ETOS KERJA DALAM ISLAM DI TENGAH IDEOLOGI-IDEOLOG LAIN
Oleh : Nurcholish Madjid
Event Artikel : KKA KE-30
Diupdated pada: Rabu 28 Maret 2001

1. Sesungguhnya masalah etos kerja itu cukup rumit. Nampaknya tidak ada teori tunggal yang dapat menerangkan segala segi gejalanya, juga bagaimana menumbuhkannya dari yang lemah ke arah yang lebih iuat atau lebih baik. Kadang-kadang nampak bahwa etos kerja dipengaruhi oleh sistem kepercayaan, seperti agama, kadang-kadang nampak seperti tidak lebih dari hasil tingkat perkembangan ekonomi tertentu masyarakat saja.

2. Kesan bahwa etos kerja terkait dengan sistem kepercayaan diperoleh karena pengamatan bahwa masyarakat tertentu dengan sistem kepercayaan tertentu memiliki etos kerja lebih baik (atau lebih buruk) daripada masyarakat lain dengan sistem kepercayaan lain. Misalnya, yang paling terkenal ialah pengamatan Max Weber terhadap masyarakat Protestan aliran Calvinisme, yang kemudian dia angkat menjadi dasar dari apa yang terkenal dengan "Etika Protestan". Para peneliti lain juga melihat gejala yang sama pada masyarakat-masyarakat dengan sistem-sistem kepercayaan yang berbeda seperti masyarakat Tokugawa di Jepang (oleh Robert Bellah), Santri di Jawa (oleh Geertz) dan Hindu Brahmana di Bali (juga oleh Geertz), dan seorang peneliti mengamati hal serupa untuk kaum Isma'ili di Afrika Timur.

3. Kesan bahwa etos kerja terkait dengan tingkat perkemgangan ekonomi tertentu, merupakan hasil pengamatan terhadap masyarakat-masyarakat tertentu yang etos kerjanya menjadi baik setelah mencapai kamajuan ekonomi tertentu, seperti umumnya Negara-negara Industri Baru di Asia Timur, yaitu Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong dan Singapura. Disebutkan bahwa Singapura, misalnya, menunjukkan peningkatan etos kerja warga negaranya setelah mencapai tingkat perkembanan ekonomi yang cukup tinggi. Peningkatan etos kerja di sana kemudian mendorong laju perkembangan yang lebih cepat lagi sehingga negara kota itu menjadi seperti sekarang.

4. Kalau dalam diskusi kita ini, sesuai dengan yang digariskan oleh Panitia, hendak dibicarakan etos kerja dalam Islam, maka dasar pemikirannya ialah bahwa Islam, sebagai suatu sistem keimanan, tentunya mempunyai pandangan tertentu yang positif kepada masalah etos kerja. Relevansi pembicaraan ini kepada masalah nasional ialah kenyataan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia beragama Islam. Jadi suatu pendekatan dari sudut keislaman dapat diharapkan mempunyai dampak yang langsung kepada penanggulangan masalah etos kerja itu, jika memang pada bangsa kita di bidang etos kerja itu ada masalah.

5. Karena agama bertitik tolak dari keimanan, maka setiap percobaan menjawab suatu masalah dari sudut pandangan keagamaan juga bertitik tolak dari keimanan. Ini berarti pertama-tama kita berbicara dari sudut ajaran agama itu.
Kenyataan empirik dapat terjadi mendukung klaim dari segi ajaran, tapi juga dapat terjadi tidak mendukung. Karena kenyataan empirik tidak berdiri sendiri melainkan merupakan akibat dari berbagai faktor, maka penjelasan tentang kenyataan empirik itu tidak dapat diberikan hanya dari satu sudut pertimbangan saja, seperti pertimbangan ajaran (yang "murni") semata, tetapi juga melibatkan sudut pertimbangan historis, sosiologis, dan faktor-faktor lingkungan lain, baik di luar diri manusia maupun dalam dirinya sendiri.

6. Satu hal barangkali cukup jelas. Yaitu bahwa adanya etos kerja yang kuat memerlukan kesadaran pada orang bersangkutan tentang kaitan suatu kerja dengan pandangan hidupnya yang lebih menyeluruh, yang pandangan hidup itu memberinya keinsafan akan makna dan tujuan hidupnya. Dengan kata lain, seseorang agaknya akan sulit melakukan suatu pekerjaan dengan tekun jika pekerjaan itu tidak bermakna baginya, dan tidak bersangkutan dengan tujuan hidupnya yang lebih tinggi, langsung ataupun tidak langsung.

7. Maka etos kerja dalam Islam adalah hasil suatu kepercayaan pada seorang Muslim bahwa kerja mempunyai kaitan dengan tujuan hidupnya, yaitu memperoleh perkanan Allah s.w.t. Berkaitan dengan ini barangkali kita dapat memulai pembicaraan dengan menegaskan kembali apa yang sudah kita ketahui bersama, yaitu bahwa Islam adalah agama amal atau kerja (praxis). Intinya ialah ajaran bahwa hamba mendekati dan berusaha memperoleh ridla Allah melalui kerja atau amal salih, dan dengan memurnikan sikap penyembahan hanya kepada-Nya. (Lihat Q., 18:110).

8. Berhubungan dengan itu adalah penegasan tentang adanya tanggung jawab pribadi yang mutlak kelak di akhirat tanpa ada kemungkinan pelimpahan "pahala" atau "dosa" kepada orang lain, dan berdasarkan apa yang telah diperbuat oleh diri perorangan yang bersangkutan sendiri. Al-Qur'an menegaskan, "Belumkah disampaikan berita tentang apa yang ada dalam lembaran-lembaran suci Musa, dan Ibrahim yang setia? Yaitu bahwa tidak seorangpun yang berdosa bakal menanggung dosa orang lain, dan bahwa tidaklah seseorang mendapatkan sesuatu apapun kecuali yang ia sendiri usahakan" (Q., 53:38). Jadi Islam adalah agama yang mengajarkan "orientasi kerja" (achievement-orientation), sebagaimana juga dinyatakan dalam ungkapan bahwa "Penghargaan dalam Jahiliah berdasarkan keturunan, dan penghargaan dalam Islam berdasarkan amal." 1

9. Tetapi, berlawanan dengan itu semua, secara empirik sering dikemukakan penilaian negatif bahwa umat Islam menderita penyakit fatalisme atau paham nasib, yang kemudian membuat mereka pasif dan "nerimo ing pandum". Jelas sekali bahwa membuat generalisasi penilaian serupa itu untuk seluruh umat Islam tidaklah dapat dibenarkan. Hanya saja, dalam rangka polemik klasik antara paham "jabariyah" (predeterminisme) dan "qadariyah" (kebebasan manusia) yang di banyak kalangan Islam masih berlangsung sampai sekarang, sikap-sikap yang mengarah kepada jabariyah memang sering diketemukan. Misalnya seperti yang tercermin dalam beberapa bait Jawharat al-Taw?Id, sebuah kitab "kuning" di bidang akidah yang populer, seperti berikut:

Bagi kita seorang hamba dibebani kewajiban untuk berusaha,
Namun usahanya itu, ketahuilah, tak berpengaruh apa-apa
Jadi dia hamba itu tidaklah terpaksa namun tidak pula mampu membuat pilihan,
dan tidak seorangpun dapat berbuat menurut pilihannya.
Keberuntungan orang yang bahagia sudah ada pada-Nya sejak zaman azali,
begitu pula nasib orang yang celaka, dan tidak berubah lagi.
Jika Dia memberi kita pahala, maka itu adalah karena kemurahan-Nya,
dan jika Dia menyiksa kita, maka itu adalah karena keadilan-Nya.2

10. Tapi di kalangan para pengikut madzhab Hanbali menunjukkan kecenderungan lebih "qadari" daripada yang tersebut di atas itu. Ini dicerminkan, misalnya, dalam nazham yang dinisbatkan kepada Ibn Taimiyyah, yang merupakan bantahan atas semangat nazham terdahulu:

Tidaklah seorang hamba dapat lari dari yang telah ditentukan-Nya,
Namun ia tetap mampu memilih mana yang baik dan mana yang buruk.
Jadi dia tidaklah terpaksa tanpa punya kemauan,
melainkan dia itu berkehendak karena ada kemauan yang diciptakan.3

11. Dari bahan-bahan di atas itu diketahui bahwa dalam masyarakat kita terdapat potensi fatalisme. Sudah tentu akan merupakan kesimpulan yang gegabah jika kita katakan bahwa karena adanya bahan-bahan tekstual dari sebuah kitab Ilmu Akidah tersebut maka masyarakat kita bersifat fatalis. Seringkali terdapat kesenjangan antara ajaran yang tercantum dalam sebuah teks kitab dan kenyataan sosial. Maka sekalipun teks menyatakan hal-hal yang fatalistis, namun tidak mustahil masyarakat tetap aktif, tidak terpengaruh oleh doktrin yang membuat orang menjadi pasif itu.

12. Disamping itu, juga tersedia bahan yang dapat digunakan untuk menghapus potensi fatalis tersebut, jika memang ada gejala itu. Maka kita harus memperhatikan kenyataan adanya berbagai tafsiran terhadap teks. Banyak dari tasiran itu kemudian menghasilkan pandangan hidup yang lebih aktif dan kurang fatalis. Contohnya ialah tafsiran yang diberikan oleh Kiyahi Shali? dari Pesantren Meranggen Semarang (terkenal dengan sebutan Kiyahi Sholeh Darat), dalam kitabnya, Sabil al-'Abid fi Tarjamat Jawharat al-Tawhid, demikian:

Rasulullah s.a.w. bersabda: "Telah kuperintahkan kepada umatku jangan sampai berpegang kepada taqdir." Seorang sahabat menyahut: "Apakah kami tidak boleh berpegang kepada taqdir dan meninggalkan kerja?" Rasulullah menjawab: "Jangan! Bekerjalah, sebab setiap orang dimudahkan menuju taqdir dan kepastiannya." [Dituturkan oleh al-Bukhari]. Kalau taqdirnya sengsara [masuk neraka] maka dia mudah bermaksiat; dan jika taqdirnya bahagia [masuk surga], maka dia mudah taat [kepada Allah]; kalau taqdirnya kaya, maka mudah usahanya; dan kalau taqdirnya miskin, maka sulit usahanya. . . . Rasulullah s.a.w. bersabda: "Mencari rizki yang halal itu wajib atas setiap orang Islam." Jadi hadits ini menunjukkan bahwa mencari rizki dengan usaha itu wajib, supaya tidak mengemis, sebab mengemis itu haram.4

13. Jadi, dengan kutipan dari Kiyahi Sholeh Darat itu kita memperoleh contoh suatu kemungkinan tafsiran yang dinamis, serta tetap absah, untuk suatu butir akidah yang sepintas lalu seperti mengajarkan fatalisme. Para pemuka Islam dituntut untuk mampu menemukan, mengemukakan, dan mengembangkan tafsiran-tafsiran dinamis. Tidak saja karena perkembangan masyarakat memerlukan tafsiran serupa itu, tapi lebih prinsipil lagi karena yang diterangkan oleh Kiyahi Sholeh Darat itu lebih sejalan dengan ajaran Al-Qur'an seperti telah dikutip di atas.

14. Sementara itu, mungkin sangat berguna jika kita sejenak melihat kembali masalah etos kerja ini, sebagaimana telah disinggung di muka berkenaan dengan kontroversi qadariyah-jabariyah, dengan mengaitkannya kepada masalah "takdir" (taqdir, sebagai istilah Ilmu Kalam) dan "ikhtiar" (ikhtiyar). Dalam hal ini penting sekali kita telaah bahwa sesungguhnya firman Allah yang dijadikan acuan untuk faham takdir atau penentuan nasib (predeterminism) berbicara tentang hal sudah terjadi pada seorang manusia, baik atau pun buruk, dan mengajarkan agar manusia menerima hal yang sudah terjadi itu sebagai sesuatu yang sudah lewat sesuai dengan kehendak Allah, yang harus diterima dengan penuh ketulusan dan pasrah, tanpa keluh kesah jika ditimpa kemalangan, dan tanpa menjadi congkak jika mengalami keberhasilan. (Lihat Q., 57:23).

15. Sedangkan untuk hal yang belum terjadi, yaitu sesuatu yang masih berada di masa depan, maka sikap yang diajarkan agama bukanlah kepasifan menunggu nasib, melainkan keaktifan memilih (makna kata Arab ikhtiyar) yang terbaik dari segala kemungkinan yang tersedia, demi mencapai tujuan yang baik. Iman dan taqwa dikaitkan dengan keaktifan menyiapkan diri menghadapi masa depan itu, dan bukannya sikap pasif dan nerimo karena menunggu nasib. Pribadi yang beriman dan bertaqwa harus menyiapkan diri untuk hari esok. (Lihat Q., 59:18).

16. Dalam rangka ikhtiar itu manusia diperintahkan untuk memperhatikan hukum-hukum (dari Tuhan) yang berlaku pada alam secara keseluruhan (yang dalam Al-Qur'an hukum-hukum itu disebut taqdir - Lihat, Q., 25:2, 54:49, 6:96 dan 36:38), seperti juga diperintahkan agar manusia memperhatikan hukum-hukum (dari Tuhan) yang berlaku pada masyarakat manusia dalam sejarah (yang dalam Al-Qur'an hukum-hukum ini disebut Sunnatullah - Lihat Q., 33:38, 33:62, 35:43).

17. Hasil pengamatan manusia kepada alam dan sejarah membuahkan ilmu pengetahuan, yaitu, kurang lebih, pengetahuan alam dan pengetahuan sosial. Dengan ilmu inilah manusia memiliki kemampuan melakukan ikhtiar atau pilihan alternatif yang sebaik-baiknya guna mencapai efektifitas dan efisiensi kerja yang setinggi-tingginya. Maka ilmu merupakan faktor keunggulan yang amat penting. Bersama dengan iman yang mendasari motivasi kerja (karena terkait dengan keinsafan akan makna dan tujuan hidup yang tinggi di atas), ilmu merupakan faktor yang membuat seseorang atau kelompok menjadi lebih unggul daripada yang lain. (Lihat Q., 58:11).

18. Dari hal di atas itu jelas bahwa kemajuan suatu bangsa atau masyarakat akan mempunyai dampak positif kepada peningkatan etos kerja para warganya. Sebab dalam kemajuan suatu bangsa itu tentu langsung atau tidak langsung terbawa serta perkembangan dan kemajuan ilmu. Dan ilmu itu, dalam ungkapan yang lebih operatif, tidak lain ialah kefahaman manusia akan situasi, kondisi dan lingkungan yang terkait dan mempengaruhi kerjanya untuk berhasil atau tidak. Ilmu memfasilitasi kerja, dan fasilitas itu, pada urutannya, mempertinggi motivasi kerja dan memperkuat etos kerja. Sebagaimana disabdakan Nabi s.a.w., ilmu, setelah iman, adalah jaminan utama keberhasilan di dunia, di akhirat, dan di dunia-akhirat sekaligus.

19. Mengenai persoalan takdir dan ikhtiar di atas, nampaknya ideologi-ideologi lain di luar Islam juga membahasnya. Dalam Marxisme, V. Afanasyev, dengan ajaran Kristen seperti difahaminya ada dalam benaknya, mengatakan bahwa "Materialisme dialektika menolak pengertian idealis tentang hukum-hukum (alam) dan menampik fatalisme, yaitu, penyembahan buta kepada hukum-hukum (alam), serta tidak adanya kepercayaan kepada akal manusia dan kepada kemampuan manusia untuk memahami hukum-hukum itu dan menggunakannya."5

20. Dari segi akibat lahiriahnya, pernyataan Afanasyev itu tidaklah berbeda dengan apa yang telah dikemukakan di atas dari sudut pandangan Islam: yaitu manusia perlu, dan mampu, memahami hukum-hukum lingkungan kerjanya dan dapat menggunakan hukum-hukum itu untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerjanya. Tapi ketika seorang Marxis menolak kepercayaan kepada Tuhan, maka ia juga menolak adanya makna hidup yang transendental, dengan membatasi makna hidupnya hanya kepada yang "terrestrial" (terbatas kepada kehidupan di bumi saja).

21. Digabung dengan paham kebendaan (materialisme, dalam arti falsafah), penolakan kepada wujud gaib nampaknya telah menggiring kaum Marxis kepada sikap hidup yang mengandalkan hanya kepada pengawasan moral lahiriah belaka. Maka ciri utama masyarakat-masyarakat Marxis, sebagaimana ditemukan pada sistem-sistem totaliter lainnya, ialah menguatnya usaha pengawasan kepada rakyat melalui jaringan polisi rahasia atau alat-alat pengawasan elektrronik. Ini berdampak kepada menurunnya ketulusan kerja dan menjuruskan orang untuk berbuat pura-pura.

22. Menurunnya ketulusan itu, pada urutannya, terkait dengan melemahnya motivasi pribadi dalam bekerja. Agaknya hal ini menjadi salah satu sebab ambruknya sistem sosialis atau Marxis, ketika pintu keluar dibuka dengan cukup lebar untuk Gorbachev. Kegagalan ini membuktikan betapa pentingnya motivasi pribadi dalam etos kerja. Maka ketika di RRC dibuka kesempatan untuk warga masyarakat menanami halaman mereka dengan tanaman yang mereka boleh nikmati sendiri hasilnya, konon produktifitas orang dalam pertanian halaman rumah itu secara pukul rata lebih tinggi daripada produktifitasnya di komun-komun.

23. Dari sudut motivasi pribadi ini, kapitalisme adalah kebalikan total dari sosialisme. Dengan kredo ekonomi yang berasaskan perncarian keuntungan pribadi yang sebesar-besarnya serta bersandar kepada dinamika dan kekuatan pasar, kapitalisme telah terbukti berhasil mendorong produktifitas yang sangat tinggi, yang membuat dunia kapitalis mengalami kemakmuran seperti sekarang. Berkaitan dengan ini, Milton Friedman, seorang ekonom konservatif pemenang hadiah Nobel, menulis buku "Free to Choose" (Bebas Memilih), yang mengutarakan kepercayaan yang tak tergoyahkan kepada kekuatan, dinamika dan logika pasar.

24. Sampai sekarang kapitalisme masih menunjukkan vitalitasnya yang luar biasa. Walaupun begitu tidak berarti kapitalisme bebas dari kritik. Mereka yang lebih memperhatikan segi kemanusiaan dan keadilan, mendapati kapitalisme sebagai sistem yang tidak adil. Malah ada yang mengatakan bahwa kapitalisme adalah suatu "Darwinisme" dalam ekonomi, yang mengandung prinsip hukum evolusi dimana yang kuat adalah yang menang (hukum "rimba"), atau pihak yang memiliki kecocokan tertinggi (the fittest) adalah yang bakal bertahan hiduo (survive).

25. Segi kekurangan sistem kapitalis (dengan segala implikasinya dalam bidang-bidang lain seperti sosial-politik) ditunjukkan oleh adanya, misalnya, kaum gelandangan (homeless) di kota-kota besar Amerika. Ada suatu absurditas dalam masyarakat kapitalis: di samping adanya orang-orang yang super kaya, masih banyak orang yang harus makan dengan mengais sampah.

26. Karena sistem kapitalis dengan liberalismenya adalah juga sistem masyarakat terbuka, maka keterbukaan merupakan tulang punggung kekuatannya dan kemampuannya untuk bertahan. Keterbukaan merupakan sarana bagi terjaminnya koreksi kepada kesalahan dalam sistem, atau, dengan kata lain, dengan keterbukaan pula sistem itu senantiasa menemukan jalan untuk memperbaiki dirinya sendiri. Ini melahirkan prinsip eksperimentasi, dengan keyakinan bahwa sesuatu yang memang baik untuk masyarakat tentu akan bertahan, dan yang tidak baik tentu akan sirna dengan sendirinya. (Contohnya, organisasi Yahudi Amerika, Anti-Defamation League dari B'nai Brith membiarkan, kalau perlu melindungi, hak kaum Neo-Nazi di sana untuk berorganisasi).

27. Secara empirik, kita belum dapat memastikan kemana arah perkembangan kapitalisme itu untuk masa depan, baik ataupun buruk. Tetapi suatu komitmen kepada nilai kemanusiaan yang lebih tinggi tentu tidak membenarkan sikap pasif menghadapi kecenderungan zalim dan sikap tak peduli kepada harkat dan martabat manusia dari sistem ideologis atau "isme" apapun di muka bumi ini. Kaum Muslim karena keislamannya memikul beban kewajiban pelaksanaan komitmen itu, begitu pula seorang warga Indonesia karena Pancasilanya. Dan, seperti telah dikemukakan pada bagian terdahulu, persyaratan yang diperlukan ialah adanya iman dan ilmu.


Wallahu a'lam