IBLIS DAN METAFOR KEJAHATAN DIRI
MANUSIA
Oleh : Nurcholish Madjid
Event Artikel : KKA-161
Diupdated
pada: Selasa 27 Maret 2001
Mukadimah
Dalam setiap agama terdapat kepercayaan mengenai setan.
Tokoh setan dalam bahasa Arab (al-Qur'ân) disebut iblîs
yang berasal dari bahasa Yunani diabolic, dan dalam
bahasa Inggris menjadi diabolical, bersifat setan. Ini
artinya konsep tentang adanya kekuatan jahat bersifat
universal dalam berbagai bahasa, budaya ataupun agama.
Kalau iblis dipinjaman dari bahasa Yunani menjadi bahasa
Arab, sementara syaythân berasal dari bahasa Arab
dipinjam oleh berbagai bahasa menjadi setan, seperti
dalam bahasa Inggris yang menjadi satan.
Yang paling basic bahwa setan berada dalam alam gaib,
karenanya menjadi bagian dari sesuatu yang harus kita
terima melalui percaya, untuk tidak mengatakan iman
karena antara keduanya berbeda arti. Seperti ucapan
"beriman kepada Allah" sebenarnya tidak hanya
percaya bahwa Allah ada, sebab kalau hanya demikian
berarti iblis termasuk beriman karena dia telah berdialog
dengan Tuhan bahkan bertengkar dengan-Nya. Ini terjadi
ketika setan menolak untuk sujud kepada Adam, dan
al-Qur'ân menyebut "dia menolak (membangkang), dan
dia menjadi sombong dan dia menjadi terkelompok dalam
orang-orang kafir" (Q. 2:34). Dari sini sangat jelas
bahwa yang dimaksud "beriman kepada Allah"
adalah menaruh kepercayaan kepada Allah, bahwa Allah
baik, Allah memperhatikan kita, dan bahwa apa pun yang
terjadi tentu ada kebaikannya. Karena itu, percaya
tentang adanya setan tidak bisa disebut "beriman
kepada setan". Tetapi justru kita harus menghindari,
memerangi, dan melawan setan. Inilah yang tercakup di
dalam ta'awwudz, mengucapkan a'ûdzu (aku mohon
perlindungan), baik a'ûdzu bi rabbi 'l-falaq, a'ûdzu bi
rabbi 'l-nâs, maupun a'ûdzu bi 'l-Lâhi min-a
'l-syaythân-i l-rajîm. Yang terakhir ini biasanya
diterjemahkan dengan "aku berlindung dari godaan
setan yang terkutuk". Rajîm berarti yang dirajam,
dilempari batu. Ini dapat dipahami secara metaforik,
bahwa memang setan itu terkutuk karena merupakan kekuatan
jahat.
Ulama tradisional banyak menafsirkan rajîm dengan gejala
alam berupa meteor yang jatuh dan terlihat menyala pada
malam hari. Menurut mereka, itulah wujud dari setan yang
terkutuk (rajîm), yang dilempari batu sehingga tidak
bisa naik ke atas. Setan tidak bisa naik ke atas karena
paham kosmologinya bahwa bumi ditutup dengan atap-atap
suci "secret cannopy" berupa langit. Sementara
di atas langit terdapat banyak rahasia, dan yang
tertinggi adalah rahasia Tuhan yang termaktub di dalam
Lawh Mahfûdz, lembaran yang terpelihara. Naiknya setan
menembus langit dengan maksud mencuri dengar atau mecuri
baca dari lawh mahfûdz tetapi selalu dihantam oleh
meteor. Dari istilah rajîm sudah tergambar bahwa setan
adalah kekuatan jahat yang terkutuk.
Penafsiran seperti tergambar di atas berhubungan dengan
masalah ramalan yang dilakukan para dukun. Dalam bahasa
Arab peramal disebut kâhin atau munajjim (ahli nujum),
yaitu peramal berdasarkan perjalanan bintang. Menurut
hadis yang cukup populer bahwa "pada dasarnya para
peramal bohong meskipun mungkin kebetulan benar".
Menurut penjelasan tradisional, para peramal memperoleh
informasi dari setan, yatu informasi yang dicuri dari
atas. Tetapi karena selalu dihalangi oleh meteor-meteor
maka setan hanya mampu mencuri sedikit informasi.
Kesedikitan informasi ini menyebabkan hasil ramalan lebih
banyak bohong, dan benar hanya secara kebetulan.
Drama Penciptaan Manusia
Iblis kurang lebih adalah nenek moyang setan. Tetapi
terdapat semacam hal yang tidak simetris karena ada yang
menafsirkan bahwa mula-mula iblis adalah kepala malaikat
yang sekarang digantikan oleh Jibril. Oleh agama Yahudi,
Kristen dan Islam Jibril dipercaya sebagai kepala para
malaikat (The Ark Angel to Gabriel). Dalam bahasa Ibrani
gabriel berarti utusan Allah, yaitu utusan untuk
membawakan wahyu. Kedudukan ini dulu ditempati oleh iblis
sampai akhirnya menjadi jahat karena peristiwa yang
dilukiskan dalam suatu drama kosmis mengenai ditunjuknya
Adam sebagai khalifah di bumi.
Dalam menciptakan Adam, Allah menyatakan bahwa Adam akan
ditunjuk sebagai khalifah, pengganti Allah di bumi, sebab
Allah tidak akan menciptakan segala-galanya. Maka
penciptaan Adam dimaksudkan agar manusia dapat
menciptakan hal bermanfaat bagi dirinya dari bahan-bahan
yang sudah tersedia. Misalnya Allah tidak menciptakan
mobil, tetapi mobil harus kita ciptakan sendiri dengan
bahan-bahan yang telah disediakan oleh Tuhan. Oleh karena
itu para malaikat kemudian protes, "apakah Engkau
tunjuk sebagai Khalifah itu suatu makhluk yang bakal
bikin kerusakan di bumi dan bakal menumpahkan
darah?" (Q. 2:30). Lahirnya protes ini karena dalam
prediksi para malaikat bahwa Adam dan keturunannya adalah
makhluk yang akan membuat kerusakan di muka bumi dan akan
banyak menumpahkan darah.
Prediksi para malaikat yang demikian, menurut para ahli
tafsir, didasarkan pada asal kejadian Adam yang
diciptakan dari tanah, sesuatu yang tidak begitu suci.
Oleh karena itu akan membawa kepada hal-hal yang tidak
suci, yaitu aktivitas jahat yang dilukiskan sebagai
merusak dan menumpahkan darah. Dari sini jelas bahwa
kerusakan yang ada di bumi lebih banyak disebabkan oleh
manusia. Memang ada bencana-bencana alam yang dahsyat
seperti Krakatau yang memisahkan Sumatera dari Jawa,
Gunung Fisuvius yang menimbun sama sekali kota Bombay,
tetapi itu tidak ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan
kerusakan-kerusakan akibat Perang Dunia Kedua, apalagi
kalau masalahnya adalah manusia yang menjadi korban. Dari
orang Yahudi yang dibunuh oleh Jerman saja mencapai enam
juta jiwa, sementara korban mati akibat gunung Krakatau
meletus hanya puluhan ribu jiwa, begitu juga korban yang
tertimbun oleh gunung Fisuvius. Dari sini diketahui,
prediksi malaikat bahwa manusia akan membuat kerusakan di
bumi dan akan banyak menumpahkan darah adalah benar.
Protes para malaikat diteruskan dengan "Sedangkan
kami selalu bertasbih kepada-Mu" (Q. 2:30). Secara
implisit seolah malaikat mengatakan "kenapa tidak
kami yang suci ini yang ditunjuk sebagai khalifah?".
Tetapi Tuhan membantah karena untuk menjadi khalifah
tidak ada kaitannya dengan kesucian. Kemudian ada proses
pengajaran ilmu pengetahuan, "Adam diajari nama-nama semuanya"
(Q. 2:31). Seolah Tuhan mengatakan "yang relevan
untuk menjadi khalifah adalah ilmu, bukan kesucian";
bahwa yang bisa mengurus dunia adalah orang berilmu dan
bukan orang yang hanya banyak ibadah. Dan nama-nama yang
diajarkan kepada Adam merupakan simbolisasi dari ilmu
pengetahuan. Memang terdapat perselisihan dalam masalah
ini; ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah
asmâ' al-husnâ (Nama-nama Tuhan yang baik), ada yang
mengatakan nama-nama yang ada di langit, dan ada yang
mengatakan itu merupakan proses manusia berbahasa sebab
manusia satu-satunya makhluk yang berbahasa. Tetapi yang
lebih masuk akal adalah bahwa yang dimaksud diajari
nama-nama seluruhnya adalah diberikan kapasitas untuk
mengenali lingkungan dan memahaminya serta kemudian
memanfaatkannya. Inilah kelebihan Adam atau umat manusia
dibanding malaikat.
Dengan kelebihan yang dimiliki Adam, para malaikat
diperintahkan oleh Allah untuk bersujud kepadanya. Sujud
di sini juga metafor, yaitu mengakui keunggulan Adam.
"Semuanya sujud kecuali iblis" (Q. 2:34).
Berdasarkan ini maka kemudian iblis menjadi tokoh utama
dari kekuatan jahat, yang masyarakatnya kemudian disebut
setan.
Mengatakan iblis sebagai bekas kepala malaikat sebenarnya
terdapat persoalan teologis, karena malaikat tidak
beranak dan beristri, tidak makan dan minum, dan tidak
mati. Dalam masalah tidak mati memang sama antara
malaikat dengan iblis, tetapi iblis beranak dan beristri
serta makan dan minum. Maka dalam tafsiran yang lebih
metaforis, terutama umum dalam kalangan kaum sufi dan
para failasuf, bahwa malaikat sebenarnya adalah
simbolisasi dari kekuatan baik sedangkan setan adalah
simbolisasi dari kekutan jahat. Kedua kekuatan tersebut
tidak akan lepas dari manusia sendiri; di dalam manusia
terdapat malaikat dan setan sekaligus. Pandangan demikian
didukung ayat suci, "Katakan hai Muhammad Aku mohon
perlindungan dari Tuhan sekalian umat manusia, Raja dari
segala umat manusia, Dari kejahatan godaan makhluk yang
selalu menggoda, selalu membisik-bisikan hal yang jahat,
Yaitu yang selalu membisikan kejahatan ke dalam dada
manusia, Yang terdiri dari jin dan manusia sendiri"
(Q. 114:1-6). Dari sini jelas terdapat indikasi bahwa
sumber kejahatan adalah juga diri kita sendiri. Artinya,
selain secara konvensional kita membayangkan adanya setan
sebagai entitas tersendiri di luar kita, tetapi juga
terdapat indikasi bahwa setan adalah bagian dari kedirian
kita sendiri yaitu berupa dorongan-dorongan kejahatan.
Kerja Setan
Di dalam al-Qur'ân disebutkan bahwa setan meminta
ditunda kematiannya dan permintaan itu dituruti oleh
Tuhan. Dialog Tuhan dengan setan dimulai dengan,
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam),
lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada
para malaikat: "Bersujudlah kamu kepada Adam";
maka mereka pun bersujud kecuali iblis. Dia tidak
termasuk mereka yang bersujud. Allah berfirman
"Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada
Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Iblis menjawab:
"Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya
dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah" (Q.
7:11-12). Inilah kejahatan makhluk yang pertama, yaitu
kesombongan rasialis, merasa unggul hanya karena
asal-usul primordial. Seperti setan yang bangga diri
sebagai lebih unggul dari manusia karena diciptakan dari
api sedangkan manusia diciptakan dari tanah, suatu
argumen yang tidak bisa didukung sama sekali dan bahkan
disalahkan. Maka rasialisme adalah dosa yang paling
besar. Kemudian "Allah berfirman kepada setan itu,
"Turunlah kamu dari surga itu karena kamu tidak
sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya" maka
keluarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang
hina" (Q. 7:13). Allah mengutuk setan dengan
mengeluarkannya dari surga karena tidak boleh ada
orang-orang yang sombong di surga, bahwa kebahagiaan
tidak bisa dicampur dengan kesombongan. "Iblis
menjawab, "Tangguhkanlah aku sampai waktu mereka
ditangguhkan". Tuhan menjawab, "Ya kamu tetap
akan hidup sampai hari kiamat". Iblis menjawab,
"karena Engkau (Tuhan), telah menghukum saya
tersesat, saya benar-benar akan menghalang-halangi umat
manusia dari jalan-Mu yang lurus" (Q. 7:14-16).
Dari sini kemudian lahir konsep godaan setan,
"Kemudian saya (iblis) akan mendatangi mereka dari
muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri
mereka, dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka
bersyukur" (Q. 7:17). Salah satu kritik yang banyak
dilontarkan al-Qur'an bahwa manusia adalah makhluk yang
sulit sekali berterima kasih. Ini adalah bukti dari
pekerjaan setan, bahwa kita kurang bersyukur adalah
karena setan. Ini adalah bagian dari "the working of
Satan". Dalam ayat selanjutnya kemudian, "Allah
berfirman: 'Keluar kamu dari surga itu sebagai makhluk
yang hina dan terusir'. Sesungguhnya barangsiapa di
antara mereka mengikuti kamu benar-benar Aku akan mengisi
neraka jahanam dengan kamu semuanya" (Q. 7:18).
Tuhan memberi setan kehidupan sampai hari kiamat dan hak
untuk menggoda, dan sebagai kompensasinya Tuhan
menyediakan neraka untuk setan dan orang-orang yang
mengikutinya.
Dengan hak untuk menggoda tersebut, siapa pun tidak lepas
dari godaannya, termasuk Adam yang tinggal di surga.
"Wahai Adam sekarang engkau tinggal di surga ini
dengan istrimu, kamu berdua bebas makan apa saja yang
kamu mau, teapi kamu jangan mendekati pohon ini, kalau
kamu mendekati pohon ini maka kamu akan tergolong makhluk
yang dzalim" (Q. 2:35). Kemudian "maka setan
pun menggoda keduanya" (Q. 7:20). Keberadaan setan
dalam surga memang problematis karena sebenarnya iblis
sudah dikeluarkan dari surga. Tetapi terlepas dari itu,
yang memberitahu keadaan sebenarnya bahwa Adam dan Hawa
telanjang ternyata adalah setan, "...untuk
memberitahu kepada keduanya sesuatu yang selama ini
mereka tidak tahu, yaitu auratnya" (Q. 7:20). Dan
"setan berkata, kamu itu dilarang mendekati ini kan
supaya kamu tidak menjadi malaikat dan supaya kamu tidak
menjadi makhluk yang abadi" (Q. 7:20). Setan
membujuk bahwa kalau Adam dan Hawa melanggar larangan
Tuhan dengan memakan buah pohon itu mereka akan menjadi
seperti malaikat dan tidak akan mati. "Kemudian
setan pun bersumpah kepada keduanya (Adam dan Hawa),
bahwa aku ini penasehat, aku ini menasehati kamu"
(Q. 7:21). Dan "Maka setan pun membujuk keduanya
untuk memakan buah tersebut. Dan setelah keduanya
merasakan buah dari pohon terlarang tersebut, mereka
keduanya bisa melihat auratnya sendiri dan malu, kemudian
secara panik, mencari-cari daun surga untuk menutupi
auratnya. Kemudian Tuhan pun memanggil mereka, menghardik
mereka, menegor mereka: kan sudah Aku larang kamu jangan
mendekati pohon ini, dan sudah Aku ingatkan bahwa setan
itu musuhmu" (Q. 7:22).
Nasib Bani Adam
Di dalam surat Yasin disebutkan, "Hai Bani Adam
bukankah kita sudah membuat janji bahwa kamu tidak boleh
menyembah setan, sebab setan itu adalah musuhmu" (Q.
36:60). Ini adalah semacam perjanjian primordial antara
kita dengan Tuhan, di samping perjanjian primordial
tentang pengakuan Tuhan sebagai Rabb kita. Sebagai akibat
dari kedua perjanjian primordial tersebut, selain membawa
fitrah kecenderungan kepada kebaikan (hanîf), sejak
lahir manusia juga memiliki bakat alami untuk menolak
yang tidak baik.
Kejahatan disebut munkar, diingkari, yaitu diingkari oleh
hati nurani. Sedang kebaikan disebut ma'rûf, diakui,
yaitu diakui oleh hati nurani. Oleh karena itu dalam
sebuah hadits disebutkan bahwa "Yang dinamakan
kebaikan itu adalah budi pekerti yang luhur. Dan dosa
ialah sesuatu yang terbetik di dalam hatimu dan kamu
tidak suka orang lain tahu".
Perjanjian primordial yang sudah mengendap di bawah sadar
kita yang paling mendalam melahirkan hati nurani.
Perjanjian kita dengan Tuhan itu tidak hanya berada di
bawah permukaan kesadaran dalam dunia psikologis tetapi
sudah dalam dunia spiritual, dan banyak mempengaruhi
hidup kita. Bahagia dan sengsara sangat terpengaruhi oleh
ini. Misalnya, adanya perjanjian dengan Tuhan untuk
mengakui-Nya sebagai Rabb maka wujudnya antara lain
adalah dorongan untuk menyembah, bahwa manusia mempunyai
dorongan untuk menyembah. Sebaliknya, adanya perjanjian
dengan Tuhan untuk kita tidak menyembah setan maka
manusia mempunyai naluri menolak hal yang tidak baik,
sehingga dosa dirumuskan sebagai segala sesuatu yang
bertentangan dengan hati nurani. Karena itu kesengsaraan
sebenarnya dimulai dengan perasaan tidak cocok dengan
hati nurani. Maka setelah Adam melanggar larangan Tuhan,
"Dan Tuhan pun memanggil keduanya, 'Bukankah telah
Aku larang kamu berdua mendekati pohon itu, dan sudah Aku
katakan pada kamu bahwa setan itu adalah musuhmu yang
jelas'" (Q. 7:22). Ini referensinya kepada
perjanjian itu, bahwa Adam sudah menyadari setan sebagai
musuh tetapi masih tergoda juga. Mendengar peringatan
Tuhan Adam kemudian berdoa, "Oh Tuhan kami, ya kami
telah berbuat zhalim kepada diri kami sendiri, dan kalau
Engkau tidak mengampuni dan mengasihi kami, pastilah kami
termasuk mereka yang bakal rugi, sengsara" (Q.
7:23). Do'a ini merupakan do'a yang paling banyak dibaca
orang naik haji, karena memang salah satu tujuan haji di
Arafah adalah seolah-olah napak tilas pengalaman
spiritual Adam.
Kemudian, "Tuhan berkata: sekarang Adam dan istrimu
dan anak turunmu yang masih belum lahir tapi sudah
terkandung dalam dirimu turun dari surga (diusir). Dan
kamu nanti akan saling bermusuhan, dan nanti di bumi kamu
akan tinggal, dan di sana kamu akan bisa menikmati hidup
sampai batas tertentu" (Q. 7:24), yaitu hidup
duniawi. "Allah berfirman: Di dunia inilah kamu akan
hidup dan di situ kamu akan mati dan dari dunia itu pula
kamu kamu nanti akan dibangkitkan" (Q. 7:25).
Firman bahwa anak turun Adam akan bermusuhan sudah
terbukti pada anaknya sendiri, yaitu antara Qabil dan
Habil yang berakhir dengan terbunuhnya Habil. Itulah
pembunuhan pertama yang terdapat dalam kitab suci dan
kasusnya iri hati. Maka sebenarnya iri hati merupakan
dosa makhluk yang ketiga setelah yang pertama adalah
sombongnya iblis yang rasialis, merasa unggul tanpa
alasan, dan yang kedua adalah serakah, khirs, nafsu
memiliki sesuatu yang tidak menjadi haknya, yang dalam
bahasa al-Qur'ân disebut hal yang terlarang.
Ayat Setan
Kalau direkonstruksi dari awal, paham setan dan iblis
berada di sekitar drama kosmis yang menyangkut sejarah
umat manusia. Pandangan demikian terdapat dalam semua
agama melalui simbolisasi yang berbeda tetapi intinya
sama, yaitu adanya kekuatan jahat yang selalu
membahayakan manusia sehingga menyimpang dari jalan yang
benar. Tidak perlu kaget karena ternyata Nabi sendiri
tidak imun dan pernah terkena godaan setan. Maka
muncullah ayat setan yang membuat Salman Rusdhi mengalami
kesulitan. Meskipun masih diperselisihkan tetapi dalam
tafsir-tafsir yang standar, termasuk Ibn Katsir,
diceritakan tentang itu. Ayat dimaksud adalah yang
diisyaratkan dalam, "Dan Kami tidak mengutus sebelum
kamu (sebelum engkau Muhammad) seorang Rasul pun, dan
tidak pula seorang Nabi melainkan apabila ia mempunyai
sesuatu keinginan (angan-angan),--kalau rasul atau nabi
ini mempunyai angan-angan--setan pun memasukkan
godaan-godaannya terhadap keinginan itu" (Q. 22:52).
Bahwa berangan-angan dapat menjadi pintu bagi masuknya
setan. Dan mungkin karena berdasarkan pengalaman sendiri,
Nabi mengatakan "Kamu janganlah terlalu banyak
berucap seandainya-seandainya, untuk masa yang akan
datang sebab berandai-andai itu membuka pintu
setan". Dan, "Kemudian Allah pun menghapuskan
apa yang didiktekan oleh setan itu, lalu Allah malah
membuat ayat-ayat-Nya semakin kukuh, dan Allah Maha Tahu
dan Maha Bijaksana". Menurut para ahli tafsir,
referensi ungkapan ini adalah ayat setan tersebut.
Perlawanan keras orang kafir Makkah pada awal kenabian
Muhammad menyebabkan Nabi sengsara luar biasa,
sampai-sampai beliau putus asa yang kemudian turun surat
al-Dluhâ. Menurut salah satu tafsir, ketika itu lalu
beliau berangan-angan mencari cara bagaimana supaya orang
kafir Makkah mendukungnya. Maka Nabi mulai berpikir untuk
kompromi dari segi ajaran, yaitu mengakomodasi konsep
ketuhanan orang kafir Makkah. Maka dalam surat al-Najm,
setelah menceritakan tentang berhala-berhala orang kafir
Makkah--al-Lattâ, al-'Uzzâ, al-Mannâ dan
sebagainya--kemudian diselibkan tentang burung Gharnaq,
burung mitologis yang dikaitkan dengan dewa. "wa
tilka al-gharâniq al-ûlâ, wa inna syafâ'atahum
laturjâ--itulah burung-burung Gharnaq yang mulia, dan
syafa'ah (intercesion)-nya boleh diharapkan".
Setelah menyelibkan ayat ini, menurut cerita dalam tafsir
itu, malaikat Jibril datang untuk menegur, "Hai
Muhammad, kamu mengucapkan apa? Itu tidak dari saya,
tidak dari Tuhan itu". Kemudian Nabi menghapusnya
kembali, dan tidak berkompromi.
Tafsir demikianlah yang mendasari Salman Rusdhi membuat
novel ayat-ayat setan dengan suatu nada yang sangat sinis
kepada Nabi, bahwa Nabi itu tidak terproteksi. Garis
besar tesisnya bahwa Nabi sebenarnya adalah manusia
biasa, dan kemudian membuat lukisan-lukisan yang sangat
jelek mengenai Aisyah dan macam-macam. Ini yang membuat
orang Islam marah. Tetapi dalam tafsir hal demikian
memang ada. Bahkan Ibn Taymiyah dalam Minhâj al-Sunnah
juga menuturkan demikian. "Tiada pernah Aku utus
sebelum engkau (Muhammad) seorang rasul pun, juga seorang
nabi, kecuali kalau nabi atau rasul itu mempunyai
angan-angan, maka setan pasti intervensi. Tetapi Allah
akan segera menghapus apa yang telah didiktekan oleh
setan itu, dan Allah pun kemudian membikin kukuh
ayat-ayat yang benar, dan Allah itu Maha tahu dan Maha
Bijaksana". Ini menunjukkan bahwa Nabi tidak imun
terhadap godaan setan. Dan sebenarnya dua surat terakhir,
Qul a'ûdzu birabbi 'l-falaq, qul a`ûdzu birrabi
al-nâs, secara inferensial dapat dipahami bahwa Nabi
pernah tergoda, dalam arti misalnya kena sihir. Waktu itu
Nabi membaca doa Qul a'ûdzu birabbi 'l-falaq untuk
menolak sihir dan ternyata efektif.
Ikhlas: Rahasia Tuhan
Setan memang suatu kekuatan luar biasa yang selalu
mengancam kita. Yang membuat kita sulit menghadapi,
sesuai ilustrasi dalam al-Qur'an, bahwa setan mengetahui
pekerjaan kita sementara kita tidak mengetahui mereka.
Perbuatan jahat yang disertai campur tangan setan membuat
perbuatan itu tampak seperti indah, "Para setan itu
membikin pekerjaan mereka itu nampak Indah seperti
perhiasan"(Q. 9:37). Oleh karena itu Nabi
mengatakan, "salah satu indikasi kehancuran
seseorang adalah kalau dalam soal dunia dia melihat ke
atas dan kalau dalam soal agama dia melihat orang yang
lebih rendah". Dan umumnya kita seperti itu. Ini
terlihat, misalnya, ketika ditegur orang karena buat
jahat, kita akan mencari justifikasi dengan menjawab ada
yang lebih jahat dari kita. Ini berarti setan berada di
dalam kita sendiri sehingga dapat merupakan bagian dari
kedirian kita. Misalnya yang juga menarik adalah mengenai
sedekah, "Hai orang-orang yang beriman dermakanlah
yang baik-baik dari yang kamu peroleh (rezeki itu), dan
yang telah kami anugerahkan kepada kamu dari hasil bumi;
dan jangan kamu pilih-pilih yang buruk dari kekayaanmu
itu; lalu kamu dermakan, padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya kecuali dengan menutup mata; dan ketahuilah
bahwa Allah itu Maha Kaya dan Maha Terpuji" (Q.
2:267). Bahwa sedekah akan ditolak oleh Tuhan kalau
dengan yang buruk-buruk. Misalnya ketika hendak
bersedekah baju dan kita berikan baju yang paling buruk,
maka secara tidak langsung sebenarnya kita menganggap
orang lain sebagai keranjang sampah. Padahal maksud Tuhan
menyuruh bersedekah bukan supaya Tuhan kaya, tetapi
karena kita yang perlu. Karena itu Allah mewanti agar
kita tidak termasuki setan karena, "Setan itu akan
menjanjikan kamu kepada kemiskinan, dan mendorong kamu
untuk berbuat sesuatu yang tidak baik, dan Allah
menjanjikan kepada kamu ampunan dan keutamaan (yaitu
perasaan lapang, perasaan lega, perasaan puas dan
sebagainya itu), dan Allah itu Maha Luas" (Q.
2:286). Artinya, kalau kita konsisten menjalankan
perintah Allah maka kita akan merasakan kelapangan.
Memang setan mengetahui segala perbuatan kita tetapi ada
satu bagian yang tidak bisa ditembus oleh setan yaitu
ikhlas. Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan bahwa
"ikhlas itu adalah salah satu dari rahasia-Ku yang
Aku titipkan dalam hati orang yang aku cintai, Malaikat
tidak bisa mengetahui ikhlas itu sehingga malaikat tidak
usah mencatat, dan setan juga tidak bisa mengetahui
keikhlasan itu sehingga setan juga tidak bisa
merusak". Ikhlas kemudian menjadi satu-satunya kunci
agar amal kita tidak dirusak oleh setan, "kecuali
hamba-hamba-Ku yang ikhlas, yang Aku tidak bisa
merusaknya" (Q. 15:40; 38:83).
Ikhlas, seperti sering dilukiskan, bahwa apabila tangan
kanan memberi maka tangan kiri tidak mengetahui.
Ilustrasi yang diberikan al-Qur'an, "Aku memberi
makan kepada kamu ini hanyalah untuk mengharapkan ridla
Allah (mencari muka Tuhan), aku tidak mengharapkan
balasan dari kamu, terima kasih juga tidak" (Q.
76:9). Bahwa salah satu indikasi keikhlasan adalah kita
tidak menggerutu ketika memberi sesuatu kepada orang dan
dia tidak berterima kasih. Orang yang menerima memang
wajib mengucap terima kasih, dan bukan yang memberi yang
menunggu ucapan terima kasih. Oleh karena itu disebutkan,
"Barangsiapa terima kasih sebetulnya dia tidak
terima kasih kepada dirinya sendiri" (Q. 27:40;
31:12). Nabi juga mengatakan, "Barangsiapa tidak
terima kasih kepada sesama manusia, juga tidak terima
kasih kepada Allah".
Potensi Kejahatan Diri Manusia
Sebagai penutup makalah ini, sedikit akan membahas
potensi dan kelemahan yang ada dalam diri manusia. Salah
satu hal yang sangat jelas dalam agama kita bahwa manusia
dilahirkan dalam kebaikan, yang dalam hadis dikatakan
yûladu 'alâ al-fithrah. Dalam al-Qur'ân perkataan
fitrah dikaitkan dengan agama, "maka hadapkanlah
dirimu untuk menerima agama ini sesuai dengan fithrah
Allah yang telah menciptakan manusia atas fithrah
tersebut" (Q. 30:30). Hanîf yang disebut dalam ayat
ini merupakan bagian dari fitrah yang merupakan
kecenderungan alami kita untuk memihak kepada yang benar.
Kemudian, "Itulah agama yang lurus tetapi sebagian
manusia tidak tahu" (Q. 12:40). Dari sini sangat
jelas bahwa agama yang lurus sebenarnya adalah agama
kemanusiaan primordial, primordial humanisme, yang dalam
bahasa Barat menjadi universal humanism. Ini adalah
potensi primer manusia. Sedang potensi sekundernya adalah
lemah, yang karenanya manusia dapat berbuat salah. Maka
pada dasarnya manusia adalah lemah, bukan pada dasarnya
salah. Disebutkan di dalam al-Qur'an "manusia itu
diciptakan sebagai makhluk yang lemah" (Q. 4:28).
Kelemahan manusia yang penting untuk kita ingat antara
lain halû', mudah terpengaruh, yang indikasinya adalah
tidak tahan menderita. "kalau ditimpa hal yang buruk
menjadi gundah gulana tetapi kalau sudah menerima
kebaikan jadi sombong" (Q. 70:20-21). Kemudian
miotik, berpandangan pendek. Dalam al-Qur'an banyak
peringatan mengenai ini, dan yang paling keras adalah
kalla ba'l-bahibbûna `âjilata wa 'l-jayru 'l-âkhirah,
"Ingatlah wahai manusia bahwa kamu itu lebih suka
kepada hal yang bersifat segera dan lupa kepada hal-hal
yang bersifat jangka panjang (di belakang hari)" (Q.
75:20-21).
Pandangan bahwa manusia tidak boleh mudah tergoda
sebenarnya merupakan ajaran universal, terdapat dalam
setiap budaya dan agama. Mudah tergoda berarti lebih
tertarik kepada hal yang bersifat jangka pendek dan lupa
kepada hal yang bersifat jangka panjang. Maka dalam
bahasa Melayu terdapat pepatah "berakit-rakit ke
hulu berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu
bersenang-senang kemudian". Di sini terdapat unsur
self denyle, mengingkari diri sendiri. Hal inilah yang
diajarkan oleh agama. Dan puasa merupakan latihan
mengingkari diri sendiri supaya jangan terlalu mudah
menuruti apa saja yang didiktekan oleh keinginan kita.
Sebab kalau tidak demikian maka tidak ada bedanya kita
dengan binatang. Dengan demikian puasa merupakan sarana
latihan agar manusia tidak terjebak ke dalam kelemahannya
sendiri, yaitu miotik. Kelemahan berupa miotik
menyebabkan manusia mudah tergoda sehingga muncul potensi
untuk salah. Maka Nabi bersabda, "Setiap manusia itu
pembikin kesalahan, dan sebaik kamu berbuat kesalahan
ialah kamu yang tobat". Kesalahan yang dimaksud
adalah alpa, sehingga tidak dalam arti manusia pada
dasarnya jahat. Jadi potensi untuk salah, karena akibat
dari sesuatu yang berada di luar manusia maka merupakan
potensi sekunder. Sedang potensi primernya adalah
kebaikan, karena kebaikan merupakan sesuatu yang datang
dari dinamika dirinya sediri (internal dynamic).
Wa-'l-Lâh-u a'lam bi al-sawâb.
*Makalah KKA 161
|