TRADISI SYARAH dan HASYIYAH dalam ILMU
FIQH: Stagnasi Pemikiran Ilmu Hukum Islam
Oleh : Nurcholish Madjid
Event Artikel : KKA-45 (Jakarta, Oktober 1990)
Diupdated
pada: Kamis 29 Maret 2001
Mukaddimah
Sejauh ini kita telah membicarakan garis
perkembanganpemikiran sistem hukum Islam yang kemudian
dikenal dengan (Ilmu) Fiqh, sejak dari pertumbuhannya di
masa para Sahabat, kemudian para Tabi'in dan pengikut
mereka, dan akhirnya pertumbuhannya di masa para imam
madzhab. Sampai dengan masa itu yang kita saksikan dalam
sejarah perkembangan Fiqh ialah dinamika dan kreatifitas,
yang senantiasa disertai dengan kegaduhan polemik dan
kontroversi, namun dalam suasana saling menghargai dan
tenggang rasa yang besar. Demikian itu seperti dilukiskan
oleh K.H. Muhammad Hasyim Asy'aridari Tebuireng (yang
dalam pebahasan yang lalu telah kita singgung, dan di
sini kita kutip sepenuhnya):
Telah diketahui bahwa sesungguhnya telah terjadi
perbedaan dalam furu' (makalah rincian) antara para
Sahabat Rasulullah saw (semoga Allah meridlai mereka
semua), namun tidak seorang pun dari mereka memusuhi yang
lain, juga tidak seorang pun dari mereka yang menyakiti
yang lain, dan tidak saling menisbatkan lainnya kepada
kesalahan ataupun cacad. Demikian pula telah terjadi
perbedaan dalam furu' antara Imam Abu Hanifah dan Imam
Malik (semoga Allah meridlai keduanya) dalam banyak
masalah yang jumlahnya mencapai sekitar empatbelas ribu
dalam bab-bab ibadat dan mu'amalah, serta antara Imam
al-Syafi'i dan gurunya, Imam Malik, (semoga Allah
meridlai keduanya) dalam banyak masalah yang jumlahnya
mencapai sekitar enam ribu, demikian pula antara Imam
Ahmad ibn Hanbal dan gurunya, Imam al-Syafi'i, dalam
banyak masalah, namun tidak seorang pun dari mereka yang
menyakiti yang lain, tidak seorang pun dari mereka
mencerca yang lain, tidak seorang pun dari mereka
mendengki yang lain, dan tidak seorang pun dari mereka
menisbatkan yang lain kepada kesalahan dan cacad.
Sebaliknya mereka tetapi saling mencintai, saling
mendukung untuk sesama saudara mereka, dan masing-masing
berdoa untuk segala kebaikan mereka itu. 1.
K.H. Hasyim Asy'ari juga menyebut betapa terjadi banyak
perbedaan pendapat antara para tokoh intern madzhab
sendiri pada saat-saat permulaan perkembangannya, seperti
antara Imam al-Rafi'i dan Imam al-Nawawi, juga antara
Imam Ahmad ibn Hajar dan Imam al-Ramli dan para pengikut
mereka, namun ''tidak seorang pun dari mereka memusuhi
yang lain, tidak seorang pun dari mereka menyakiti yang
lain, dan tidak seorang pun dari mereka menisbatkan yang
lain kepada kesalahan dan cacad, bahkan sebaliknya mereka
selalu saling mencintai, berpersaudaraan, dan saling
menolong.'' 2.
Setelah masa-masa para imam madzhab lewat, yaitu mulai
sekitar abad keempat Hijri, maka yang terjadi ialah
pertumbuhan dan perkembangan madzhab itu sendiri. Jalan
pikiran para imam itu menjadi titik tolak, tapi kemudian
dikembangkan begitu rupa sehingga yang terwujud ialah
sebuah aliran yang meluas dan mendalam dan cukup pada
dirinya sendiri (self-sufficient). Maka dari titik tolak
pemikiran Imam al-Syafi'i, misalnya, tumbuh dan
berkembang pemikiran yang lebih meluas dan mendalam, yang
serba berkecukupan. Karena itu yang ada bukanlah
pemikiran Imam al- Syafi'i itu an sich, melainkan
pemikiran yang meskipun tetapi berwatak ''kesyafi'ian''
namun dalam banyak hal Imam al-Syafi'i sendiri mungkin
tidak lagi tersangkut paut. Inilah yang dimaksudkan
dengan istilah ''madzhab'', yaitu suatu kesatuan
pemikiran yang tumbuh dan berkembang bertitik tolak dari
produk intelektual satu orang, namun belum tentu orang
tersebut sepenuhnya dapat dipandang sebagai ikut
bertanggung jawab. Penilaian ini lebih- lebih beralasan,
karena para tokoh pemikir yang menjadi pangkal
pengembangan suatu madzhab semasa hidupnya sendiri sering
mengisyaratkan keengganan untuk menjadi pusat pengikutan.
Jadi sesungguhnya seorang pemikir seperti al-Syafi'i
menjadi imam madzhab adalah secara post factum, yaitu
setelah fakta perkembangan pemikiran yang bertitik tolak
dari dia itu telah menjadi kenyataan setelah dia sendiri
lama tiada.
Pertumbuhan madzhab itu dengan sendirinya terjadi melalui
para pengikut tokoh yang kelak disebut ''imam madzhab''
tersebut. Mula-mula masih terdapat sisa-sisa kreatifitas
dan keberanian intelektual yang menghasilkan karya-karya
tersendiri dengan tingkat orisinalitas yang memadai,
seperti yang banyak dilakukan oleh, misalnya,
al-Za'farani, al-Karabisi, al-Rabi', al-Buwaythi,
al-Muzni, dll. dari kalangan para penganut madzuhab
Syafi'i. Demikian pula tokoh-tokoh dari madzhab-madzhab
yang lain.
Tetapi masa itu segera diikuti oleh masa dengan tingkat
kreatifitas dan orisinalitas intelektual yang lebih
rendah. Inilah masa syarah (penjabaran) dan hasyiyah
(penjabaran atas syarah). Ciri umum masyarakat Muslim
saat itu ialah suasana traumatis terhadap perpecahan dan
perselisihan, sehingga yang muncul sebagai dambaan atau
obsesi utama masyarakat ialah ketenangan dan
ketenteraman. Agaknya dambaan mereka tercapai, tetapi
dengan ongkos yang amat mahal, yaitu stagnasi atau
kemandekan. Sebab ketenangan dan ketenteraman itu mereka
''beli'' dengan menutup dan mengekang kreatifitas
intelektual dan pejelajahan, atas nama doktrin taqlid dan
tertutupnya ijtihad. Ketidakberanian mengambil risiko
salah dalam penelitian dan penjelajahan itu kemudian
dirasionalisasikan dengan argumen bahwa apa yang telah
dihasilkan oleh para imam madzhab dan pendukung-pendukung
mereka itu seolah-olah sudah ''final'', dan apapun produk
pemikiran mereka harus diterima sebagai berlaku ''sekali
dan untuk selamanya''. Ditambah dengan keadaan politik
negeri-negeri Muslim yang telah mulai kehilangan ''elan
vital''-nya (antara lain karena banyaknya serbuan-serbuan
militer dari Asia Tengah seperti dari kalangan
bangsa-bangsa Turki dan Mongol, maka dambaan kepada
ketenangan dan ketenteraman menjadi semakin beralasan,
yang kemudian lambat laun berkembang menjadi semacam etos
di kalangan kaum Muslim di seluruh dunia. Karena
orisinalitas pemikiran tidak berkembang lagi, maka yang
terjadi ialah pengulangan dan penghafalan yang sudah ada.
Dan karena pemikiran kritis juga terkekang, maka tercipta
suasana bagi tumbuhnya mitos-mitos. Jadi tidak berlebihan
jika masa itu sering ditunjuk sebagai permulaan
kemunduran peradaban Islam, yang kemudian kelak berakhir
dengan kekalahan mereka oleh ummat- ummat lain, khususnya
oleh bangsa-bangsa Eropa.
Syarah dan Hasyiyah
Mulai saat itulah kurang lebih muncul ide tentang
keharusan seorang Muslim diharuskan memilih salah satu
dari madzhab-madzhab yang ada sebagai anutan. Logika
keharusan ini ialah ide tentang taqlid, yang taqlid itu,
sebagaimana telah disinggung, merupakan dinamik dambaan
kepada ketenteraman. Dari beberapa sudut pandang
tertentu, seperti dari sudut keprihatinan karena situasi
politik yang tidak mantap, keharusan memilih suatu
madzhab itu seperti dapat dibenarkan. Begitu pula
larangan mencampur-adukkan lebih dari satu madzhab, yang
kemudian dikenal sebagai talfiq, juga sangat dicela,
karena dalam praktek serupa itu mudah sekali masuk unsur
oportunisme dalam paham (seperti, misalnya, mengenai
suatu hukum tertentu seseorang cenderung mencari yang
mudah dan ringan dari berbagai madzhab, tanpa kesungguhan
meneliti bagaimana pangkal sebenarnya hukum itu).
Keharusan memilih salah satu madzhab sekaligus larangan
untuk mencampur lebih dari satu madzhab --betapapun
tulusnya hal itu dilakukan-- secara tersirat mengandung
doktrin bahwa suatu pemikiran madzhab adalah suatu
kesatuan organik yang tidak boleh dipisah-pisah.
Pemisahan itu akan menghasilkan inkonsistensi, dan yang
terakhir ini tentu berakibat kepada masalah istiqamah
atau keteguhan dan keikhlasan dalam beragama. Tetapi
konsekwensi yang lebih jauh ialah --sebagaimana telah
disinggung tadi-- hilangnya kreatifitas dan orisinalis
intelektual, dan bersamaan dengan itu hilang pula
kemampuan memberi responsi kepada keadaan masyarakat
nyata (historis) yang senantiasa berkembang dan berubah.
Pada saat itulah sejauh mengenai kegiatan intelektual
yang muncul ialah karya-karya syarah, yaitu karya tulis
berupa kitab yang mengelaborasi karya lain yang lebih
orisinal, yang dipandang sebagai matan (teks inti).
Kegiatan pseudo-ilmiah serupa ini paling banyak terjadi
dalam pemikiran judisial, tetapi sesungguhnya juga
merambah ke berbagai cabang ilmu Keislaman yang lain,
seperti, dan terutama, Ilmu Kalam.
Tetapi syarah bukanlah akhir perjalanan tradisi
pseudo-ilmiah dalam masa kemandekan intelektual ini.
Sebuah karya syarah membuka peluang kepada bentuk
elaborasi lebih lanjut, sehingga merupakan ''elaborasi
atas elaborasi'', yang biasanya disebut hasyiyah.
Untuk memperoleh gambaran apa yang dinamakan syarah dan
hasyiyah itu, berikut ini adalah sebuah contoh kutipan
dari matan kitab Taqrib, yaitu sebuah kitab Fiqh yang
paling standar di pesantren- pesantren. Matan itu
kemudian diberi syarah dalam kitab Fat'h al- Qarib, juga
sangat standar di pesantren-pesantren, dan akhirnya
diberi hasyiyah dalam kitab al-Bajuri, sebuah kitab yang
boleh dipandang cukup tinggi:
Matan: Air yang boleh untuk menyucikan ada tujuh air: air
langit, air laut, air sungai, air sumur, air sumber, air
salju, dan air embun. 2.
Syarah: (Air yang boleh) artinya sah (untuk menyucikan
ada tujuh: air langit) artinya yang terjun dari langit,
yaitu hujan (air laut) artinya yang asin (air sungai)
artinya yang tawar (air sumur, air sumber, air saljut dan
air embun) dan tujuh air itu tercakup dalam ungkapan Anda
''Apa yang turun dari langit dan apa yang menyembul dari
bumi dalam keadaan bagaimanapun adalah termasuk pokok
penciptaan. 4.
Syarah ini kemudian diberi hasyiyah, yaitu penjabaran
atau elaborasi lebih lanjut. Berikut ini adalah contoh
hasyiyah-nya (tapi karena hasyiyah yang bersangkutan itu
panjang sekali, maka demi kepraktisan kita akan mengutip
hasyiyah yang menyangkut salah satu dari air yang tujuh
itu, yaitu ''air sungai'' saja):
Hasyiyah: (Perkataannya dan air sungai) rangkaian dalam
pengertian di, artinya air yang mengalir di sungai (nhr)
dengan fat'hah ha' dan matinya dan yang pertama lebih
fasih dan al di situ adalah untuk jenis maka ia mencakup
Nil dan Furat dan sebagainya dan asalnya dari surga
sebagaimana hal itu disebutkan dalam nas mengenainya
sebab sesungguhnya diturunkan dari surga Nil Mesir dan
Sihun sungai India dan Jihun sungai Balkh dan keduanya
itu bukanlah Sihan dan Jiham menurut yang unggul
berlainan dengan orang yang menyangka keduanya itu
sinonim sebab Sihan adalah sungai Arnah dan Jihan adalah
sungai al-Mashishah dan Dajlah dan Furat adalah dua
sungai di Irak dari asal Sidrat al-Muntaha dan itulah
makna firman Dia Yang Maha Tinggi ''Dan Kami turunkan
dari langit air dengan takaran tertentu'' maka pada waktu
keluarnya Ya'juj dan Ma'juj sungai-sungai itu diangkat
dan itulah makna firman Dia Yang Maha Tinggi ''Dan
sesungguhnya Kami tentulah berkuasa untuk
menghilangkannya.'' 5.
Kutipan di atas itu sengaja dibuat dalam bentuk
terjemahan harfiah tanpa memberi tanda-tanda baca sesuai
konteks, menurut keadaan aslinya dalam kitab. Maksudnya
ialah agar kita dapat merasakan kesulitan yang dihadapi
oleh mereka yang membaca ''kitab gundul'', jika mereka
tidak terlatih membaca dalam konteks. Dan keadaan menurut
aslinya itu dapat memberi gambaran tentang ungkapan
''ilmiah'' masa kemunduran itu yang tidak dapat disebut
mengangumkan, jauh di bawah ukuran masa kejayaan
intelektual sebelumnya seperti diwakili oleh karya-karya
Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Arabi, Ibn
Taymiyyah, dll.
Bahkan dalam kutipan itu dapat dilihat munculnya beberapa
dongeng dan mitologi, yang dirangkaikan dengan paham
keagamaan, seperti bahwa sungai Nil berasal dari surga
dan sungai Dajlah (Tigris) dan Furat (Eufrat) di Irak
berasal dari Sidrat al-Muntaha! Juga ada mitos lain yang
tercampur dengan pandangan keagamaan tertentu seperti
cerita tentang datangnya Ya'juj dan Ma'juj (Gong dan
Magong) yang tersebut dalam Kitab Suci al Quran, 6. yang
pada saat itu akan diangkat sungai-sungai Nil, Furat dan
Dajlah itu ke langit sebagai tafsir atas ayat suci al
Quran pula. 7.
Kesimpulan :
Semangat obskurantisme atau kemasabodohan intelektual
akibat berbagai faktor ekstern dalam proses-proses dan
struktur-struktur politik masa itu sedemikian mencekam,
sehingga mewarnai sikap intelektual sebagian besar kaum
Muslim. Dan pandangan mereka ilmu pengetahuan telah
''habis'', dan yang tersisa ialah mencerna apa saja yang
diwariskan dari generasi sebelumnya. Stagnasi ini tidak
dirasakan oleh kaum Muslim, seolah-olah segala sesuatu
terjadi secara wajar saja, sampai akhirnya mereka
terhentak dan kalah oleh bangkitnya bangsa-bangsa yang
selama ini mereka remehkan, yaitu bangsa-bangsa Eropa
Barat, atau lebih persisnya, Barat Laut, bangsa-bangsa
pelopor ummat manusia masuk Zaman Modern.
Banyak ahli yang mengatakan bahwa semua ini diawali
karena Ummat Islam terkena penyakit puas diri
(complacency), akibat dominasi mereka atas kehidupan di
muka bumi selama berabad-abad (dalam perhitungan
konservatif setidaknya selama delapan abad, yang berarti
empat kali lebih panjang daripada masa dominasi Eropa
Barat yang sudah berlangsung selama dua abad ini). Dan
ketika mereka dikejutkan oleh datangnya tentara Perancis
ke Mesir di bawah Napoleon yang dengan amat mudah
mengalahkan mereka itu, keadaan sudah sangat terlambat,
sehingga dorongan ke arah kebangkitan kembali yang muncul
sejak itu sampai sekarang belum mencapai tujuan yang
dimaksud.
Tetapi tentu saja Ummat Islam masih tetap mempunyai
kesempatan yang baik. Berbagai gejala masa-masa terakhir
ini, yang biasanya diletakkan dalam bracket ''kebangkitan
Islam'', dapat diacu sebagai petunjuk adanya masa depan
yang baik, setidaknya lebih baik daripada yang sekarang,
apalagi daripada masa obskurantisme tersebut di atas itu.
Sebuah adagium mungkin relevan dengan masalah ini yaitu
yang berbunyi: ''Tidak akan menjadi baik ummat ini
kecuali dengan sesuatu yang telah membuat baiknya ummat
terdahulu.'' 8 Sementara banyak tafsiran yang
berbeda-beda tentang apa ''yang membuat baik ummat
terdahulu'', namun dari pembacaan kepada sejarah
peradaban Islam, khususnya sejarah pemikirannya, jelas
bahwa yang membuat baik mereka generasi Islam klasik itu
ialah apa yang dalam ungkapan kontemporer dinamakan
''Etos Ilmiah''.
Berbeda dengan obskurantisme, etos ilmiah yang benar
harus memandang bahwa ilmu tidak mempunyai batas (limit),
melainkan ilmu hanya mempunyai perbatasan (frontier),
yaitu ujung terakhir perkemabngan pemikiran ilmiah. Batas
atau limit ilmu hanya ada pada Allah, karena itu tak
terjangkau. Tetapi perbatasan atau frontier ilmu hanyalah
produk kemampuan manusia sendiri yang tidak sempurna,
karena itu harus selalu diusahakan untuk ditembus dengan
keberanian intelektual serta kreativitas dan
orisinalitasnya. 9. Semuanya itu memerlukan suasana yang
bersifat menopang atau kondusif. Dan suasana itu tidak
lain, seperti dikemukakan K.H. Hasyim Asy'ari di atas,
ialah toleransi dan saling menghargai dalam perbedaan.
Wallahu a'lam.
Catatan:
1. Muhammad Hasyim Asy'ari, al-Tibyan fi al-Nahy 'an
Muqata'at al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan (Surabaya:
Mathba'at Nahdlat al-'Ulama, tt.), h. 11. (Risalah ini
ditulis pada 1360 H atau 1941 M).
2. Ibid., h. 12.
3. Abu Syuja' ahmad Ibn al-Husayn al-Ishfahani, al-Ghayah
wa al-Taqrib, (Semarang: Pustaka al-'Alawiyyah, tt.), h.
2-3.
4. Muhammad ibn Qasim al-Ghazzi, Fat'h al-Qarib
(Semarang: Maktabah wa Mathba'ah Usaha Keluarga, tt), h.
3.
5. Al-Syaykh Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyat al-Bajuri
(Semarang: Maktabah wa Mathba'ah Usaha Keluarga, tt), h.
27.
6. Lihat Q., s. al-Kahf/18:94 (dalam cerita tentang Dzu
al- Qarnayan)
7. Lihat Q., s. al-Mu'minun/23:18.
8. ''La tashluhu hadzihi al-Umah illa bi ma shaluha bihi
awwaluha.''
9. Seperti halnya dengan Zaman Modern, etos ilmiah Zaman
Klasik Islam memandang perbatasan ilmu harus selalu
ditebus, sementera dalam zaman obskurantisme, etos ilmiah
yang ada mengajarkan agar setiap bertemu dengan
perbatasan hendaknya kembali ke semula, dan ini
menghasilkan praktek menghafal. Batas atau limit ilmu
hanya ada pada Allah swt, jadi tidak mungkin dicapai
manusia, apalagi ditembus. ''Katakan, 'Kalau seandainya
seluruh lautan ini tinta untuk Kalimat Tuhanku, maka
lautan itu akan habis sebelum kalimat Tuhanku habis,
meski kami datangkan tinta sebanyak itu pula.''' (Q., s.
al- Kahf/18:109).
|