PERSOALAN INTERPRETASI METAFORIS ATAS
FAKTA-FAKTA TEKSTUAL AGAMA
Oleh : Nurcholish Madjid
Event Artikel : KKA-17 (Jakarta, Maret 1988)
Diupdated
pada: Selasa 27 Maret 2001
Mukaddimah
Interpretasi metaforis atau ta'wil ialah pemahaman atau
pemberian pengertian atas fakta- fakta tekstual dalam
sumber - sumber suci (al-Qur'an dan al-Sunnah) sedemikian
rupa, sehingga yang diperlihatkan bukanlah makna
lahiriyah kata - kata pada teks sumber suci itu, tetapi
"makna dalam" (bathin, "inward
meaning") yang dikandungnya.
Metode pemahaman agama serupa itu telah muncul sejak masa
- masa dini sejarah Islam (jika tidak malah sejak masa
Rasul Allah s.a.w. sendiri, sebagaimana dikatakan oleh
kalangan tertentu Islam). Oleh karena itu persoalan
interpretasi metaforis ini mempunyai saham yang cukup
besar dalam timbulnya perselisihan, kemudian perpecahan,
di kalangan kaum Muslim. Maka salah satu manfaat yang
menjadi tujuan pembicaraan kita ini ialah tumbuhnya
keinsafan lebih besar tentang bibit - bibit perselisihan
faham dalam Islam, serta bagaimana seharusnya kita
menempatkan diri dalam kancah perselisihan itu secara
adil.
Sikap yang dapat memahami persoalan berkenaan dengan
perselisihan faham di kalangan ummat itu semakin dirasa
semakin mendesak akhir - akhir ini. Dalam abad
telekomunikasi mondial yang serba cepat dan luas, setiap
pribadi orang modern mengalami bombardemen informasi yang
seringkali menyangkut segi - segi kesadarannya yang
mendalam. Dari sekian banyak informasi itu, untuk
kalangan kaum Muslim, ialah yang berkenaan dengan keadaan
ummat sendiri seluruh dunia, termasuk informasi tentang
adanya berbagai kelompok dan aliran pemikiran yang
beraneka ragam. Terlintas dalam pikiran, misalnya,
kesadaran hampir tiba - tiba kaum Muslim Indonesia
tentang adanya golongan Syi'ah dan berbagai aliran
fahamnya, antara lain karena revolusi mereka di Iran
1979. Lepas dari masalah revolusi itu sendiri (yang
agaknya lebih baik dilihat sebagai gejala politik,
seperti halnya dengan revolusi - revolusi yang lain),
kejadian di Iran pada penghujung dasawarsa yang lalu itu
dalam suatu sentakan telah melahirkan sejenis kesadaran
baru di kalangan ummat Islam dunia, yaitu kesadaran
tentang pluralitas Islam dan potensi yang ada di balik
setiap golongan.
Maka dengan menengok sejenak masalah ta'wil ini,
sebagaimana telah dikemukakan tadi, kita berharap dapat
menempatkan diri lebih baik dalam memandang berbagai
aliran dan mazhab di kalangan ummat sendiri, untuk
kemudian sikap yang sama itu sedapat mungkin kita bawa
kepada persoalan masyarakat secara keseluruhan.
Ayat - ayat Muhkamat dan Mutasyabihat
Salah satu pokok perselisihan di kalangan ummat Islam
yang terkait erat dengan masalah interpretasi metaforis
atau ta'wil ini ialah adanya ayat - ayat suci al-Qur'an
yang "bermakna jelas atau pasti" (muhkamat) dan
yang "bermakna samar atau tidak pasti"
(mutasyabihat, yakni, "interpretable"). Adanya
kedua jenis ayat itu disebutkan dalam Kitab Suci sendiri
sebagai berikut:
Dia (Tuhan) yang telah menurunkan kepada engkau
(Muhammad) Kitab Suci, yang didalamnya terdapat ayat -
ayat muhkamat yang merupakan induk Kitab Suci (Umm
al-Kitab), dan ayat - ayat lain yang mutasabihat. Adapun
orang - orang yang dalam hatinya terdapat keserongan,
mereka akan mengikuti bagian - bagian yang tersamar
(mutasabihat) daripadanya, dengan tujuan membuat fitnah
(perpecahan) dan mencari ta'wil bagian - bagian tersamar
itu. Padahal tidak mengetahui ta'wil-nya kecuali Allah.
Sedangkan orang - orang yang mendalam ilmunya maka akan
menyatakan, 'Kami percaya kepada Kitab Suci itu; semuanya
dari sisi Tuhan kami.' Dan tidaklah akan dapat merenung
(menangkap pesan) kecuali orang - orang yang
berpengertian mendalam.1
Masalah muhkamat dan mutasyabihat itu setidak - tidaknya
menimbulkan tiga jenis perbedaan pandangan: Pertama,
perbedaan pandangan tentang mana saja ayat - ayat suci
yang muhkamat, dan mana pula yang mutasyabihat. Karena
perselisihan ini maka ada ayat - ayat suci yang bagi
suatu kelompok ummat Islam bersifat muhkamat, namun bagi
kelompok lain bersifat mutasyabihat. Firman - firman
berkenaan dengan surga dan neraka, misalnya, bagi
kebanyakan kaum Muslimin bersifat muhkamat, tapi bagi
sebagian dari mereka, seperti golongan al-Bathiniyyun
("Kaum Kebatinan--lihat pembahasan di bawah),
bersifat mutasyabihat sehingga pelukisan tentang surga
dan neraka itu mereka fahami sebagai metafor - metafor
atau kias - kias, yang tidak mesti menunjuk kepada
hakikatnya.
Kedua, perbedaan pandangan tentang boleh atau tidaknya
melakukan interpretasi (metaforis) atau ta'wil terhadap
ayat - ayat yang mutasyabihat itu. Sebagian kelompok
Islam membolehkannya, sehingga dalam memahami ayat - ayat
mutasyabihat itu harus dilakukan interpretasi di balik
ungkapan - ungkapan lahiriyah; sebagian lagi tidak
membolehkannya, berpendapat dan dalam memahami ayat -
ayat itu kita harus berhenti kepada makna - makna seperti
yang dibawakan oleh ungkapan lahiriyah lafal dan
kalimatnya. Termasuk ke dalam permasalah ini ialah
problema homonimi (Arab: ism musytarak, kata - kata
berserikat), seperti kata - kata "mendengar",
"mengetahui", "melihat",
"tangan", "marah",
"senang", dan lain - lain yang dalam Kitab Suci
disebutkan sebagai sifat - sifat Tuhan, padahal kata -
kata atau sifat - sifat itu juga dapat diberlakukan
kepada makhluk, khususnya manusia. Maka pelukisan itu
mengesankan bahwa Tuhan dan manusia
"berserikat" dalam beberapa sifat dan
kelengkapan, dan ini menimbulkan problema. Mereka yang
melakukan interpretasi (karena beranggapan bahwa Tuhan
mustahil memiliki kualitas - kualitas yang sama dengan
manusia) akan memandang ayat - ayat yang bersangkutan
dengan itu sebagai metafor - metafor belaka, sedangkan
kenyataan tidaklah seperti yang dikesankan oleh
pengertian lahir firman - firman itu. Mereka yang tidak
membenarkan interpretasi akan melihat firman - firman itu
seperti adanya, dengan memberi penegasan bahwa Tuhan
memiliki kualitas - kualitas itu "tanpa
bagaimana" (bi la kayfa).
Ketiga, bagi mereka yang membolehkan interpretasi, masih
terdapat perselisihan tentang siapa yang harus melakukan
interpretasi itu. Karena interpretasi bukanlah pekerjaan
yang gampang, maka sangat masuk akal bahwa hak untuk
melakukannya harus dibatasi hanya kepada lingkungan yang
memenuhi syarat, antara lain syarat pengetahuan yang luas
dan kemampuan berfikir yang mendalam. Ini membawa
konsekwensi terbaginya anggota masyarakat manusia kepada
kelompok - kelompok khusus (khawas, al-khawashsh) dan
kelompok - kelompok umum (awam, al-'awamm). Yang pertama
adalah "kaum ahli", dan yang kedua terdiri dari
"orang - orang kebanyakan."
Pandangan Para Failasuf
Seperti dapat diduga, para failasuf adalah kalangan orang
- orang Muslim yang paling banyak melakukan interpretasi
metaforis. Disebabkan oleh kuatnya pengakuan sebagai para
pencari hakikat dan kebenaran demonstratif, yang
terbuktikan secara terbantah, mereka dengan kuat
cenderung memandang bahwa ungkapan - ungkapan kebahasaan
dalam sumber - sumber ajaran agama, baik Kitab Suci
maupun Sunnah Nabi, adalah ungkapan - ungkapan metaforis
atau alegoris, yang tidak dimaksudkan seperti apa adanya
menurut lahir makna ungkapan - ungkapan itu. Untuk dapat
menagkap makna sebenarnya ungkapan - ungkapan itu
diperlukan memiliki disiplin dan latihan berfikir yang
tinggi, yang menurut mereka hanya diperoleh dalam
pemikiran kefilsafatan. Sesuai dengan maknanya asal
katanya dalam Bahasa Yunani, filsafat adalah kecintaan
kepada kearifan (wisdom), kemudian menjadi kearifan itu
sendiri, sehingga falsafah pun disebut al- hikmah. Maka
para failasuf Islam memandang diri mereka sebagai
"penganut kearifan" (ahl al-hikmah) atau para
orang arif-bijaksana (al-hukama'). Kadang - kadang juga
disebut ahl al-burhan ("para penganut kebenaran
demonstratif atau apodeiktik, yakni, kebenaran tak
terbantah").
Karena kelebihan mereka itu, mereka adalah golongan
khawas di kalangan ummat, dan mereka berhak, bahkan
wajib, menggunakan metode interpretasi metaforis terhadap
teks - teks keagamaan. Failasuf Islam terkenal dari
Cordova, Spanyol, Ibn Rusyd Latin: Averroes), misalnya,
berpandangan bahwa para failasuf selaku ahl al-burhan
itulah yang dimaksudkan dalam firman Ilahi (dikutip di
atas) sebagai "orang - orang yang mendalam
ilmunya", karena mereka ini berhak atau wajib
melakukan ta'wil terhadap bunyi teks - teks suci, maka
bagi Ibn Rusyd firman Tuhan bersangkutan itu harus dibaca
oleh kaum khawas sedemikian rupa sehingga "orang -
orang yang mendalam ilmunya" termasukkan ke dalam
yang mengetahui ta'wil ayat - ayat mutasyabihat. Yaitu
dengan memindah tanda baca berhenti (waqaf) sehingga
terbaca: "....Padahal tidak mengetahui ta'wil-nya
kecuali Allah dan orang - orang yang mendalam ilmunya.
Mereka ini berkata, 'Kami beriman kepada Kitab Suci itu;
semuanya dari sisi Tuhan kami....'", sebagai ganti
cara baca oleh kaum awam (lihat terjemah kutipan firman
itu di atas).2
Jadi para failasuf, dengan kata - kata lain, memandang
bahwa Nabi mengutarakan sesuatu dengan ungkapan -
ungkapan metaforis dan allegoris, yang tidak memaksudkan
makna - makna lahir ungkapan - ungkapan itu melainkan
makna - makna batinnya.3 Karena itu para failasuf rawan
terhadap tuduhan bahwa mereka sebenarnya menganut teori
bahwa sesungguhnya Nabi telah melakukan sejenis
kebohongan. Sebab mengungkapkan sesuatu tanpa memaksudkan
makna lahiriyah ungkapan itu adalah sejenis kebohongan.
Tetapi "kebohongan" Nabi bukanlah kejahatan,
karena bertujuan kebaikan, yaitu pendidikan orang banyak
atau kaum awam, agar mereka berbuat baik dan meninggalkan
keburukan. Dengan kata lain, para failasuf menganut teori
bahwa Nabi telah melakukan "kebohongan untuk
kebaikan" (al-kidzb li al-mashlahah), seperti yang
dituduhkan oleh Ibn Taymiyyah.4 Karena
"pendidikan" itu ditujukan kepada kalangan
awam, maka kalangan khawas, yakni, para failasuf sendiri,
tidak seharusnya mengikuti cara awam dalam memahami
ajaran agama. Yaitu, para failasuf harus melakukan
interpretasi metaforis terhadap bunyi - bunyi teks suci,
baik Kitab maupun Sunnah (Hadits), sedangkan orang awam
harus menerimanya menurut apa adanya sesuai dengan bunyi
dan makna lahiriah lafalnya itu. Para failasuf akan
menjadi kafir jika tidak melakukan interpretasi (karena
bagi mereka ajaran - ajaran agama tertentu seperti surga
dan neraka dalam pengertian fisik itu tidak masuk akal,
jadi tertolak). Dan sebaliknya, orang awam akan menjadi
kafir jika melakukan interpretasi, disebabkan sulitnya
pemahaman interpretatif yang abstrak itu, yang tidak
terjangkau oleh kemampuan akal mereka. Disebabkan adanya
bahaya ini (yaitu, bahaya kekafiran, baik dari pihak
khawas maupun awam), maka Ibn Rusyd berpendapat bahwa
interpretasi metaforis harus disimpan dan dirahasiakan
dari kalangan kaum khawas saja.5 Karena itu sering
dikatakan orang bahwa metode Ibn Rusyd yang membagi
manusia ke dalam golongan khawas dan awam itu akan
melahirkan semacam elitisme dalam kehidupan beragama.
Al-Bathiniyyun
(Kaum Kebatinan)
Istilah al-Bathiniyyun, kadang - kadang juga Ahl
al-Bawathin (Kaum Kebatinan) digunakan secara longgar
untuk mengidentifikasi kelompok - kelompok Islam yang
orientasinya berat ke arah faham keagamaan yang lebih
mengutamakan usaha menangkap makna dalam (bathin) dari
suatu teks atau ajaran agama. Karena itu istilah tersebut
berlaku untuk hampir semua kelompok esoteris Islam,
termasuk kaum Sufi.
Tetapi oleh kaum Sunni istilah itu juga secara khusus
digunakan untuk kelompok Islam tertentu, terutama kaum
Isma'ili, penganut aliran Isma'iliyyah, yaitu suatu
pecahan aliran Syi'ah yang muncul sesudah wafat Isma'il
ibn Ja'far al-Shadiq sekitar tahun 148 H (765 M). Mereka
juga dinamakan kaum Syi'ah Sab'iyyah (Syi'ah Tujuh),
karena kepercayaan mereka kepada imam - imam yang tujuh
(yaitu sejak Hasan ibn 'Ali sampai Muhammad ibn Isma'il
(ibn Ja'far al-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir). Dalam hal
faham keimanan itu mereka berbeda dengan umumnya golongan
Syi'ah Itsna 'Asyariyyah (Syi'ah Duabelas, karena
kepercayaan mereka kepada imam - imam yang duabelas
jumlahnya, sejak dari Hasan ibn 'Ali sebagai imam
pertama, melalui Ja'far al-Shadiq seperti kaum Isma'ili,
tapi menyimpang ke Musa al-Kadhim ibn Jafar--dan bukannya
ke Muhammad ibn Isma'il--kemudian berakhir dengan
Muhammad al-Muntadhar, yang dipercayai sekarang sedang
bersembunyi dan akan kembali sebagai Imam Mahdi).
Adalah al-Bathiniyyun ini yang menjadi salah satu sasaran
karya - karya polemis pemikir Sunni al-Ghazali dalam
rangka usahanya menghancurkan filsafat. Sebab dalam
melakukan interpretasi metaforis terhadap fakta - fakta
tekstual agama, para pengikut Syi'ah Isma'iliyyah ini
memang banyak sekali menggunakan sumber - sumber
filsafat, khususnya Neo-Platonisme. Mereka memang masih
memiliki persamaan dengan orang - orang Muslim yang lain,
seperti pandangan tentang kewajiban melakukan ibadat -
ibadat tertentu. Tetapi mereka juga berpegang kepada
faham tentang adanya ajaran - ajaran esoteris (bathin),
yang membentuk sistem filsafat kaum Isma'ili. Dalam
gabungannya dengan semangat keagamaan mereka, sistem
filsafat itu menyediakan penyimpangan kandungan batin
ajaran - ajaran agama, yang antara lain, bagi mereka,
memberi dukungan kepada usaha pembuktian bahwa lembaga
imamat (keimanan) adalah langsung dari Tuhan.
Pembuktian itu diperoleh antara lain karena doktrin bahwa
semua ajaran agama (Islam) selalu mengandung makna lahir
dan makna batin. Tetapi karena orang awam, seperti juga
menjadi pandangan kaum failasuf, tidak mampu menangkap
makna batin yang sulit, malah berbahaya bagi mereka, maka
makna batin itu ditujukan hanya kepada orang - orang
istimewa tertentu saja. Makna dan kebenaran agama,
khususnya kandungan al-Qur'an, yang tersembunyi dan
dirahasiakan itu hanya diberikan oleh Nabi kepada 'Ali,
kemenakan, menantu dan sahabat yang menjadi kepercayaan
beliau. Maka hanya mereka yang memiliki kemampuan
spiritual yang tinggi saja yang mampu mengakui peranan
khusus 'Ali, dan hanya mereka ini saja yang dapat
menangkap makna - makna batiniah agama.
Unsur Neo-Platonis dalam faham Kaum Kebatinan kemudian
muncul dalam karya kefilsafatan yang besar, yang ditulis
oleh sekelompok sarjana yang menamakan diri mereka Ikhwan
al-Shafa' (Persaudaraan Suci), berbentuk sebuah kitab,
Risalat Ikhwan al- Shafa'. Selain unsur Neo-Platonis,
faham kebatinan ini juga menunjukkan tanda - tanda adanya
pengaruh Manicheanisme, yaitu suatu pecahan agama Majusi
(Zoroastrianisme). Diduga bahwa orang - orang Persi
penganut Manicheanisme di zaman Abbasiyah secara rahasia
masuk Islam dan memeluk faham kebatinan kalangan kaum
Isma'ili. Faham Syi'ah Isma'iliyyah bertemu dengan
Manicheanisme dalam ajaran yang hendak memberi pada
penganutnya "kearifan dan martabat kosmis" yang
budi kasar orang umum tidak akan mampu menggapainya.
Sedikit sekali kemungkinan orang luar lingkungan sendiri
akan diberi pengakuan kemanusiaan yang penuh. Pandangan
hidup kaum Isma'lil yang sangat esoteris (bathini) itu
telah membuat mereka salah satu kelompok yang paling
eksklusifistik dalam Islam.
Tetapi lain dari Manicheanisme, kebatinan kaum Isma'ili
sangat menekankan pembangunan praktis susunan masyarakat
dunia, sebagai bentuk keterlibatan nyata mereka dalam
sejarah kemanusiaan.6 Mereka itu kini dipimpin oleh Aga
Khan yang terkenal. Mereka tidak saja sponsor - sponsor
kegiatan kultural dan ilmiah yang antusias, tetapi juga
banyak mendorong kemajuan masyarakat manusia pada
umumnya, khususnya masyarakat Islam sendiri. (Sebagai
misal, mereka memberi award bidang arsitektur Islam
kepada Pesantren Pabelan, Magelang, Jawa Tengah, atas
dasar konsep tentang arsitektur Islam masa depan yang
cukup revolusioner, yang menurut penilaian mereka
diwakili rintisannya oleh pesantren itu). Mereka juga
banyak mengadakan pameran benda - benda seni peninggalan
Islam di kota - kota besar dunia (1983 di New York),
suatu bentuk kegiatan yang dimungkinkan oleh minat mereka
yang besar kepada usaha memelihara warisan sejarah Islam.
Mereka juga terdiri dari kaum bisnis dan wirausahawan
yang sukses, seperti nampak nyata di banyak kawasan
Afrika Timur.
Pandangan Kaum Sunni
Dari satu segi, pertumbuhan historis faham Sunni
merupakan gabungan antara dua komponen, yang pertama
komponen ideologis, dan yang kedua komponen politik
pragmatis. Yang ideologis ialah "Aliran Penduduk
Madinah" (Mazdhab Ahl al-Madinah) seperti
dikemukakan oleh mereka yang tidak mau terlibat dalam
pertikaian - pertikaian politik saat itu, khususnya
antara 'Ali dan Mu'awiyah beserta pengikut masing -
masing. Mereka ini dipelopori oleh 'Abdullah ibn 'Umar,
Muhammad ibn Maslamah, Sa'd ibn Abi Waqqash, Usamah ibn
Zayd, Abu Bakrah, dan 'Imran ibn Hashin. Bahkan, menurut
Ibn Taymiyyah, mazhab Madinah itu juga didukung oleh
sebagian besar "para pelopor pertama"
(al-sabiqun al-awwalun).7 Yang politik pragmatis ialah
sikap mendukung sebagian terbesar kaum Muslim kepada
Mu'awiyah sebagai Khalifah yang sah berkedudukan di
Damaskus, Syria, khususnya yang terjadi pada tahun 41
Hijri, yang sering disebut para ahli sejarah sebagai
"Tahun Persatuan" ('Am al-Jama'ah).8
Mungkin disebabkan oleh latar belakang pertumbuhan
historisnya itu maka faham Sunni ditandai oleh semangat
umum moderasi dan akomodasi. Salah satu wujud semangat
itu nampak dalam bagaimana faham Sunni menghadapi masalah
interpretasi metaforis. Yaitu bahwa kaum Sunni umumnya
menerima adanya interpretasi metaforis, tetapi dengan
pembatasan - pembatasan begitu rupa sehingga masih
dikuasai, kaum Sunni, yang secara garis besar perjalanan
sejarahnya hampir selalu paralel dengan susunan mapan
masyarakat Islam, sangat menguatirkan pendekatan
metaforis kepada agama akan mempunyai efek melemahnya
sendi - sendi hukum dan kesadaran hukum masyarakat
banyak. Sebab jika pintu interpretasi metaforis itu
ditenggang dengan tidak hati - hati, maka bagaikan
membuka Kotak Pandora, semua bagian dari ajaran agama
akan habis diinterpretasikan, sehingga tidak ada lagi
sisa yang bersifat pasti. Interpretasi metaforis atau
ta'wil tidak saja selalu bersifat abstrak dan
intelektualistik yang tidak tergapai masyarakat banyak,
tapi juga senantiasa menyediakan "lubang
pelarian" (loop hole) di bidang hukum bagi mereka
yang kesadaran hukumnya lemah. Tetapi, sebaliknya,
menutup samasekali kemungkinan mengadakan ta'wil akan
menghadapkan orang - orang Muslim yang serius kepada
kesulitan mengartikan berbagai pelukisan tentang Tuhan
yang antropomorfis (yakni, menyerupai manusia; misalnya,
keterangan dalam al-Qur'an bahwa Tuhan mempunyai tangan,
wajah dan mata, bahwa Dia bertahta di Singgasana, merasa
senang dan tidak senang, dst. dst.). Sebab pelukisan
antropomorfis itu tidak sesuai dengan penegasan Kitab
Suci sendiri bahwa Tuhan tidak sebanding, dan tidak bisa
disamakan, dengan sesuatu apapun juga. Paling jauh, jika
mereka tidak melakukan interpretasi, mereka tetap menolak
antropomorfisme, dengan mengatakan bahwa sekalipun
disebutkan Tuhan itu mempunyai tangan, wajah, mata dll.,
namun tangan, wajah dan mata Tuhan itu tidak sama dengan
yang ada pada makhluk seperti manusia, dan "tanpa
bagaimana" (bi-la kayfa). Inilah metode al-Asy'ari,
rujukan utama faham Sunni dalam ilmu Ketuhanan atau
aqidah.9
Masih dalam konteks faham Sunni tentang ta'wil ini, Ibn
Taymiyyah mengemukakan pandangan yang cukup menarik.
Berdasarkan firman Allah, "Kitab Suci penuh barkah,
yang telah Kami turunkan kepada engkau (Muhammad), agar
mereka (manusia) merenungkan ayat - ayatnya, dan agar
mereka yang berpengetahuan mendalam menagkap
pesannya"10 Ibn Taymiyyah mengatakan bahwa yang
harus direnungkan itu ialah semua ayat - ayat al-Qur'an,
baik yang muhkamat maupun mutasyabihat. Hanya hal - hal
yang maknamya tidak masuk akal saja yang tidak
direnungkan, dan hal yang tidak masuk akal itu tidak ada
dalam al-Qur'an. Maka Allah memuji mereka yang
merenungkan firman - firman-Nya, baik yang muhkamat
maupun yang mutasyabihat, sebagaimana perintah untuk itu
dapat difahami dari firman-Nya, "Apakah mereka
(manusia) tidak merenungkan al-Qur'an, ataukah sebenarnya
hati mereka telah tersumbat?"11 Karena itu, kata Ibn
Taymiyyah, Allah dan Rasul-Nya tidaklah mencela orang
yang merenungkan makna di balik ungkapan - ungkapan ayat
- ayat mutasyabihat dalam al-Qur'an kecuali jika
dilakukan dengan maksud menimbulkan perpecahan dan
mencari - cari interpretasinya yang tidak masuk akal.12
Pandangan hampir serupa juga dianut oleh Abdullah Yusuf
Ali, sarjana Muslim di zaman modern, penafsiran al-Qur'an
terkemuka. Terhadap firman Allah berkenaan dengan ayat -
ayat muhkamat dan mutasyabihat yang dikutip di atas tadi,
Abdullah Yusuf Ali memberi komentar sebagai berikut:
Ayat ini memberi kita suatu kunci yang penting untuk
inter pretasi al-Qur'an. Secara garis besar al-Qur'an itu
dapat dibagi ke dalam dua bagian, yang tidak diberikan
secara terpisah, tetapi tumpang tindih; yaitu, (1) inti
atau dasar Kitab Suci, secara harfiah "Induk Kitab
Suci", dan (2) bagian yang bersifat figuratif,
metaforis dikenakan kepada esensi itu, di seluruh Kitab
Suci. Kita harus mencoba memahaminya sebaik mungkin,
tetapi tidak boleh menyia - nyiakan energi kita dalam
memperdebatkan sesuatu yang berada di luar kedalaman diri
kita.13
Seorang sarjana Muslim modern penafsir al-Qur'an lain,
Muhammad Asad, juga berpegang kepada pandangan yang sama
dalam masalah interpretasi metaforis ini. Asad
berpendapat bahwa al- Qur'an memang mengandung ayat -
ayat yang pasti maknanya tana samar, namun kebanyakan
justru firman - firman yang metaforis. Manurut sarjana
ini, sufat alegoris atau metaforis keterangan -
keterangan dalam Kitab Suci itu tidak dapat tidak harus
digunakan sebagai metodologi penyampaian pesan, sebab
manusia tidak akan dapat memahami sesuatu yang samasekali
abstrak, yang tidak ada asosianya dengan apa yang sudah
ada dalam alam fikirannya. Namun manusia, dalam usahanya
memahami keterangan - keterangan suci itu, tidak
dibenarkan untuk menganggap perolehannya sebagai mutlak
dan final, sebab "tidak ada kesalahan yang lebih
besar daripada berfikir bahwa 'terjemahan - terjemahan'
(yakni, ungkapan - uangkapan dalam bahasa manusia) itu
dapat memberi definisi kepada Sesuatu yang tidak mungkin
didefinisikan."14
Penutup
Telah dikatakan dalam mukaddimah bahwa tujuan kita
membahas persoalan interpretasi metaforis ini antara lain
ialah untuk mendapatkan kesadaran tentang suatu dimensi
pemahaman keagamaan dalam Islam yang ikut memberi corak
keanekaragaman kaum Muslim di dunia.
Dari uraian di atas diharapkan ada sedikit kejelasan
bahwa masing - masing kelompok atau aliran dalam Islam
memiliki "reasoning" mereka sendiri dalam
memilih suatu pemahaman agama. Sebagian dari
"reasoning" itu tentu saja, bersumber kepada
atau bersifat murni keagamaan. Tetapi juga tidak sedikit
daripadanya yang semata - mata merupakan hasil interaksi
antara sesama orang - orang Muslim sendiri atau antara
orang - orang Muslim dengan non-Muslim dalam sejarah. Dan
sementara kita melihat orang lain demikian, pada waktu
yang sama kita harus menyadari bahwa orang lain pun
melihat kita demikian. Dari sudut pandangan inilah
absurd-nya pengakuan diri sendiri sebagai yang paling
benar, meskipun dari sudut pandangan lain--keyakinan,
misalnya--pengakuan itu mungkin dibenarkan saja, atau
malah secara logis diperlukan. Namun, seperti dikatakan
oleh Abdullah Yusuf Ali yang telah dikutip, seorang yang
bijaksana tidak boleh bersikap dogmatis, sebab, seperti
kata Muhammad Asad tadi, kita sebenarnya hendak menggapai
Sesuatu (Kebenaran Mutlak) yang tidak bakal tergapai.
Maka yang benar ialah menerapkan sikap "ragu yang
sehat" (healthy scepticism), atau memberi orang lain
apa yang disebut "hikmat keraguan" (benefit of
doubt) dalam pergaulan sesama manusia, khususnya sesama
Muslim. Ini sejalan dengan yang dipesankan Tuhan sendiri
dalam ajaran-Nya tentang prinsip persaudaraan di antara
orang-orang beriman dan bagaimana
memeliharanya:...."Wahai sekalian orang - orang yang
beriman, janganlah ada suatu kaum di antara kamu yang
memandang rendah kaum yang lain, kalau - kalau mereka
yang dipandang rendah itu lebih baik daripada mereka yang
memandang rendah......."15
Wallah a'lam bi al-shawab
-------------------
Catatan:
1. Q., s. Al 'Imran/3:7.
2. Ibn Rusyd, Fashl al-Maqal wa Taqrir Ma bayn al-Hikmah
wa al- Syari'ah min al-Ittishal. (Lihat terjemahnya,
dalam buku kami, Khazanah Intelektual Islam [Jakarta:
Bulan Bintang, 1984], khususnya hh. 217-8).
3. Tuduhan Ibn Taymiyyah itu dinyatakan dalam risalahnya,
Ma'arij al-Wushul fi Ma'rifat anna Ushul al-Din wa
Furu'a-hu qad Bayyana-ha al-Rasul. Lihat dalam buku kami,
Khazanah, khususnya, h. 249).
4. Pandangan seperti ini, misalnya, dianut oleh Ibn Sina
(Avicenna). Lihat risalahnya, Itsbat al-Nubuwwat, yang
kami terjemahkan dalam buku kami, Khazanah, hh. 137-51.
5. Ibn Rusyd, (dalam Khazanah), op. cit., hh. 230-1.
6. Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam, 3 jilid,
(Chicago: The University of Chicago Press, 1974), jil. 1,
hh. 378-9.
7. Ibn Taymiyyah, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah fi Naqdl
Kalam al-Syi'ah wa al-Qadariyyah, 4 jilid, (Riyadl:
Maktabat al- Riyadl al-Haditsah, tt.), jil.1 h. 193.
8. Al-Syaykh Muhammad al-Hudlari Bek, Tarikh al-Tasyri'
al- Islami (Beirut: Dar al-Fikr, 1387 H/1967 M), h. 110.
9. Abu al-Hasan al-Asy'ari, al-Ibanah 'an Ushul
al-Diyanah (Idarat al-Thiba'at al-Muniriyyah, 1348 H),
hh. 8-9.
10. Q., s. Shad/38:29.
11. Q., s. Muhammad/47:24.
12. Ibn Taymiyyah, al-Iklil fi al-Mutasyabih wa al-Ta'wil
(Kairo: Dar al-Mathba'at al-Salafiyyah, 1973), hh. 8-9.
13. This passage gives us an important clue to the
interpreta tion of the Qur'an. Broadly speaking it may be
divided into two portions, not given separately, but
intermingled; viz. (1) the nucleus or foundation of the
Book, literally "the mother of the Book", and
(2) the part which is figurative, metaphorical, or
allegorical. It is very fascinating to take up the
latter, and axercise our ingenuity about its inner
meaning, but it refers to such a profound spiritual
matters that human language is inadequate to it, and
though people of wisdom may get some light from it, no
one should be dogmatic, as the final meaning is known to
God alone. The Commentators usually understand the verses
"of established meaning" (muhkam) to refer to
the categarical orders of the Shari'at (or the Law),
which are plain to everyone's understanding. But perhaps
the meaning is wider: the "mother of the Book"
must include the very foundation on which all Law rests,
the essence of God's message, as distinguished from the
various illustrative parables, allegoris, and ordinances.
If we refer to xi-1 and xxxix-23, we shall find that in a
sense the whole of the Qur'an has both "esablished
meaning" and allegorical meaning. The division is
not between the verses, but between the meanings attached
to them. Each verse is but a Sign or Symbol: what it
presents is something immediately applicable, and
something eternal and independent of time and space,--the
"Forms of Ideas" in Plato's Philosophy. The
wise man will understand that there is an
"essence" and an illustrative clothing given to
the essence, throughout the Book. We must try to
understand it as best as we can, but not waste our
energies in disputing about matters beyond our depth. (A.
Yusuf Ali, The Holy Qur'an, Translation and Commentary,
[Jeddah: Dar al-Qiblah, 1403 H], h. 123, catatan 347).
14. Muhammad Asad, The Message of the Qur'an, apendix 1,
h. 991.
15. Q., s. al-Hujarat/49:11.
|