MENCARI
KAYU BAKAR
Posted on 2003/5/27
19:02:00
Pelaksanaan ibadah haji tahun 1423 H yang wuqufnya jatuh
10 Februari 2003 telah berakhir. Semua jama'ah sudah
kembali ke tempat asal masing-masing, termasuk jamaah
haji asal Indonesia yang jumlahnya mencapai lebih dari
200 ribu orang. Hanya beberapa orang saja jamaah asal
Indonesia yang masih berada di Saudi Arabia, yaitu mereka
yang terpaksa dirawat di rumah sakit Saudi Arabia. Selain
itu masih ada sekitar 500 jamaah haji Indonesia yang
terpaksa pulang nama, sedang jasadnya terbaring selamanya
di pekuburan di Makkah atau Madinah.
Namun bukan berarti bahwa seluruh proses pelaksanaan
ibadah haji yang menjadi tanggung jawab Departemen Agama
ini sudah berakhir seluruhnya. Masih ada satu tahap lagi
yang harus dilakukan yaitu evaluasi. Seorang home staf
Bidang Urusan Haji (BUH) KJRI Jeddah, Hasbu Marzuqi,
menginformasikan bahwa evaluasi pelaksanaan haji tingkat
nasional dilaksanakan di Puncak (Ciloto), Jawa Barat pada
tanggal 29-30 April 2003. Bagaimana hasil evaluasi itu,
tentu SI belum tahu karena SI sudah naik cetak sebelum
tanggal evaluasi tersebut diatas.
Lepas dari bagaimana hasil evaluasi tersebut, masalah
terpenting yang harus dicermati dalam melakukan evaluasi
adalah masalah quota. Quota jamaah haji harus sesuai
dengan kapasitas medan haji. Medan haji adalah Masjidil
Haram, Padang Arafah, Muzdalifah, Mina, dan medan lempar
jumrah di Mina. Quota yang ditetapkan oleh OKI
(Organisasi Konperensi Islam) adalah seribu penduduk
Muslim satu jamaah. Entah bagaimana cara menghitungnya,
setiap tahun jamaah haji yang berkumpul di tanah suci
konon mencapai lebih dari juta jiwa. Pertanyaan yang
muncul kemudian, berapa sih kapasitas Masjidil Haram ?
Benarkah ia berkapasitas dua juta jamaah ? Kalau
kapasitasnya 750 ribu atau katakan satu juta jiwa,
mengapa harus diisi dua juta jiwa ? Bukankah itu
ibaratnya satu cangkir diharuskan menampung satu teko
kopi ?
Sekarang ambil contoh tempat suci lain, medan melempar
jumrah di Mina. Benarkah medan sesempit itu mampu
menampung dua juta jamaah ? Jumrah ada tiga yaitu
Jumratul Ula, Jumratul Wustho, dan Jumrah Aqobah.
Tiap-tiap jumrah dilingkari oleh tembok bundar semacam
tebing sumur bergaris tengah 5 meter. Jarak dari satu
jumrah ke jumrah yang lain 200 meter. Mudah kita
bayangkan berapa daya tampung medan lempar jumrah. Tidak
lebih dari sepuluh ribu jamaah. Kalau medan tersebut
dibuat bertingkat dua, maka kapasitasnya hanya dua puluh
ribu jamaah. Katakanlah waktu melempar itu 24 jam dan
setiap 20 ribu jamaah memerlukan waktu setengah jam, maka
kapasitas medan lempar jumrah adalah 24 kali 2 kali
20.ribu jamaah sama dengan 960 ribu jamaah.
Dilihat dari dua tempat suci itu saja (Masjidil Haram dan
Medan melempar jumrah di Mina) jelas daya tampungnya
kurang dari satu juta jamaah. Mengapa jumlah jamaah
sampai dua juta atau bahkan lebih ? Lagi-lagi ini
ibaratnya sebuah cangkir harus menampung satu ceret air
minum. Oleh karena itu jangan heran jika setiap tahun
selalu saja ada jamaah yang tewas terinjak-injak oleh
jamaah lain yang. Oleh karena itu, pelaksanaan ibadah
haji setiap tahun selalu saja menjadi tontonan gratis
betapa terbelakangnya umat Islam. Diulang-ulanginya
cerita kesengsaraan dan penderitaan bahkah terbunuhnya
jamaah di medan haji. Kalau saja Muhammad s.a.w.
menyaksikan orang berhaji sekarang ini, apa kira-kira
komentar Utusan Allah itu ? Kira-kira sambil ngelus
dodo Nabi panutan umat Islam itu akan merintih
Kok begini jadinya umatku ! Kok ibadah malahan jadi
medan pembunuhan berencana Al-Islamu mahjubun bil
Muslimin. Na'udzubillah !
Lalu bagaimana jalan keluarnya ? Jawabnya sudah ada pada
alinea ketiga. Tinjau kembali quota. Pemerintah harus
mengusulkan melalui OKI agar quota haji diturunkan dari
seribu penduduk Muslim satu jamaah, menjadi sepuluh ribu
penduduk satu jamaah. Jamaah haji akan berkurang drastis.
Jumlahnya tidak akan melebihi daya tampung tanah suci.
Jamaah haji Indonesia bukan lagi 200 ribu, melainkan
cukup dua puluh ribu saja.
Muncul persoalan, apakah rakyat Indonesia tidak marah.
Apakah umat Islam Indonesia tidak berontak ? Apakah para
santri dan para kiyai tidak turun ke jalan ? Apakah
senayan tidak diserbu ? Apakah Merdeka Utara tidak
dikepung ? Memang berat tanggung jawab pemerintah. Ia
tidak saja harus melayani rakyat, tetapi juga harus
mencerdaskan rakyat. Perumpamaannya begini, haruskan
seorang ayah atau ibu membiarkan anaknya yang berumur 3
bulan bermain dan mengobok-obok cawan berisi racun ?
Semua kita pasti akan berteriak t i d a a a a a a
k k k k k ?
Jika Pemerintah Indonesia bertekad bertahan menerima
quota OKI seperti sekarang ini, seribu penduduk satu
jamaah, maka berarti pemerintah tidak bersungguh-sungguh
melakukan perbaikan pelayanan haji, berarti membiarkan
anak umur tiga bulan bermain cawan penuh racun. Mengapa ?
Pertama karena jumlah jamaah pasti melebihi kapasitas
tempat-tempat suci di Makkah, dan kedua karena melayani
200 ribu jamaah haji sangat berat dibanding dengan
melayani dua puluh ribu saja. Jika kemampuannya hanya
melayani duapuluh ribu, tetapi memaksakan diri melayani
200 ribu, maka kita harus menengok riwayat Isro' Nabi
Muhammad s.a.w. Dalam perjalanan Isro' itu, diperlihatkan
kepada Rosululloh sekelompok orang yang mencari kayu
bakar. Perolehan mereka sudah cukup banyak dan mereka
sudah tidak mampu lagi memikulnya, tetapi mereka masih
terus menambah dan menambah, mencari kayu bakar lagi dan
mencari lagi.
Mari sekarang kita baca sekali lagi judul naskah ini
mencari kayu bakar mendapatkan
Silahkan pembaca isi
sendiri titik titik tersebut. (sama)::Suara Indonesia
|