MENU ARTIKEL



Personal Photos

Halaman Utama

SIKAP ILMIAH vs SIKAP MA’RIFAT

Posted on 2003/2/15 0:04:57
Kehadiran kita disini adalah seratus persen untuk menambah keakraban kita dengan Allah SWT. Yang disebut keakraban dengan Allah, kalau anda berkenan nanti saya sama Cak Fuad ingin menjelaskan secara ilmu bener-bener beda antara ilmu dengan ma'rifat.

Semakin kita mengenal nilai-nilai semakin langkah-langkah kita lebih punya makna. Semakin kita tidak mengenal nilai-nilai, maka apapun yang kita lakukan, sebesar apapun, menjadi kurang bermakna. Itu nanti akan kita jelaskan dari sudut ilmu bahasa, ilmu laku sampai praktek-praktek dalam sejarah, kemudian kemungkinan-kemungkinan anda semua untuk menemukan pilihan didalam bidang ilmu dan bidang ma'rifat.

Orang-orang modern hanya mengenal ilmu dan bingung apa sebenarnya ma'rifat, itupun kata ma'rifat itu dalam bahasa Indonesia disebut pengetahuan. Tetapi pada saat orang modern mengalami kebingungan mengenai ma'rifat, orang-orang Islam sendiri juga bertahayyul-tahayyul tentang ma'rifat. Oleh karena itu nanti akan kita coba urai tentang masalah ini... tetapi acara inti pada malam hari ini adalah pesta dengan Allah, pesta dengan Kanjeng Nabi...

Begitu uraian CN dalam membuka Maiyah Padhang mBulan tanggal 19 November 2002 yang bertepatan dengan tanggal 15 Romadhon 1423 H beberapa waktu yang lalu
sebelum memulai dengan pembacaan sholawat dan wirid-wirid sebagaimana biasanya.
Meskipun malam itu jama'ahnya agak berkurang dari biasanya -- mungkin karena
memiliki acara di lingkungan masing-masing, karena pada bulan romadhon seperti
ini memang biasanya banyak kegiatan-kegiatan yang sebelumnya tidak ada -- tetapi
suasana pada malam hari itu terasa lebih khusu' dan gayeng daripada biasanya.

Cinta Dalam Dimensi Ruang dan Waktu
Anda ingat' kata CN disela-sela wirid Asmaul Husna Yaa Rohman Yaa Rohiim,
menurut ilmu bahasa, rohman itu adalah cinta Allah yang meluas, kalau
rohiim
cinta Allah yang mendalam. Jadi kalau kita membaca Yaa Rohmaan
berarti kita sedang mensyukuri rohmat Allah kepada seluruh alam semesta secara
universal, rahmat kepada semua umat manusia termasuk yang kafir, yang munafik,
termasuk juga kepada binatang, awan, angin, langit, bumi, kepada seluruhnya. Jadi rohman itu cinta Allah dalam dimensi ruang, sedang rohiim adalah cinta yang khususon, kasih sayang Allah kepada orang-orang yang memenuhi kriteria-kriteria untuk mendapatkan kasih sayang Allah secara khusus.

Bedanya, cinta yang rohman adalah cinta yang sangat luas tetapi hanya berlaku
di dunia sehingga disebut cinta dalam dimensi ruang. Kalau rohim cinta Allah
yang khusus tetapi berlaku sangat panjang, maka disebut cinta dalam dimensi
waktu, cinta Allah kepada anda berlaku tidak hanya selama anda hidup, tetapi
juga berlaku sampai ke akherat, sampai ke sorga.

Jadi, jika anda membaca Yaa Rohmaan anda ingat kepada seluruh warga alam
semesta, ketika anda membaca Yaa Rohiim anda mengingat nasibmu sendiri di
hadapan Allah sampai ke akherat kelak. Ada dialektika atau imbal-imbalan, coba
sekarang anda ingat urut-urutan kata AlhamdulillaahiRobbil'aalamiin. Kata
alhamdulillah itu segala puji memusat kepada Allah, karena alhamdu hanya
lillah. Titik fokusnya hanya Allah, tetapi Allah kemudian melebarkan pusat itu ke al- 'aalamiin. Kalau digambar, alhamdulillah itu memusat, terus ternyata Allah itu bukan hanya Allah di satu titik, tetapi Allah adalah Robbul'aalamiin, pengasuh seluruh alam. Tidak hanya satu alam tetapi al-'aalamiin, bukan al-'alm saja tetapi al-'aalamiin. Ini dialektika namanya, setelah memusat ke satu titik, melebar lagi, setelah itu memusat lagi kemudian melebar lagi. Begitulah kita, kita melihat diri kita terus ingat masyarakat, ingat masyarakat kemudian ingat diri kita. Maka inti ilmunya adalah kalau anda melihat langit, ingatkah engkau kepada Allah? Kalau engkau melihat kambing yang digembalakan sore-sore anda ingat kepada Allah robbanaa maa kholaqta haada batila. melihat apa saja menemukan Allah padanya.

Sayyidina Abu Bakar ra. dalam menemukan nilai-nilai, menemukan kebenaran,
menemukan Allah dia membutuhkan proses yang sifatnya kultural, opo anane,
alon-alon. Jadi dia menghayati secara kultural sehingga menemukan Allah
di dalam perjalanan budayanya. Kalau Sayyidina Umar bin Khottob ra., dia bukan
manusia kultural tetapi manusia radikal. Begitu dia mau membunuh Rosululloh, di
jalan dia dikasih tahu bahwa adiknya sendiri adalah pengikut Rosululloh maka dia
kembali pulang untuk membunuh adiknya, tetapi begitu sampai di rumah adiknya dia
mendengar Surat Thoha yang sedang dibaca oleh adiknya dia langsung mengambil
keputusan untuk masuk Islam. Jadi untuk menemukan Allah dia mengalami secara
radikal. Lain lagi dengan Sayyidina Usman Ibnu Affan ra., metodenya dalam rangka
untuk menemukan Allah dengan cara menimbang-nimbang karena dia adalah seorang
pengusaha, seorang konglomerat.

Puncaknya adalah Sayyidina Ali bin Abi Tholib krw., dia tidak memakai metode
kultural, tidak memakai metode radikal, juga tidak memakai metode keseimbangan,
tetapi tanpa metode untuk menemukan Allah. Kalau dia menemukan daun yang tampak
oleh dia bukan daun tapi yang terasa adalah Allah. Baginya yang ada sesungguhnya
hanyalah Allah, daun itu sebenarnya tidak ada tetapi diada-adakan. Engkau tidak
ada yang ada hanyalah Allah, engkau hanya semu, hanya sementara, engkau tidak
sungguh-sungguh ada, maka Ali menemukan Allah secara langsung tanpa metode.

Jadi temen-temen sekalian lanjut CN, dalam mewiridkan Yaa Rohman Yaa Rohiim ini mohon dimasuki penghayatan seperti itu supaya hidupmu dikelilingi, ditaburi oleh kasih sayang Allah, baik yang bersifat rohman maupun yang bersifat rohiim.

Pada sambutan kedua setelah acara selingan dari group musik sholawat ISHARI, Ikatan Seni Hadrah Republik Indonesia, dan acara inti Padhang mBulan yaitu tafsir yang disampaikan oleh Cak Fuad (tafsir ada artikel tersendiri red), CN sedikit menyinggung mengenai orang munafik. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya masyarakat kita, baik di desa mauopun di kota, lebih-lebih para pemimpin kita di DPR, dari pusat s/d tingkat II yang tidak mau dan tidak berani untuk berubah, sebab kalau sampai terjadi perubahan itu sama saja dengan menghilangkan kenikmatan dan keuntungan yang mereka dapatkan selama ini. Kelihatannya berjuang untuk rakyat tetapi sebenarnya adalah berjuang untuk kepentingan diri dan golongannya sendiri. Ngakunya mewakili rakyat, tetapi sesungguhnya mewakili kepentingan parpol dan kepentingannya sendiri, itu munafik namanya. Hal ini sebenarnya tidak lepas dari sikap dan kesalahan masyarakat sendiri dalam memilih atau mendukung suatu golongan untuk memperjuangkan aspirasinya, sikap mereka masih banyak yang bersifat partisan, tidak independen. Artinya, dalam memilih suatu golongan, ormas atau parpol bukan didasarkan pada independensinya dalam menilai, apakah golongan, ormas atau parpol tersebut benar-benar memperjuangkan rakyat atau tidak, apakah yang dipilih itu benar-benar baik untuk ummat atau bangsa ini atau tidak tetapi yang dilihat dan dijadikan bahan pertimbangan adalah siapa pemimpinnya. Kebanyakan masyarakat kita adalah kaum puritan seperti itu sehingga gampang untuk dibohongi. Begitu inti uraian CN sebelum melanjutkan penjelasannya mengenai ilmu dan ma'rifat.


Beda Antara Ilmu dengan Ma'rifat

Ilmu berasal dari kata 'aalima: mengetahui secara mendalam. Kalau arifa, ma'rifat itu mengetahui saja, tetapi tidak bisa mendalam, demikian CN memulai dalam menguraikan tentang pengertian ilmu dan ma'rifat.

Alima - ya'lamu - 'ilman wa huwa 'aalimun wa daka ma'lumun
itu mengerti, tidak
hanya tahu tetapi mengerti. Nah, kalau anda belajar filsafat modern ada dua pendekatan: satu, pendekatan ontologis, yang kedua pendekatan mitis,
bukan mistis tapi mitis.

Pendekatan ontologis itu artinya pendekatan dengan jarak. Kalau saya ingin mengetahui sesuatu maka saya butuh jarak untuk meneropong sesuatu tersebut. Anda
kuliah di kampus itu adalah pekerjaan mengambil jarak, disitu yang berhubungan adalah subyek dengan obyek. Jadi mahasiswa meneliti dari suatu jarak, subyeknya
mahasiswa sedang obyeknya yang diteliti. Hubungan antara subyek dengan obyek
seperti ini adalah hubungan manfaat bagi subyek dan belum tentu manfaat bagi
obyek. Contoh: orang miskin setiap hari diteliti, skripsi tentang itu banyak tetapi nasib orang miskin dari dulu sampai sekarang tetap saja, karena dia hanya obyek. Itu namanya disiplin ontologis.

Jadi ilmu itu adalah mempelajari sesuatu dengan pendekatan subyek kepada obyek.
Ini baik sebenarnya, anda jadi tahu kayu, umpamanya, itu sebenarnya apa, atau
kunyit itu kalau dicampur dengan sesuatu bisa menyembuhkan penyakit apa, itu
diteliti. Demikian CN memberi contoh.

Sekarang aku bertanya, bisakah engkau mengobyekkan Tuhan? Bisakah engkau adalah subyek dan Tuhan adalah obyek?, tanya CN, Bisa, jawab CN sendiri, Tuhan
sebagai obyek adalah Tuhan dijadikan stafnya, diperlukan sewaktu-waktu. Kalau
menghadapi ujian Tuhan diperlukan, waktu mencari pekerjaan atau jodoh Tuhan
diperlukan, waktu sakit Tuhan diperlukan tetapi begitu sehat Tuhan dilupakan.
Itu namanya meng-obyek-kan Tuhan. Kadang-kadang Tuhan disuruh menjadi dokter,
kadang-kadang Dia disuruh menjadi makelar pekerjaan dan sebagainya.

Tuhan diperlakukan sebagai obyek sebagaimana buruh di perusahaan oleh majikannya, atau rakyat oleh pemerintahnya seperti saat ini. Bagi pemimpin
parpol rakyat adalah obyek. Di dunia politik rakyat adalah obyek, di (bidang) ekonomi rakyat adalah obyek, kadang-kadang di dunia keagamaan santri/umat itu
obyek dari kyai-nya. Iya nggak?

Sekarang saya bertanya lagi, apakah saya pernah meng-obyek-kan anda semua?
Apakah saya pernah bikin proposal untuk menjual Padhang mBulan, Kenduri Cinta,
Mocopat Syafaat dan yang lainnya untuk kepentingan saya? Sindir CN kepada pihak-pihak tertentu yang selama ini menuduh CN mencari massa untuk kepentingan dirinya dan untuk mendapatkan dana dari pihak-pihak tertentu.

Ini sebagai contoh saja, lanjut CN, makanya saya selalu bilang kepada anda, bahwa kalian itu jangan mengikuti saya, jangan menokohkan saya. Ikutilah Kanjeng Nabi sebab saya ini hanya menyampaikan apa yang disampaikan oleh Rosululloh SAW.
Kalau kamu mengikuti dan menokohkan saya kamu akan kecewa. Itu saya menganggap anda adalah subyek bukan obyek, anda adalah orang yang punya kemandirian, punya akal, punya kecerdasan. Anda tidak hanya anggota jamaah Padhang mBulan, (tetapi) anda adalah orang muslim, cerdas, kholifatulloh fil ard. Anda tidak harus datang kesini, yang penting Rosululloh selalu bersama-sama anda dimanapun juga, meskipun anda tidak ke pernah ke Padhang mBulan tidak masalah. Itu namanya saya berusaha untuk meng-subyek-kan anda semua.

Nah, ilmu kecenderungannya adalah meng-obyek-kan sesuatu diluar dirinya
untuk kepentingan si subyek. Di Jogja ada penelitian terhadap mahasisiwi
yang hasilnya 98,3% mahasiswi di Jogja tidak perawan. Jadi untuk kepentingan
ilmiah beberapa mahasiswi dijadikan sample dan ternyata hanya 2% yang masih
perawan, pertanyaannya sampel itu diambil darimana? Kalau diambil dari Dolly yo
100% tidak perawan, ungkap CN masgul. Kalau memang mau meneliti beneran ya
semua mahasiswi di Jogja diteliti, lha ini tidak. Apakah bisa sampel tersebut mewakili seluruh mahasiswi Jogja? Jadi wanita diobyekkan.

Jadi ilmu meng-obyekkan sesuatu, termasuk orang.Tuhanpun diobyekkan, sehingga
saya merasa geli kalau ada ilmuwan mengatakan, marilah kita ciptakan masyarakat ilmiah...

Intinya, ma'rifat itu satu perhubungan tidak antara subyek dengan obyek, tetapi
antara subyek dengan subyek.

Disini batas-batasnya berbeda, kepentingannya berbeda. Kalau kita sama Tuhan
hubunyannya ilmiah, anda buntu. Tidak bisa ilmu anda menterjemahkan Allah. Jadi
cukup ma'rifat.

Ma'rifat itu pokoknya, apakah Allah itu laki-laki atau perempuan, punya kaki
atau tidak saya tidak peduli, yang saya tahu adalah seperti apa yang sudah diinformasikan oleh Allah sendiri, bahwa Dia itu Rohmaan, Rohiim, Malik,
Qudus, Jabbar, Mutakkabbir.
Ya itu yang saya ikuti dan imani. Selebihnya
bukan itu yang penting, yang penting adalah aku trisno (cinta - red) apa tidak kepada Allah, itulah yang disebut subyek. Urusannya bukan siapa Allah, apa itu Allah, dimana letakNya, seberapa besarNya. Bukan itu. Kalau seperti itu namanya ilmu, Tuhan tidak usah kita sikapi dengan ilmu, tetapi kita sikapi dengan ma'rifat.

Tadi saya menjelaskan mengenai dimanapun engkau berada sebisa mungkin menemukan Allah. Nah Allah tidak bisa engkau temukan secara ilmiah, sebab kalau ilmiah harus melalui penelitian, analisis dan tampak di mata. Mau pakai metode apa kita meneliti Allah? Maka sikap kita kepada Allah adalah sikap ma'rifat bukan sikap
ilmiah. Kalau sikap ma'rifat gampang, embuh jane Gusti Allah iku piye to?
Tan kinoyo ngopo tan keno kiniro (entah Allah itu sebenarnya bagaimana,
tidak bisa dikira dan dibayangkan), laisa kamitsfiihi syai'un, Aku (kata
Allah) kamu bayangkan seperti apapun pasti keliru. Sing penting aku nglakoni
(yang penting aku menjalankan) hal-hal yang membuat aku dekat dengan Allah dan
menjauhi hal-hal yang membuat Dia menjauh dariku. Itu namanya hubungan
ma'rifat.


Hubungan ma'rifat itu harus bisa kita terapkan diantara kita, pemerintah harus
bisa me-ma'rifat-i rakyatnya. Makanya saya kalau menterjemahkan al-ma'ruf,
Cak Fuad saya mohon dibenahi, ya'muruuna bil ma'ruf wa yanhauna 'anil munkar,
selama ini al-ma'ruf itu diterjemahkan kebaikan, khoir itu juga
kebaikan. Cak Fuad menjelaskan, khoir adalah kebaikan yang menyeluruh,
yang universal. Sedang ma'ruf adalah kebaikan yang khusus. Sebagaimana
rohman
adalah cinta yang meluas, cinta yang universal, rohiim
adalah cinta yang khususon. rohman adalah cinta dalam dimensi
ruang, sedang rohiim adalah cinta dalam dimensi waktu. Cinta universal
Allah hanya berlaku di bumi, tetapi cinta rohiimnya Allah kepada
kekasih-kekasihNya tidak hanya berlaku di bumi, tidak terbatas pada sejarah
waktu di bumi tetapi berlaku sampai keabadian di akherat, maka ruang dan waktu.

Jadi saya mencoba mencuri pemahaman ya'muruuna bi-lma'ruuf, sesungguhnya
adalah menganjurkan atau menyuruh kita semua untuk mema'rifati apa saja.
Misalnya kepada tetangga nggak usah kita selidiki, tak usah bersikap ilmiah
tetapi bersikaplah ma'rifat, yaitu apa yang harus kita lakukan supaya
rukun sama tetangga dan apa yang tidak boleh kita lakukan supaya tidak bentrok
dengan tetangga.

Bukannya saya tidak setuju dengan sikap ilmiah, tetapi itu ada tempatnya
masing-masing. Kepada istri atau suami tidak usah pakai sikap ilmiah, karena
kita akan gila sendiri, cukup pakai sikap ma'rifat...yang penting bukan bodynya
atau wajahnya “…kok sekarang berubah tidak seperti dulu?” tetapi bagaimana
mbangun katresnan
terus-menerus dari hari ke hari. Jelas ya, kapan kita
harus bersikap ilmiah dan kapan kita harus bersikap ma'rifat.

Kalau saling meng-ilmu-ni (Bersikap ilmiah) antar bangsa akan saling berperang
Untuk melengkapi uraian di atas, sebelum menutup acara Cak Fuad menambahi
penjelasan mengenai ma'ruf dan khoir, bahwa pengertian ma'ruf
dan khoir itu ada dalam satu ayat yang menyebutkan khoir dan
ma'ruf
sekaligus jadi satu, waltakum minkum ummatun yad'uuna ilal khoir
mengajak pada kebaikan, yad'uuna ilal khoir. Ya'muruuna
bil-ma'ruuf
mereka menyerukan alma'ruf, kebaikan lagi kan
terjemahannya seringkali, wa yanhauna 'anil munkar dan mencegah
kemungkaran. Jadi memang ma'ruf dan khoir bisa disebut terjemahannya dengan kebaikan, tetapi ada bedanya, khoir itu sifatnya universal, ma'ruf
itu terkait dengan ruang dan waktu. Jadi misalnya menutup aurot itu adalah khoir, saya kira semua agama itu mengajarkan menutup aurot, tetapi
bagaimana wujud menutup aurot itu, itu yang bisa berbeda antara satu agama dengan agama lain, antara satu tempat dengan tempat lain. Dulu kita umat Islam, ibu-ibu yang namanya menutup aurot itu pakai kebaya, pakai jarit dan kerudung panjang. Waktu itu sudah ma'ruf, tapi dalam perjalanan waktu sekarang berubah, yang namanya busana muslim itu lebih rapat dari itu. Menghormati orang tua misalnya, itu khoir, Tapi cara orang Jogja berbeda dengan cara orang Jombang. Itu namanya ma'ruf, bisa berbeda dari satu tempat dengan tempat lain, kita harus hati-hati. Jadi untuk bisa menempatkan ma'ruf tentunya harus mengetahui situasi dan kondisinya.

Kemudian berkaitan dengan ma'rifat tadi, makanya didalam tasyawuf itu kalau
kepada Allah ma'rifat, ma'rifatulloh, tidak ada istilah ilmulloh. Ngelmuni Allah tidak ada tetapi me-ma'rifat-i Allah. Karena masalahnya seperti tadi

Allah itu tidak bisa diobservasi, padahal penelitian ilmiah harus bisa diobservasi, apapun harus bisa diobservasi baru bisa dikatakan sebagai sesuatu yang ilmiah.

Nah, kalau ma'rifat itu ada istilah lain ta'aruf, saling mengenal inna kholaqnakum lita'arofu, untuk saling ta'aruf bukan saling mengilmuni. Kalau saling mengilmuni akan sering terjadi peperangan antar bangsa, karena akan saling menyelidiki bangsa ini punya apa, bangsa itu punya apa.
Bangsa ini kelemahannya apa, bangsa yang lain lagi punya kelemahan apa, dan itu
bukan untuk kepentingan dan kebaikan bangsa yang diselidiki tetapi untuk kepentingan bangsa yang bersangkutan sendiri, subyek tadi itu, itu kalau hubungan ilmu. Tapi kalau hubungan yang dianjurkan oleh Islam dalam Al-Qur'an tadi antar bangsa, antar manusia, laki-laki dan perempuan itu adalah li ta'arufi. (reportase: Rudd - Blora)