AN-NADZOFATU MINAL IMAN
DIMANA ADA JAMBAN BERSIH ?
DI TEMPAT-TEMPAT UMUM DI INDONESIA

Posted on 2003/6/4 0:05:37 (203 reads)
Pada hari Rabu tanggal 19 Maret 2003 satu tim kecil KJRI Jeddah melakukan perjalanan darat cukup panjang (1.100 km) Jeddah-Tabuk menyisir pantai Laut Merah melalui Tual-Rabik-Yanbu-Um Loj-Wajh-Duba dan berakhir di Tabuk. Setelah tiga hari di Tabuk, tim kecil kembali ke Jeddah pada hari Sabtu tanggal 22 Maret 2003 dengan mengambil jalur pedalaman (bukan pesisir) Tabuk-Tayma-Ula-Khaibar-Madinah-Jeddah sepanjang 1.050 km.
Kunjungan ke Tabuk itu sendiri adalah dalam rangka pelayanan penerangan kepada masyarakat Indonesia di kota Tabuk agar tidak cemas apalagi panik sehubungan dengan serangan (waktu itu baru ultimatum) AS terhadap Irak.
Perjalanan darat cukup menyenangkan dibanding jika dilakukan melalui udara yang membosankan. Dalam perjalanan udara kita hanya melihat awan melalui liang kecil (jendela) jika kebetulan beruntung memperoleh tempat duduk dekat jendela, sementara dalam perjalanan darat kita dapat melihat apa saja disekeliling kita sepanjang perjalanan.
Perjalanan darat tersebut memakan waktu 12 jam (bolak-balik menjadi 24 jam) termasuk waktu istirahat untuk makan dan sholat. Tempat istirahat, kita bisa memilih di kota mana saja. Mengenai makanan, banyak pilihan. Fast food (hidangan cepat saji), ada. Nasi buchori dengan kambing, ada. Roti bundar dengan ful, ada. Nasi goring, nasi putih, ada. Pendek kata, menyenangkan. Memang, kalau kita pilih nasi padang, tidak ada. Atau kita minta nasi rawon, tentu tidak ada.
Selesai makan, kita mencari masjid atau musholla karena kita harus melaksanakan sholat. Kita tidak lupa kewajiban dong ! Di kota mana pun kita singgah, pasti ada masjid atau musholla. Kan ini negara Islam. Negeri tempat lahirnya agama samawi tersebut. Sebelum sholat kita harus wudhu lebih dahulu, dan bersamaan dengan wudhu, biasanya kita harus buang air, setidak-tidaknya buang air kecil.
Sampai disini, mulai muncul masalah. Setiap masjid atau musholla selalu ada tempat wudhu dan tidak jauh dari tempat wudhu ada toilet. Ketika mencari tempat wudhu, kita mulai khawatir adakah tersedia air cukup. Ternyata meskipun di padang pasir, dimana-mana air tersedia cukup. Ketika memasuki tempat wudhu, hidung mulai bermasalah. Bau amoniak mulai tercium. Mengingat kewajiban, tak apalah bau bau dikit, asal bisa wudhu. Masalah hidung semakin akut ketika mendekati toilet tempat buang hajat kecil ataupun besar. Hidung harus ditutup rapat-rapat. Masalah menjadi gawat ketika membuka pintu toilet. Bukan hanya hidung yang bermasalah, tapi juga mata dan indera lain.
Begitulah gambaran pengalaman perjalanan tim kecil KJRI dari Jeddah ke Tabuk kembali lagi ke Jeddah. Tidak hanya di satu kota, melainkan di setiap kota yang disinggahi. Pengalaman seperti itu tentu bukan monopoli tim kecil tersebut.
Seorang teman nyeletuk :” Dimana kita bisa mendapatkan jamban yang bersih ? Haruskah kita ke Swiss atau Inggris atau Kanada atau Hongkong atau Singapore yang pada kenyataannya bukan negeri Muslim dan sama sekali bukan negara Islam ? Padahal Islam mengajarkan An-nadzofatu minal iman, kebersihan adalah sebagian dari iman”.
Teman yang lain menjawab :”Itu bukan soal ajaran mas ! Tapi masalah kemakmuran dan kesejahteraan ! Semua negeri yang anda sebut memiliki jamban bersih adalah negara yang makmur, yang sejahtera, yang ekonomi mapan, yang masyarakatnya mampu membayar ongkos pemeliharaan ! “
“Bisa iya bisa tidak” jawab yang lain. “Bukan kah Saudi Arabia negeri yang makmur ? Ekonomi mapan ? Pendapatan per kapita tinggi ? Menurut saya, masalah kebersihan adalah masalah management dan disiplin bangsa”
Jawaban atas pertanyaan di sub judul naskah ini, mas, adalah di Indonesia. Percaya atau tidak, hampir semua tempat-tempat umum di Indonesia memiliki jamban bersih. Lihat saja di stasiun-stasiun kereta api ! Di terminal-terminal bis ! Di pasar-pasar ! Hampir di semua kota di Indonesia, terutama di kota-kota di Jawa. Mengapa demikian ?
Sebuah kampung di kota Ciamis, Jawa Barat tertata rapih. Meskipun bukan rumah mewah, namun pada umumnya penduduk kampung memiliki rumah tembok yang terawat apik. Demikian pula jalan-jalan di kampung itu. Hal itu menggambarkan tingkat pendapatan penduduk kampung yang lumayan, disamping melukiskan tingkat disiplin warganya yang cukup baik. Orang dewasa penghuni kampung tersebut kebanyakan perempuan. Lalu ke mana warga laki-laki kampung tersebut ? Kebanyakan merantau ke berbagai kota di Jawa. Mereka pulang kampung sebulan sekali atau dua bulan sekali atau paling lama tiga bulan sekali. Apa pekerjaan para perantau itu ? Menjaga dan membersihkan jamban di tempat-tempat umum, sambil menarik bayaran ringan dari pemakai jamban, selanjutnya si penjaga jamban harus membayar “uang kontrak” kepada “penguasa” tempat umum yang bersangkutan. Dari “usaha” seperti itu sang perantau memperoleh “keuntungan” yang lumayan.
Apakah ini KKN ? Ataukah simbiose mutualistis ? Silahkan jawab sendiri. Yang pasti benar apa yang tercantum pada judul naskah ini. (sama)

Faktasia
::Suara Indonesia