah : mengingat Allah dalam
setiap aktivitas yang dilakukan manusia. Bukanlah
sebuah hal yang mudah mengingat Allah dalam
setiap lini kehidupan yang terkepung ditengah
kebudayaan yang tidak lagi memperhitungkan Allah,
sebagai pusat segala-galanya.(red)
|