MENU ARTIKEL



Personal Photos

Halaman Utama

TIGA DIMENSI HIDUP

Seni Islam, dua suku kata yang bila digabungkan tidak dapat mengundang rasa penasaran. Topik seni saja akan mengundang banyak polemik, begitupun Islam saja akan melahirkan banyak pertanyaan kritis. Tapi bila keduanya digabung, interpretasi yang dihasilkan tidak kaya. Lantunan melodi padang pasir dengan syair Bahasa Arab lah yang dituding sebagai satu-satunya implementasi seni Islam. Kesenian lahir dari keindahan yang menghuni perasaan kita. Nada ,irama, intonasi adalah penggambaran situasi keindahan yang kita rasakan. Bila hati dan perasaan manusia selalu dirangsang untuk mengingat-Nya, maka isi hatinya tidak lari dari keindahan-Nya. Dan bila sebuah karya seni, baik musik, seni rupa, puisi, atau apapun yang mampu merangsang hati kita untuk mengingat Tuhan, maka dengan sendirinya karya seni itu bisa dilabeli dan diberi nama Seni Islam. Tidak perlu harus repot dengan Bahasa Arab atau rebana, cukup bertepuk dan bersenandung saja bila telah mampu menjadi media pertemuan antara manusia dengan Tuhan-nya, akan menjadi Seni Islam lah ia. Berkesenian adalah satu cara untuk mengenali tiga dimensi kehidupan manusia. Sebab eksplorasi perasaan manusia akan melahirkan karya seni yang juga akan dieksplore oleh perasaan penikmatnya. Manusia tidak hanya memiliki perasaan sebagai alat tetapi juga memiliki nalar untuk menguji kebenaran sebuah hal secara obyektif. Berpikir saintis adalah nama yang tepat bila akan melahirkan dua kemungkinan yaitu : benar atau salah.. Dimensi saintika ini adalah dimensi kedua setelah dimensi keindahan (estetika) yang dimiliki manusia.
Belum lengkap dimensi hidup manusia bila hanya mendayagunakan kedua dimensi tersebut tanpa mengikutkan dimensi etika. Kebaikan dan keburukan adalah topik yang menjadi pemabahasan dalam dimensi etika. Dimensi ini membutuhkan tolok ukur yang valid untuk menilai. Nilai dan Norma lah yang menjadi nahkoda etika. Ketiga dimensi ini akan membimbing manusia untuk mengenal Tuhan bila semua mengerucut menuju satu titik yaitu Allah. Ayat-Ayat Illahi yang berwujud Alam, Manusia dan sejarah hidupnya, juga qauliyah (firman kata-kata) dipakai sebagai dasar dan tolok ukur kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Ketiga unsur ini harus berdialektika, dalam artian ketiganya saling berhubungan, saling bergantung, saling mempengaruhi, dan saling menentukan sebagai satu kesatuan yang organik. Menjadi manusia yang utuh ternyata rumit, dan Seni Islam adalah salah satu kendaraan yang bisa dioptimalkan untuk mengingat-Nya. Begitulah sepenggal catatan redaksi mengurai kisi-kisi Cak Nun yang diberikan dalam Stadium General di UMP Puwokerto pada tanggal\par 25 Oktober 2002 lalu.
Seminar yang mengawali rangkaian acara workshop tersebut diikuti kurang lebih 80 peserta yang tentu saja didominasi mahasiswa UMP itu sendiri. Kegiatan workshop berlangsung padat dan dibagi dalam tiga kelas worksop, yakni Teater, Musik, dan Vokal. Rangkaian kegiatan di UMP diakhiri dengan acara Maiyah dimalam harinya. Berbeda dengan kegiatan di pagi hari, para mahasiswa UMP Purwokerto menjadi ‘terhibur’ dan tercerahkan setelah dipenghujung malam tersebut Cak Nun dan grup Kiai Kanjengnya menyemarakkan dengan Maiyah di lapangan UMP. Meski kondisi fisiknya yang terlihat lelah akibat marathonnya acara sejak pagi namun tak mengurangi semangatnya dalam menyampaikan pesan-pesan maiyah terutama yang berkaitan shalawat dan seni budaya Islam. “Bershalawat itu memuji kebesaran nabi Muhammad, SAW. Bukan mengkultuskan kanjeng Nabi apalagi menuhankannya, Itu adalah salah satu bentuk kemesraan antara kita sebagai ummatnya untuk sama-sama memohon ridho-Nya, tentu saja dengan tidak melanggar batas-batas fiqih” tutur Cak Nun dihadapan jamaah yang memadati area sebelah barat lapangan. “Apabila kita sering bershalawat, InsyaAllah akan terhindar dari segala macam malapetaka. Dijaman yang sedang gelap ini, sudah seharusnya kita kembali mengikuti Imam kita, Kanjeng Nabi Muhammad SAW.” Lanjut Cak Nun yang kemudian diikuti dengan Nurul Mustofa untuk mengawali irama ‘masjid’nya. Para jamaah yang didominasi mahasiswa tampak “malu-malu” ketika diajak bershalawat , walaupun begitu mereka tampak antusias sekali mengikuti dan beberapa kali memberi applaus hingga akhir acara. Seorang jamaah yang menyempatkan hadir sejak sore mengatakan cukup puas meski sempat ’kikuk’ juga dengan bahasa Cak Nun yang baginya terlalu ‘fulgar’, apalagi ditambah dengan riuh rendahnya suasana saat ikhtilat laki dan pria. “Top banget lho..., ternyata masih ada orang-orang yang concern di dunia dakwah dengan jalan yang lain macam cak nun, dan tak banyak orang yang melalui dengan cara dakwah seperti itu. Moga ia tetep istiqomah . “ kata Ndaru R., mahasiswa Hukum, yang ditemui disela-sela acara. “Bayangkan kalo orang-orang macam beliau bergerak bersamaan menyentuh dua kutub golongan masyarakat atas dan bawah pada waktu yg sama. Setelah itu diestafetkan ke jama’ah yang lebih menekankan tarbiyah islamiyah pada pribadi-pribadi secara kontinue, pasti akan membentuk kader dan barisan pendukung dakwah yang militan.” Tegasnya. *** (red)