SKISME DALAM ISLAM
Oleh : Nurcholish Madjid
Event Artikel : KKA-19 (Jakarta, Mei 1988)
Diupdated
pada: Selasa 27 Maret 2001
(Tinjauan Singkat Secara
Kritis-Historis Terhadap Proses Dini Perpecahan
Sosial-Keagamaan Islam)
Mukaddimah
Pembicaraan tentang Agama Islam kecuali jika dibatasi
hanya kepada hal - hal yang sama sekali normatif belaka
dengan tingkat idealisasi sejarah Islam yang tinggi pasti
melibatkan pembicaraan tentang berbagai skisme atau
perpecahan dalam agama itu. Kesadaran akan adanya skisme
itu akhir-akhir ini, sebagaimana telah sering
dibicarakan, muncul dengan kuat di kalangan kaum Muslimin
Indonesia khususnya dan dunia umumnya karena adanya
Revolusi Iran pada 1979. Dengan mengesampingkan beberapa
perorangan atau kelompok yang agaknya mengalami kesulitan
besar untuk "mengakomodasi" kenyataan baru
berupa peranan amat mengesankan dari kaum Syi'ah dalam
percaturan keislaman internasional sekarang ini, Revolusi
Iran bagi sebagian orang - orang Muslim menawarkan
semacam "hikmah terselubung" (blessing in
disguise) berupa cakrawala pandangan keagamaan (Islam)
yang lebih meluas. Karena itu jika harus disebutkan
kegunaan utama pembahasan kita sekarang ini, maka
kegunaan itu ialah sebagai bagian dari usaha bersama
untuk mendorong lebih jauh kecenderungan positif
tersebut. Dengan begitu diharap bahwa secara berangsur
kita dapat mewujudkan dalam kenyataan berbagai angan -
angan mengenai ummat atau masyarakat Islam yang mendekati
gambaran dalam Kitab suci sebagai "ruhama
baynahum" (saling cinta kasih antara sesamanya).
Tetapi berbagai pengalaman menunjukkan bahwa keadaan itu
tidak akan tercipta jika kita tidak memiliki cukup
kedewasaan dalam sikap keberagamaan kita, dan dalam
memandang keberagamaan "orang lain" (dalam
pengertian yang seluas -luasnya). Termasuk ke dalam makna
kedewasaan itu, kiranya, ialah kesediaan dan kemampuan
untuk melihat berbagai kenyataan sejarah secara
proporsional, dengan mengakui dan memasukkannya ke dalam
hitungan berbagai faktor sejarah sebagai ikut menentukan
apa yang telah terjadi, dan apa yang sedang dan bakal
terjadi.
Berdasarkan itu semua, maka pembahasan kita dalam makalah
ini insya'Allah akan kita lakukan dalam semangat tinjauan
kritis berdasarkan pandangan yang memperhitungkan
berbagai faktor sejarah.
Ummat Yang Tunggal
Kenyataan historis pertama tentang agama Islam ialah
bahwa ummatnya telah terpecah dan bahkan saling
menumpahkan darah sejak masa - masa amat dini perjalanan
sejarahnya. Seorang Muslim yang serius dan prihatin tentu
merasakan adanya semacam anomali dalam kenyataan sejarah
itu. Apalagi Al-Qur'an sendiri sejak dari semula
menyatakan dan memperingatkan, tidak saja kepada kaum
Muslim tetapi juga kepada para penganut agama para Nabi
dan Rosul Allah keseluruhannya, agar waspada terhadap
bahaya perpecahan dan pertentangan. Salah satu firman
suci dalam al'Qur'an yang relevan dengan masalah ini
terbaca : Wahai para Rasul, makanlah dari yang baik -
baik, dan berbuatlah kebajikan . Sesungguhnya Kami
(Tuhan) maha mengetahui akan segala sesuatu yang kamu
kerjakan. Dan ini adalah ummatmu semua, ummat yang
tunggal, sedangkan Aku adalah Pelindungmu semua, maka
bertaqwalah kamu sekalian kepada-ku.1
Tafsir atas firman itu tidak bisa lain daripada penegasan
bahwa semua Nabi dan Utusan Tuhan itu membentuk
persaudaraan ummat yang tunggal, sebab Pesan Suci mereka
pun tunggal, yaitu mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa
yang mencintai dan melindungi mereka. Ini menjadi dasar
pandangan tentang Kesatuan Kenabian (Wahdat al-Nubuwwah)
dan Kesatuan Risalah atau pesan Suci (Wahdat al-Risalah),
yaitu pesan suci kepasrahan yang tulus kepada kehendak
Ilahi (al-islam dalam makna generiknya). Dan inilah pula
dasar pandangan tentang Kesatuan Kemanusiaan (al-Wahdat
al- Insaniyyah).
Namun justru secara historis masalah kesatuan itulah di
antara hal - hal yang amat sulit dicapai oleh manusia.
Lebih menarik lagi sebagai bahan kajian bahwa manusia
cenderung berpecah belah justru setelah mereka menerima
ajaran Tuhan yang dibawa oleh para Utusan-Nya. Keadaan
yang menyimpang dari seharusnya ini tidak saja karena
berbagai usaha mereka memahami ajaran Tuhan dan
menerapkannya dalam kehidupan nyata (jadi tentunya tumbuh
dari niat yang baik dan ketulusan hati), tapi juga karena
variasi cara pendekatan kepada ajaran itu membuahkan
variasi dalam interpretasi. Maka dalam gabungannya dengan
nafsu benar sendiri dan sektarianisme yang jelas selalu
mengancam setiap orang atau golongan tanpa kecuali
variasi pendekatan dan inerpertasi itu, meskipun disertai
dengan penuh niat baik dan tulus, acapkali malah
menjuruskan orang banyak kepada perpecahan dan
pertentangan. Perpecahan dan pertentangan itu semakin
destruktif sifatnya karena pembawaannya yang sering
bergaya absolutistik dan tak kenal kompromi akibat watak
dasar suatu keyakinan keagamaan. Keadaan menyedihkan ini
pun secara ringkas digambarkan dalam Kitab Suci : Pada
mulanya manusia adalah ummat yang tunggal. Kemudian Allah
mengutus para Nabi untuk membawa berita gembira dan
peringatan, dan Dia menurunkan bersama para Nabi itu
KitabSuci dengan sebenarnya untuk memutuskan perkara
antara ummat manusia berkenaan dengan masalah yang mereka
perselisihkan. Dan mereka yang menerima Kitab Suci itu
tidaklah berselisih mengenai sesuatu (masalah Kebenaran)
kecuali setelah datang berbagai penjelasan, karena rasa
permusuhan antara sesama mereka. Maka Allah pun, dengan
izin-Nya, memberi petunjuk tentang kebenaran yang mereka
perselisihkan itu kepada mereka yang beriman. Allah
memberi petunjuk ke arah jalan yang lurus kepada siapa
yang menghendakinya (atau, yang dikehendaki- Nya).2
Jika harus menyebutkan bukti kebenaran firman itu, maka
barangkali kita hanya harus menyebutkan kenyataan tentang
semua agama, yang jelas tanpa kecuali terbagi - bagi dan
terpecah - pecah menjadi berbagai golongan dan sekte.
Lebih dari itu, kerapkali persengketaan di antara sesama
mereka, termasuk yang ada dalam satu agama pun,
diselesaikan dengan pertumpahan darah dan penindasan.
Barangkali, dari perspektif pesan suci semula agama
bersangkutan sendiri, tidak ada yang lebih absurd
daripada penyelesaian perselisihan faham keagamaan
melalui penindasan dan penumpahan darah. Namun inilah
yang sebenarnya terjadi dalam pengalaman hidup ummat
manusia.
Tapi mungkin kita harus mencoba mencari keterangan lain
untuk membuat semuanya itu "make sense".
Mungkin keterangan itu dapat diperoleh dari beberapa
firman Ilahi juga, yang melengkapi firman - firman
terkutip di atas sehingga menjadi pandangan dan
pengertian yang bulat. Firman itu ialah, misalnya :
Kalau seandainya Tuhanmu menghendaki, maka tentunya Dia
jadikan manusia ummat yang tunggal. Tetapi mereka itu
akan tetap selalu berselisih, kecuali mereka yang
mendapatkan rahmat dari Tuhanmu, dan untuk itulah Dia
menciptakan mereka.3
Juga firman Allah : Manusia itu tidak lain kecuali ummat
yang tunggal, kemudian mereka berselisih. Jika seandainya
tidak karena adanya Sabda (Kalimah) yang telah lewat dari
Tuhanmu, maka tentulah diputuskan (sekarang juga) antara
mereka berkenaan dengan perkara yang mereka perselisihkan
itu.4 Firman - firman itu membuka kemungkinan berbagai
interpretasi tentang apa yang ada dalam ajaran Kitab Suci
mengenai hakikat manusia sebagai makhluk sejarah
berkenaan dengan perkara persatuan dan perpecahan.
Mengenai "Sabda" (Kalimah) dalam firman yang
dikutip terakhir itu, misalnya, ditafsirkan sebagai
berarti "Keputusan" Tuhan, yang merupakan
ekspresi Iradat dan Hikmat-Nya yang universal dalam
peristiwa tertentu. Here we have again the mystic
doctrine of "the Word"...."Word" is
the Decree of God, the expression of His Universal Will
or Wisdom in a particular case. When men began to deverge
from one another..., God made their very differences
subserve the higher ends by increasing emulation in
virtue and piety, and thus pointing back to the ultimate
Unity and Reality.5
Di sini (dalam ayat ini) kita mendapatkan lagi doktrin
kesufian tentang "Sabda"...."Sabda"
adalah Keputusan Tuhan, pernyataan Iradat atau Hikmat-Nya
yang universal dalam suatu masalah tertentu. Ketika
manusia telah bersimpangan jalan satu dari yang lain,
Tuhan membuat justru berbagai perbedaan mereka itu
membantu mengarahkan manusia kepada tercapainya tujuan -
tujuan yang lebih tinggi dengan meningkatnya perlombaan
dalam kebaikan dan kesalahan, dan dengan mengarah kembali
kepada Kesatuan dan Wujud yang mutlak.
Ayat suci dan tafsirnya itu mengingatkan kita kepada
sebuah hadits yang sering dikutip orang bahwa
perselisihan di antara orang yang beriman adalah suatu
rahmat.6 Dan ayat suci itu bersesuaian dengan ayat suci
yang lain, yang menyebutkan adanya Kehendak Ilahi tentang
perbedaan antara sesama manusia, dan adanya Kehendak agar
dengan perbedaan itu manusia berlomba - lomba ke arah
berbagai kebaikan (istibaq al-khayrat, emulation in
virtue and piety). Ayat suci itu ialah firman-Nya : Jika
seandainya Allah menghendaki, maka pastilah Dia
menjadikan kamu sekalian ummat yang tunggal. Tetapi (Dia
tidak menghendakinya) karena Dia hendak menguji kamu
semua berkenaan dengan sesuatu (kelebihan, yaitu faktor
terpenting yang membuat manusia berbeda - beda --NM) yang
diberikan-Nya kepadamu. Karena itu berlomba - lombalah
kamu semua (dengan menggunakan kelebihan itu) untuk
berbagai kebaikan. Kepada Allah-lah tempat kembalimu
semua, kemudian Dia akan menerangkan kepada kamu tentang
segala sesuatu yang pernah kamu perselisihkan.7
Dari perspektif inilah kita akan memasuki bidang yang
sebenarnya dari pembahasan makalah ini, yaitu tinjauan
ulang secara kritis - historis terhadap perpecahan sosial
keagamaan yang terjadi dalam Islam dalam perjalanan
perkembangannya yang amat dini.
Tentang "al-Fitnat al-Kubra"
Mungkin bagi banyak orang cukup membosankan, namun
pembicaraan tentang pembunuhan khalifah ketiga, Utsman
ibn Affan, sebagai fitnah besar yang mengawali skisme
dalam Islam tidak mungkin dihindarkan. Maka dengan
sedikit melawan semacam "konsensus" di kalangan
kaum Sunni untuk menghindari pembicaraan tentang tingkah
laku historis para Sahabat yang kurang mencocoki beberapa
ketentuan normatif,8 kita akan melakukan tahap pembahasan
ini dengan pembicaraan singkat tentang peristiwa
menyedihkan yang kemudian dikenal sebagai al-fitnat
al-kubra ("ujian besar") itu.
Pembunuhan terhadap khalifah ketiga terjadi duapuluh
empat tahun setelah wafat Nabi. Sekelompok tentara (Arab
Islam) dari Mesir datang Ke Madinah untuk mengajukan
klaim kepada Khalifah tentang apa yang menjadi hak
mereka. Tapi mereka segera kembali pulang ke Mesir,
karena telah diberi tahu (secara palsu) bahwa persoalan
mereka telah diselesaikan dengan baik oleh Khalifah
melalui perundingan dengan ketua utusan mereka. Namun
setelah mereka mendapat berita yang benar bahwa ketua
utusan mereka itu malah telah dibunuh, mereka kembali ke
Madinah untuk mengajukan tuntutan. Setelah beberapa saat
perundingan dan musyawarah, yang disitu kaum bukan-Umawi
di Madinah menunjukkan sikap netral, delegasi tentera itu
menyerbu Utsman di rumahnya, dan membunuhnya. (Seperti
halnya dengan Umar sebelumnya, juga Ali sesudahnya,
Utsman memerintah hanya dengan mengandalkan reputasi dan
nama baik pribadi, tanpa pengawal, sebagaimana layaknya
adat - kebiasaan para sesepuh (al-syayk) suku - suku Arab
menjalankan kepemimpinan mereka. Kebiasaan itu membantu
memudahkan usaha membunuhnya, sebagaimana telah terjadi
pada Umar sebelumnya dan kelak terjadi pula pada Ali).9
Tentang mengapa delegasi tentera itu tidak puas terhadap
Utsman dalam menjalankan tugas kekhalifahannya, tersedia
tidak hanya satu keterangan, melainkan banyak dan cukup
kompleks. Pertama ialah, bahwa meskipun Utsman termasuk
perintis pertama orang - orang Arab Mekkah masuk Islam,
namun dia adalah seorang anggota klan Umayyah yang
berkuasa di kota itu, yang klan itu menjadi musuh utama
Nabi beliau Nabi mengemban tugas kerasulan, bahkan sikap
permusuhan mereka itu berlangsung terus sampai boleh
dikata detik - detik terakhir sebelum Nabi wafat. Abu
Sufyan, misalnya, adalah seorang penguasa Mekkah yang
mengorganisasi dan memobilisasi orang - orang Quraisy
melawan Nabi di Mekkah, sampai dengan saat Nabi
menaklukkan Mekkah. Meskipun akhirnya Abu Sufyan masuk
Islam, juga anaknya Mu'awiyah yang sedikit terlebih
dahulu berbuat serupa, namun hal itu terjadi lebih banyak
hanya berkat kebijaksanaan diplomatik Nabi yang memberi
dan mengakui hak istimewa dan kehormatan mereka.
Sebagai klan dengan tradisi kekuasaan yang mapan, kaum
Umawi segera melihat pada kekhalifahan Utsman suatu
kesempatan untuk mengembalikan kedudukan mereka yang baru
saja hilang. Mereka mengelilingi Utsman dengan penasehat
- penasehat dan tenaga - tenaga ahli, seperti seorang
"aktivis" Umawi, Marwan ibn al- Hakam. Sebagian
dari hadirnya para penasehat dan tenaga ahli Umawi itu
sebenarnya merupakan lanjutan kebijaksanaan Umar
sebelumnya, karena Umar melihat pada kaum Umawi itu
kecakapan pemerintahan yang bisa dimanfaatkan. Tetapi
tanpa keteguhan kepribadian Umar, Utsman menjadi tidak
banyak berdaya menghadapi klannya sendiri, dan ia pun
terjerumus kedalam praktek - praktek nepotistik yang
mengundang berbagai reaksi keras banyak kalangan.
Sebenarnya Utsman melanjutkan kebijakan Umar, tapi tanpa
mempunyai wibawa hebat seorang Umar. Para tentera suku
Arab (al- muqatilah) yang oleh Umar ditempatkan di
berbagai kota garnizun di daerah - daerah taklukan
dipertahankan oleh Utsman seperti keadaan mereka semasa
Umar, sementara perang sendiri, yang menjadi alasan
penempatan itu, telah menjadi peristiwa sesekali saja.
Para tentera ini hidup menetap di tempat - tempat
tersebut, seperti Kufah, dalam suasana terpisah dari
penduduk bukan-Arab sekelilingnya. Bertindak sebagai
penguasa pada kota - kota perbatasan itu ialah para
gubernur (bekas) pedagang kaya yang cakap memerintah dari
keluarga - keluarga Quraisy dan sekutu mereka dari Taif
(klan Tsaqif), yang kebanyakan mereka itu terdiri dari
kaum Umawi. Mereka memegang pemerintahan menghadapi
kecenderungan kesukuan dan semangat kedaerahan orang -
orang Arab, dan kekuasaan mereka itu diawasi oleh
semangat ajaran umum Islam yang saat itu Islam telah
menjadi ciri utama sifat ke-Arab-an mereka.
Sudah sejak masa Umar banyak orang Arab Quraisy yang
kaya, yakni para pedagang Mekkah, yang pergi ke daerah -
daerah taklukan, terutama Mesopotamia di Irak, dan
meneruskan usaha perdagangan mereka di sana. Ini acapkali
menimbulkan rasa keberatan dari pihak orang -orang Arab
yang kurang mampu, khususnya orang - orang Arab setempat.
Utsman pun tidak bisa mengatasi situasi warisan
pendahulunya itu, meskipun sebenarnya ia berhasil sedikit
mengubah keadaan dengan mengarahkan sebagian investasi
dari Lembah Mesopotamia ke Hijaz, berbentuk proyek -
proyek irigasi di berbagai oase. Kebijaksanaan Utsman itu
membantu mengurangi kecenderungan emigrasi ke luar Hijaz
dan memperkuat kekuasaan pusat di Madinah secara fisik
(sumber daya manusia). Kebijaksaan itu juga mengurangi
ancaman bahwa budaya Arab akan terserap ke dalam budaya
daerah - daerah Bulan sabit Subur (Fertile Crescent,
daerah subur yang membentuk konfigurasi bulan sabit dari
pantai timur Laut Tengah naik ke utara, ke daerah
pegunungan Anatolia sebelah selatan membentang ke timur
dan kembali ke selatan, ke Lembah Mesopotamia). Tetapi
kebijaksanaan Utsman yang menghambat emigrasi dari Hijaz
itu membuatnya tidak populer di kalangan orang - orang
Mekkah. Ini tumbuh menjadi faktor penunjang bagi protes -
protes yang mulai dilancarkan para tentera. (Harus
diingat bahwa pada saat itu semua orang Muslim adalah
warga negara dan sekaligus tentera). Apalagi setelah
ekspedisi menaklukkan Iran telah rampung dan tuntas,
ketidakpuasan di kalangan tentera terhadap kebijakan
Utsman semakin keras dinyatakan orang, karena tidak lagi
bisa dialih-arahkan kepada kegiatan - kegiatan ekspedisi
militer. Suatu kerusuhan muncul di Kufah, sebuah kota
garnizun yang didirikan Umar dan kerusuhan itu harus
ditindas dengan penumpahan darah. Para gubernur yang
melanjutkan tugas mereka semenjak diangkat oleh Umar
banyak yang cakap dan sebagian dari mereka diterima baik
oleh penduduk setempat. Maka penduduk Syria puas dengan
Mu'awiyah, Basrah dengan Ibn Amir (yang di waktu damai
giat berdagang untuk mengumpulkan kekayaan tapi bertindak
cukup adil karena ia menganjurkan orang lain agar berbuat
serupa pula). Tetapi gubernur yang ditempatkan di Mesir
(di kota Fusthath, Kairo lama), tidak pernah memuaskan
orang - orang setempat, karena dipandang kurang
menunjukkan ukuran moral yang tinggi (konon suka minuman
keras dan mabuk). Demikian pula Kufah, tidak ada
kebijakannya yang dapat diterima di sana, bahkan
gubernurnya pun ditolak orang.
Utsman dikenal sebagai amat berjasa menyatukan ejaan
penulisan al-Qur'an dengan memerintahkan untuk membakar
semua versi ejaan yang lain (sehingga sampai sekarang
ejaan standar Kitab Suci agama Islam itu disebut ejaan
atau "rasm Utsmani"). Penyatuan ejaan al-Qur'an
itu amat prinsipil sebagai dasar penyatuan orang - orang
Arab Muslim khususnya dan semua orang Muslim umumnya.
Namun, sesungguhnya, usaha Utsman itu tidak berjalan
tanpa tantangan. Ibn Mas'ud, salah seorang ahli membaca
al-Qur'an yang amat terkenal dan disegani, berkedudukan
di Kufah, sempat menunjukkan perasaan tidak sukanya
kepada kebijakan Utsman. Menurut para ahli akhirnya ia
patuh juga kepada keputusan Khalifah. Tetapi kejadian itu
tetap meninggalkan bekas, sekalipun akhirnya dapat
dinetralisasikan melalui usaha akomodasi berbagai versi
bacaan Kitab Suci dalam bentuk pengakuan keabsahan
"bacaan tujuh" (al-qira'at al-sab'ah).
Kebijaksanaan Utsman berkenaan dengan Kitab Suci itu
sungguh patut dipuji. Dan jika ummat Islam sesudah itu
menikmati kesatuan penulisan dan pembukuan Kitab Suci-nya
yang tidak ada bandingnya dalam sistim kepercayaan atau
faham lainnya mana pun juga, maka sebagian besar
keberuntungan itu adalah berkat jasa Utsman ibn Affan
yang bergelar Jami'al-Qur'an (Pengumpul al al-Qur'an).
(Bahkan kaum syi'ah yang dikenal sangat anti Utsman
itupun akhirnya juga mengakui jasa khalifah ketiga ini,
dengan menyesuaikan dan mengikuti cara penulisan Kitab
Suci menurut ejaan Utsman, sekalipun mereka agaknya juga
mempunyai jalur penuturan dariAli ibn Abi Thalib,
handalan utama mereka dalam masalah periwayatan).10
Dan seperti hampir semua kebijaksanaan Utsman yang lain,
tindakannya untuk menyatukan sistem penulisan al-Qur'an
itu pun dapat dikatakan sebagai kelanjutan kebijakan Umar
sebelumnya.
Salah satu kebijakan lagi dari Umar yang dilanjutkan atau
diwarisi oleh Utsman ialah yang berkenaan dengan sistem
keuangan negara. Umar disebut sebagai "yang pertama
menciptakan lembaga - lembaga" (Arab : awwal man
dawwana al-dawawin), khususnya lembaga atau sistem
penggajian tentera dengan besar dan kecilnya gaji
(sesungguhnya lebih tepat disebut lump sum) itu menurut
tingkat kepeloporan seseorang dan jasanya dalam agama
Islam. Maka untuk menunjang sistemnya inilah antara lain
Umar tidak mengizinkan tentera memiliki tanah - tanah
produktif (pertanian) di daerah - daerah yang telah
mereka bebaskan, khusunya di kawasan Bulan Sabit Subur.
Kebijakan Umar di bidang ini dan di bidang finansial pada
umumnya sangat dihargai oleh para ahli sejarah Islam
(khususnya, tentu saja, kalangan Sunni) dan diakui oleh
para ahli bukan-Muslim sebagai suatu tindakan seorang
genius dan bijak. (Juga Umarlah yang memprakarsai
pendirian lembaga keuangan yang dikenal dengan bayt
al-mal--harfiah berarti "rumah harta"). Tapi
ketika Utsman mewarisinya, ternyata sedikit demi sedikit
sistem Umar itu mulai menunjukkan segi - segi
kelemahannya. Ditambah lagi, seperti telah disinggung,
Utsman tidak memiliki wibawa dan kecakapan seperti
pendahulunya itu. Tentera di berbagai kota garnizun mulai
merasakan tidak adilnya penghasilan daerah mereka
dikontrol dan dibawa ke Madinah sebagai fay' (milik
negara). Mereka menginginkan untuk secara langsung
mengontrol dan menguasai penghasilan daerahnya masing -
masing itu. Ketidakpuasan ini masih harus ditambah,
sebagaimana telah dikemukakan, dengan gejala - gejala
nepotisme Umawi yang semakin terasa pada masa Utsman,
khususnya dalam bidang - bidang keuangan ini. Maka,
mengulangi perdebatan di masa Umar sekitar masalah tanah
- tanah pertanian daerah taklukan itu,11 para tentera
menghendaki agar tanah - tanah produktif itu langsung
dibagikan kepada tentera penakluk bersangkutan, dan
dilepaskan dari pengawasan Madinah, sama dengan harta
rampasan perang mana pun juga. Jadi berbeda dengan
pandangan Umar yang tidak melihatnya demikian.
Akumulasi dari semua ketidakpuasan terhadap Utsman itu
yang jelas sebagian bukan karena kesalahan Utsman sendiri
berakhir dengan pembunuhan Khalifah. Dan dengan begitu
dimulailah perang saudara selama lima tahun, hanya selang
sekitar seperempat abad sejak wafat Nabi.
Golongan - golongan Khawarij, Syi'ah dan Sunnah
Kejadian pembunuhan Utsman hanyalah permulaan, dan
hanyalah salah satu, dari deretan fitnah yang amat besar
pengaruhnya kepada terjadinya skisme dalam Islam. Segera
setelah Utsman terbunuh, maka, menurut sementara ahli
sejarah Islam, para bekas pembunuh itu atau simpatisan
mereka mensponsori pengangkatan Ali (ibn Abi Thalib)
sebagai khalifah, menggantikan Utsman. Kebetulan Ali yang
adalah kemenakan dan menantu Nabi, serta pelopor mula
pertama dalam Islam, telah tumbuh sejak zaman Nabi
sendiri sebagai seorang pahlawan, ahli perang (warrior)
yang tangkas, dengan sikap hidup yang penuh kesalihan dan
hikmah (wisdom) yang luas dan mendalam. Bagi banyak pihak
di Madinah, meskipun tidak disepakati oleh semua orang,
ketokohan Ali membuatnya paling tepat sebagai pengganti
(khalifah) Nabi, tidak hanya sekarang sesudah Utsman,
tapi sejak wafat Nabi sendiri. Tentang mengapa yang
terjadi ialah pengangkatan Abu Bakr, seorang Sahabat Nabi
yang amat dekat dan senior, serta mertua beliau (ayahanda
A'isyah, salah seorang isteri beliau yang amat
dicintainya) sebagai imam (imam, artinya orang yang
berdiri di depan, yakni, memimpin, khususnya dalam shalat
berjama'ah) ummat Islam di Madinah itu, adalah bahan
kontroversi yang serius, yang sampai sekarang masih
menjadi bahan pembicaraan. Tetapi agaknya penunjukan Abu
Bakr, dengan pensponsoran kuat dari Umar, lebih mirip
tindakan darurat (emergency), tercermin dari penggunaan
istilah Khalifah (pengganti) olehnya untuk tugasnya itu.
Baru di masa Umar sifat kedaruratan itu mulai hilang, dan
tumbuh kesadaran padanya akan sifat kepermanenan jabatan
pemimpin ummat Islam. Maka Umar, untuk sebutan resmi
jabatannya itu, memilih nama atau gelar Amir al-Mu'minin,
yakni, Komandan Orang - orang Beriman, karena memang
program utama masyarakat Islam waktu itu ialah
melancarkan ekspedisi - ekspedisi militer ke luar Jazirah
Arabia. Program itu sendiri konon sebagai kelanjutan
rintisan dan pelaksanaan pesan Nabi menjelang wafat.
Perkembangan pranata politik Islam pada saat pengangkatan
Ali ialah bahwa sistem kekhalifahan telah berjalan dan
tumbuh selama hampir seperempat abad, lengkap dengan
berbagai pelembagaannya yang sebagian besar-- sebagaimana
telah disinggung--diletakkan oleh Umar. Maka kekhalifahan
sebagai saat itu telah menjadi terlalu amat penting untuk
dilewatkan begitu saja, dan di hadapan berbagai kritis
yang mulai mengancam ummat Islam lembaga itu menjadi
rebutan dalam tema - tema "to be or not to be."
Telah disebutkan bahwa Ali sebenarnya adalah tokoh yang
amat tepat menghadapi situasi kritis itu. Tetapi
ketokohannya itu menjadi problem karena kenyataan bahwa
sejak semula ia, dibawa oleh sikapnya yang salih dan
populis, menunjukkan simpati kepada para pemrotes
kebijaksanaan Utsman, meskipun jelas mustahil mendukung
pembunuhannya. Maka suasana curiga kepada Ali dari banyak
pihak menjadi tak terhindarkan. Kecurigaan itu mewujudkan
diri dalam reaksi - reaksi tidak setuju kepada
pengangkatan Ali sebagai khalifah, tidak saja dari
kalangan yang secara langsung mempunyai hubungan darah
dengan Utsman, Khalifah terbunuh, yaitu kalangan kaum
Umawi (Umawi, anak cucu Umayyah ibn 'Abd Syams, ayah dari
pada kakek Mu'awiyah) tetapi juga dari tokoh - tokoh
seperti A'isyah, puteri Abu Bakr dan isteri Nabi yang
sangat dicintainya, juga al- Zubayr ibn al-Awwam, seorang
anggota keluarga Abu Bakr. Sedangkan dari kalangan kaum
Umawi, seperti dapat diduga, tuntutan untuk pengusutan
pembunuhan Utsman sangat keras, dipelopori oleh politikus
dan gubernur yang cakap, Mu'awiyah (anak abu Sufyan,
musuh utama Nabi sampai penaklukan Mekkah), dan dibantu
oleh 'Amr ibn al-'Ash, gubernur dan komandan militer yang
menaklukkan Mesir. Berbagai reaksi kurang menguntungkan
terhadap 'Ali itu tidak saja membuat situasi masyarakat
Islam yang masih muda dilanda suasana tak menentu dan
sedikit koatik. Reaksi - reaksi itu segera menyeret
masyarakat Islam ke dalam kancah peperangan sesama
mereka, dengan korban jiwa yang tidak sedikit. 'Ali yang
seorang ahli perang (warrior) yang cakap dan berani
agaknya dengan mudah mangalahkan A'isyah dan al-Zubayr di
pertempuran dekat Basrah yang kemudian dikenal sebagai
"Peristiwa Onta" (karena A'isyah memimpin
pasukan dengan menunggang onta, dan onta itu terbunuh
dalam pertempuran). Tetapi peristiwa itu sendiri
menimbulkan luka sosial-keagamaan pada ummat Islam yang
sampai sekarang belum seluruhnya tersembuhkan. Yang lebih
parah, dengan akibat yang amat jauh dalam bidang
sosial-keagamaan, ialah permusuhan antara Ali dan
Mu'awiyah. Juga disebabkan oleh kecakapan militernya, Ali
agaknya akan akhirnya memenangkan pertempurannya melawan
Mu'awiyah. Tetapi mungkin sebagai gabungan antara
kesalihan yang lebih mementingkan perdamaian dan sikap
meremehkan kepintaran, jika tidak bisa disebut kelicikan,
diplomatik Mu'awiyah dan para pendukungnya, Ali secara
iktikad baik dan "polos" menerima usul
arbitrasi di Shiffin. Akibatnya ialah bahwa ia justru
kehilangan dukungan dari para sponsornya yang gigih dan
militan, yang sejak semula menginginkan penyelesaian
militer terhadap Mu'awiyah. Mereka ini kemudian membentuk
kelompok ketiga, dan menamakan diri mereka kaum al-
Syurat, yakni, "orang - orang yang menjual diri
(kepada Allah)", dengan secara total menyerahkan dan
mengorbankan diri untuk agama yang benar. (Sebutan ini
merujuk kepada firman Allah, "Dan di antara manusia
ada yang 'menjual' dirinya demi memperoleh ridla Allah.
Dan Allah itu Maha Penyantun kepada para
hamban-Nya."12
Maka sebutan al-Syurat itu sekaligus memberi gambaran
tentang hakikat dan sifat gerakan mereka, yaitu gerakan
dengan semangat sendirinya mereka berkembang menjadi
kelompok dengan tingkat ekstremisme yang amat tinggi,
yang kemudian secara tak terhindarkan membawa mereka
kepada situasi mudah sekali terpecah-belah dan saling
bermusuhan, untuk akhirnya melanyapkan diri mereka
sendiri. Egalitarianisme radikal kelompok ini membawa
mereka kepada konsep - konsep sosial-politik yang
sesungguhnya lebih dekat kepada cita - cita Islam seperti
diletakkan oleh Nabi dan merupakan kelanjutan cita - cita
universal dalam tradisi bangsa - bangsa Irano-Semitik
sejak ratusan tahun, dan yang dengan kuat sekali mewarnai
pandangan - pandangan hidup di daerah Bulan Sabit Subur.
Tetapi karena dibawakan dengan militansi yang hampir tak
terkendalikan, maka konsep - konsep itu yang antara lain
melahirkan doktrin hijrah, yaitu semua orang harus
menyingkir dari tatanan mapan dan bergabung dengan mereka
demi iman yang benar telah menjerumuskan masyarakat Islam
kepada suasana "semua lawan semua", tanpa ada
pihak yang benar - benar diuntungkan. Korban yang paling
tragis dari ekstremisme mereka ialah Ali sendiri, seorang
tokoh yang pernah mereka unggulkan dengan penuh
antusiasme, namun akhirnya mereka habisi dalam suatu
pembunuhan politik. Karena kegiatan mereka yang selalu
merong-rong tatanan mapan, mereka kemudian lebih dikenal
sebagai kaum Khawarij (pembrontak). (Mereka juga
dinamakan kaum al-Haruriyyun, nisbat kepada oase
al-Harura dekat Kufah, tempat mereka berpangkalan).
Seperti telah dikatakan tadi, mereka ini kemudian
mengalami penghancuran diri sendiri (self annihilation)
justru karena watak mereka yang sangat akstrem. Akibatnya
ialah bahwa mereka hampir - hampir praktis tidak tertahan
untuk menyaksikan zaman modern sekarang ini.
Tetapi sebenarnya hanya secara fisik mereka boleh dikata
terhapus dari sejarah. Sedangkan secara doktrinal, justru
banyak sekali faham - faham keagamaan yang kini
berkembang dan mapan di kalangan kaum Muslimin dapat
ditelusur kembali sebagai berasal dari problematika kaum
Khawarij. Bahkan ada tanda - tanda bahwa problematika
kaum Khawarij itu, sebagaimana dahulu muncul dalam sistem
kalam kaum Mu'tazilah, kini menunjukkan daya tarik dan
vitalitasnya di kalangan sebagian kaum Muslim
"liberal" (dalam arti lebih banyak menunjukkan
sikap kritis dan mungkin ingin lepas dari kukungan
tatanan mapan sosial-keagamaan yang ada). Perkembangan
lebih lanjut masyarakat Islam setelah terbunuhnya Ali
oleh kaum Khawarij ialah pengakuan dan dukungan hampir
universal masyarakat kepada kekuasaan Mu'awiyah di
Damaskus, sekurang - kurangnya secara de facto. Terutama
pada tahun 41 Hijri, ummat Islam di bawah Mu'awiyah dapat
dikatakan kembali kepada keutuhannya yang semula, dan
orang dengan penuh harapan menyebut tahun itu sebagai
"Tahun Persatuan" (Amal-Jama'ah).13
Dengan modal persatuan itu Mu'awiyah dapat melanjutkan
program - program ekspansi militer dan politik yang
sempat tertunda beberapa lama oleh adanya fitnah.
(Mu'awiyah ternyata menunjukkan kecakapan memerintah yang
mengesankan, sehingga para ahli sejarah ada yang
mengatakan sebagai Khalifah Islam yang kedua terbesar,
yakni, sesudah Umar ibn al-Khaththab. Bahkan cukup
menarik bahwa ibn Taymiyyah, dalam polemiknya dengan kaum
Syi'ah, masih sempat menunjuk kepada kenyataan bahwa
sementara Ali mendapat dukungan bagi kekhalifahannya
hanya dari sebagian ummat Islam, Mu'awiyah mendapat
dukungan yang boleh dikata universal. Ini, dalam
pandangan Ibn Taymiyyah, menunjukkan segi tertentu
kelebihan Mu'awiyah atas Ali, meskipun ia tetap secara
keseluruhan mengunggulkan Ali atas lawannya itu).14
Tetapi setelah Mu'awiyah meninggal, keadaan kembali
kepada kekacauannya yang semula. Dengan maksud untuk
tidak mengambil risiko yang dapat mengganggu
"keseimbangan rawan" (delicate balance) susunan
masyarakat Islam yang ada dan yang diperoleh dengan
banyak pengorbanan itu, sudah sejak semula dalam
kekhalifahannya Mu'awiyah meminta agar masyarakat
menyetujui untuk mengangkat Yazid, anak sendiri, sebagai
penggantinya. sebagian besar masyarakat Islam menyetujuai
ide itu, dan Yazid pun dinyatakan sebagai Khalifah.
Tetapi kekhalifahan Yazid yang memang tidak banyak
memenuhi gambaran ideal seorang penguasa Muslim itu
segera mengundang munculnya kembali pertentangan -
pertentangan laten.
Tantangan terhadap Yazid mula - mula datang dari para
pendukung Ali yang memang nampak selalu siap menggunakan
setiap kesempatan. (Sesungguhnya mereka berharap,
sepeninggal Ali, agar Hasan, anaknya, mempertahankan
klaim kekhalifahan, menghadapi Mu'awiyah di Damaskus.
Tetapi Hasan mengecewakan mereka dengan sikapnya yang
lebih senang turun dari klaim itu dan hidup hampir
menyendiri secara damai di Madinah. Maka harapan para
pendukung Ali kini ditujukan kepada Husayn, saudara
Hasan, yang mereka undang untuk memberontak di Kufah,
Irak. Tetapi, sebelum tentera Syria datang menyerbu,
banyak kalangan penduduk Kufah sendiri yang menarik
dukungannya kepada Husayn, setelah berhasil dibujuk oleh
gubernur Syria. Husayn dengan kekuatan tenteranya yang
kecil menolak untuk menyerah, dan mereka ini terkucilkan
di padang pasir Karbala, dekat Kufah. Tentera Yazid
menghancurkan mereka, dan Husayn, putera Ali dan
Fathimah, cucu Nabi, terbunuh secara amat kejam dan
tragis.
Terbunuhnya Husayn, seperti terbunuhnya Utsman
sebelumnya, merupakan peristiwa terpenting dalam fitnah
kedua, yang mempunyai dampak amat luas dan mendalam pada
sistem sosial-keagamaan Islam sampai sekarang. Adalah
sejak peristiwa Karabala itu para pendukung setia Ali dan
keturunannya dikenal dengan sebutan kaum Syi'ah (yang
sebetulnya lengkapnya ialah syi'ah Ali. "Partai
Ali"). Dengan menggunakan sentimen umum terhadap
kematian tragis Husayn, kaum Syi'ah perlahan - lahan
mengkonsolidasikan diri dan mengembangkan pandangan -
pandangan sosial-politik keagamaan yang kelak menjadi
dasar sistem doktrinal Syi'isme. Tetapi Yazid tidak hanya
menghadapi tantangan dari kaum Syi'ah. Di Mekkah bangkit
Abdullah ibn al-Zubayr (ibn al-Awwam) yang ayahnya dahulu
pernah menentang Ali bersama A'isyah dan kalah kini
bangkit menentang Yazid dengan cukup efektif. Yazid tidak
bisa mengatasinya, dan setelah penguasa Damaskus ini
meninggal sesudah menjabat sebagai khalifah selama
sekitar tiga tahun saja, Abdullah oleh sebagian besar
ummat diakui sebagai khalifah yang sah, dengan Mekkah
sebagai ibukota.
Tetapi Abdullah tidak menikmati kekuasaan yang mantap. Di
luar kota Mekkah sendiri, meliputi sebagian besar
pedalaman Jazirah Arabia, khususnya di daerah pedesaan
atau badawah, kekuasaan berada di tangan kaum Khawarij
yang seperti selama ini melancarkan perang "hit and
run" terhadap Abdullah ibn al-Zubayr. Sebenarnya
kaum Khawarij ini hampir berhasil menghidupkan beberapa
nilai yang diajarkan oleh Nabi, khususnya faham persamaan
ummat menusia. Egalitarianisme mereka telah membuat
mereka termasuk yang pertama dalam sejarah Islam yang
tidak membeda bedakan antara Muslim Arab dan Muslim
bukan-Arab. Dan politik mereka yang menerapkan prinsip
non-intervensi terhadap kelompok - kelompok bukan-Muslim,
dengan membiarkan mereka dalam otonomi penuh mengurus
kepentingan mereka sendiri, telah membuat kaum Khawarij
cukup favorable di mata kaum bukan-Muslim.
Tetapi kaum Khawarij gagal memperoleh dukungan dari
kalangan Muslim yang lebih terorganisir di kota - kota.
Kebiasaan mereka untuk melakukan gerilya dalam kelompok -
kelompok penyerang yang disusun seperti sistem kabilah
sebelum Islam (masa Jahiliyah) telah mengundang antipati
orang - orang kota. Ini membuat kekuasaan kaum Khawarij,
meskipun selama fitnah kedua ini menguasai teritorial
yang paling luas, tidak pernah efektif. Apalagi, setelah
secara singkat menjadi pendukung Abdullah ibn al-Zubayr
pada saat permulaan penampilan khalifah Mekkah itu, kaum
Khawarij terpecah menjadi dua, yang berbasiskan Iran,
yang dikenal sebagai kaum Azariqah, menganggap siapa saja
yang tidak bergabung dengan mereka sebagai murtad, dengan
akibat hukum bunuh yang mereka laksanakan secara
konsekuen. Mereka ini akhirnya dikalahkan oleh tentera
Ibn al-Zubayr yang berpangkalan di Basrah, Irak.
Selain menghadapi kaum Khawarij, Ibn al-Zubayr masih
harus menyelesaikan masalah Syi'ah. Setelah mengalami
kekalahan yang tragis oleh Yazid di padang Karbala, kaum
Syi'ah sekali lagi mencoba memobilisasi diri dan
menemukan figur sentral mereka pada putera Ali yang lain,
yaitu Ibn al-Hanafiyyah. Pembrontakan kaum Syi'ah ini
dipimpin oleh Mukhtar ibn Abi Ubayd. Kaum Syi'ah, sama
halnya dengan kaum Khawarij, juga ingin menegakkan
prinsip persamaan manusia, namun dengan cara - cara yang
lebih moderat. Mereka dengan tegas mengambil sikap yang
menyamakan status antara orang - orang Muslim bukan-Arab
dengan Muslim Arab. Tetapi egalitarianisme mereka ini
justru membuat marah orang - orang Muslim Arab Kufah,
yang kemudian berpaling melawan mereka. Tantangan orang
Kufah ini mempermudah pembrontakan kaum Syi'ah untuk
dipatahkan oleh Ibn al-Zubayr dengan menggunakan kekuatan
tentera dari Basrah yang saat itu telah bebas dari tugas
menghadapi kaum Khawarij.
Keberhasilan Ibn al-Zubayr mematahkan kaum Khawarij dan
Syi'ah tidak berarti bahwa mereka benar - benar bebas
dari oposisi. Kaum Khawarij dan Syi'ah itu tetap
merupakan ancaman yang laten. Sementara itu, di utara, di
Syria, kekuatan - kekuatan oposisi kelanjutan kaum Umawi
berhasil mengkonsolidasi diri. Kaum Umawi yang berkoalisi
dengan kaum Banu Kalb (sandaran utama kekuatan Arab Syria
bagi kaum Umawi sejak masa Mu'awiyah) mengangkat Marwan
ibn al-Hakam, sepupu Mu'awiyah, sebagai Khalifah. (Adalah
Marwan ini yang dahulu bertindak sebagai penasehat utama
Khalifah Utsman ibn Affan dan didakwa sebagai dalang
pembunuhan pemimpin delegasi Mesir yang datang ke Madinah
untuk mengadukan perkara mereka, dan yang kemudian
membangkitkan amarah mereka dengan akibat pembunuhan
khalifah). Dengan cepat kekuatan kaum Umawi di Syria
sebagai salah satu kontestan untuk kekhalifahan tumbuh
dan berkembang, sehingga Mesir pun tidak lama jatuh ke
tangan Marwan dan anaknya, Abd al-Malik. Setelah menyusul
Irak Irak juga jatuh ke tangan kaum Umawi, yang berarti
hilangnya basis dukungan bagi Ibn al-Zubayr di Mekkah.
Kota - kota garnizun di bawah kepemimpinan kaum Umawi
yang tegar kini lebih efektif dalam melawan gerilya kaum
Khawarij dari pedalaman dibanding keadaan mereka dibawah
kepemimpinan Ibn al-Zubayr yang lunak. Hingga akhirnya
kaum Umawi berhasil merebut Mekkah sendiri (Ka'bah sempat
hancur dan harus dibangun kembali karena pertempuran
memperebutkan kota suci itu), dan di situ Khalifah
Abdullah ibn al-Zubayr (ibn al-Awwam) terbunuh.
Kini kekhalifahan sepenuhnya pindah ke tangan anak
Marwan, Abd al-Malik (692-705), yang oleh Hodgson disebut
sebagai khalifah Islam terbesar ketiga setelah Umar dan
Mu'awiyah. Segi kebenaran Abd al-Malik ialah bahwa ia
berhasil mengakhiri firnah (kedua), dengan melakukan
berbagai akomodasi. Dengan tegas Abd al-malik mendasarkan
sistemnya di atas konsep kekuatan (force). Maka negara
menjadi negara kekuasaan (macht staat), dan faham
keagamaan diperhitungkan hanya setelah jelas siapa yang
unggul melalui kekuatan itu. Juga penggantian
kekhalifahan dengan tegas didasarkan kepada pewarisan,
dalam bentuk suksesi melalui penunjukan oleh khalifah
yang terdahulu.
Kebesaran Abd al-Malik ibn Marwan yang lain terletak
dalam kegairahannya untuk menegaskan supremasi Islam
terhadap yang lain. Di sisi lain tindakannya bisa disebut
sebagai sejenis nasionalisme Arab. Tetapi ketika Abd al-
Malik mengganti mata uang logam Yunani yang bergambar
kepala raja mereka dengan mata uang logam khas Arab dan
Islam dengan simbol kalimah syahadat, maka efeknya ialah
penegasan kedaulatan Islam.
Berbeda dengan pandangan keagamaan kaum Khawarij dan
Syi'ah pandangan keagamaan kaum Umawi memang sangat berat
berwarna ke- Arab-an. Bagi mereka Islam adalah lambang
Arabisme yang dipersatukan, dan berfungsi terutama
sebagai kode etik dan dan ajaran disiplin bagi kekuatan
elite penakluk dan penguasa. Berdasarkan pandangannya itu
Abd al-Malik melihat pentingnya usaha lebih lanjut
mempersatukan orang -orang Arab di bawah bendera Islam
melawan kecenderungan kesukuan yang sampai saat itu masih
menunjukkan potensi latennya. Solidaritas Arab
berdasarkan Islam melawan kecenderungan kesukuan lama
(Jahiliyah) ini kemudian menjadi dasar ide tentang
Jama'ah, suatu konsep atau idiologi yang meletakkan nilai
- nilai persatuan dan kesatuan di atas semangat kesukuan
dan bahkan di atas faham - faham keagamaan faksional.
Sebagai dukungan asasi bagi konsep Jama'ah-Nya itu,
dengan dibantu oleh keahlian dan kesarjanaan al-Hajjaj
ibn Yusuf, bekas guru madrasah di Thaif, pada kalangan
Banu Tsaqif (yang sebelumnya telah membantu menaklukkan
Mekkah, membunuh Ibn al-Zubayr, dan menghancurkan Ka'bah
serta membangunnya kembali), Abd al- Malik meneruskan
usaha mempersatukan ummat Islam berkenaan dengan Kitab
Suci mereka, dengan memperbaiki cara penulisannya dan
memastikan harakat bacaannya melalui penambahan beberapa
diakritik dan vokalisasi (harakat).15 Dampak amat penting
tindakan ini ialah penyatuan yang lebih menyakinkan
seluruh kekuatan Islam (dan Arab), yang menjadi dasar
kebesaran kekuasaan Umawi (lebih tepat, Marwani,
sebagaimana sebutan pilihan sementara ahli sejarah
Islam). Melalui kebijaksanaan Abd al-Malik ibn Marwan ini
maka al-Qur'an mempunyai fungsi lain, yaitu sebagai
lambang persatuan dan kesatuan (Jama'ah) yang tak
tergugat. Kemudian dorongan untuk memahami lebih baik dan
melaksanakan ajarannya secara lebih tepat tumbuh dengan
pesat di kalangan umum. Maka dalam usaha memahami lebih
baik Kitab Suci itu dan melaksanakannya dalam kehidupan
nyata, kaum Muslimin, terlebih lagi para penguasa Umawi,
semakin banyak merasakan perlunya bahan rujukan dari
kebiasaan mapan (sunnah) masa lalu Islam, yang sebenarnya
belum lama berselang itu. Nampaknya masa lalu Islam itu
yang paling otoritatif, sudah tentu, ialah masa Nabi
sendiri. Tetapi, sepanjang mengenai pelaksanaan
pemerintahan sehari - hari, masa Umar ibn al-Khaththab
nampak paling banyak dijadikan rujukan. Maka kaum Umawi
di Damaskus itu, dalam masalah pemerintahan menurut
pengertian seluas - luasnya, jika pemerintahan itu harus
dijalankan dengan norma - norma keislaman, banyak
melanjutkan rintisan dan percontohan Umar ibn
al-Khaththab, dengan berbagai modifikasi dan penyesuaian.
Karena itu ketika para qadli sebagai pemegang semacam
kekuasaan yudikatif di daerah - daerah (Abd al-Malik
adalah orang pertama melembagakan jabatan qadli itu),
banyak referensi dilakukan kepada preseden yang ada dalam
sejarah Islam. Maka dengan begitu secara berangsur
tumbuhlah yurisprudensi Islam, yang kelak melahirkan
disiplin terpisah dalam ilmu - ilmu keagamaan Islam,
yaitu ilmu figh.16
Keperluan kepada bahan rujukan dari masa lalu (preseden)
untuk menetapkan hukum lambat-laun tumbuh manjadi
kesadaran tentang otoritas tradisi (sunnah) yang sah
(valid). Maka perhatian kepada cerita, anekdot, dan
penuturan tentang para tokoh masa lalu itu, khususnya
tentang Nabi sendiri dan para Sahabat, tapi juga tentang
tokoh - tokoh generasi ketiga ummat Islam, menjadi
semakin besar. Ini semua kelak disistematisasi dan
dikritik, untuk selanjutnya dikodifikasi, oleh para
sarjana hadits seperti al-Bukhari, Muslim, dll.
Para ahli mengatakan bahwa gerakan perorangan untuk
mencatat hadits telah terjadi sejak masa sangat awal
sejarah Islam, rupanya malah sejak masa nabi sendiri.
Tapi sejarah mencatat bahwa dorongan paling kuat ke arah
sana itu dimulai oleh Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (ibn
Marwan) yang dikenal sebagai Umar II (memerintah 717-720)
karena mengingatkan orang kepada Khalifah Umar ibn
al-Khaththab.
Umar II sebenarnya hanya melanjutkan kecenderungan yang
sudah ada pada kaum Mrwani/Umawi, khususnya sejak
kekhalifahan Abd al-Malik ibn Marwan. Dorongan yang amat
kuat untuk menyudahi berbagai fitnah yang telah
meninggalkan kesan -kesan penuh trauma itu telah
mengharuskan kaum Marwani/Umawi untuk menunjukkan sikap -
sikap yang lebih akomodatif dan kompromistis. Dalam
rangka ini, tindakan terpenting ialah mengakui Ali
sebagai khalifah yang sah, pada urutan keempat (artinya,
Utsman, anggota - anggota klan mereka, tetap lebih unggul
daripada Ali, namun Ali lebih unggul daripada Mu'awiyah,
juga anggota klan mereka tapi menjadi musuh Ali). Dengan
begitu kaum Marwani/Umawi meletakkan lendasan dialog
intern Islam yang meliputi semua, yang di situ setiap
kelompok memperoleh kehormatannya, sedikit atau pun
banyak. Tradisi ini berkembang dan tumbuh kuat, dan
menjadi dasar faham yang kini merupakan anutan terbesar
kaum Muslim di dunia, yaitu faham yang menggabungkan
antara ideologi Jama'ah (persatuan dan kesatuan) dan
ideologi Sunnah (faham yang memandang otoritas masa lalu
dan tradisi yang sah sebagai bahan rujukan), maka disebut
Ahl al- Sunnah wa al-Jama'ah, biasa disingkat dengan Ahl
al-Sunnah, lebih singkat lagi, golongan Sunni.
Penutup
Dikarenakan terbatasnya ruang dan sifat pembahasan, yang
dapat dikemukakan di atas hanyalah masalah - masalah
mendasar tentang faham - faham pecahan dini Islam, yaitu
Khawarij, Syi'ah dan Sunnah. Masing - masing pecahan itu
sesungguhnya pecah lagi ke dalam berbagai kelompok,
kemudian dibarengi atau disusul oleh munculnya berbagai
pecahan yang lain lagi. Uraian di atas, meskipun jauh
dari sempurna dan lengkap, diharap dapat memberi gambaran
(dan kesadaran) betapa relatifnya pangkal skisme dalam
Islam (karena berakar dalam pertikaian sosial-politik
yang sama sekali tidak mungkin lepas dari konteks ruang
dan waktu dalam pengertian yang seluas - luasnya). Maka
dengan jelas dapat dilihat betapa Absurd-nya memutlakkan
kebenaran suatu aliran faham dalam agama (Islam). Juga
bisa dilihat, betapa problematisnya kekhalifahan dan
kedudukan seorang khalifah, lebih - lebih lagi jika kita
perhitungkan pandangan semua kelompok mengenai masalah
kekhalifahan itu. (Patut diperhatikan, betapa kaum Syi'ah
cenderung hanya mengakui Ali, kaum Khawarij hanya Abu
Bakr dan Umar, kaum Umawi lama hanya Abu Bakr, Umar,
Utsman,plus Mu'awiyah, kaum Marwani/Umawi, sama dengan
golongan Sunni, mengakui semuanya namun dengan
mengunggulkan Utsman atas Ali dan Ali atas Mu'awiyah. Dan
setiap kelompok itu, dengan sendirinya, mempunyai sistem
dan teori pembenaran bagi pandangan masing - masing,
tidak jarang dinyatakan dalam gaya - gaya absolutistik
dan "pasti benar").
Maka kesimpulannya, mungkin yang diperlukan sekarang
ialah mengembangkan dasar fikiran non-sektarianisme, dan
melihat sektarianisme sebagai jenis kemusyrikan, sesuai
dengan peringatan, "Dan janganlah kamu termasuk
orang - orang musyrik, yaitu mereka yang memecah belah
agama mereka kemudian menjadi bersekte - sekte, setiap
golongan membanggakan apa yang ada pada mereka"
(yakni, antara lain, mengaku benar sendiri).17 Sebenarnya
semangat non-sektarianisme inilah salah satu pandangan
dasar Islam yang dibawa Nabi, karena mengambil pelajaran
dari pengalaman agama - agama sebelumnya, sebagai
tercermin dalam peringatan yang lain, "Sesungguhnya
mereka yang memecah belah agama mereka kemudian menjadi
bersekte - sekte, engkau (Muhammad) tidak sedikit pun
termasuk mereka."18 Semangat non-sektarianis itulah
salah satu makna yang dimaksud bahwa agama Tawhid Nabi
Ibrahim adalah hanif, yakni, sebagai jawab kecenderungan
alami manusia untuk memihak yang baik dan benar :
"Maka ikutilah olehmu semua agama Ibrahim, secara
hanif".19 Agaknya kita semua ditantang untuk
memerangi sektarianisme yang kini masih menggejala.
Wa llah a'lam bi al-shawab
Catatan
1. Q., S. al-Mu'minun/23:51-52.
2. Q., S. al-Baqarah/2:213.
3. Q., S. Hud/11:118-119.
4. Q., S. Yunus/10:19..tb5.tb5
5. A.Yusuf Ali, The Holy Qur'an, Translation and
Commentary (Jeddah : Dar al-Qibla, 1403 H), h. 488,
catatan 1407.
6. Sabda Nabi yang terbaca, Ikhtilaf ummati rahmah
(Perbedaan pendapat ummatku adalah rahmat). Cukup ironis
bahwa justru hadits ini pun diperselisihkan, baik dari
kesahihan sanadnya maupun dari segi lafalnya yang lebih
persis. Lafal lain terba ca, misalnya, Ikhtilaf
al-a'immah rahmah li al-ummah (Perbe daan pendapat para
imam adalah rahmat untuk ummat). Tapi betapa pun
diperselisihkan hadits itu nampaknya banyak dipercayai
para ahli. Rasyid Ridla, misalnya, memberi pengantar
dengan semangat hadits itu untuk penerbitan risalah Ibn
Taymiyyah, Khilaf al-Ummah fi al-Ibadat wa Madzhab Ahl
al- Sunnah wa al-Jama'ah (Perselisihan ummat dalam ibadat
dan Madzhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah), (Cairo :
Mathba;at al- Manar, 1325 H.).
7. Q., S. al-Ma'idah/5:51.
8. Mungkin bisa dikatakan sebagai suatu bentuk
penghidaran dari kenyataan pahit dalam sejarah Islam,
salah satu unsur dalam faham Sunni ialah semacam
konsensus untuk tidak membicarakan peristiwa - peristiwa
menyedihkan yang menyangkut peperangan dan perebutan
posisi politik yang terjadi antara para Sahabat Nabi
sekitar seperempat abad sesudah wafat beliau. Terdapat
pandangan bahwa kalangan "awam" sebaiknya tidak
membicarakan hal itu. (Lihat, misalnya, H. Muhammad
Shalih ibn Umar Samarani, Tarjamah Sabil al-Abid ala
Jawharat al-Tawhid [tanpa data penerbitan], hh.241-242).
9. Banyak bahan rujuknya dari literatur klasik untuk
pembahasan sekitar perkembangan dini sejarah Islam yang
menyangkut fitnah besar ini. Salah satunya ialah Tarikh
al-Thabari yang terkenal, yang meskipun ditulis di bawah
bayangan kuat idiologi Sunni namun sampai batas yang
cukup jauh tidak kehilangan sifat ilmiahnya. Tapi uraian
berikut banyak dibuat dengan bersandar kepada kepada
Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam, tiga jilid
(Chicago, The University of Chicago Press, 1974), jil. 1,
passim.
10. Bukan saja samasekali tidak ada perbedaan antara
al-Qur'an pada kaum Sunni dan al-Qur'an pada kaum Syi'i.
Bahkan al- Qur'an kaum Syi'i pun ditulis dengan mengikuti
ejaan atau rasm Utsmani, baik yang diterbitkan pada masa
pemerintahan Syah Reza Pahlewi maupun yang diterbitkan
pada masa pemerintahan Islam revolusioner (Khumaini).
Yang pertama diwakili oleh mushaf terbitan Mu'assasat
Intisyarat Amir Kabir, Teheran, 1343 H./1965 M. (Meskipun
tidak disebutkan dalam pengantar atau lainnya bahwa
mushaf itu ditulis dengan ejaan Utsmani, namun
kenyataannya ia persis sama dengan mushaf ejaan Utsmani).
Yang kedua diwakili oleh mushaf terbitan Mu'assasat
Intisyarat Shabirin, Teheran, 1405 Hijri qamari (lunar)
atau 1363 Hijri Syamsi (solar). Dalam kata penutup
terbitan mushaf ini (h. 983) ditegaskan oleh penerbit
bahwa mushaf itu menggunakan ejaan yang paling asli dan
paling awal, yang dikenal dengan "rasm
al-mushaf" atau "rasm Utsmani". Bahkan
qira'at atau bacaannya disebutkan, seperti pada mushaf -
mushaf Sunni, sebagai berasal dari riwayat Hafsh dari
Ashim, "yang dari jalur lain dari Imam Ali ibn Abi
Thalib".
11.Perdebatan itu terekam dalam karya seorang murid Imam
Abu Hanifah, Abu Ya'qub Yusuf, Kitab al-Kharaj.
12. Q., S. al-Baqarah/2:207.
13. Karena hampir semua kelompok Islam mengakui kekuasaan
de facto Mu'awiyah, maka tahun 41 Hijri disebut
"Tahun Persatuan" (Am al-Jama'ah). (Lihat,
al-Syaykh Muhammad al-Hudlari Bek, Tarikh al-Tasri
al-Islami, [Beirut, Dar al-Fikr, 1387 H/1967], h. 110,
juga h. 87). Dan kemudian konsep Jama'ah itu dikembangkan
sebagai idiologi.
14. Sangat menarik sebagai bahan studi lebih mendalam
mempelajari berbagai polemik sekitat Ali dan Mu'awiyah
ini. Misalnya, Ibn Taymiyyah, salah seorang pemikir Sunni
mazhab Hanbali yang sangat polemis terhadap golongan
Syi'ah, mengatakan, "Perilaku Mu'awiyah terhadap
rakyatnya adalah termasuk sebaik - baik perilaku para
penguasa, dan rakyatnya mencintainya. Padahal telah
mantap dalam al-Shahihayn (Bukhari-Muslim) dari Nabi
s.a.w. bahwa beliau bersabda, 'Sebaik - baik para
pemimpinmu ialah yang kamu cinta kepada mereka dan mereka
cinta kepada kamu dan berdo'a untuk bebaikanmu. Sedangkan
seburuk - buruk pemimpinmu ialah yang kamu benci kepada
mereka dan mereka benci kepadamu, serta kamu mengutuk
mereka dan mereka mengutuk kamu'." (Minhaj
al-Sunnah, jil. 3, h. 189). Sebaliknya tentang Ali, Ibn
Taymiyyah masih sempat mencatat demikian, "... Dan
tatkala dia (Ali) melamar anak perempuan Abu Jahl, beliau
(Nabi) bersabda, Bani al-Mughirah meminta izin kepadaku
untuk mengawinkan anak perempuan mereka kepada Ali. Dan
sungguh aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak
akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan!
Kecuali jika anak Abu Thalib itu menceraikan anak
perempuanku (Fathimah) dan kemudian kawin dengan anak
perempuan mereka. Demi Allah, tidak akan berkumpul
menjadi satu anak perempuan Rasulullah dengan anak
perempuan musuh Allah pada satu orang lelaki.'"
(ibid., h. 194). Jadi dalam kutipan pertama Ibn Taymiyyah
ingin mengesankan bahwa Mu'awiyah bertingkah laku sesuai
dengan Sunnah, dan dalam kutipan kedua ia mau memper
lihatkan betapa Ali pernah membuat hal yang menyakiti
hati Nabi.
15. Perlu diingat bahwa meskipun al-Qur'an telah
dipersatukan kodifikasinya oleh Utsman namun orang masih
mengalami kesulitan untuk memastikan pembacaannya,
kecuali mereka yang benar - benar mengenal bahasa Arab
karena dibesarkan sebagai orang Arab. Sedangkan mereka
yang tidak demikian keadaannya akan terbentur kepada
sistem huruf Arab, sama dengan huruf - huruf Semitik yang
lain, yang hanya mengenal konsonan, tanpa huruf hidup.
Sebagai contoh tulisan Arab tingkat awal itu berikut ini
adalah (foto) kopi surat Rasulullah kepada al-Mundzir ibn
Sawi, yang diturun oleh Dr Muhammad Hamidullah dengan
izin majalah orientalisme Jerman, Zeltschrift der
Deutschen Morgenlandischen dalam Majmu'at al-Watsa'iq
al-Siyasiyyah li al- Ahd al-Nabawi wa al- Khilafat
al-Rasyidah (Beirut : Dar al- Irsyad, 1389 H/1969),
dokumen No. 57 (antara hh. 114 dan 115):
Tulisan seperti di masa Rasulullah itulah yang juga
digunakan untuk kodifikasi al-Qur'an oleh Utsman dan
menghasilkan mushaf rasm Utsmani. Perhatikan bahwa untuk
perkembangan tulisan Arab saat itu, kesulitan masih harus
ditambah dengan tidak adanya perbedaan simbul untuk cukup
banyak bunyi, seperti untuk bunyi - bunyi ba', ta', tsa',
nun dan ya', dan antara bunyi - bunyi jim, ha' dan kha',
antara dal dan dzal, antara ra' dan za', antara sin dan
syin, antara shad dan dlad, antara tha' dan dha', antara
'ayn dan ghayn, akhirnya, antara fa' dan qaf. Maka
penambahan beberapa diakritik, seperti satu, dua, tiga
titik, di bawah dan di atas oleh al- Hajjaj merupakan
fase amat penting dalam sejarah metode penulisan
al-Qur'an.
16. Perkataan Arab "fiqh" sendiri berarti
"faham" (dalam makna "mengerti").
Penggunaan perkataan "figh" sebenarnya merujuk
kepada beberapa firman Allah, antara lain, "Kami
(Tuhan) telah merinci berbagai ayat untuk kaum yang
mengerti ('ber- figh')" (Q.,S. al-An'am/6:98), dan
"...Maka hendaklah dari setiap golongan ada satu
kelompok orang yang pergi (mencurahkan perhatian) untuk
memahami agama secara mendalam (ber-
tafaqquh)"...(Q.,S. al-Tawbah/9:122. Jadi yang
dimaksudkan dengan perkataan figh dalam firman - firman
itu pendalaman ajaran keagamaan secara menyeluruh. Tapi
karena dominasi dan supremasi persoalan penataan kembali
masyarakat saat - saat dini sejarah Islam, khususnya pada
masa dinasti Marwani itu (antara lain karena urgensi
mengatasi dan menyudahi fitnah yang berkelanjutan), maka
segi hukum dari agama juga amat dominan dan supreme,
sehingga pengetahuan mengenai masalah - masalah hukum pun
dianggap figh par excellence. Keadaan serupa itu bertahan
hampir sepanjang sejarah Islam sesudah masa Marwani,
sampai sekarang. Ini tercermin dalam bagaimana sebagian
besar kaum Muslim mempersepsi agamanya sebagai terutama
sistem hukum.
17. Q.,S. al-Rum/30:32.
18. Q.,S. al-An'am/6:159.
19. Q.,S. Alu Imran/3:95. Bahwa agama yang dibawa Nabi
Muhammad adalah juga agama Ibrahim ditegaskan dalam cukup
banyak ayat - ayat suci, antara lain, "Katakan
Muhammad, 'Sesungguhnya aku diberi petunjuk oleh Tuhanku
ke arah jalan yang lurus, yaitu agama yang teguh
(konsisten), agama (Nabi) Ibrahim yang hanif."
(Q.,S. al-An'am/6:161).
|