AJARAN NILAI ETIS DALAM KITAB SUCI DAN RELEVANSINYA BAGI KEHIDUPAN MODERN
Oleh : Nurcholish Madjid
Event Artikel : KKA-47 (Jakarta, Desember 1990)
Diupdated pada: Kamis 29 Maret 2001

Mukaddimah

Yang dimaksud dengan nilai etis dalam pembahasan di sini ialah pengertiannya yang lebih mendasar daripada yang ada dalam perkataan itu dalam percakapan sehari - hari. Maka ia tidak dimaksudkan sekedar sebagai sesuatu yang hanya mengisyaratkan masalah kesopanan semata, melainkan, dalam pengertiannya yang lebih mendasar, dimaksudkan sebagai konsep dan ajaran yang serba meliputi (komprehensif), yang menjadi pangkal pandangan hidup tentang baik dan buruk, benar dan salah. Oleh karena itu ajaran etis, dalam makna yang seluas - luasnya, sebenarnya akan mencakup keseluruhan pandangan dunia (weltanschauung, world out look) dan pandangan hidup (liebenanschauung, way of life). Maka pembicaraan tentang etika tentunya tidak akan dapat lepas dari pembicaraan tentang etika secara keseluruhan. Menurut Karl Barth: Etika (dari ethos) adalah sebanding dengan moral (dari mos). Kedua - duanya merupakan filsafat tentang adat kebiasaan (Sitten). Perkataan Jerman Sitte (dari Jerman kuna, situ) menunjukkan arti moda (mode) tingkah laku manusia, suatu konstansi (contancy, kelumintuan) tindakan manusia. Karena itu, secara umum etika atau moral adalah filsafat, ilmu, atau disiplin tentang moda - moda tingkah laku manusia atau konstansi - konstansi tindakan manusia.1

N
amun, sudah tentu karena bebagai pertimbangan, termasuk pertimbangan kepraktisan dan kemungkinan, pembahasan di sini dibatasi hanya kepada hal - hal yang dianggap pokok saja, yang sekiranya paling relevan dengan persoalan kita sekarang.

Pembicaraan tentang relevansi Islam dengan modernitas pada masa akhir - akhir ini semakin banyak menyibukkan para pengkaji dan pemikir, baik kalangan Islam maupun non-Islam. Hal ini disebabkan antara lain, oleh adanya dambaan orang banyak kepada suatu pilihan lain dari pola hidup yang sekarang dominan di muka bumi, yang pola itu nampaknya semakin hari semakin menunjukkan titik - titik kelemahannya. Ambruknya sosialisme dan komunisme memang mengesankan kemenangan sistem kapitalisme dan liberalisme, namun tidak berarti bahwa proses pencarian manusia akan pola hidup yang lebih baik sudah terhenti dan puas dengan apa yang sekarang dominan di Barat. Proses itu terus berlangsung, dan usaha pencarian yang terjadi paham lingkungan hidup (environmentalism) yang jelas menghendaki pola kehidupan yang kualitasnya lebih tinggi daripada sekedar penikmatan hasil material, dan pendekatan yang lebih prinsipil seperti usaha menelaah kembali berbagai kekayaan spiritual manusia, termasuk Islam.


Berbagai Harapan kepada Islam

Apakah Islam memang relevan dengan kehidupan modern? Banyak orang yang skeptis dalam jawabannya atas pertanyaan itu. Tetapi banyak pula kalangan yang optimis dan positif, termasuk beberapa dari kalangan para sarjana bukan-Muslim. Contohnya ialah Ernest Gellner, yang berpendapat bahwa di antara tiga agama monotheis, Yahudi, Kristen dan Islam, baginya Islam adalah yang paling dekat kepada modernitas, disebabkan oleh ajaran Islam tentang universalisme, skripturalisme (yang mengajarkan bahwa Kitab Suci dapat dibaca dan dan dipahami oleh siapa saja, bukan monopoli kelas tertentu dalam hirarki keagamaan, dan kemudian yang mendorong tradisi baca-tulis atau "melek huruf", literacy), egalitarianisme spiritual (tidak ada sistem kependetaan kepada semua anggotanya (sangat mendukung apa yang disebut sebagai participatory democracy), dan, akhirnya, yang mengajarkan sistematisasi rasional kehidupan sosial.2
Sudah tentu suatu agama tidak dapat dipahami hanya sekedar sebagai formula - formula abstrak tentang kepercayaan dan nilai. Setiap agama menyatakan dirinya melalui para pemeluknya, dan dalam persepsinya kepada agama itu para pemeluk sampai batas yang cukup jauh pasti terpengaruh oleh lingkungan di mana mereka hidup, baik zaman maupun tempat. Oleh karena selalu ada tarik- menarik antara ketentuan - ketentuan normatif dengan kenyataan historis, yang dalam percampuran antara keduanya sering membuat kabur apa yang "murni" dari apa yang "tambahan" apa yang "berasal dari Tuhan" dan apa yang merupaka hasil "intervensi manusia". Tetapi karena skriptualisme Islam yang amat kuat, yang dari semula menegaskan bahwa kebenaran hanyalah yang datang dari Allah melalui Kitab suci dan Sunnah Nabi, dan yang sumber - sumber ajaran itu berhak dijangkau oleh setiap orang, maka sejak dari semula tampilnya Islam sudah terdapat dialog - dialog tentang apa yang benar dan apa yang salah menurut ketentuan Tuhan. Meskipun sudah pasti dalam dialog - dialog itu senantiasa terdapat masalah penafsiran kepada teks - teks, namun teks - teks itu, khususnya Kitab Suci al-Qur'an akan tetap berada seperti bacaannya dari semula tanpa berubah sedikit pun juga (karena demikian dijamin oleh Allah sendiri--Lihat Q.,s. al-Hijr/15:9), maka dialog - dialog itu tetap berlangsung dengan tingkat otentisitas yang tinggi, karena setiap nuktah pemikiran yang muncul selalu mengacu dan siap diuji oleh teks - teks suci. Maka ketika dialog di suatu tempat atau masa terhenti oleh sesuatu sebab, orang memang terancam bahaya untuk tidak lagi bisa membedakan antara apa yang normatif, murni ajaran, dan apa yang histiris, intervensi manusia. Dalam keadaan tak terbedakan itu, timbullah sikap mengidentikkan antara keduanya, sehingga terbentuk penglihatan Islam sebagai apa yang dilakukan kaum Muslim dan apa yang dilakukan oleh kaum Muslim adalah dengan sendirinya Islam itu sendiri. Oleh karena itu Muhammad 'Abduh pernah menyatakan bahwa dalam keadaan seperti itu, "Islam tertutup oleh kaum Muslim" (Al-Islam mahjub bi a-Muslimin). Tetapi disebabkan oleh skripturalisme yang amat kuat tadi, dan karena kegairahan yang tidak ada tandingannya pada kaum Muslim untuk menjaga kemurnian dan keaslian Kitab Suci mereka, maka dialog merupakan suatu gejala yang sangat menonjol pada orang - orang Islam, yang dialog itu disertai secara egaliter tanpa batasan formalitas hirarki keagamaan. Dalam dialog - dialog itulah orang berusaha mengenali mana yang "murni" dan mana yang "tambahan", atau dalam istilah para ilmuwan sosial, mana yang termasuk Great Tradition dan mana yang Folk Tradition. Ibn Taymiyyah, misalnya, yang ketokohannya dalam dialog banyak mengilhami berbagai gerakan pembaharuan di Zaman Modern ini, dengan ketegaran luar biasa memerangi sufisme populer (jadi termasuk Folk Tradition, seperti kebiasaan mengagungkan para wali dan makam meraka), dan pada saat yang sama mempertahankan, mempropagandakan, dan megamalkan sendiri berbagai amalan kesufian berdasarkan Kitab dan Sunnah (jadi termasuk Great Tradition). Oleh karena Islam memiliki kaulitas - kualitas seperti diamati oleh Gellner di atas, menurut pengamatan Gellner lebih lanjut, di antara berbagai agama yang ada hanya Islam yang sanggup bertahan dengan mengatasi persoalan kesenjangan yang normatif dan yang konkret historis, atau antara Tradisi Besar dan Tradisi Kecilnya.
Hanya Islam akan tetap bertahan sebagai keimanan yang serius, yang mengatasi baik Tradisi Kecil maupun Tradisi Besar. Tradisi Besar Islam tetap dapat dibuat modern; dan pelaksanaanya bisa disajikan tidak sebagai penambahan baru atau konsensi kepada orang luar, melainkan sebagai kelanjutan dan penyempurnaan dialog lama dalam Islam.3

Gellner memang sangat optimis tentang Islam. Ia juga membandingkan antara Protestantisme dan kemungkinan peran Islam di masa mendatang. Karena teori Max Weber tentang Etika Protestan, banyak ahli ilmu sosial berpandangan bahwa Protestentisme adalah pangkal pola kehidupan modern. Hal ini sudah banyak dibantah oleh para ahli yang lain, seperti oleh Robert N. Bellah yang membuktikan tentang peranan agama Tokugawa dalam modernisasi Jepang, dan oleh Clifford Geertz tentang peranan kaum Muslim Santri di Jawa dalam menumbuhkan etos kerja dan tradisi kewirausahaan (enterpreneurship) dan lain - lain.

Pembaharuan oleh Martin Luther, Calvin, Zwingli dan lain - lain, terhadap sistem kepercayaan Kristen (Katolik) memang sangat radikal, begitu rupa sehingga beberapa hal pokok dari pola keagamaan lama Kristen hancur atau hilang, seperti pola kekuasaan Paus dan bawahannya dalam hirarki eklesiastikal. Protestantisme mengubah secara radikal pola tanggung jawab manusia dari yang semula dapat dilimpahkan dengan mudah kepada para pemimpin gereja menjadi tanggung jawab pribadi yang langsung kepada Tuhan, yang pengubahan radikal itu dilambagkan dalam protes Luther terhadap praktek penebusan dosa dengan uang dan dengan imbalan "sertifikat". Dengan perkataan lain, pembaharuan dalam Kristen terjadi dengan mengubah beberapa sendi keagamaan yang amat penting dari Kristen lama (Katolik). Sedangkan dalam Islam, yang pembaharuannya tidak lebih daripada kelanjutan dialog - dialog yang ada dalam seluruh sejarah kehadirannya, apapun yang terjadi sebagai usaha pembaharuannya tidaklah mengakibatkan pengubahan radikal sendi - sendi keagamaannya yang pokok. Karena itu memang Islam bukan sumber langsung modernitas, karena modernitas itu, sebagai kenyataan historis, telah dimulai di Barat (dengan etos dominan menolak peranan agama dalam masalah - masalah duniawi, jadi juga tidak dapat dikatakan bahwa Kristen adalah sumber modernitas). Namun Gellner memberikan gambaran dan penegasan bahwa Islamlah nanti, dibanding dengan agama - agama lain, yang akan paling banyak memperoleh manfaat dari modernitas, disebabkan oleh berbagai kualitas dasar Islam seperti tersebut di atas :

Karena itu dalam Islam, dan hanyalah dalam Islam, pemurnian/pembaharuan di satu pihak, dan penegasan kembali sesuatu yang dianggap sebagai identitas lokal di pihak lain, dapat dilakukan dalam bahasa yang satu dan sama serta dalam perangkat simbul yang satu dan sama. Versi keagamaan umum (rakyat) yang lama, yang telah merupakan suatu bentuk dangkal tradisi sentral Islam, sekarang ditolak sebagai kambing hitam, disalahkan telah menyebabkan kemunduran dan terpengaruh oleh unsur luar. Karena itu, meskipun bukan sumber modernitas, Islam mungkin akan terbukti menjadi penerima manfaatnya. Kenyataan bahwa varian "murni"-nya yang sentral dan resmi bersifat egaliter dan bersemangat kesarjanaan (scholarly, ilmiah), sementara adanya hirarki (ulama, misalnya--NM) dan ekstase bersangkutan dengan bentuk - bentuk periferal yang senantiasa meluas namun yang sekarang ditolak, semuanya itu sangat membantu Islam menyesuaikan diri kepada dunia modern. Di zaman aspirasi literasi universal, kelas sarjana yang terbuka dapat meluas untuk meliputi seluruh masyarakat, dan dengan begitu cita - cita 'protestan' tentang akses yang sama untuk sekalian pemeluk dapat terwujud. Paham persamaan manusia (egalitarianisme) modern dapat sepenuhnya terlaksana. Sementara Protestantisme Eropa hanya menyiapkan lahan untuk nasionalisme malalui pengembangan literasi, skripturalisme egaliter Islam yang potensial, yang bangkit kembali, dapat secara nyata menyatu dengan nasionalisme, sehingga akan sulit membedakan mana dari keduanya itu yang paling memberi faedah kepada yang lain.4

Karena pengamatan Gellner berkaitan dengan pandangan plus harapan untuk masa depan, maka pembuktian subtantifnya masih harus ditunggu. Sementara itu, untuk keutuhan pendekatan kepada masalah ini, ada baiknya kita melakukan lagi sesuatu yang sudah sering kita lakukan, yaitu melihat beberapa kenyataan dalam sejarah Islam. Sikap melihat sejarah ini kiranya juga dibenarkan, jika bukannya diharuskan, secara agama sendiri, mengingat berbagai penegasan Kitab Suci bahwa sejarah mewujudkan Sunnatullah yang kita diperintahkan untuk mempelajarinya. (Q., s. al- Ahzab/33:62; s. Fathir/35:43; s. Alu 'Imran/3:137, dll.) Pada saat wahyu diturunkan kepada Nabi acuan sejarah itu tentunya kepada ummat - ummat sebelum Islam. Maka sekarang acuan itu tentunya kepada sejarah Islam sendiri, yang pasti lebih patut lagi kita kaum Muslim mempelajarinya.


Etos Keilmuan Islam Klasik

Jika disebutkan oleh Gellner bahwa salah satu segi kekuatan Islam menghadapi modernitas ialah kualitasnya yang bersemangat kesarjanaan (scholarly), maka tidak ada cara yang lebih baik untuk substansiasinya daripada melihatnya dalam etos keilmuan Islam klasik. Setiap pemeluk Islam meyakini betapa tingginya penghargaan agamanya kepada ilmu. Jika para muballigh dan juru da'wah Islam gemar mengutip beberapa ayat suci atau sabda Nabi tentang pentingnya ilmu, maka sebenarnya mereka hanyalah melakukan konfirmasi atas apa yang telah mentradisi dalam sejarah Islam. Kini sudah merupakan pengetahuan umum di dunia, lebih - lebih di Barat, bahwa hampir seluruh bangunan ilmu pengetahuan modern sekarang ini adalah kelanjutan etos keilmuan yang telah berkembang dalam Islam. Begitu Nabi s.a.w. wafat dan para Sahabat mengembangkan daerah kekuasaan politik Islam ke wawasan sekitarnya, kemudian mereka ini bertemu dengan berbagai warisan budaya ummat manusia, mereka memungut apa saja yang berfaedah dari warisan itu, tanpa stigma dan tanpa kompleks psikologis, sesuai dengan banyak sekali ilustrasi dalam Kitab Suci bahwa orang yang beriman tidak perlu takut dan tidak perlu kuatir. Rasa percaya diri mereka yang amat besar itu telah memberi kekuatan batin untuk mampu berlaku adil kepada ummat manusia dan warisannya, sesuai dengan tugas suci mereka sebagai "ummat moderator" atau "penengah" (wasth, wasith) dan sebagai "saksi" atas ummat manusia" (Q., s. al-Baqarah/2:143). Juga sebagai pelaksanaan berbagai pesan suci Nabi agar kaum beriman, "Pungutlah olehmu hikmah (ilmu pengetahuan atau wisdom), dan tidak akan membahayakan bagi kamu dari bejana apapun hikmah itu keluar", dan bahwa "Hikmah adalah barang hilangnya seorang beriman, karena hendaknya ia memungutnya di mana pun diketemukannya," serta "Carilah ilmu meskipun di negeri Cina", juga nasehat 'Ali ibn Abi Thalib, "Perhatikan apa yang dikatakan orang, jangan memperhatikan siapa yang mengatakan." Karena itu ummat Islam klasik memungut dan mengembangkan ilmu pengetahuan dari mana saja, kemudian mereka bina secara kreatif. Memang beberapa sarjana Barat, seperti Bertrand Russel, "menyesali" mengapa para pemikir Muslim tidak banyak mengembangkan falsafah dengan tingkat orisinalitas seperti orang - orang Yunani kuna. Ibn Sina dan Ibn Rusyd misalnya, kata Russel, memang hebat, namun kekurangan orisinalitas, dan lebih banyak sebagai komentar belaka terhadap falsafah Yunani.

Tetapi dari sudut penglihatan Islam sendiri, sikap para pemikir Muslim klasik itu tidak tidak salah. Sebab falsafah Yunani, betapapun ada unsur - unsur yang berguna bagi kaum Muslim, namun dalam analisa terakhir adalah pemikiran deduktif yang banyak dipengaruhi oleh mitos - mitos mereka yang sesat. maka jika toh diambil alih oleh kaum Muslim, unsur - unsur falsafah Yunani itu "diislamkan", antara lain dengan menghapuskan segi - segi mitologisnya. dan kaum Muslim lebih - lebih lagi tidak tertarik kepada sastra Yunani (hampir tidak satu pun dikenal dalam literatur klasik Islam), karena karya - karya sastra Yunani itu penuh dengan dongeng, mitologi dan unsur - unsur syirik lainnya. Salah satu segi kelemahan pandangan dunia Yunani ialah penglihatannya kepada hidup sebagai penuh tragedi, suatu pandangan yang pesimistis. Begitu pula pandangannya terhadap alam, menurut penilaian Iqbal, adalah statis, karena itu mungkin saja mereka unggul dalam spekulasi - spekulasi, namun miskin dalam bidang empiris. Kekuatan warisan intelektual Islam adalah dalam bidang - bidang empiris ini, yang justru merupakan metode ilmiah modern yang sebenarnya. Hal itu demikian sebagai salah satu akibat pandangan Islam yang optimis kepada hidup (dunia dapat menjadi tempat yang membahagiakan), dan yang dinamis kepada alam. Inilah yang menjadi pengamatan seorang ahli sejarah ilmu pengetahuan, Max I. Dimont:

Dalam sains, bangsa Arab (Muslim) jauh meninggalkan bangsa Yunani. Peradaban Yunani, pada esensinya, adalah sebuah taman yang subur, yang penuh dengan bunga - bunga indah yang tidak banyak berbuah. Ia adalah peradaban yang kaya dengan falsafah dan sastra, namun miskin dalam teknik dan teknologi. Maka merupakan usaha bersejarah dari bangsa Arab dan Yahudi Islam untuk menerobos jalan buntu keilmuan Yunani ini, untuk mendapatkan jalan baru sains--menemukan konsep nol, tanda minus, angka irrasional, dan meletakkan dasar - dasar bagi ilmu kimia baru--yaitu ide - ide yang meratakan jalan ke arah dunia ilmu pengetahuan modern melalui semangat para pemikir Eropa setelah Renaisans.5

Karena rintisan ilmiah dari Islam klasik itulah maka sampai sekarang banyak sekali istilah - istilah teknis peradaban modern Barat yang berasal dari peradaban Islam klasik, seperti, dalam Bahasa Inggris, admiral, alchemy, alcohol, alcove, algebra, algorithm, alkali, azimuth, azure, calibre, carafe, carat, caraway, cipher, climate, coffee, cotton, elixir, jar, lute, macrame, magazine, mohair, monsoon, muslin, nadir, saffron, sherbet, sofa, tariff, zenith, dan zero. Kalau kita perhatikan kosa kata Inggris yang dipinjam dari peradaban Islam itu, jelas meliputi berbagai segi kehidupan Barat modern sejak dari matematika (algeabra, algorithm, zero, dll.), perdagangan (tariff, douane--Perancis) kehidupan mewah (muslin, saffron, sofa), dan kehidupan santai (sherbet, dll.). Dalam arsitekturpun pengaruh peradaban Islam kepada Barat modern cukup penting, sebagaimana diungkapkan oleh Dimont dalam sebuah uraiannya.6 Bahkan juga dalam sistem irigasi pertanian, peradaban Islam diakui peranannya sebagai pemberi teladan dalam pemanfaatan air, sebagaimana digambarkan oleh Bertran Russel: Salah satu ciri yang terbaik dari ekonomi Arab (Islam) ialah pertanian, terutama dalam penggunaan sangat ahli akan irigasi, yang mereka pelajari dari pengalaman hidup sukar air. Sampai hari ini pertanian Spanyol masih memanfaatkan karya - karya irigasi Arab.7

Begitulah tinjauan kesejarahan tentang etos ilmiah Islam yang dijadikan Gellner untuk optimisnya tentang peran Islam di masa depan.

Beberapa Ajaran Pokok Islam dan Implikasi Etisnya

Dirasa sangat penting memulai pembahasan ini dengan membuat beberapa penegasan mengenai watak agama Islam berkenaan dengan kerja. Dalam penglihatan Frithjof Schuon (Muhammad 'Isa Nuruddin), seorang failasuf Muslim dari Swiss, tampilnya Islam adalah berarti menyambung kembali tradisi Nabi Ibrahim dan Nabi Musa yang mengajarkan tentang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa dan pendekatan kepada-Nya melalui amal perbuatan yang baik, suatu monotheisme etis (ethical monotheism).8 Ajaran Nabi Isa al- Masih, sebagai kelanjutan ajaran Nabi Ibrahim, juga pada mulanya sebuah monotheisme etis. Tetapi, menurut banyak ahli, telah diubah oleh Paulus menjadi monotheisme sakramental (sacramental monotheism), karena dari Nabi Isa (yang kemudian dipandang sebagai "Tuhan") menjadi lebih penting daripada ajarannya tentang pendekatan kepada Tuhan melalui amal dan kegiatan. Maka sakramen, terutama dalam bentuk Ekaristi, menjadi sangat sentral bagi pemeluk Kristen, karena bagi mereka keselamatan diperoleh melalui dan dalam diri atau tubuh Isa al-Masih.9

Karena itu dalam sistem peribadatan Islam tidak ada mitologi atau sakramen, dan semua ibadat ditekankan sebagai usaha pendekatan pribadi kepada Tuhan semata. Seperti diamati oleh Andrew Rippin, ibadat dalam Islam tidak mengandung mitologi, amythical dan juga non-sacramental.10 Memang ada bentuk - bentuk ibadat yang bersifat memperingati kejadian masa lalu (commemorative) seperti haji dan kurban, namun intinya tetap pendekatan pribadi kepada Tuhan. Maka dari itu diperingatkan bahwa "Tidak akan mencapai Allah daging kurban itu, juga tidak darahnya, tetapi akan mencapai-Nya taqwa dari kamu". (Q., s. al-hijj/22:37). Karena seluruh aktivitas dapat bernilai sebagai usaha pendekatan kepada Tuhan, maka seluruh hidup manusia mempunyai makna transendental, yang sehari - hari kita nyatakan dalam ungkapan "demi ridla Allah". Dan adanya keinsyafan akan makna hidup itulah yang membuat manusia berbeda dari jenis hewan yang lain, serta di situlah letak harkatnya.

Harkat manusia terletak pada pandangan bahwa hidupnya itu bagaimanapun juga berguna. Kita bersedia menanggung kepedihan, deprivasi, kesedihan dan segala derita, jika semuanya itu menunjang suatu tujuan, daripada memikul beban hidup tak berarti. Lebih baik menderita daripada tanpa makna.11

Dalam Kitab Suci dijelaskan bahwa tujuan para Rasul Allah ialah mewujudkan masyarakat yang ber-Ketuhanan (rabbaniyun--Q., s. Alu 'Imran/3:79), yaitu masyarakat yang para anggotanya dijiwai oleh semangat mencapai ridla Allah, melalui perbuatan baik bagi sesamanya dan kepada seluruh makluk. Inilah dasar pandangan etis kaum beriman. Makna "rabbaniyyah" itu adalah sama dengan "berkeimanan" dan "berketaqwaan" atau, lebih sederhana, "beriman" dan "bertaqwa". Dari sudut pandangan sistem paham keagamaan, iman dan taqwa adalah fondasi (Arab: asas, "asas") yang benar bagi semua segi kehidupan manusia (Q., s. al-Tawbah/9:109). Implikasi dan ramifikasi Ketuhanan Yang Maha Esa itu, jika kita coba untuk mengidentifikasinya, kurang lebih akan mengahasilkan nilai - nilai berikut:

1. Bahwa manusia tidak dibenarkan memutlakkan sesuatu apa pun selain Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri. Mengakui Tuhan Yang Maha Esa sebagai yang mutlak berarti menyadari bahwa Tuhan tidak dapat dijangkau oleh akal manusia.

2. Maka Tuhan tidak dapat diketahui, tetapi diinsyafi sedalam - dalamnya bahwa Dialah asal dan tujuan hidup, dengan konsekwensi bahwa manusia harus mambaktikan seluruh hidupnya demi memperoleh perkenan atau ridla -Nya.

3. Tidak memutlakkan sesuatu apa pun selain Tuhan Yang Maha Esa berarti tidak menjadikan sesuatu selain dari Dia sebagai tujuan hidup. Dalam wujudnya yang minimal, menjadikan sesuatu selain Tuhan sebagai tujuan hidup itu, contohnya ialah sikap pamrih, tidak ikhlas.

4. Pandangan hidup itu terkait erat dengan pandangan bahwa manusia adalah puncak ciptaan Tuhan, yang diciptakan-Nya dalam sebaik - baik kejadian. Manusia berkedudukan lebih tinggi daripada ciptaan Tuhan manapun di seluruh alam, malah lebih tinggi daripada alam itu sendiri.

5. Jadi Tuhan telah memuliakan manusia. Maka manusia harus menjaga harkat dan martabatnya itu, dengan tidak bersikap menempatkan alam atau gejala alam lebih tinggi daripada dirinya sendiri (melalui mitologi alam atau gejalanya), atau menempatkan seseorang, atau diri sendiri, lebih tinggi daripada orang lain (melalui tirani atau mitologi sesama manusia).

6. Manusia diciptakan sebagai makluk kebaikan (fithrah), karena itu masing - masing pribadi manusia harus berpandangan baik kepada sesamanya berbuat baik untuk sesamanya.

7. Sebagai ciptaan yang lebih rendah daripada manusia, alam ini disediakan Tuhan bagi kepentingan manusia untuk kesejahteraan hidupnya, baik yang bersifat spiritual maupun yang bersifat material.

8. Alam diciptakan Tuhan sebagai wujud yang baik dan nyata (tidak semu), dan dengan hukum- hukumnya yang tetap, baik yang berlaku dalam kesejahteraannya yang utuh maupun yang berlaku dalam bagiannya secara spesifik.

9. Maka manusia harus mengamati alam raya ini dengan penuh apresiasi, baik dalam kaitannya dengan keseluruhannya yang utuh maupun dalam kaitannya dengan bagiannya yang tertentu, semuanya sebagai "manifestasi" Tuhan (perkataan Arab "alam" memang bermakna asal "manifestasi"), guna menghayati keagungan Tuhan Yang Maha Esa (dasar kesejahteraan spiritual).

10. Juga dengan memperhatikan alam itu, terutama gejala spesifiknya, manusia dapat menemukan patokan dalam usaha memanfaatkannya (dasar kesejahteraan material, malalui ilmu pengetahuan dan teknologi).

11. Maka manusia mengemban tugas membangun dunia ini dan memeliharanya sesuai dengan hukum -hukumnya yang berlaku dalam keseluruhannya secara utuh (tidak hanya dalam bagiannya secara parsial semata), demi usaha mencapai kualitas hidup yang lebih tinggi tersebut. Di sini letak relevansi keimanan untuk wawasan lingkungan, environmentalism.

12. Di atas segala - galanya, manusia harus senantiasa berusaha menjaga konsistensi dan keutuhan orientasi hidupnya yang luhur (menuju perkenan Tuhan Yang Maha Esa tersebut di atas), dengan senantiasa memelihara hubungan dengan Tuhan, dan dengan perbuatan baik kepada sesama manusia.

13. Perbuatan baik kepada sesama manusia yang dilakukan dengan konsisten tujuan luhurnya yang murni itu adalah terdekat menuju ridla-Nya, bukan semata - semata dengan mengikuti dan menjalankan segi - segi formal lahiriah ajaran agama, seperti ritus dan sakramen (simbolisme tanpa substansi adalah muspra, jika bukannya kesesatan sendiri).

14. Karena itu manusia harus bekerja sebaik - baiknya, sesuai bidang masing - masing, menggunakan setiap waktu lowong secara produktif dan senantiasa berusaha menanamkam kesadaran Ketuhanan dalam dirinya. Manusia dalam pandangan Tuhan tidak memperoleh apa - apa kecuali yang ia usahakan sendiri, tanpa menanggung kesalahan orang lain.

15. Manusia harus manyadari bahwa semua perbuatanya, baik dan buruk, besar dan kecil, akan dipertanggung-jawabkan dalam Pengadilan Ilahi di Hari Kemudian, dan manusia akan mengahdapi Hakim Maha Agung mutlak sebagai pribadi, sebagaimana ia adalah seorang pribadi ketika Tuhan menciptakannya pertama kali.

16. Maka karena iman, manusia menjadi bebas dan memiliki dirinya sendiri secara utuh (tidak mengalami fragmatasi), sebab ia tidak tunduk kepada apapun selain kepada Sang Kebenaran (al- Haqq, yaitu Allah, Tuhan Yang Maha Esa). Ini dinyatakan dalam kegiatan ibadah yang hanya ditujukan kepada Tuhan semata, tidak sedikitpun kepada yang lain, karena sadar akan Ke-Maha- Agung-an Tuhan.

17. Namun dengan iman itu manusia juga hidup penuh penuh tanggung jawab, karena sadar akan adanya Pengadilan Ilahi itu kelak. Ini secara amaliah dinyatakan dalam sikap memelihara hubungan yang sebaik - baiknya dengan sesama manusia berwujud persaudaraan, saling menghargai, tenggang - menenggang dan saling membantu, karena sadar akan makna penting usaha menyebarkan perdamaian (salam) antara sesamanya.

18. Maka perbedaan antara sesama manusia harus didasari sebagai ketentuan Tuhan, karena Dia tidak menghendaki terjadinya susunan masyarakat yang monolitik. Pluralitas yang sehat justru diperlukan sebagai kerangka adanya kompetisi ke arah berbagai kebaikan, sehingga perbedaan yang sehat merupakan rahmat bagi manusia.

19. Malandasi semuanya itu ialah keyakinan dan kesadaran bahwa Tuhan adalah Maha Hadir, menyertai dan bersama setiap individu di manapun ia berada, dan Maha Tahu akan segala perbuatan individu itu serta tidak akan lengah sedikitpun untuk memperhitungkan amal-perbuatannya, biar sekecil apapun. Begitulah kurang lebih identifikasi sendi - sendi pokok pandangan hidup berdasarkan iman. Kesemua nilai itu berdasarkan Kitab Suci dan sunnah Nabi, dan menjadi bagian dari sumber etos seorang Muslim serta dasar pertimbangan etisnya dalam semua kegiatan.


Masalah Kerja

Oleh karena kuatnya etos kerja dalam Islam maka beberapa ajaran yang sering diduga menjadi pangkal kepasifan, seperti tawakal dan zuhud atau asketisme, tidak dibiarkan berdiri sendiri, tetapi selalu digabungkan dengan kewajiban berusaha dan berbuat. Kecuali dalam kalangan dengan semangat kesufian yang ekstrem, yang oleh Gellner secara benar senantiasa dipandang sebagai gejala periferal dalam Islam (terbukti dari, misalnya, bagaimana Ibn Taymiyyah dll, menyerang keras praktek hidup mereka yang pasif itu), ajaran tawakal dan zuhud tidak pernah dibenarkan sebagai alasan untuk meninggalkan kegiatan. Penegasan mengenai hal ini dapat kita lihat pada sebuah kitab Melayu, terjemah dari kitab Arab, sebagai berikut:

Ketahui olehmu bahwasanya tawakal itu didalam hati tiada menafikan akan dia sabab. Sesungguhnya datang seorang laki - laki di atas unta ...(tak terbaca--NM) maka katanya aku tinggal akan dia tiada berikat dan tawakal aku maka sabdanya engkau ikat akan dia dan tawakal engkau. Berkata Sahal tawakal itu hal Nabi s.a.w. dan berusaha jalani Sunnah Rasulullah maka seorang tinggal ia atas halnya maka tiada harus meninggal jalan sunnahnya dan adalah Ibrahim al-Khawashsh sebenarnya tawakal dan adalah berjalan di padang hutan seorang diri tiada bercerai akan dia tempat air...12

Oleh karena tekanan pada kaum Sufi ialah kesederhanaan, maka tawakal dan zuhud memang kadang - kadang berakibat kepasifan dan sikap "nerimo" kepada kemelaratan, seperti tercermin dalam keterangan dari sebuah kitab Melayu berikut:

(Syahdan) tiada hilang nama zuhud dan tiada kurang martabatnya dalam akhirat itu dengan mengambil daripada dunia sekadar memadai nafkah bagi dirinya dan ahlinya dengan menaruh harta karenanya hingga mencukupi setahun inilah pada i'tibar ahlinya dan i'tibar dirinya yang tiada ahli baginya maka tiada harus menaruh makanan pagi - pagi hingga petang tetapi jika makan ia sekedar kuasa berbuat ibadat maka yang lebih daripadanya niscaya disedekahkan akan dia tiada mau menaruh dia sekali - sekali dan lagi tiada hilang nama zahid dengan memakai pakaian yang menutup auratnya maka jika memakai ia akan pakaian yang baik - baik maka yaitu hilang ia daripada nama zahid.13

Dalam sistem 'aqidah Asy'ariyah, sebagaimana telah pernah kita bicarakan, terdapat teori kasb yang cukup rumit, yang biasanya dituding sebagai sebab gejala fatalis pada kaum Asy'ari. Tetapi dalam penelitian lebih lanjut, teori kasb itu masih harus digandengkan dengan beberapa ketentuan lebih luas, yang bila ketentuan itu dipegang maka yang terjadi bukannya kepasifan, melainkan justru keaktifan.

Kaum Asy'ari atau golongan Sunni pada umumnya, memang menganut faham predestinasi yang kuat, yang dari satu sisi dapat menimbulkan kesan kepasifan. Mereka percaya bahwa manusia telah ditakdirkan oleh Tuhan dari zaman tanpa permulaan (azali, all eternity) tentang nasibnya, termasuk apakah akan "masuk surga" dan "masuk neraka", sebagaimana dilukiskan dalam sebuah syair ini:

Fawz al-sa'id-i 'indahu fi 'l-azali Kadza al-syaqiy-u tsumma lam yantaqili14

Artinya:
Keberuntungan seorang yang berbahagia--masuk surga--surga bagi-Nya sudah sejak zaman azali, begitu pula orang yang sengasara--masuk neraka--dan kemudian akan berubah lagi nasib mereka itu.

Walaupun begitu terdapat tanda - tanda di dunia ini bagi setiap orang apakah ia bakal masuk surga atau tidak, yaitu apakah dia lebih banyak berbuat kebaikan ataukah kejahatan. Dan setiap orang dimudahkan untuk berbuat sesuatu sesuai dengan takdirnya. Maka seseorang tetap diwajibkan berbuat baik, antara lain untuk "membuktikan" bahwa dia ditakdirkan oleh Allah bakal masuk surga. Hal ini diuraikan dalam teori lebih luas tentang kasb Asy'ari seperti terdapat dalam kitab Sabil al-Abid, terjemah bahasa Jawa oleh H. Muhammad Shalih ibn 'Umar Samarani (dari Pesantren Meranggen, Semarang), sebagai berikut:

Rasulullah s.a.w. bersabda: "Telah kuperintahkan kepada ummatku jangan sampai berpegang kepada taqdir." Seorang Sahabat menyahut: "Apakah kami tidak boleh berpegang kepada taqdir dan meninggalkan kerja?" Rasulullah menjawab: "Jangan Bekerjalah, sebab setiap orang dimudahkan menuju taqdir dan kepastiannya." (Dituturkan oleh al-Bukhari). Kalau taqdirnya sengsara (masuk neraka) maka dia mudah bermaksiat; dan jika taqdirnya bahagia (masuk surga), maka dia mudah taat (kepada Allah); kalau taqdirnya kaya, maka mudah usahanya; dan kalau taqdirnya miskin, maka sulit usahanya.... Rasulullah s.a.w. bersabda: "Mencari rizqi yang halal itu wajib atas setiap orang Islam." Jadi hadits ini menunjukkan bahwa mencari rizqi dengan usaha itu wajib, supaya tidak mengemis, sebab mengemis itu haram. Dan wajibnya usaha itu agar jangan sampai merendahkan diri terhadap musuh - musuh Allah dan terhadap kezaliman, dan jangan sampai menjadi pengabdi kezaliman.15

Maka dari itu, bagi kaum Asy'ari, seseorang masuk surga adalah berkat kemurahan Allah (fadl'l-u 'Llah, grace of God), sama dengan doktrin kaum Calvinis, sebagaimana Calcin juga percaya kepada predestinasi. Kemiripan doktrin Asy'ari dengan Calvinisme itu menjadi sangat menarik, karena Calvinisme itu oleh Max Weber dijadikan pangkal uraiannya tentang apa yang dinamakan Etika Protestan, yang baginya melandasi modernitas di Eropa. Sebagai bahan perbandingan, cobalah kita simak sebuah uraian tentang predestinasi Calvin itu, dalam sejarah Gereja, sebagaimana dijelaskan oleh seorang ahli teologi Kristen sendiri:

Tak dapat tidak Calvin pun tiba pada masalah lama yang muskil dipecahkan, yaitu bagaimana predestinasi Allah dapat disesuaikan dengan keberdiri - sendirian dan tanggung jawab manusia. Bagi Calvin soal itu lebih sukar lagi, Oleh sebab itu ia menghubungkan predetinasi dengan taqdir Allah yang am, dan dalam hal itu pun ia berpendapat, bahwa segala perbuatan manusia, juga yang salah, dipimpin oleh Allah. Jikalau begitu, Allahkah pokok dosa? dan manusia tidak bertanggung jawab atas perbuatannya? Kesimpulan demikian ditolak oleh calvin. Ia mengingatkan orang kepada rahasia wujud dan perbuatan Allah yang tidak dapat dipahami oleh akal budi kita.16

Atas dasar itu semua, dapatlah disimpulkan bahwa sesungguhnya kaum Muslim dalam berbagai penjabaran paham keagamaannya melalui Ilmu Kalam, Tasauf, dan lain - lain, tidak pernah kehilangan perspektif ajaran etis dalam Kitab Suci yang sangat mementingkan kerja atau praxis. Jika terdapat kesenjangan antara ajaran dan ummat sekarang ini, maka, kembali ke pengamatan Gellner, yang diperlukan ialah dialog kultural sebagaimana telah menjadi tradisi peradaban Islam sejak kehadirannya dalam sejarah.

Usaha menghidupkan kembali dialog itu, seperti telah disinggung di permulaan, kami memperoleh momentumnya yang baru oleh beberapa gejala global, terutama ambruknya sosialisme dan dipertanyakannya kapitalisme.


Agenda Menuju Masa Depan

Halangan kita untuk membuat agenda masa depan ialah tingkat pendidikan modern rata - rata penduduk Muslim di seluruh dunia yang masih lebih rendah daripada bangsa - bangsa lain, khususnya bangsa - bangsa Barat yang Kristen, tapi juga bangsa - bangsa Jepang yang Bhudis (cum Taois) dan India yang Hindu. Oleh karena itu berbagai kegiatan yang bersifat keislaman, di dalam negeri maupun di luar negeri, masih kalah tingkat sofistikasinya dibandingkan dengan berbagai kegiatan agama lain. Jika kini agama Islam semakin menarik bagi banyak kalangan yang serius dalam mencari kebenaran, baik di Timur (misalnya, kelompok Prof. Kuroda dari Japan International University, Niigata, Jepang) maupun di Barat (banyak sekali nama yang bisa disebut), maka letak kekuatan Islam tidak pada para pemeluknya yang sebegitu jauh masih kekurangan "gengsi", tetapi pada kesejatian ajarannya sebagai monotheisme murni dan hanif (alami, tidak dibuat - buat atau dikacaukan oleh mitologi dan kultus kepada misteri).

Malise Ruthven, seorang sarjana yang banyak mengamati Islam di zaman modern ini, meramalkan bahwa untuk jangka waktu beberapa dekade ini mungkin Islam masih akan menjadi agenda politik dunia (seperti yang sekarang ini sedang dialami karena masalah Timur Tengah). Tapi dia berharap bahwa suatu saat kaum Muslim akan terbatas dari berbagai kompleks politik dan akan mampu membangun kembali tema pokok keagamaannya seperti diwakili dalam Tasauf yang menurut dia mempunyai disiplin liturgis dan pandangan theosofis dengan universalisme yang tidak parokial seperti agama Yahudi dan tidak terlalu antroposentrik seperti agama Kristen. Dan jika kaum Muslim sanggup melepaskan kekakuannya yang membuat aktivitas kontemporernya mengalami ketandusan kultural dibandingkan dengan aktifitas (internasional) hindu-Budha yang bervarian canggih, kata Ruthven, maka Islam akan mampu membuktikan dirinya sebagai yang paling cocok untuk zaman ilmu (scientific age), dengan pesan yang amat penting. Sebab, kata Ruthven lebih lanjut, di balik perintah kepada kaum beriman untuk menciptakan masyarakat yang baik dengan mentaati Hukum, terdapat pesan kepada seluruh ummat manusia yang menyatakan adanya Wujud Maha Tinggi Yang Maha Abadi, dan adanya tanggung jawab khusus manusia untuk memelihara planet bumi ini. Pesan itu menyeru kaum pria dan wanita memperlihatkan rasa syukur atas rahmat kekayaan Allah kepada bumi, untuk menggunakan dan membaginya secara adil. Pesan itu, kata Ruthven seterusnya, diungkapkan dalam bahasa dan pelukisan bangsa penggembala yang menyadari bahwa pertahanan hidup mereka tergantung kepada sikap pasrah kepada hukum - hukum yang menguasai lingkungan mereka, dan kepada aturan keramahtamahan yang bahkan mengharuskan pembagian mereka sumber daya yang terbatas. dalam suatu dunia yang semakin dibenahi oleh kesenjangan antara bagsa yang kaya dan yang miskin, dan yang terus - menerus dalam bahaya perang nuklir, kata Ruthven lagi, pesan (Islam) itu mempunyai relevansi mendesak, yang kita semua merugi kalau sampai mengabaikannya.17

Untuk menuju ke arah itu dan guna menjamin otentisitas dari kreatifitas berfikirnya, usaha memberi responsi kepada tantangan zaman itu harus terlebih dahulu kita menagkap isi pesan dalam Kitab Suci. Karena, kata Fazlur Rahman, kita memiliki kreteria tertentu untuk melangkah, dan kriteria itu dengan sendirinya harus bersumber dari al-Qur'an. Petama, kita harus memeriksa tradisi keislaman kita di bawah sorotan kriteria dan prinsip - prinsip itu, kemudian secara kritis mempelajari sosok ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh modernitas. Kita juga harus ingat bahwa ilmu dalam Islam terwujud untuk memungkinkan kita bertindak, untuk mengubah keadaan yang berlaku di dunia ini. Kita harus dengan sungguh - sungguh menggarap tata cara ini dan pertama - tama menilai tradisi Barat... Jenjang pengetahuan kreatif akan timbul hanya jika kita dijiwai oleh sikap yang hendak di tanamkan al-Qur'an dalam diri kita. Barulah kita akan mampu untuk membuat apresiasi dan duduk melakukan penilaian, baik atas tradisi kita sendiri maupun atas tradisi Barat. Saat itu pun, penilaian dan kritik bukanlah tujuan akhir, melainkan hanya langkah pertama dalam menemukan pengetahuan baru, yang merupakan tujuan sejati intelektual Islam.18 Begitu kata Fazlur Rahman dekat menjelang ia berpulang.

Nampaknya ajakan Fazlur Rahman itu, dalam Zaman Modern yang serba kompleks ini, memerlukan kerjasama erat banyak pihak. Yang diperlukan tidak hanya kemampuan intelektual semata, tapi juga lebih - lebih lagi dedikasi dan kesungguhan, dalam sikap penuh harapan terhadap masa depan. Suatu tantangan yang berat, tapi dengan hidayah dan 'inayah Allah tentu akan terlaksana dengan baik. Barangkali tidak ada saat yang lebih memerlukan kerjasama semua pihak seperti sekarang.

Wallahu a'alam.

Catatan:

1. Karl Barth, Ethics, suntingan Dietrich Braun dan terjemahan dari Jerman ke Inggris oleh Geoffrey W. Bromiley (New York: The Seabury Press, 1981). h. 3.

2. By various obvious criteria--universalism, scripturalism, spiritual egalitarianism, the extension of full participation in the sacred community not to one, or some, but to all, and the rational system atisation of social life--Islam is, of the three great Western monotheisms, the one closest to modernity.--Ernest Gellner, Muslim society (cambridge University Press, 1981), h. 7.

3. Only Islam survives as a serious faith pervading both a folk and a Great Tradition. Its great Tradition is modernisable; and the operation can be presented, not as an innovation or concession to outsiders, but rather as the continuation and completion of an old dialogue within Islam. (Gellner, h. 4)

4. Thus in Islam, and only in islam, purification/modernization on the one hand, and the reaffirmation of a putative old local identity on the other, can be done in one and the same language and set of symbols. The old folk version, once a shallow of the central tradition, now becomes a repudiated scapegoat, blamed for retardation and foreign domination. Hence, though not the source of modernity, Islam may yet turn out to be its beneficiary. The fact that its central, official, 'pure' variant was egalitarian and scholarly, whilst hierarchy and ecstasy pertained to its expendable, evevtually disavowed, peripheral form, greatly aids its adaptation to the modern world. In an age of aspiration to universal literacy, the open class of scholars can expand toward embracing the entire community, and thus the 'protestant' ideal of equal access for all believers can be implemented. Modern egalitarianism is satisfied. Whilst European Protestanism merely prepared the ground for nationalism by furthering literacy, the reawakened Muslim potensial for egalitarian scripturalism can actually fuse with nationalism, so that one can hardly tell which one of two is most benefit to the other. (Gellner, hh. 4-5.

5. In science, the Arabs outdistanced the Greeks. Greek civilization was, in essence, a lush garden full of beautiful flowers that bore little fruit. It was a civilization rich in philosophy and literature, but poor in techniques and technology. Thus it was the historic task of the Arabs and the Islamic Jews to break through this Greek scientific cul-de-sac, to stumble upon new paths of science--to invent the concepts of zero, the minus sign, irrational numbers, to lay the foundations for the new science of chemistry--ideas which paved the path to the modern scientific world via the minds of post-Renaissance European intellectuals. (max I. Dimont, The Indestructible Jews (New York: New American Library, 1973), h. 184).

6. Though Greece and Rome did Influence European architecture, the scholar must also look to the Islamic Empire for new insights into the changing European architecture after the eleventh century...The Arabs... came up with new, lofty concepts, creating a Moslem architectural style that surpassed its archetypes in beauty and technical engineering...So, for instance, the great Mosque of Damascus precedes by centuries the Pitti Palace of Florence. Many of the castles built by European knights after the Crusades remarkably resemble castles built by Arabs nobles in the tenth century. The Bell Tower of Evesham (1533), styled after the Giralda Minaret in Seville (1195), is but another striking example of this extensive Moslem influence. (Dimont, h.184).

7. One of the best features of Arab economy was agriculture, particulary the skilful use of irrigation, which they learnt from living where water is scarce. To this day Spanish agriculture profits by Arab irrigation works.--Bertrand Russel, A History of Western Philosophy (New York: Simon and Schuster, 1959), hh. 422-3.

8. Firthjof Schuon, The Transcendent Unity of Religions (London: Faber and Faber, t.t.), h. 134.

9. Paul, in effect, betrays the commission entrusted to him by James and the Nazarean hierarchy. For Paul, Jesus's teachings and polotical status are less important than Jesus himself...What matters is simply a profession of faith in Jesus as manifestation of God, and such a profession of faith is in itself sufficient to ensure salvation...Jesus, James and the Nazareans in Jerusalem advocated worship of God, in the strict Judaic sense. Paul replaces this with worship of Jesus as God. In Paul's hands, Jesus himself becomes an object of religious veneration--which Jesus himself, like his brother and the other Nazarean in Jerusalem, would have regarded as blasphemous. (Michael Baigent, Richard Leigh & Henry Lincoln, The Messianic Legacy [New York: Bantam Doubleday Dell, 1986], hh. 77-8).

10. Andrew Rippin, Muslims, Their Religious Beliefs and Practices (London: Routledge, 1990), Vol. 1, h. 99.

11. Human dignity rests on the assumption that human life is in some way significant. We are more prepared to endure pain, deprivation, anguish and all manner of ills, if they serve some purpose, than we are to endure the inconsequentials. We would rather suffer than be of no importance. (Michael Baigent, Richard Leigh & Henry Lincoln, The Messianic Legacy [New York: Bantam Doubleday Dell, 1986], h. 137).

12. Al-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, (Seorang mufti Makkah), Fat'h al-Mufakkirin, terjemah Bahasa Melayu oleh al-Syaikh 'Utsman ibn Syihab al-Din Pontianak (Surabaya: Syarikat Bengkulu Indah, tt), h. 34

13. Da' al-Qulub dalam himpunan Jam' Jawami' al-Mushannafat, terjemah dan keterangan dalam Bahasa Melayu oleh al-Syeikh Isma'il ibn 'Abd al-Muththalib al-Asyi (dari Aceh), (Singapura dan Jeddah: al-Haramayn li al-Thiba'ah wa al- Nasyr wa al-Tawzi', tt), h. 112.

14. K. H. Muhammad Shalih ibn 'Umar Samarani, Sabil al-'Abid 'ala Jawharat al-Tawhid (oleh Ibrahim al-Laqqani), terjemah bahasa Jawa (tanpa data penerbitan), h. 136.

15. Angendika Gusti Rasulullah s.a.w., "Wus perentah ingsun ing atase ummat ingsun aja kasi pada gendolan qadar." Maka matur Sahabat, "Punapa boten kenging kulo gendolan pesthen kula lan nilar kulo ing amal?" Maka angendika Gusti Rasul, "Aja! Amala sira, maka saben - saben wong sawiji iku den gampangaken marang apa qadare lan apa pesthene." Rawuhu al- Bukhari. Lan pesthene syaqawah, maka gampang maksiat, lan lamun pesthene sa'adah, maka gampang tha'ah, lan lamun pesthene sugih, maka gampang kasabe, lan lamun pesthene fakir, iya angel kasabe. Lan riwayat sangking Ibn Mas'ud, qala (Rasulullah) s.a.w., "Thalab al-halal faridlat ba'd al- faridlah," (Ana dene kasab amrih halal kerana perbeyane awake lan anak bojone iku fardlu wakwuse fardlu nglakoni limang waktu). Wa qila fardlu sakwuse nglakoni arkah al- Islam, wa qila fardlu amrih kasab ba'd al-iman wa al-shalah kerana ibadah iku wajib, hale ora sampurna nglakoni ibadah yen ora cukup nafaqahe awake lan anak bojone. Maka dadi ana kasab iku wajib minbab ma la yatimmu 'l-wajib illa bihi fa huwa wajib. (Shalih, hh. 319-320).

16. H. Berkhof dan I. H. Enklaar, Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988), h. 172.

17. To that extent Islam seems set to remain on the political agenda for many decades, until such time as it becomes absorbed like other religious traditions into some pluralistic international culture of the future. After that, it may be expected to flow once again in the more diffused and less rigid channels of high Sufism, whose liturgical disciplines and free ranging theosophical outlook provide it with a universalim less parochial than Judaism and less anthropocentric than Christianity. Freed from the Pharisaic rigidity which makes so much contemporary Islamic activitiy seem culturally sterile (when compared, for example, with sophisticated variants of the Hindu-Buddhist traditions), Islam could prove a highly congenial faith for a scientific age, and one with an important message. For beyond the adminitions to the faithful to create the good society by observing the Law, there is a message addressed to the whole of mankind. It is a message that proclaims the Eternal Transcendent, and man's special responsibility as guardian of this planet. It is a message which calls on men and women to show gratitude for the world's bounty, to use it wisely and distribute it equitably. It is a message phrased in the language and imagery of a pastoral people who understood that survival depended upon submission to narutal laws governing their environment, and upon rules of hospitality demanding an even sharing of limited resources. In a wold increasingly riven by the gap between rich and poor nations, and in contant danger of nuclear catastrophe, this message has an urgent relevance and it is one that we ignore at our peril. (Malise Ruthven, Islam in the World [Oxford: University Press, 1984], h. 362).

18. I have, then submitted, that unless we have examined our tradition very well, in the light of the Qur'an, we cannot proceed further with Islamic thought. This is because we must have certain criteria to go by and the criteria must obviously come initially from the Qur'an. First, we must examine our own Islamic tradition in the light of these criteria and principles and then critically study the body of knowledge created by modernity. We must also remember that knowledge in Islam exists in order to enable us to act, to change the current events in the world. The Qur'an is an action-oriented book, par excellence. We have to seriously cultative this procedure and first judge our own tradition as to that is right and what is wrong. Then we must judge the Western tradition...The stage of creative knowledge will come only when we are imbued with the attitude that the Qur'an wants to inculcate in us. Then we will be able to appreciate and also sit in jugment on both our own tradition and the Western tradition. Even then, however, jugment and criticism is not the end but only the firts step in the discovery of new knowledge, which is the true goal of an Islamic intellectual. (Fazlur Rahman, "Islamization of Knowledge: a Response", dalam The American Journal of Islamic Social Science (Herndon, VA, USA), Vol. 5, No.1, September 1988, h. 11).