DISIPLIN KEILMUAN ISLAM TRADISIONAL: TASAUF
Oleh : Nurcholish Madjid
Event Artikel : KKA-20 (Jakarta, September 1988)
Diupdated pada: Rabu 28 Maret 2001

(Letak dan Peran Mistisisme dalam Penghayatan Keagamaan Islam)

Mukaddimah

Dalam sebuah hadits, Rasulullah s.a.w. disebutkan sebagai bersabda bahwa masa kenabian (nubuwwah) dan rahmat akan disusul oleh masa kekhalifahan kenabian (khilafat nubuwwah) dan rahmat, sesudah itu masa kerajaan (mulk) dan rahmat, kemudian masa kerajaan (saja).1 Ibn Taymiyyah menjelaskan bahwa masa "kenabian dan rahmat" itu ialah, tentu saja, masa Nabi sendiri. Sedangkan masa "kekhalifahan kenabian dan rahmat" berlangsung selama tiga puluh tahun sesudah wafat Nabi s.a.w., yaitu sejak permulaan kekhalifahan Abd Bakr, disusul 'Umar ibn al-Khaththab, kemudian 'Utsman ibn 'Affan, dan akhirnya 'Ali ibn Abi Thalib. Mereka adalah para pengganti (khalifah) Nabi yang kelak dikenal sebagai para khalifah yang berpetunjuk (al-khulafa' al-rasyidun). Sesudah masa para khalifah yang empat itu adalah masa "kerajaan dan rahmat."

Dari masa "kerajaan dan rahmat itu, menurut Ibn Taymiyyah, yang terbaik ialah masa "Raja" Mu'awiyah ibn Abi Sufyan di Damaskus. Ibn Taymiyyah mengatakan bahwa di antara raja - raja tidak ada yang menjalankan kekuasaan sebaik Mu'awiyah. Dialah sebaik - baik raja Islam, dan tindakannya lebih baik daripada tindakan para raja mana pun sesudahnya.2

Pandangan Ibn Taymiyyah itu khas faham Sunni, terutama dari kalangan mazhab Hanbali. Malah, sesungguhnya, apa pun yang terjadi pada Mu'awiyah akan dianggap Ibn Taymiyyah sebagai tidak bisa dipersalahkan begitu saja, karena dia adalah seorang Sahabat Nabi. Lebih jauh, Ibn Taymiyyah masih mempunyai alasan untuk memuji anak Mu'awiyah, yaitu "Raja" Yazid (yang oleh kaum Syi'ah dituding sebagai paling bertanggung jawab atas pembunuhan amat keji terhadap al-Husayn, cucunda Nabi), karena, kata Ibn Taymiyyah, Yazid adalah komandan tentera Islam yang pertama memerangi dan mencoba merebut Konstatinopel, sementara sebuah hadits menyebutkan adanya sabda Nabi: "Tentera pertama yang menyerbu Konstatinopel diampuni (oleh Allah akan segala dosanya)."3

Tetapi pandangan Ibn Taymiyyah itu berbeda dengan yang ada pada banyak kelompok Islam yang lain, termasuk dari kalangan kaum Sunni sendiri. Mereka ini berpendapat bahwa Mu'awiyah--tanpa mengabaikan jasa - jasa yang telah diperbuatnya--adalah orang yang pertama bertanggung jawab merubah sistem kekhalifahan yang terbuka (pengangkatan pemimpin tertinggi Islam melalui pemilihan) menjadi sistem kekhalifahan yang tertutup (pengangkatan pemimpin melalui penunjukan atau wasiat berdasarkan pertalian darah). Ini memang bisa disebut sistem kerajaan seperti dimaksudkan dalam hadits, tetapi Mu'awiyah dan para penggantinya, begitu pula para penguasa 'Abbasiyah, menyebut diri mereka masing - masing Khalifah (dari Nabi), bukan raja. Namun tetap ada suatu hal amat penting yang tersirat dalam pandangan - pandangan itu, yaitu suatu sistem yang adil telah diganti dengan sistem yang kurang adil, jika bukannya yang zalim.

Segi keadilan sistem kekhalifahan yang pertama tidak hanya ada dalam mekanisme penggantiannya melalui pemilihan, tetapi lebih - lebih lagi dalam mereka itu menjalankan kekuasaan dan pemerintahan. Penyebutan para pengganti Nabi yang pertama itu sebagai "berpetunjuk" (al-rasyidun) adalah terutama berkenaan dengan kualitas pemerintahan mereka itu.4

Dalam pandangan banyak orang - orang Muslim, pemerintahan masa kekhalifahan yang pertama adalah suatu bentuk keshalihan dan rasa keagamaan yang mendalam, sedangkan para penguasa Bani Umayyah hanya tertarik kepada kekuasaan itu sendiri saja. Kalau pun tidak begitu tepat untuk masa Mu'awiyah (dan 'Umar ibn 'Abd al- 'Aziz)--sebagaimana argumen untuk Mu'awiyah itu telah dikutip dari Ibn Taymiyyah di atas--penilaian serupa itu jelas dianggap berlaku untuk keseluruhan rezim Bani Umayyah, khususnya sejak kekuasaan Marwan ibn al-Hakam (60062 H/683-685 M). Apalagi Marwan ini pernah menjabat sebagai pembantu utama Khalifah 'Utsman ibn 'Affan (22-35 H/644-656 M), dan diduga keras berada di balik beberapa kebijakan, sejak saat itu tumbuh oposisi keagamaan kepada rezim Damaskus, tidak saja oleh musuh tradisioanal kaum Umayyah yang terdiri dari golongan Syi'ah dan Khawarij, tetapi juga oleh golongan Sunnah yang kaum Umayyah ikut mendukung dan melindungi pertumbuhan awalnya.

Pemimpin para khalifah, daerah kekuasaan politik Islam dengan amat cepat meluas sehingga meliputi hampir seluruh bagian dunia yang saat itu merupakan pusat peradaban manusia, khususnya kawasan inti yang terbentang dari Sungai Nil di barat sampai Sungai Amudarya (Oxus) di timur. Sukses luar biasa di bidang militer dan politik itu membawa berbagai akibat yang sangat luas. Salah satunya ialah bahwa sejak dari semula terdapat perhatian yang amat besar pada kaum Muslim, khususnya para penguasa, pada bidang - bidang yang menyangkut masalah pengaturan masyarakat. Maka tidaklah mengherankan bahwa dari berbagai segi agama Islam, bagian yang paling awal memperoleh banyak penggarapan yang serius, termasuk penyusunannya menjadi sistem yang integral, ialah yang berkenaan dengan hukum. Sedemikian rupa kuatnya posisi segi hukum dari ajaran agama itu, sehingga pemahaman hukum agama menjadi identik dengan pemahaman keseluruhan agama itu sendiri, yaitu "fiqh" (yang makna asalnya ialah "pemahaman"), dan jalan hidup berhukum menjadi identik dengan keseluruhan jalan hidup yang benar, yaitu "syari'ah" (yang makna asalnya ialah "jalan"). (Kata - kata "syari'ah" itu sebenarnya kurang lebih sama maknanya dengan kata - kata "sabil", "shirath, "minhaj", "mansak" ("manasik"), "maslak" ("suluk") dan "thariqah" yang juga digunakan dalam al-Qur'an.

Sudah tentu hal tersebut tidak seluruhnya salah. Dalam suatu masyarakat yang sering terancam oleh kekacuan (Arab: fawdla, yakni, chaos) karena fitnah - fitnah (dimulai dengan pembunuhan 'Utsman), dan jika masyarakat itu meliputi daerah kekuasaan yang sedemikian luas dan heterogennya, kepastian hukum dan peraturan, serta ketertiban dan keamanan, adalah nilai - nilai yang jelas amat berharga. Maka keshalihan pun banyak dinyatakan dalam ketaatan kepada ketentuan hukum, dan perlawanan kepada penguasa, khususnya perlawanan yang bersifat keagamaan (pious opposition), juga selalu menyertakan tuntutan agar hukum ditegakkan.

Tetapi keshalihan yang bertumpu kepada kesadaran hukum (betapa pun ia tidak bisa diabaikan samasekali karena mempunyai prioritas yang amat tinggi) akan banyak berurusan dengan tingkah laku lahiriah manusia, dan hanya secara parsial saja berurusan dengan hal - hal batiniah. Dengan kata - kata lain, orientasi fiqh dan Syari'ah lebih berat mengarah kepada eksoterisme, dengan kemungkinan mengabaikan esoterisisme yang lebih mendalam. Maka demikian pula gerakan oposisi terhadap praktek - praktek regimenter pemerintahan kaum Umawi di Damaskus. Sebagian bentuk oposisi itu terjadi karena dorongan politik semata, seperti gerakan oposisi orang - orang Arab Irak, karena para penguasa Damaskus lebih mendahulukan orang - orang Arab Syria. Tetapi sebagian lagi, justru yang libih umum, oposisi itu timbul karena pandangan bahwa kaum Umawi kurang "religius". Tokoh Hasan dari Basrah yang telah disebutkan di atas mawakili kelompok gerakan oposisi jenis ini. Ketokohan Hasan cukup hebat, sehingga kelompok - kelompok penentang rezim Umayyah banyak yang mengambil ilham dan semangatnya dari Hasan, termasuk kaum Mu'tazilah (Washil ibn 'Atha', yang dianggap pendiri Mu'tazilah, asalnya adalah murid Hasan), begitu pula para 'ulama' dengan orientasi Sunni, dan orang - orang Muslim dengan kecenderungan hidup zuhud (asketik). Mereka yang tersebut terakhir inilah, sejak munculnya di Basrah, yang disebut kaum Sufi (Shufi), konon karena pakaian mereka yang terdiri dari bahan wol (Arab: shuf) yang kasar sebagai lambang kezuhudan mereka. Dari kata - kata shuf itu pula terbentuk kata - kata tashawwuf (tasauf), yaitu, kurang lebih, ajaran kaum sufi.
Dalam perkembangannya lebih lanjut, Tasauf tidak lagi bersifat terutama sebagai oposisi politik. Meskipun semangat melawan atau mengimbangi susunan mapan dalam masyarakat selalu merupakan ciri yang segera dapat dikenal dari tingkah laku kaum Sufi, tetapi itu terjadi pada dasarnya karena dinamika perkembangan gagasan kesufian sendiri, yaitu setelah secara sadar sepenuhnya berkembang menjadi mistisisme. Tingkat perkembangan ini dicapai sebagai hasil pematangan dan pemuncakan rasa keshalihan pribadi, yaitu perkembangan ketika perhatian paling utama diberikan kepada kesadaran yang bersifat dan menjurus kedalam diri sendiri, yang membuat masalah historis dan politik ummat berperan hanya secara minimal saja.


Tarik - menarik Antara Syari'ah dan Thariqah

Perpisahan antara kedua orientasi keagamaan yang lahiri dan yang batini itu kemudian mewujudkan diri dalam divergensi sistem - sistem penalaran masing - masing pihak pendukungnya. Maka dalam kedua - duanya kemudian tumbuh cabang ilmu Keislaman yang berbeda satu dari yang lain, bahkan dalam beberapa hal tidak jarang bertentangan. Seolah - olah hendak berebut sumber legimitasi dari al-Qur'an, maka sebagaimana orientasi keagamaan eksoteris yang bertumpu kepada masalah - masalah kehukuman itu mengklaim sebagai faham keagamaan (fiqh) dan jalan kebenaran (syari'ah) par excellence, orientasi keagamaan esoteris yang bertumpu kepada masalah pengalaman dan kesadaran ruhani pribadi itu juga mengklaim diri sebagai pengetahuan keagamaan (ma'rifah) dan jalan menuju kebahagiaan (thariqah) par excellence.

Akibatnya, polemik dan kontroversi antara keduanya pun tidak selamanya bisa dihindari. Ibn Taymiyyah, misalnya, melukiskan pertentangan antara orientasi eksoteris dari kaum fiqh dengan orientasi esoteris dari kaum sufi sebagai serupa dengan pertentangan antara kaum Yahudi dan Kaum Kristen. Dengan terlebih dahulu mengutip firman Allah yang artinya, "Kaum Yahudi berkata, 'Orang - orang Kristen itu tidak ada apa - apanya,' dan kaum Kristen berkata, 'Orang - orang Yahudi itu tidak ada apa - apanya,'"5 Ibn Taymiyyah mengatakan: Anda dapatkan bahwa banyak dari kaum Fiqh, jika melihat kaum Sufi dan orang - orang yang beribadat (melulu), akan memandang mereka ini tidak ada apa - apanya, dan tidak mereka perhitungkan kecuali sebagai orang - orang bodoh dan sesat, sedangkan dalam tarekat mereka itu mereka tidak berpegang kepada ilmu serta kebenaran sedikitpun. Dan Anda juga dapatkan banyak dari kaum Sufi serta orang - orang yang menempuh hidup sebagai faqir tidak menganggap apa - apa kepada Syari 'ah dan ilmu (hukum); bahkan mereka menganggap bahwa orang yang berpegang kepada Syari'ah dan ilmu (hukum) itu terputus dari Allah, dan bahwa para penganutnya tidak memiliki apa - apa yang bermanfaat di sisi Allah.6

Ibn Taymiyyah tidak bermaksud menyalahkan salah satu dari keduanya, juga tidak hendak merendahkan sufi, sekalipun ia, sebagai seorang penganut mazhab Hanbali, sangat berat berpegang kepada segi - segi eksoteris Islam seperti diwakili dalam Syari'ah. Karena itu, Ibn Taymiyyah mengatakan: Yang benar ialah bahwa apa pun yang berdasarkan Kitab dan Sunnah pada kedua belah pihak itu adalah benar. Dan apa pun yang bertentangan dengan Kitab Sunnah pada kedua belah pihak adalah bathil.7 Tetapi tehadap pernyataan Ibn Taymiyyah ini, penyunting kitab Iqtidla' memberi catatan demikian:

Ini dengan asumsi bahwa dalam ajaran kesufian itu ada kebenaran. Jika tidak, maka sebenarnya ajaran kesufian itu pada dasarnya adalah diciptakan sesudah generasi utama, yang dalam masa generasi itu hidup sebaik - baik ummat dan para imam kebenaran pada ummat itu. Sesungguhnya Allah, dengan Kitab- Nya dan petunjuk Nabi-Nya s.a.w. telah membuat kaum beriman tidak memerlukan apa yang ada dalam ajaran kesufian, yang dianggap orang mampu melembutkan hati dan membersihkannya.8

Dari kutipan - kutipan itu dapat dirasakan betapa persimpangan jalan antara "kaum kebatinan" (ahl al-bawathin) dan "kaum kezahiran" (ahl al-dhawahir) dapat meningkat kepada batas - batas yang cukup gawat. Tetapi benarkah memang antara keduanya tidak terdapat titik pertemuan?

Tasauf sebagai Olah Ruhani

Ketika Nabi Muhammad s.a.w. disebut sebagai seorang Rasul yang paling berhasil dalam mewujudkan misi sucinya, bukti untuk mendukung penilaian itu ialah hal - hal yang bersifat sosial- politis, khususnya yang dalam bentuk keberhasilan ekspansi - ekspansi militer. Dan Nabi Muhammad s.a.w. sama dengan beberapa Nabi yang lain seperti Musa dan Dawud a.s., adalah seorang "Nabi Bersenjata" (Armed Prophet), sebagaimana dikatakan oleh sarjana sosilogi terkenal, Max Weber. Karena kenyataan itu, ada sementara ahli yang hendak mereduksikan misi Nabi Muhammad s.a.w. sebagai tidak lebih daripada suatu gerakan reformasi sosial, dengan program - program seperti pengangkatan martabat kaum lemah (khususnya kaum wanita dan budak), penegakan kekuasaan hukum, usaha mewujudkan keadilan sosial, tekanan kepada persamaan ummat manusia (egalitarianisme), dll. Dalam pandangan serupa itu, Nabi Muhammad s.a.w. tidak bisa disamakan dengan Nabi 'Isa al-Masih, karena ajaran Nabi Muhammad tidak banyak mengandung kedalaman keruhanian pribadi. Tetapi Nabi Muhammad s.a.w. lebih mirip dengan Nabi Musa a.s. dan para Rasul dari kalangan anak turun Nabi Ya'qub (Isra'il), yang mengajarkan tentang betapa pentingnya berpegang kepada hukum - hukum Taurat (Talmudic Law).

Bahwa Nabi Muhammad s.a.w. membawa reformasi sosial yang monumental kiranya sudah jelas. Al-Qur'an sendiri mengaitkan keimanan serta penerimaan seruan Nabi dengan usaha reformasi dunia (ishlah al-ardl). Tetapi diberbagai tempat dalam al-Qur'an juga disebutkan bahwa tugas reformasi dunia itu tidak hanya dipunyai oleh Nabi Muhammad, melainkan juga oleh para Nabi yang lain.9 Dan Nabi Muhammad memang telah melaksanakannya dengan sukses luar biasa. Salah satu pengakuan yang jujur dari pihak luar Islam atas sukses Nabi dalam membawa reformasi dunia ini ialah yang diberikan oleh Michael H. Hart. Dalam bukunya yang membuat urutan peringkatan seratus orang yang paling berpengaruh dalam sejarah ummat manusia, Hart menempatkan Nabi Muhammad sebagai manusia nomer satu yang paling berpengaruh. Ia menegaskan,

Jatuhnya pilihan saya kepada Nabi Muhammad dalam urutan pertama daftar Seratus Tokoh yang berpengaruh di dunia mungkin mengejutkan sementara pembaca dan mungkin jadi tanda tanya sebagian yang lain. Tapi saya berpegang pada keyakinan saya, dialah Nabi Muhammad satu - satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih sukses - sukses luar biasa baik ditilik dari ukuran agama maupun ruang lingkup duniawi.10

Namun di samping itu al-Qur'an juga banyak menegaskan tentang pentingnya orientasi keruhanian yang bersifat kedalam dan mengarah kepada pribadi. Justru sudah menjadi kesadaran para sarjana Islam sejak dari masa - masa awal bahwa Islam adalah agama pertengah (wasath) antara, di satu pihak, agama Yahudi yang legalistik dan banyak menekankan orientasi kemasyarakatan dan, di pihak lain, agama Kristen yang spiritualistik dan sangat memperhatikan kedalaman olah serta pengalaman ruhani serta membuat agama itu lembut. Seperti dikatakan Ibn Taymiyyah, "Syari'ah Taurat didominasi oleh ketegaran, dan Syari'ah Injil didominasi oleh kelembutan; sedangkan Syari'ah al-Qur'an menengahi dan meliputi keduanya itu."11

Maka sebagai bentuk pertengahan dan sekaligus antara kedua agama pendahulunya itu, Islam mengandung ajaran - ajaran hukum dengan orientasi kepada masalah - masalah tingkah laku manusia secara lahiriah seperti pada agama Yahudi, tapi juga mengandung ajaran - ajaran keruhanian yang mendalam seperti pada agama Kristen. Bahkan sesungguhnya antara keduanya itu tidak bisa di pisahkan, meskipun bisa dibedakan. Sebab ketika seorang Muslim dituntut untuk tunduk kepada suatu hukum tingkah laku lahiriah, ia diharapkan, malah diharuskan, menerimanya dengan ketulusan yang terbit dari lubuk hatinya. Ia harus merasakan ketentuan hukum itu sebagai sesuatu yang berakar dalam komitmen spiritualnya. Kenyataan ini tercermin dalam susunan kitab - kitab fiqih, yang selalu dimulai dengan bab pensucian (thaharah) lahir, sebagai awal pensucian batin.
Walaupun begitu, tetap ada kemungkinan orang mengenali mana yang lebih lahiriah, dan mana pula yang batiniah. Sebenarnya, sudah sejak zaman Rasulullah s.a.w. sendiri, terdapat kelompok para Sahabat Nabi yang lebih tertarik kepada hal - hal yang bersifat lebih batiniah itu. Disebut - sebut, misalnya, kelompok ahl al-shuffah, yaitu sejumlah Sahabat yang memilih hidup sebagai faqir, dan sangat setia kepada mesjid. Tidak heran bahwa kelompok ini, dalam literatur kesufian, sering diacu sebagai teladan kehidupan shalih di kalangan para Sahabat.

Al-Qur'an sendiri memuat berbagai firman yang merujuk kepada pengalaman spiritual Nabi. Misalnya, lukisan tentang dua kali pengalaman Nabi bertemu dan berhadapan dengan Malaikat Jibril dan Allah. Yang pertama ialah pengalaman beliau ketika menerima wahyu pertama di gua Hira', di atas Bukit Cahaya (Jabal Nur). Dan yang kedua ialah pengalaman beliau dengan perjalanan malam (isra') dan naik ke langit (mi'raj) yang terkenal itu. Kedua pengalaman Nabi itu dilukiskan dalam Kitab Suci demikian:

Demi bintang ketika sedang tenggelam Sahabatmu sekalian itu tidaklah sesat atau pun menyimpang Dan ia tidaklah berucap karena menurutkan keinginan Itu tidak lain adalah ajaran yang diwahyukan Diajarkan kepadanya oleh Jibril yang kuat perkasa Yang bijaksana, dan yang telah menampakkan diri secara sempurna Yaitu ketika ia berada di puncak cakrawala Kemudian ia pun mendekat, dan menghampiri Hingga sejarak kedua ujung busur panah, atau lebih dekat lagi Lalu Tuhan wahyukan kepada hamba-Nya wahyu yang dikehendaki. Tidaklah jiwa (Nabi) mendustakan yang dilihatnya sendiri Apakah kamu semua akan membantahnya tentang yang ia saksi kan? Padahal sungguh ia telah menyaksikan pada lain kesempatan Yaitu didekat Pohon Lotus, di alam penghabisan Di sebelahnya ada Surga tempat kediaman Ketika Pohon Lotus itu diliputi cahaya tak terlukiskan Penglihatan Nabi tidak bergoyah, dan tidak pula salah arah Sungguh ia telah menyaksikan tanda - tanda Tuhannya yang Agung tak terkira.12

Bagi kaum Sufi, pengalaman Nabi dalam Isra'-Mi'raj itu adalah sebuah contoh puncak pengalaman ruhani. Justru ia adalah pengalaman ruhani yang tertinggi, yang hanya bisa dipunyai oleh seorang Nabi. Namun kaum Sufi berusaha untuk meniru dan mengulanginya bagi diri mereka sendiri, dalam dimensi, skala dan format yang sepadan dengan kemampuan mereka. Sebab inti pengalaman itu ialah penghayatan yang pekat akan situasi diri yang sedang berada di hadapan Tuhan, dan bagaimana ia "bertemu" dengan Dzat Yang Maha Tinggi itu. "Pertemuan" dengan Tuhan adalah dengan sendirinya juga merupakan puncak kebahagiaan, yang dilukiskan dalam sebuah hadits sebagai "sesuatu yang tak pernah terlihat oleh mata." Sebab dalam "pertemuan" itu, segala rahasia kebenaran "tersingkap" (kasyf) untuk sang hamba, dan sang hamba pun lebur dan sirna (fana') dalam Kebenaran. Maka Ibn 'Arabi, misalnya, melukiskan "metode" atau thariqah-nya sebagai perjalanan ke arah penyingkapan Cahaya Ilahi, melalui pengunduran diri (khalwah) dari kehidupan ramai.13


Masalah Keabsahan Tasauf

Membicarakan keabsahan Tasauf dapat mengisyaratkan pengambilan sikap penghakiman (judgment) dengan implikasi yang serius, karena menyangkut masalah sampai di mana kita bisa dan berhak menilai pengalaman keruhanian seseorang. Telah disinggung bahwa mistisisme atau pengalaman mistis, tidak terkecuali yang ada pada kaum Sufi, selalu mengarah ke dalam, dan dengan sendirinya bersifat pribadi. Oleh karena itu pemgalaman mistis hampir mustahil dikomunikasikan kepada orang lain, dan selamanya akan lebih merupakan milik pribadi si empunya sendiri. Oleh karena itu sering terjadi adanya tingkah laku eksentrik dan "di luar garis", dan orang lain, lebih - lebih sesama Sufi sendiri, akan memandangnya dengan penuh pengertian, jika tidak malah kekaguman. Berbagai cerita tentang "wali" yang berkelakuan aneh, seperti banyak terdapat di berbagai negeri dan daerah Islam, adalah kelanjutan dari persepsi mistis ini.

Karena itu, bagi mereka yang lebih melihat diri mereka sebagai pemegang ajaran standar akan cepat mengutuk tingkah laku aneh itu sebagai tidak lebih daripada keeksentrikan yang absurd, tanpa makna, jika bukannya kesintingan atau bahkan tarikan syetan yang sesat.
Kesesatan yang paling gawat, di mata ahl al-dhawahir, ialah yang ada dalam kawasan teori dan pandangan dasar, yang mengarah kepada faham "kesatuan eksistensial" (wahdat al-wujud). Selain berbagai tokoh yang sudah dikenal umum, seperti al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar, penganut dan pengembang pandangan itu yang paling kaya namun "liar" ialah Ibn 'Arabi yang telah disinggung. Dalam bukunya, Fushush al-Hikam, Ibn "arabi berdendang dalam sebuah syair yang bernada "gurauan" dengan Tuhan:

(Maka Ia (Tuhan)-pun memujiku, dan aku memuji-Nya, dan Ia menyembahku, dan aku pun menyembah-Nya. Dalam keadaan lahir aku menyetujui-Nya, dan dalam keadaan hakiki aku menentang-Nya. Maka Ia pun mengenaliku, namun aku tak mengenali-Nya lalu aku pun mengenali-Nya, maka aku pun menyaksikan-Nya. Maka mana mungkin Ia tiada perlu, padahal aku menolong-Nya dan membahagiakan-Nya? Untuk inilah Kebenaran mewujudkan aku, sebab aku mengisi ilmu-Nya dan mewujudkan-Nya. Begitulah, sabda telah datang kepada kita, dan telah dinyatakan dalam diriku segala maksudnya).14

Ibn 'Arabi memang mengaku sebagai "kutub paraa wali" (quthb al-awliya'), bahkan pemungkasnya. Ia dituding oleh para 'ulama' Syari'ah sebagai yang paling bertanggungjawab atas penyelewengan - penyelewengan dalam Islam, khususnya yang terjadi di kalangan kaum Sufi. Namun bagi para pengikutnya dia adalah al-syaikh al- akbar (guru yang agung).

Kesulitan memahami literatur kesufian, seperti karya - karya Ibn 'Arabi ialah bahwa pengungkapan ide dan ajaran di dalamnya sering menggunakan kata kiasan (matsal) dan perlambang (ramz). Karena itu ungkapan - ungkapan yang ada harus difahami dalam kerangka interpretasi metaforis atau tafsirbatini (ta'wil). Dan adalah ta'wil itu memang yang menjadi metode pokok mereka dalam memahami teks - teks suci, baik Kitab Suci maupun Hadits Nabi.
Maka meskipun mereka menggunakan metode ta'wil, mereka sebenarnya tetap berpegang kepada sumber - sumber suci itu. Hanya saja, sejalan dengan metode mereka, mereka tidak memahami sumber - sumber itu menurut bunyi lahiriah tekstualnya. Inilah pangkal kontroversi mereka dengan kaum Syari'ah. Maka tidak jarang kaum Syari'ah yang mengutuk mereka sebagai sesat, seperti yang dilakukan oleh Ibn Taymiyyah terhadap Ibn 'Arabi.

Tapi, dalam semangat empatik, mungkin justru pengalaman mistis kaum Sufi harus dipandang sebagai bentuk pengalaman keagamaan yang sejati. Seperti pengalaman Nabi dalam Mi'raj yang tak terlukiskan, sehingga karenanya juga tak terkomunikasikan, pengalaman mistis kaum Sufi pun sesungguhnya berada diluar kemampuan rasio untuk menggambarkannya. Kaum Sufi gemar mengatakan bahwa untuk bisa mengetahui apa hakekat pengalaman itu, seseorang hanya mengalaminya sendiri. Mereka mempunyai perbendaharaan yang kaya untuk melukiskan kenyataan itu. Misalnya, tidak mungkinlah menjelaskan rasa manisnya madu jika orang tidak pernah mencicipi sendiri. Pengalaman mistis tertinggi menghasilkan situasi kejiwaan yang disebut ekstase. Dalam perbendaharaan kaum Sufi, ekstase itu sering dilukiskan sebagai keadaan mabuk kepayang oleh minuman kebenaran. Kebenaran (al-haqq) digambarkan sebagai minuman keras atau khamar. Bahkan untuk sebagian mereka minuman yang memabukkan itu tidak lain ialah apa yang mereka namakan "dlamir al-sya'n", yaitu kata - kata "an" yang berarti "bahwa" dalam kalimat syahadat pertama, Asyhadu an la ilaha illa 'Llah (Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah). Pelukisan ini untuk menunjukkan betapa intensenya mereka menghayati Tawhid, sehingga mereka tidak menyadari apa pun yang lain selain Dia Yang Maha Ada.

Karena itu, suatu pengalaman mistis mungkin akan hanya sekali terjadi dalam hidup seseorang, tanpa bisa diulangi. Ini diumpamakan dengan turunnya "malam kepastian" (laylat al-qadar), yang dalam al-Qur'an disebutkan sebagai lebih baik dari eribu bulan. Artinya, seseorang yang mengalami satu momen menentukan itu, ia akan terpengaruh oleh pesan yang dibawanya seumur hidupnya, yaitu sekitar seribu bulan atau delapan puluh tahun. Karena itu meskipun suatu pengalaman mistis sebagai suatu kejadian hanya bersifat sesaat (transitory), namun relevansinya bagi pembentukan budi pekerti akan bersifat abadi. Sebab dalam pengalaman intense sesaat itu orang berhasil menangkap suatu kebenaran yang utuh. Kesadaran akan kebenaran yang utuh itulah yang menimbulkan rasa bahagia dan tentram yang mendalam, suatu euphoria yang tak terlukiskan. Dan itulah kemabukan mistis. Kemudian, suatu hal yang amat penting ialah bahwa euphoria itu sekaligus disertai dengan kesadaran akan posisi, arti, dan peran diri sendiri yang proposional, yaitu "tahu diri" (ma'rifat al-nafs)15 yang tidak lebih daripada seorang makhluk yang harus tunduk - patuh dan pasrah bulat (islam) kepada Sang Maha Pencipta (al- Khaliq). Maka seorang Sufi, karena kepuasannya akan pengetahuan tentang Kebenaran, tidak banyak menuntut dalam hidup ini. Ia puas (qana'ah) dan lepas dari harapan kepada sesama makhluk. Ia bebas, karena ia merasa perlu (faqir) hanya kepada Allah yang dapat ia temui di mana saja melalui apresiasi akan nama - nama (kualitas - kualitas) Tuhan yang indah (al-asma' al-husna), dan dengan apresiasi itu ia menemukan keutuhan dan keseimbangan dirinya.

Hidup penuh sikap pasrah itu memang bisa mengesankan kepasifan dan eskapisme. Tapi sebagai dorongan hidup bermoral, pengalaman mistis kaum Sufi sebetulnya merupakan suatu kedahsyatan. Karena itulah ajaran Tasauf juga disebut sebagai ajaran akhlak. Dan akhlak yang hendak mereka wujudkan ialah yang merupakan "tiruan" akhlak Tuhan, sesuai dengan sabda Nabi yang mereka pegang teguh, "Berakhlaklah kamu semua dengan akhlak Allah." Wa 'Llahu a'lamu bi al-shawab

Catatan:

1. Hadits ini dikutip oleh Ibn Taymiyyah dalam kitabnya, Minhaj al-Sunnah fi Naqdl Kalam al-Syi'ah wa al-Qadariyyah, 4 jilid, (Riyadl: Maktab al-Riyadl al-Hadits, tanpa tahun), jil. IV, h. 121.

2. Ibid.

3. Sebuah hadits diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab shahihnya, dari 'Abdullah ibn 'Umar, dikutip daaan dijabarkan oleh Ibn Taymiyyah (Ibid., jil. II, h. 329).

4. Pandangan yang cukup umum di kalangan orang - orang Muslim ini menjadi dasar sarjana sosiologi terkenal, Robert N. Bellah, untuk membuat penilaian--sebagaimana dalam kesempatan lain telah dikemukakan--bahwa Islam mengajarkan sistem politik yang terbukadan "modern". Tetapi karena prasarana sosialnya pada bangsa Arab dan dunia saat itu belum siap, maka sistem kekhalifahan Islam itu tidak bertahan lama, dan diganti dengan sistem "kerajaan" Bani Umayyah yang menurut Bellah tidak lain ialah penghidupan kembali sistem tribalisme Arab yang telah ada sebelum kedatangan Islam. Maka Bellah dapat memahami mengapaa orang - orang Muslim modern, dalam mencari acuan untuk cita - cita politik mereka, senantiasa merujuk kepada masa kekhalifahan pertama sebagai model. (Lihat Robert N. Bellah, Beyond Belief (New York: Harper & Row, 1976), hh. 150-51).

5. Q., s. al-Baqarah/2:113.

6. Ibn Taymiyyah, Iqtidla' al-Shirath al-Mustaqim (Beirut: Dar al-Fikr, tanpa tahun), h. 10.

7. Ibid.

8. Ibid.

9. Lihat, a.l., Q., s. al-A'raf/7:56 dan 85.

10.Michael H. Hart, The 100, aa Ranking of the Most Influential Persons in History, terjemah Indonesia oleh H. Mahbud Djunaidi, "Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah", (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), h. 27.

11.Ibn Taymiyyah, Al-Jawab al-Shahih li Man Baddala Din al- Masih, 4 jilid, (Beirut:(?): Mathabi' al-Majd al-Tijariyyah, tanpa tahun), jil. 3, h. 240.

12.Q., s. al-Najm/53:1-18.

13.Salah satu buku Muhy al-Din ibn 'Arabi berjudul, dalam Bahasa Arab, Risalat al-Anwar fi ma Yumnah Shahib al-Khalwah min al-Asrar (Risalah Cahaya tentang Berbagai Rahasia yang dikaruniakan kepada orang yang melakukan pengunduran diri (khalwah), diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Rabia Terri Harris, Journey to the Lord of Power (New York: Inner Traditions International, 1981).

14.Muhy al-Din ibn 'Arabi, Fushush al-Hikam, h. 83. Cf terjemahan Inggris oleh R.W.J. Austin, The Bezels of Wisdom (New York: Paulist Press, 1980), h. 95.

15.Karena itu dikalangan kaum Sufi terkenal ungkapan dalam Bahasa Arab, "Man 'arafa nafsahu fa qad 'arafa Rabbahu" (Barang siapa tahu dirinya maka ia akan tahu Tuhannya). Karena pengetahuan tentang diri secara proposional adalah indikasi pengetahuan akan Kebenaran yang bulat.