AJARAN NILAI ETIS DALAM KITAB SUCI DAN
RELEVANSINYA BAGI KEHIDUPAN MODERN
Oleh : Nurcholish Madjid
Event Artikel : KKA-47 (Jakarta, Desember 1990)
Diupdated
pada: Kamis 29 Maret 2001
Mukaddimah
Yang dimaksud dengan nilai etis dalam pembahasan di sini
ialah pengertiannya yang lebih mendasar daripada yang ada
dalam perkataan itu dalam percakapan sehari - hari. Maka
ia tidak dimaksudkan sekedar sebagai sesuatu yang hanya
mengisyaratkan masalah kesopanan semata, melainkan, dalam
pengertiannya yang lebih mendasar, dimaksudkan sebagai
konsep dan ajaran yang serba meliputi (komprehensif),
yang menjadi pangkal pandangan hidup tentang baik dan
buruk, benar dan salah. Oleh karena itu ajaran etis,
dalam makna yang seluas - luasnya, sebenarnya akan
mencakup keseluruhan pandangan dunia (weltanschauung,
world out look) dan pandangan hidup (liebenanschauung,
way of life). Maka pembicaraan tentang etika tentunya
tidak akan dapat lepas dari pembicaraan tentang etika
secara keseluruhan. Menurut Karl Barth: Etika (dari
ethos) adalah sebanding dengan moral (dari mos). Kedua -
duanya merupakan filsafat tentang adat kebiasaan
(Sitten). Perkataan Jerman Sitte (dari Jerman kuna, situ)
menunjukkan arti moda (mode) tingkah laku manusia, suatu
konstansi (contancy, kelumintuan) tindakan manusia.
Karena itu, secara umum etika atau moral adalah filsafat,
ilmu, atau disiplin tentang moda - moda tingkah laku
manusia atau konstansi - konstansi tindakan manusia.1
Namun, sudah tentu karena bebagai
pertimbangan, termasuk pertimbangan kepraktisan dan
kemungkinan, pembahasan di sini dibatasi hanya kepada hal
- hal yang dianggap pokok saja, yang sekiranya paling
relevan dengan persoalan kita sekarang.
Pembicaraan tentang relevansi Islam dengan modernitas
pada masa akhir - akhir ini semakin banyak menyibukkan
para pengkaji dan pemikir, baik kalangan Islam maupun
non-Islam. Hal ini disebabkan antara lain, oleh adanya
dambaan orang banyak kepada suatu pilihan lain dari pola
hidup yang sekarang dominan di muka bumi, yang pola itu
nampaknya semakin hari semakin menunjukkan titik - titik
kelemahannya. Ambruknya sosialisme dan komunisme memang
mengesankan kemenangan sistem kapitalisme dan
liberalisme, namun tidak berarti bahwa proses pencarian
manusia akan pola hidup yang lebih baik sudah terhenti
dan puas dengan apa yang sekarang dominan di Barat.
Proses itu terus berlangsung, dan usaha pencarian yang
terjadi paham lingkungan hidup (environmentalism) yang
jelas menghendaki pola kehidupan yang kualitasnya lebih
tinggi daripada sekedar penikmatan hasil material, dan
pendekatan yang lebih prinsipil seperti usaha menelaah
kembali berbagai kekayaan spiritual manusia, termasuk
Islam.
Berbagai Harapan kepada Islam
Apakah Islam memang relevan dengan kehidupan modern?
Banyak orang yang skeptis dalam jawabannya atas
pertanyaan itu. Tetapi banyak pula kalangan yang optimis
dan positif, termasuk beberapa dari kalangan para sarjana
bukan-Muslim. Contohnya ialah Ernest Gellner, yang
berpendapat bahwa di antara tiga agama monotheis, Yahudi,
Kristen dan Islam, baginya Islam adalah yang paling dekat
kepada modernitas, disebabkan oleh ajaran Islam tentang
universalisme, skripturalisme (yang mengajarkan bahwa
Kitab Suci dapat dibaca dan dan dipahami oleh siapa saja,
bukan monopoli kelas tertentu dalam hirarki keagamaan,
dan kemudian yang mendorong tradisi baca-tulis atau
"melek huruf", literacy), egalitarianisme
spiritual (tidak ada sistem kependetaan kepada semua
anggotanya (sangat mendukung apa yang disebut sebagai
participatory democracy), dan, akhirnya, yang mengajarkan
sistematisasi rasional kehidupan sosial.2
Sudah tentu suatu agama tidak dapat dipahami hanya
sekedar sebagai formula - formula abstrak tentang
kepercayaan dan nilai. Setiap agama menyatakan dirinya
melalui para pemeluknya, dan dalam persepsinya kepada
agama itu para pemeluk sampai batas yang cukup jauh pasti
terpengaruh oleh lingkungan di mana mereka hidup, baik
zaman maupun tempat. Oleh karena selalu ada tarik-
menarik antara ketentuan - ketentuan normatif dengan
kenyataan historis, yang dalam percampuran antara
keduanya sering membuat kabur apa yang "murni"
dari apa yang "tambahan" apa yang "berasal
dari Tuhan" dan apa yang merupaka hasil
"intervensi manusia". Tetapi karena
skriptualisme Islam yang amat kuat, yang dari semula
menegaskan bahwa kebenaran hanyalah yang datang dari
Allah melalui Kitab suci dan Sunnah Nabi, dan yang sumber
- sumber ajaran itu berhak dijangkau oleh setiap orang,
maka sejak dari semula tampilnya Islam sudah terdapat
dialog - dialog tentang apa yang benar dan apa yang salah
menurut ketentuan Tuhan. Meskipun sudah pasti dalam
dialog - dialog itu senantiasa terdapat masalah
penafsiran kepada teks - teks, namun teks - teks itu,
khususnya Kitab Suci al-Qur'an akan tetap berada seperti
bacaannya dari semula tanpa berubah sedikit pun juga
(karena demikian dijamin oleh Allah sendiri--Lihat Q.,s.
al-Hijr/15:9), maka dialog - dialog itu tetap berlangsung
dengan tingkat otentisitas yang tinggi, karena setiap
nuktah pemikiran yang muncul selalu mengacu dan siap
diuji oleh teks - teks suci. Maka ketika dialog di suatu
tempat atau masa terhenti oleh sesuatu sebab, orang
memang terancam bahaya untuk tidak lagi bisa membedakan
antara apa yang normatif, murni ajaran, dan apa yang
histiris, intervensi manusia. Dalam keadaan tak
terbedakan itu, timbullah sikap mengidentikkan antara
keduanya, sehingga terbentuk penglihatan Islam sebagai
apa yang dilakukan kaum Muslim dan apa yang dilakukan
oleh kaum Muslim adalah dengan sendirinya Islam itu
sendiri. Oleh karena itu Muhammad 'Abduh pernah
menyatakan bahwa dalam keadaan seperti itu, "Islam
tertutup oleh kaum Muslim" (Al-Islam mahjub bi
a-Muslimin). Tetapi disebabkan oleh skripturalisme yang
amat kuat tadi, dan karena kegairahan yang tidak ada
tandingannya pada kaum Muslim untuk menjaga kemurnian dan
keaslian Kitab Suci mereka, maka dialog merupakan suatu
gejala yang sangat menonjol pada orang - orang Islam,
yang dialog itu disertai secara egaliter tanpa batasan
formalitas hirarki keagamaan. Dalam dialog - dialog
itulah orang berusaha mengenali mana yang
"murni" dan mana yang "tambahan",
atau dalam istilah para ilmuwan sosial, mana yang
termasuk Great Tradition dan mana yang Folk Tradition.
Ibn Taymiyyah, misalnya, yang ketokohannya dalam dialog
banyak mengilhami berbagai gerakan pembaharuan di Zaman
Modern ini, dengan ketegaran luar biasa memerangi sufisme
populer (jadi termasuk Folk Tradition, seperti kebiasaan
mengagungkan para wali dan makam meraka), dan pada saat
yang sama mempertahankan, mempropagandakan, dan
megamalkan sendiri berbagai amalan kesufian berdasarkan
Kitab dan Sunnah (jadi termasuk Great Tradition). Oleh
karena Islam memiliki kaulitas - kualitas seperti diamati
oleh Gellner di atas, menurut pengamatan Gellner lebih
lanjut, di antara berbagai agama yang ada hanya Islam
yang sanggup bertahan dengan mengatasi persoalan
kesenjangan yang normatif dan yang konkret historis, atau
antara Tradisi Besar dan Tradisi Kecilnya.
Hanya Islam akan tetap bertahan sebagai keimanan yang
serius, yang mengatasi baik Tradisi Kecil maupun Tradisi
Besar. Tradisi Besar Islam tetap dapat dibuat modern; dan
pelaksanaanya bisa disajikan tidak sebagai penambahan
baru atau konsensi kepada orang luar, melainkan sebagai
kelanjutan dan penyempurnaan dialog lama dalam Islam.3
Gellner memang sangat optimis tentang Islam. Ia juga
membandingkan antara Protestantisme dan kemungkinan peran
Islam di masa mendatang. Karena teori Max Weber tentang
Etika Protestan, banyak ahli ilmu sosial berpandangan
bahwa Protestentisme adalah pangkal pola kehidupan
modern. Hal ini sudah banyak dibantah oleh para ahli yang
lain, seperti oleh Robert N. Bellah yang membuktikan
tentang peranan agama Tokugawa dalam modernisasi Jepang,
dan oleh Clifford Geertz tentang peranan kaum Muslim
Santri di Jawa dalam menumbuhkan etos kerja dan tradisi
kewirausahaan (enterpreneurship) dan lain - lain.
Pembaharuan oleh Martin Luther, Calvin, Zwingli dan lain
- lain, terhadap sistem kepercayaan Kristen (Katolik)
memang sangat radikal, begitu rupa sehingga beberapa hal
pokok dari pola keagamaan lama Kristen hancur atau
hilang, seperti pola kekuasaan Paus dan bawahannya dalam
hirarki eklesiastikal. Protestantisme mengubah secara
radikal pola tanggung jawab manusia dari yang semula
dapat dilimpahkan dengan mudah kepada para pemimpin
gereja menjadi tanggung jawab pribadi yang langsung
kepada Tuhan, yang pengubahan radikal itu dilambagkan
dalam protes Luther terhadap praktek penebusan dosa
dengan uang dan dengan imbalan "sertifikat".
Dengan perkataan lain, pembaharuan dalam Kristen terjadi
dengan mengubah beberapa sendi keagamaan yang amat
penting dari Kristen lama (Katolik). Sedangkan dalam
Islam, yang pembaharuannya tidak lebih daripada
kelanjutan dialog - dialog yang ada dalam seluruh sejarah
kehadirannya, apapun yang terjadi sebagai usaha
pembaharuannya tidaklah mengakibatkan pengubahan radikal
sendi - sendi keagamaannya yang pokok. Karena itu memang
Islam bukan sumber langsung modernitas, karena modernitas
itu, sebagai kenyataan historis, telah dimulai di Barat
(dengan etos dominan menolak peranan agama dalam masalah
- masalah duniawi, jadi juga tidak dapat dikatakan bahwa
Kristen adalah sumber modernitas). Namun Gellner
memberikan gambaran dan penegasan bahwa Islamlah nanti,
dibanding dengan agama - agama lain, yang akan paling
banyak memperoleh manfaat dari modernitas, disebabkan
oleh berbagai kualitas dasar Islam seperti tersebut di
atas :
Karena itu dalam Islam, dan hanyalah dalam Islam,
pemurnian/pembaharuan di satu pihak, dan penegasan
kembali sesuatu yang dianggap sebagai identitas lokal di
pihak lain, dapat dilakukan dalam bahasa yang satu dan
sama serta dalam perangkat simbul yang satu dan sama.
Versi keagamaan umum (rakyat) yang lama, yang telah
merupakan suatu bentuk dangkal tradisi sentral Islam,
sekarang ditolak sebagai kambing hitam, disalahkan telah
menyebabkan kemunduran dan terpengaruh oleh unsur luar.
Karena itu, meskipun bukan sumber modernitas, Islam
mungkin akan terbukti menjadi penerima manfaatnya.
Kenyataan bahwa varian "murni"-nya yang sentral
dan resmi bersifat egaliter dan bersemangat kesarjanaan
(scholarly, ilmiah), sementara adanya hirarki (ulama,
misalnya--NM) dan ekstase bersangkutan dengan bentuk -
bentuk periferal yang senantiasa meluas namun yang
sekarang ditolak, semuanya itu sangat membantu Islam
menyesuaikan diri kepada dunia modern. Di zaman aspirasi
literasi universal, kelas sarjana yang terbuka dapat
meluas untuk meliputi seluruh masyarakat, dan dengan
begitu cita - cita 'protestan' tentang akses yang sama
untuk sekalian pemeluk dapat terwujud. Paham persamaan
manusia (egalitarianisme) modern dapat sepenuhnya
terlaksana. Sementara Protestantisme Eropa hanya
menyiapkan lahan untuk nasionalisme malalui pengembangan
literasi, skripturalisme egaliter Islam yang potensial,
yang bangkit kembali, dapat secara nyata menyatu dengan
nasionalisme, sehingga akan sulit membedakan mana dari
keduanya itu yang paling memberi faedah kepada yang
lain.4
Karena pengamatan Gellner berkaitan dengan pandangan plus
harapan untuk masa depan, maka pembuktian subtantifnya
masih harus ditunggu. Sementara itu, untuk keutuhan
pendekatan kepada masalah ini, ada baiknya kita melakukan
lagi sesuatu yang sudah sering kita lakukan, yaitu
melihat beberapa kenyataan dalam sejarah Islam. Sikap
melihat sejarah ini kiranya juga dibenarkan, jika
bukannya diharuskan, secara agama sendiri, mengingat
berbagai penegasan Kitab Suci bahwa sejarah mewujudkan
Sunnatullah yang kita diperintahkan untuk mempelajarinya.
(Q., s. al- Ahzab/33:62; s. Fathir/35:43; s. Alu
'Imran/3:137, dll.) Pada saat wahyu diturunkan kepada
Nabi acuan sejarah itu tentunya kepada ummat - ummat
sebelum Islam. Maka sekarang acuan itu tentunya kepada
sejarah Islam sendiri, yang pasti lebih patut lagi kita
kaum Muslim mempelajarinya.
Etos Keilmuan Islam Klasik
Jika disebutkan oleh Gellner bahwa salah satu segi
kekuatan Islam menghadapi modernitas ialah kualitasnya
yang bersemangat kesarjanaan (scholarly), maka tidak ada
cara yang lebih baik untuk substansiasinya daripada
melihatnya dalam etos keilmuan Islam klasik. Setiap
pemeluk Islam meyakini betapa tingginya penghargaan
agamanya kepada ilmu. Jika para muballigh dan juru da'wah
Islam gemar mengutip beberapa ayat suci atau sabda Nabi
tentang pentingnya ilmu, maka sebenarnya mereka hanyalah
melakukan konfirmasi atas apa yang telah mentradisi dalam
sejarah Islam. Kini sudah merupakan pengetahuan umum di
dunia, lebih - lebih di Barat, bahwa hampir seluruh
bangunan ilmu pengetahuan modern sekarang ini adalah
kelanjutan etos keilmuan yang telah berkembang dalam
Islam. Begitu Nabi s.a.w. wafat dan para Sahabat
mengembangkan daerah kekuasaan politik Islam ke wawasan
sekitarnya, kemudian mereka ini bertemu dengan berbagai
warisan budaya ummat manusia, mereka memungut apa saja
yang berfaedah dari warisan itu, tanpa stigma dan tanpa
kompleks psikologis, sesuai dengan banyak sekali
ilustrasi dalam Kitab Suci bahwa orang yang beriman tidak
perlu takut dan tidak perlu kuatir. Rasa percaya diri
mereka yang amat besar itu telah memberi kekuatan batin
untuk mampu berlaku adil kepada ummat manusia dan
warisannya, sesuai dengan tugas suci mereka sebagai
"ummat moderator" atau "penengah"
(wasth, wasith) dan sebagai "saksi" atas ummat
manusia" (Q., s. al-Baqarah/2:143). Juga sebagai
pelaksanaan berbagai pesan suci Nabi agar kaum beriman,
"Pungutlah olehmu hikmah (ilmu pengetahuan atau
wisdom), dan tidak akan membahayakan bagi kamu dari
bejana apapun hikmah itu keluar", dan bahwa
"Hikmah adalah barang hilangnya seorang beriman,
karena hendaknya ia memungutnya di mana pun
diketemukannya," serta "Carilah ilmu meskipun
di negeri Cina", juga nasehat 'Ali ibn Abi Thalib,
"Perhatikan apa yang dikatakan orang, jangan
memperhatikan siapa yang mengatakan." Karena itu
ummat Islam klasik memungut dan mengembangkan ilmu
pengetahuan dari mana saja, kemudian mereka bina secara
kreatif. Memang beberapa sarjana Barat, seperti Bertrand
Russel, "menyesali" mengapa para pemikir Muslim
tidak banyak mengembangkan falsafah dengan tingkat
orisinalitas seperti orang - orang Yunani kuna. Ibn Sina
dan Ibn Rusyd misalnya, kata Russel, memang hebat, namun
kekurangan orisinalitas, dan lebih banyak sebagai
komentar belaka terhadap falsafah Yunani.
Tetapi
dari sudut
penglihatan Islam sendiri, sikap para pemikir Muslim
klasik itu tidak tidak salah. Sebab falsafah Yunani,
betapapun ada unsur - unsur yang berguna bagi kaum
Muslim, namun dalam analisa terakhir adalah pemikiran
deduktif yang banyak dipengaruhi oleh mitos - mitos
mereka yang sesat. maka jika toh diambil alih oleh kaum
Muslim, unsur - unsur falsafah Yunani itu
"diislamkan", antara lain dengan menghapuskan
segi - segi mitologisnya. dan kaum Muslim lebih - lebih
lagi tidak tertarik kepada sastra Yunani (hampir tidak
satu pun dikenal dalam literatur klasik Islam), karena
karya - karya sastra Yunani itu penuh dengan dongeng,
mitologi dan unsur - unsur syirik lainnya. Salah satu
segi kelemahan pandangan dunia Yunani ialah
penglihatannya kepada hidup sebagai penuh tragedi, suatu
pandangan yang pesimistis. Begitu pula pandangannya
terhadap alam, menurut penilaian Iqbal, adalah statis,
karena itu mungkin saja mereka unggul dalam spekulasi -
spekulasi, namun miskin dalam bidang empiris. Kekuatan
warisan intelektual Islam adalah dalam bidang - bidang
empiris ini, yang justru merupakan metode ilmiah modern
yang sebenarnya. Hal itu demikian sebagai salah satu
akibat pandangan Islam yang optimis kepada hidup (dunia
dapat menjadi tempat yang membahagiakan), dan yang
dinamis kepada alam. Inilah yang menjadi pengamatan
seorang ahli sejarah ilmu pengetahuan, Max I. Dimont:
Dalam sains, bangsa Arab (Muslim) jauh meninggalkan
bangsa Yunani. Peradaban Yunani, pada esensinya, adalah
sebuah taman yang subur, yang penuh dengan bunga - bunga
indah yang tidak banyak berbuah. Ia adalah peradaban yang
kaya dengan falsafah dan sastra, namun miskin dalam
teknik dan teknologi. Maka merupakan usaha bersejarah
dari bangsa Arab dan Yahudi Islam untuk menerobos jalan
buntu keilmuan Yunani ini, untuk mendapatkan jalan baru
sains--menemukan konsep nol, tanda minus, angka
irrasional, dan meletakkan dasar - dasar bagi ilmu kimia
baru--yaitu ide - ide yang meratakan jalan ke arah dunia
ilmu pengetahuan modern melalui semangat para pemikir
Eropa setelah Renaisans.5
Karena rintisan ilmiah dari Islam klasik itulah maka
sampai sekarang banyak sekali istilah - istilah teknis
peradaban modern Barat yang berasal dari peradaban Islam
klasik, seperti, dalam Bahasa Inggris, admiral, alchemy,
alcohol, alcove, algebra, algorithm, alkali, azimuth,
azure, calibre, carafe, carat, caraway, cipher, climate,
coffee, cotton, elixir, jar, lute, macrame, magazine,
mohair, monsoon, muslin, nadir, saffron, sherbet, sofa,
tariff, zenith, dan zero. Kalau kita perhatikan kosa kata
Inggris yang dipinjam dari peradaban Islam itu, jelas
meliputi berbagai segi kehidupan Barat modern sejak dari
matematika (algeabra, algorithm, zero, dll.), perdagangan
(tariff, douane--Perancis) kehidupan mewah (muslin,
saffron, sofa), dan kehidupan santai (sherbet, dll.).
Dalam arsitekturpun pengaruh peradaban Islam kepada Barat
modern cukup penting, sebagaimana diungkapkan oleh Dimont
dalam sebuah uraiannya.6 Bahkan juga dalam sistem irigasi
pertanian, peradaban Islam diakui peranannya sebagai
pemberi teladan dalam pemanfaatan air, sebagaimana
digambarkan oleh Bertran Russel: Salah satu ciri yang
terbaik dari ekonomi Arab (Islam) ialah pertanian,
terutama dalam penggunaan sangat ahli akan irigasi, yang
mereka pelajari dari pengalaman hidup sukar air. Sampai
hari ini pertanian Spanyol masih memanfaatkan karya -
karya irigasi Arab.7
Begitulah tinjauan kesejarahan tentang etos ilmiah Islam
yang dijadikan Gellner untuk optimisnya tentang peran
Islam di masa depan.
Beberapa Ajaran Pokok Islam dan Implikasi Etisnya
Dirasa sangat penting memulai pembahasan ini dengan
membuat beberapa penegasan mengenai watak agama Islam
berkenaan dengan kerja. Dalam penglihatan Frithjof Schuon
(Muhammad 'Isa Nuruddin), seorang failasuf Muslim dari
Swiss, tampilnya Islam adalah berarti menyambung kembali
tradisi Nabi Ibrahim dan Nabi Musa yang mengajarkan
tentang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa dan pendekatan
kepada-Nya melalui amal perbuatan yang baik, suatu
monotheisme etis (ethical monotheism).8 Ajaran Nabi Isa
al- Masih, sebagai kelanjutan ajaran Nabi Ibrahim, juga
pada mulanya sebuah monotheisme etis. Tetapi, menurut
banyak ahli, telah diubah oleh Paulus menjadi monotheisme
sakramental (sacramental monotheism), karena dari Nabi
Isa (yang kemudian dipandang sebagai "Tuhan")
menjadi lebih penting daripada ajarannya tentang
pendekatan kepada Tuhan melalui amal dan kegiatan. Maka
sakramen, terutama dalam bentuk Ekaristi, menjadi sangat
sentral bagi pemeluk Kristen, karena bagi mereka
keselamatan diperoleh melalui dan dalam diri atau tubuh
Isa al-Masih.9
Karena itu dalam sistem peribadatan Islam tidak ada
mitologi atau sakramen, dan semua ibadat ditekankan
sebagai usaha pendekatan pribadi kepada Tuhan semata.
Seperti diamati oleh Andrew Rippin, ibadat dalam Islam
tidak mengandung mitologi, amythical dan juga
non-sacramental.10 Memang ada bentuk - bentuk ibadat yang
bersifat memperingati kejadian masa lalu (commemorative)
seperti haji dan kurban, namun intinya tetap pendekatan
pribadi kepada Tuhan. Maka dari itu diperingatkan bahwa
"Tidak akan mencapai Allah daging kurban itu, juga
tidak darahnya, tetapi akan mencapai-Nya taqwa dari
kamu". (Q., s. al-hijj/22:37). Karena seluruh
aktivitas dapat bernilai sebagai usaha pendekatan kepada
Tuhan, maka seluruh hidup manusia mempunyai makna
transendental, yang sehari - hari kita nyatakan dalam
ungkapan "demi ridla Allah". Dan adanya
keinsyafan akan makna hidup itulah yang membuat manusia
berbeda dari jenis hewan yang lain, serta di situlah
letak harkatnya.
Harkat manusia terletak pada pandangan
bahwa hidupnya itu bagaimanapun juga berguna. Kita
bersedia menanggung kepedihan, deprivasi, kesedihan dan
segala derita, jika semuanya itu menunjang suatu tujuan,
daripada memikul beban hidup tak berarti. Lebih baik
menderita daripada tanpa makna.11
Dalam Kitab Suci dijelaskan bahwa tujuan para Rasul Allah
ialah mewujudkan masyarakat yang ber-Ketuhanan
(rabbaniyun--Q., s. Alu 'Imran/3:79), yaitu masyarakat
yang para anggotanya dijiwai oleh semangat mencapai ridla
Allah, melalui perbuatan baik bagi sesamanya dan kepada
seluruh makluk. Inilah dasar pandangan etis kaum beriman.
Makna "rabbaniyyah" itu adalah sama dengan
"berkeimanan" dan "berketaqwaan"
atau, lebih sederhana, "beriman" dan
"bertaqwa". Dari sudut pandangan sistem paham
keagamaan, iman dan taqwa adalah fondasi (Arab: asas,
"asas") yang benar bagi semua segi kehidupan
manusia (Q., s. al-Tawbah/9:109). Implikasi dan
ramifikasi Ketuhanan Yang Maha Esa itu, jika kita coba
untuk mengidentifikasinya, kurang lebih akan
mengahasilkan nilai - nilai berikut:
1. Bahwa manusia tidak dibenarkan memutlakkan sesuatu apa
pun selain Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri. Mengakui
Tuhan Yang Maha Esa sebagai yang mutlak berarti menyadari
bahwa Tuhan tidak dapat dijangkau oleh akal manusia.
2. Maka Tuhan tidak dapat diketahui, tetapi diinsyafi
sedalam - dalamnya bahwa Dialah asal dan tujuan hidup,
dengan konsekwensi bahwa manusia harus mambaktikan
seluruh hidupnya demi memperoleh perkenan atau ridla
-Nya.
3. Tidak memutlakkan sesuatu apa pun selain Tuhan Yang
Maha Esa berarti tidak menjadikan sesuatu selain dari Dia
sebagai tujuan hidup. Dalam wujudnya yang minimal,
menjadikan sesuatu selain Tuhan sebagai tujuan hidup itu,
contohnya ialah sikap pamrih, tidak ikhlas.
4. Pandangan hidup itu terkait erat dengan pandangan
bahwa manusia adalah puncak ciptaan Tuhan, yang
diciptakan-Nya dalam sebaik - baik kejadian. Manusia
berkedudukan lebih tinggi daripada ciptaan Tuhan manapun
di seluruh alam, malah lebih tinggi daripada alam itu
sendiri.
5. Jadi Tuhan telah memuliakan manusia. Maka manusia
harus menjaga harkat dan martabatnya itu, dengan tidak
bersikap menempatkan alam atau gejala alam lebih tinggi
daripada dirinya sendiri (melalui mitologi alam atau
gejalanya), atau menempatkan seseorang, atau diri
sendiri, lebih tinggi daripada orang lain (melalui tirani
atau mitologi sesama manusia).
6. Manusia diciptakan sebagai makluk kebaikan (fithrah),
karena itu masing - masing pribadi manusia harus
berpandangan baik kepada sesamanya berbuat baik untuk
sesamanya.
7. Sebagai ciptaan yang lebih rendah daripada manusia,
alam ini disediakan Tuhan bagi kepentingan manusia untuk
kesejahteraan hidupnya, baik yang bersifat spiritual
maupun yang bersifat material.
8. Alam diciptakan Tuhan sebagai wujud yang baik dan
nyata (tidak semu), dan dengan hukum- hukumnya yang
tetap, baik yang berlaku dalam kesejahteraannya yang utuh
maupun yang berlaku dalam bagiannya secara spesifik.
9. Maka manusia harus mengamati alam raya ini dengan
penuh apresiasi, baik dalam kaitannya dengan
keseluruhannya yang utuh maupun dalam kaitannya dengan
bagiannya yang tertentu, semuanya sebagai
"manifestasi" Tuhan (perkataan Arab
"alam" memang bermakna asal
"manifestasi"), guna menghayati keagungan Tuhan
Yang Maha Esa (dasar kesejahteraan spiritual).
10. Juga dengan memperhatikan alam itu, terutama gejala
spesifiknya, manusia dapat menemukan patokan dalam usaha
memanfaatkannya (dasar kesejahteraan material, malalui
ilmu pengetahuan dan teknologi).
11. Maka manusia mengemban tugas membangun dunia ini dan
memeliharanya sesuai dengan hukum -hukumnya yang berlaku
dalam keseluruhannya secara utuh (tidak hanya dalam
bagiannya secara parsial semata), demi usaha mencapai
kualitas hidup yang lebih tinggi tersebut. Di sini letak
relevansi keimanan untuk wawasan lingkungan,
environmentalism.
12. Di atas segala - galanya, manusia harus senantiasa
berusaha menjaga konsistensi dan keutuhan orientasi
hidupnya yang luhur (menuju perkenan Tuhan Yang Maha Esa
tersebut di atas), dengan senantiasa memelihara hubungan
dengan Tuhan, dan dengan perbuatan baik kepada sesama
manusia.
13. Perbuatan baik kepada sesama manusia yang dilakukan
dengan konsisten tujuan luhurnya yang murni itu adalah
terdekat menuju ridla-Nya, bukan semata - semata dengan
mengikuti dan menjalankan segi - segi formal lahiriah
ajaran agama, seperti ritus dan sakramen (simbolisme
tanpa substansi adalah muspra, jika bukannya kesesatan
sendiri).
14. Karena itu manusia harus bekerja sebaik - baiknya,
sesuai bidang masing - masing, menggunakan setiap waktu
lowong secara produktif dan senantiasa berusaha
menanamkam kesadaran Ketuhanan dalam dirinya. Manusia
dalam pandangan Tuhan tidak memperoleh apa - apa kecuali
yang ia usahakan sendiri, tanpa menanggung kesalahan
orang lain.
15. Manusia harus manyadari bahwa semua perbuatanya, baik
dan buruk, besar dan kecil, akan dipertanggung-jawabkan
dalam Pengadilan Ilahi di Hari Kemudian, dan manusia akan
mengahdapi Hakim Maha Agung mutlak sebagai pribadi,
sebagaimana ia adalah seorang pribadi ketika Tuhan
menciptakannya pertama kali.
16. Maka karena iman, manusia menjadi bebas dan memiliki
dirinya sendiri secara utuh (tidak mengalami fragmatasi),
sebab ia tidak tunduk kepada apapun selain kepada Sang
Kebenaran (al- Haqq, yaitu Allah, Tuhan Yang Maha Esa).
Ini dinyatakan dalam kegiatan ibadah yang hanya ditujukan
kepada Tuhan semata, tidak sedikitpun kepada yang lain,
karena sadar akan Ke-Maha- Agung-an Tuhan.
17. Namun dengan iman itu manusia juga hidup penuh penuh
tanggung jawab, karena sadar akan adanya Pengadilan Ilahi
itu kelak. Ini secara amaliah dinyatakan dalam sikap
memelihara hubungan yang sebaik - baiknya dengan sesama
manusia berwujud persaudaraan, saling menghargai,
tenggang - menenggang dan saling membantu, karena sadar
akan makna penting usaha menyebarkan perdamaian (salam)
antara sesamanya.
18. Maka perbedaan antara sesama manusia harus didasari
sebagai ketentuan Tuhan, karena Dia tidak menghendaki
terjadinya susunan masyarakat yang monolitik. Pluralitas
yang sehat justru diperlukan sebagai kerangka adanya
kompetisi ke arah berbagai kebaikan, sehingga perbedaan
yang sehat merupakan rahmat bagi manusia.
19. Malandasi semuanya itu ialah keyakinan dan kesadaran
bahwa Tuhan adalah Maha Hadir, menyertai dan bersama
setiap individu di manapun ia berada, dan Maha Tahu akan
segala perbuatan individu itu serta tidak akan lengah
sedikitpun untuk memperhitungkan amal-perbuatannya, biar
sekecil apapun. Begitulah kurang lebih identifikasi sendi
- sendi pokok pandangan hidup berdasarkan iman. Kesemua
nilai itu berdasarkan Kitab Suci dan sunnah Nabi, dan
menjadi bagian dari sumber etos seorang Muslim serta
dasar pertimbangan etisnya dalam semua kegiatan.
Masalah Kerja
Oleh karena kuatnya etos kerja dalam Islam maka beberapa
ajaran yang sering diduga menjadi pangkal kepasifan,
seperti tawakal dan zuhud atau asketisme, tidak dibiarkan
berdiri sendiri, tetapi selalu digabungkan dengan
kewajiban berusaha dan berbuat. Kecuali dalam kalangan
dengan semangat kesufian yang ekstrem, yang oleh Gellner
secara benar senantiasa dipandang sebagai gejala
periferal dalam Islam (terbukti dari, misalnya, bagaimana
Ibn Taymiyyah dll, menyerang keras praktek hidup mereka
yang pasif itu), ajaran tawakal dan zuhud tidak pernah
dibenarkan sebagai alasan untuk meninggalkan kegiatan.
Penegasan mengenai hal ini dapat kita lihat pada sebuah
kitab Melayu, terjemah dari kitab Arab, sebagai berikut:
Ketahui olehmu bahwasanya tawakal itu didalam hati tiada
menafikan akan dia sabab. Sesungguhnya datang seorang
laki - laki di atas unta ...(tak terbaca--NM) maka
katanya aku tinggal akan dia tiada berikat dan tawakal
aku maka sabdanya engkau ikat akan dia dan tawakal
engkau. Berkata Sahal tawakal itu hal Nabi s.a.w. dan
berusaha jalani Sunnah Rasulullah maka seorang tinggal ia
atas halnya maka tiada harus meninggal jalan sunnahnya
dan adalah Ibrahim al-Khawashsh sebenarnya tawakal dan
adalah berjalan di padang hutan seorang diri tiada
bercerai akan dia tempat air...12
Oleh karena tekanan pada kaum Sufi ialah kesederhanaan,
maka tawakal dan zuhud memang kadang - kadang berakibat
kepasifan dan sikap "nerimo" kepada
kemelaratan, seperti tercermin dalam keterangan dari
sebuah kitab Melayu berikut:
(Syahdan) tiada hilang nama zuhud dan tiada kurang
martabatnya dalam akhirat itu dengan mengambil daripada
dunia sekadar memadai nafkah bagi dirinya dan ahlinya
dengan menaruh harta karenanya hingga mencukupi setahun
inilah pada i'tibar ahlinya dan i'tibar dirinya yang
tiada ahli baginya maka tiada harus menaruh makanan pagi
- pagi hingga petang tetapi jika makan ia sekedar kuasa
berbuat ibadat maka yang lebih daripadanya niscaya
disedekahkan akan dia tiada mau menaruh dia sekali -
sekali dan lagi tiada hilang nama zahid dengan memakai
pakaian yang menutup auratnya maka jika memakai ia akan
pakaian yang baik - baik maka yaitu hilang ia daripada
nama zahid.13
Dalam sistem 'aqidah Asy'ariyah, sebagaimana telah pernah
kita bicarakan, terdapat teori kasb yang cukup rumit,
yang biasanya dituding sebagai sebab gejala fatalis pada
kaum Asy'ari. Tetapi dalam penelitian lebih lanjut, teori
kasb itu masih harus digandengkan dengan beberapa
ketentuan lebih luas, yang bila ketentuan itu dipegang
maka yang terjadi bukannya kepasifan, melainkan justru
keaktifan.
Kaum Asy'ari atau golongan Sunni pada umumnya, memang
menganut faham predestinasi yang kuat, yang dari satu
sisi dapat menimbulkan kesan kepasifan. Mereka percaya
bahwa manusia telah ditakdirkan oleh Tuhan dari zaman
tanpa permulaan (azali, all eternity) tentang nasibnya,
termasuk apakah akan "masuk surga" dan
"masuk neraka", sebagaimana dilukiskan dalam
sebuah syair ini:
Fawz al-sa'id-i 'indahu fi 'l-azali Kadza al-syaqiy-u
tsumma lam yantaqili14
Artinya:
Keberuntungan seorang yang berbahagia--masuk surga--surga
bagi-Nya sudah sejak zaman azali, begitu pula orang yang
sengasara--masuk neraka--dan kemudian akan berubah lagi
nasib mereka itu.
Walaupun begitu terdapat tanda - tanda di dunia ini bagi
setiap orang apakah ia bakal masuk surga atau tidak,
yaitu apakah dia lebih banyak berbuat kebaikan ataukah
kejahatan. Dan setiap orang dimudahkan untuk berbuat
sesuatu sesuai dengan takdirnya. Maka seseorang tetap
diwajibkan berbuat baik, antara lain untuk
"membuktikan" bahwa dia ditakdirkan oleh Allah
bakal masuk surga. Hal ini diuraikan dalam teori lebih
luas tentang kasb Asy'ari seperti terdapat dalam kitab
Sabil al-Abid, terjemah bahasa Jawa oleh H. Muhammad
Shalih ibn 'Umar Samarani (dari Pesantren Meranggen,
Semarang), sebagai berikut:
Rasulullah s.a.w. bersabda: "Telah kuperintahkan
kepada ummatku jangan sampai berpegang kepada
taqdir." Seorang Sahabat menyahut: "Apakah kami
tidak boleh berpegang kepada taqdir dan meninggalkan
kerja?" Rasulullah menjawab: "Jangan
Bekerjalah, sebab setiap orang dimudahkan menuju taqdir
dan kepastiannya." (Dituturkan oleh al-Bukhari).
Kalau taqdirnya sengsara (masuk neraka) maka dia mudah
bermaksiat; dan jika taqdirnya bahagia (masuk surga),
maka dia mudah taat (kepada Allah); kalau taqdirnya kaya,
maka mudah usahanya; dan kalau taqdirnya miskin, maka
sulit usahanya.... Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Mencari rizqi yang halal itu wajib atas setiap
orang Islam." Jadi hadits ini menunjukkan bahwa
mencari rizqi dengan usaha itu wajib, supaya tidak
mengemis, sebab mengemis itu haram. Dan wajibnya usaha
itu agar jangan sampai merendahkan diri terhadap musuh -
musuh Allah dan terhadap kezaliman, dan jangan sampai
menjadi pengabdi kezaliman.15
Maka dari itu, bagi kaum Asy'ari, seseorang masuk surga
adalah berkat kemurahan Allah (fadl'l-u 'Llah, grace of
God), sama dengan doktrin kaum Calvinis, sebagaimana
Calcin juga percaya kepada predestinasi. Kemiripan
doktrin Asy'ari dengan Calvinisme itu menjadi sangat
menarik, karena Calvinisme itu oleh Max Weber dijadikan
pangkal uraiannya tentang apa yang dinamakan Etika
Protestan, yang baginya melandasi modernitas di Eropa.
Sebagai bahan perbandingan, cobalah kita simak sebuah
uraian tentang predestinasi Calvin itu, dalam sejarah
Gereja, sebagaimana dijelaskan oleh seorang ahli teologi
Kristen sendiri:
Tak dapat tidak Calvin pun tiba pada masalah lama yang
muskil dipecahkan, yaitu bagaimana predestinasi Allah
dapat disesuaikan dengan keberdiri - sendirian dan
tanggung jawab manusia. Bagi Calvin soal itu lebih sukar
lagi, Oleh sebab itu ia menghubungkan predetinasi dengan
taqdir Allah yang am, dan dalam hal itu pun ia
berpendapat, bahwa segala perbuatan manusia, juga yang
salah, dipimpin oleh Allah. Jikalau begitu, Allahkah
pokok dosa? dan manusia tidak bertanggung jawab atas
perbuatannya? Kesimpulan demikian ditolak oleh calvin. Ia
mengingatkan orang kepada rahasia wujud dan perbuatan
Allah yang tidak dapat dipahami oleh akal budi kita.16
Atas dasar itu semua, dapatlah disimpulkan bahwa
sesungguhnya kaum Muslim dalam berbagai penjabaran paham
keagamaannya melalui Ilmu Kalam, Tasauf, dan lain - lain,
tidak pernah kehilangan perspektif ajaran etis dalam
Kitab Suci yang sangat mementingkan kerja atau praxis.
Jika terdapat kesenjangan antara ajaran dan ummat
sekarang ini, maka, kembali ke pengamatan Gellner, yang
diperlukan ialah dialog kultural sebagaimana telah
menjadi tradisi peradaban Islam sejak kehadirannya dalam
sejarah.
Usaha menghidupkan kembali dialog itu, seperti telah
disinggung di permulaan, kami memperoleh momentumnya yang
baru oleh beberapa gejala global, terutama ambruknya
sosialisme dan dipertanyakannya kapitalisme.
Agenda Menuju Masa Depan
Halangan kita untuk membuat agenda masa depan ialah
tingkat pendidikan modern rata - rata penduduk Muslim di
seluruh dunia yang masih lebih rendah daripada bangsa -
bangsa lain, khususnya bangsa - bangsa Barat yang
Kristen, tapi juga bangsa - bangsa Jepang yang Bhudis
(cum Taois) dan India yang Hindu. Oleh karena itu
berbagai kegiatan yang bersifat keislaman, di dalam
negeri maupun di luar negeri, masih kalah tingkat
sofistikasinya dibandingkan dengan berbagai kegiatan
agama lain. Jika kini agama Islam semakin menarik bagi
banyak kalangan yang serius dalam mencari kebenaran, baik
di Timur (misalnya, kelompok Prof. Kuroda dari Japan
International University, Niigata, Jepang) maupun di
Barat (banyak sekali nama yang bisa disebut), maka letak
kekuatan Islam tidak pada para pemeluknya yang sebegitu
jauh masih kekurangan "gengsi", tetapi pada
kesejatian ajarannya sebagai monotheisme murni dan hanif
(alami, tidak dibuat - buat atau dikacaukan oleh mitologi
dan kultus kepada misteri).
Malise Ruthven, seorang sarjana yang banyak mengamati
Islam di zaman modern ini, meramalkan bahwa untuk jangka
waktu beberapa dekade ini mungkin Islam masih akan
menjadi agenda politik dunia (seperti yang sekarang ini
sedang dialami karena masalah Timur Tengah). Tapi dia
berharap bahwa suatu saat kaum Muslim akan terbatas dari
berbagai kompleks politik dan akan mampu membangun
kembali tema pokok keagamaannya seperti diwakili dalam
Tasauf yang menurut dia mempunyai disiplin liturgis dan
pandangan theosofis dengan universalisme yang tidak
parokial seperti agama Yahudi dan tidak terlalu
antroposentrik seperti agama Kristen. Dan jika kaum
Muslim sanggup melepaskan kekakuannya yang membuat
aktivitas kontemporernya mengalami ketandusan kultural
dibandingkan dengan aktifitas (internasional) hindu-Budha
yang bervarian canggih, kata Ruthven, maka Islam akan
mampu membuktikan dirinya sebagai yang paling cocok untuk
zaman ilmu (scientific age), dengan pesan yang amat
penting. Sebab, kata Ruthven lebih lanjut, di balik
perintah kepada kaum beriman untuk menciptakan masyarakat
yang baik dengan mentaati Hukum, terdapat pesan kepada
seluruh ummat manusia yang menyatakan adanya Wujud Maha
Tinggi Yang Maha Abadi, dan adanya tanggung jawab khusus
manusia untuk memelihara planet bumi ini. Pesan itu
menyeru kaum pria dan wanita memperlihatkan rasa syukur
atas rahmat kekayaan Allah kepada bumi, untuk menggunakan
dan membaginya secara adil. Pesan itu, kata Ruthven
seterusnya, diungkapkan dalam bahasa dan pelukisan bangsa
penggembala yang menyadari bahwa pertahanan hidup mereka
tergantung kepada sikap pasrah kepada hukum - hukum yang
menguasai lingkungan mereka, dan kepada aturan
keramahtamahan yang bahkan mengharuskan pembagian mereka
sumber daya yang terbatas. dalam suatu dunia yang semakin
dibenahi oleh kesenjangan antara bagsa yang kaya dan yang
miskin, dan yang terus - menerus dalam bahaya perang
nuklir, kata Ruthven lagi, pesan (Islam) itu mempunyai
relevansi mendesak, yang kita semua merugi kalau sampai
mengabaikannya.17
Untuk menuju ke arah itu dan guna menjamin otentisitas
dari kreatifitas berfikirnya, usaha memberi responsi
kepada tantangan zaman itu harus terlebih dahulu kita
menagkap isi pesan dalam Kitab Suci. Karena, kata Fazlur
Rahman, kita memiliki kreteria tertentu untuk melangkah,
dan kriteria itu dengan sendirinya harus bersumber dari
al-Qur'an. Petama, kita harus memeriksa tradisi keislaman
kita di bawah sorotan kriteria dan prinsip - prinsip itu,
kemudian secara kritis mempelajari sosok ilmu pengetahuan
yang dihasilkan oleh modernitas. Kita juga harus ingat
bahwa ilmu dalam Islam terwujud untuk memungkinkan kita
bertindak, untuk mengubah keadaan yang berlaku di dunia
ini. Kita harus dengan sungguh - sungguh menggarap tata
cara ini dan pertama - tama menilai tradisi Barat...
Jenjang pengetahuan kreatif akan timbul hanya jika kita
dijiwai oleh sikap yang hendak di tanamkan al-Qur'an
dalam diri kita. Barulah kita akan mampu untuk membuat
apresiasi dan duduk melakukan penilaian, baik atas
tradisi kita sendiri maupun atas tradisi Barat. Saat itu
pun, penilaian dan kritik bukanlah tujuan akhir,
melainkan hanya langkah pertama dalam menemukan
pengetahuan baru, yang merupakan tujuan sejati
intelektual Islam.18 Begitu kata Fazlur Rahman dekat
menjelang ia berpulang.
Nampaknya ajakan Fazlur Rahman itu, dalam Zaman Modern
yang serba kompleks ini, memerlukan kerjasama erat banyak
pihak. Yang diperlukan tidak hanya kemampuan intelektual
semata, tapi juga lebih - lebih lagi dedikasi dan
kesungguhan, dalam sikap penuh harapan terhadap masa
depan. Suatu tantangan yang berat, tapi dengan hidayah
dan 'inayah Allah tentu akan terlaksana dengan baik.
Barangkali tidak ada saat yang lebih memerlukan kerjasama
semua pihak seperti sekarang.
Wallahu a'alam.
Catatan:
1. Karl Barth, Ethics, suntingan Dietrich Braun dan
terjemahan dari Jerman ke Inggris oleh Geoffrey W.
Bromiley (New York: The Seabury Press, 1981). h. 3.
2. By various obvious criteria--universalism,
scripturalism, spiritual egalitarianism, the extension of
full participation in the sacred community not to one, or
some, but to all, and the rational system atisation of
social life--Islam is, of the three great Western
monotheisms, the one closest to modernity.--Ernest
Gellner, Muslim society (cambridge University Press,
1981), h. 7.
3. Only Islam survives as a serious faith pervading both
a folk and a Great Tradition. Its great Tradition is
modernisable; and the operation can be presented, not as
an innovation or concession to outsiders, but rather as
the continuation and completion of an old dialogue within
Islam. (Gellner, h. 4)
4. Thus in Islam, and only in islam,
purification/modernization on the one hand, and the
reaffirmation of a putative old local identity on the
other, can be done in one and the same language and set
of symbols. The old folk version, once a shallow of the
central tradition, now becomes a repudiated scapegoat,
blamed for retardation and foreign domination. Hence,
though not the source of modernity, Islam may yet turn
out to be its beneficiary. The fact that its central,
official, 'pure' variant was egalitarian and scholarly,
whilst hierarchy and ecstasy pertained to its expendable,
evevtually disavowed, peripheral form, greatly aids its
adaptation to the modern world. In an age of aspiration
to universal literacy, the open class of scholars can
expand toward embracing the entire community, and thus
the 'protestant' ideal of equal access for all believers
can be implemented. Modern egalitarianism is satisfied.
Whilst European Protestanism merely prepared the ground
for nationalism by furthering literacy, the reawakened
Muslim potensial for egalitarian scripturalism can
actually fuse with nationalism, so that one can hardly
tell which one of two is most benefit to the other.
(Gellner, hh. 4-5.
5. In science, the Arabs outdistanced the Greeks. Greek
civilization was, in essence, a lush garden full of
beautiful flowers that bore little fruit. It was a
civilization rich in philosophy and literature, but poor
in techniques and technology. Thus it was the historic
task of the Arabs and the Islamic Jews to break through
this Greek scientific cul-de-sac, to stumble upon new
paths of science--to invent the concepts of zero, the
minus sign, irrational numbers, to lay the foundations
for the new science of chemistry--ideas which paved the
path to the modern scientific world via the minds of
post-Renaissance European intellectuals. (max I. Dimont,
The Indestructible Jews (New York: New American Library,
1973), h. 184).
6. Though Greece and Rome did Influence European
architecture, the scholar must also look to the Islamic
Empire for new insights into the changing European
architecture after the eleventh century...The Arabs...
came up with new, lofty concepts, creating a Moslem
architectural style that surpassed its archetypes in
beauty and technical engineering...So, for instance, the
great Mosque of Damascus precedes by centuries the Pitti
Palace of Florence. Many of the castles built by European
knights after the Crusades remarkably resemble castles
built by Arabs nobles in the tenth century. The Bell
Tower of Evesham (1533), styled after the Giralda Minaret
in Seville (1195), is but another striking example of
this extensive Moslem influence. (Dimont, h.184).
7. One of the best features of Arab economy was
agriculture, particulary the skilful use of irrigation,
which they learnt from living where water is scarce. To
this day Spanish agriculture profits by Arab irrigation
works.--Bertrand Russel, A History of Western Philosophy
(New York: Simon and Schuster, 1959), hh. 422-3.
8. Firthjof Schuon, The Transcendent Unity of Religions
(London: Faber and Faber, t.t.), h. 134.
9. Paul, in effect, betrays the commission entrusted to
him by James and the Nazarean hierarchy. For Paul,
Jesus's teachings and polotical status are less important
than Jesus himself...What matters is simply a profession
of faith in Jesus as manifestation of God, and such a
profession of faith is in itself sufficient to ensure
salvation...Jesus, James and the Nazareans in Jerusalem
advocated worship of God, in the strict Judaic sense.
Paul replaces this with worship of Jesus as God. In
Paul's hands, Jesus himself becomes an object of
religious veneration--which Jesus himself, like his
brother and the other Nazarean in Jerusalem, would have
regarded as blasphemous. (Michael Baigent, Richard Leigh
& Henry Lincoln, The Messianic Legacy [New York:
Bantam Doubleday Dell, 1986], hh. 77-8).
10. Andrew Rippin, Muslims, Their Religious Beliefs and
Practices (London: Routledge, 1990), Vol. 1, h. 99.
11. Human dignity rests on the assumption that human life
is in some way significant. We are more prepared to
endure pain, deprivation, anguish and all manner of ills,
if they serve some purpose, than we are to endure the
inconsequentials. We would rather suffer than be of no
importance. (Michael Baigent, Richard Leigh & Henry
Lincoln, The Messianic Legacy [New York: Bantam Doubleday
Dell, 1986], h. 137).
12. Al-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, (Seorang mufti Makkah),
Fat'h al-Mufakkirin, terjemah Bahasa Melayu oleh
al-Syaikh 'Utsman ibn Syihab al-Din Pontianak (Surabaya:
Syarikat Bengkulu Indah, tt), h. 34
13. Da' al-Qulub dalam himpunan Jam' Jawami'
al-Mushannafat, terjemah dan keterangan dalam Bahasa
Melayu oleh al-Syeikh Isma'il ibn 'Abd al-Muththalib
al-Asyi (dari Aceh), (Singapura dan Jeddah: al-Haramayn
li al-Thiba'ah wa al- Nasyr wa al-Tawzi', tt), h. 112.
14. K. H. Muhammad Shalih ibn 'Umar Samarani, Sabil
al-'Abid 'ala Jawharat al-Tawhid (oleh Ibrahim
al-Laqqani), terjemah bahasa Jawa (tanpa data
penerbitan), h. 136.
15. Angendika Gusti Rasulullah s.a.w., "Wus perentah
ingsun ing atase ummat ingsun aja kasi pada gendolan
qadar." Maka matur Sahabat, "Punapa boten
kenging kulo gendolan pesthen kula lan nilar kulo ing
amal?" Maka angendika Gusti Rasul, "Aja! Amala
sira, maka saben - saben wong sawiji iku den gampangaken
marang apa qadare lan apa pesthene." Rawuhu al-
Bukhari. Lan pesthene syaqawah, maka gampang maksiat, lan
lamun pesthene sa'adah, maka gampang tha'ah, lan lamun
pesthene sugih, maka gampang kasabe, lan lamun pesthene
fakir, iya angel kasabe. Lan riwayat sangking Ibn Mas'ud,
qala (Rasulullah) s.a.w., "Thalab al-halal faridlat
ba'd al- faridlah," (Ana dene kasab amrih halal
kerana perbeyane awake lan anak bojone iku fardlu wakwuse
fardlu nglakoni limang waktu). Wa qila fardlu sakwuse
nglakoni arkah al- Islam, wa qila fardlu amrih kasab ba'd
al-iman wa al-shalah kerana ibadah iku wajib, hale ora
sampurna nglakoni ibadah yen ora cukup nafaqahe awake lan
anak bojone. Maka dadi ana kasab iku wajib minbab ma la
yatimmu 'l-wajib illa bihi fa huwa wajib. (Shalih, hh.
319-320).
16. H. Berkhof dan I. H. Enklaar, Sejarah Gereja
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988), h. 172.
17. To that extent Islam seems set to remain on the
political agenda for many decades, until such time as it
becomes absorbed like other religious traditions into
some pluralistic international culture of the future.
After that, it may be expected to flow once again in the
more diffused and less rigid channels of high Sufism,
whose liturgical disciplines and free ranging
theosophical outlook provide it with a universalim less
parochial than Judaism and less anthropocentric than
Christianity. Freed from the Pharisaic rigidity which
makes so much contemporary Islamic activitiy seem
culturally sterile (when compared, for example, with
sophisticated variants of the Hindu-Buddhist traditions),
Islam could prove a highly congenial faith for a
scientific age, and one with an important message. For
beyond the adminitions to the faithful to create the good
society by observing the Law, there is a message
addressed to the whole of mankind. It is a message that
proclaims the Eternal Transcendent, and man's special
responsibility as guardian of this planet. It is a
message which calls on men and women to show gratitude
for the world's bounty, to use it wisely and distribute
it equitably. It is a message phrased in the language and
imagery of a pastoral people who understood that survival
depended upon submission to narutal laws governing their
environment, and upon rules of hospitality demanding an
even sharing of limited resources. In a wold increasingly
riven by the gap between rich and poor nations, and in
contant danger of nuclear catastrophe, this message has
an urgent relevance and it is one that we ignore at our
peril. (Malise Ruthven, Islam in the World [Oxford:
University Press, 1984], h. 362).
18. I have, then submitted, that unless we have examined
our tradition very well, in the light of the Qur'an, we
cannot proceed further with Islamic thought. This is
because we must have certain criteria to go by and the
criteria must obviously come initially from the Qur'an.
First, we must examine our own Islamic tradition in the
light of these criteria and principles and then
critically study the body of knowledge created by
modernity. We must also remember that knowledge in Islam
exists in order to enable us to act, to change the
current events in the world. The Qur'an is an
action-oriented book, par excellence. We have to
seriously cultative this procedure and first judge our
own tradition as to that is right and what is wrong. Then
we must judge the Western tradition...The stage of
creative knowledge will come only when we are imbued with
the attitude that the Qur'an wants to inculcate in us.
Then we will be able to appreciate and also sit in
jugment on both our own tradition and the Western
tradition. Even then, however, jugment and criticism is
not the end but only the firts step in the discovery of
new knowledge, which is the true goal of an Islamic
intellectual. (Fazlur Rahman, "Islamization of
Knowledge: a Response", dalam The American Journal
of Islamic Social Science (Herndon, VA, USA), Vol. 5,
No.1, September 1988, h. 11).
|