BEBERAPA DASAR PANDANGAN KONTEMPORER
TENTANG FIQH
Oleh : Nurcholish Madjid
Event Artikel : KKA-52 (Jakarta, Mei 1991)
Diupdated
pada: Kamis 29 Maret 2001
Mukaddimah
Salah satu bagian dari kesibukan para intelektual Muslim
di seluruh dunia saat ini ialah memikirkan bagaimana
menerjemahkan nilai-nilai Islam ke dalam perangkat nyata
kehidupn modern. Seorang Muslim yang serius tentu
menyadari betapa ia diharapkan kepada tantangan untuk
hidup dalam suatu masyarakat modern, yaitu suatu
masyarakat yang nota bene merupakan kelanjutan logis,
meskipun melalui proses transmutasi yang amat besar, dari
berbagai unsur tatanan dan nilai hidup yang telah pernah
berkembang sebelumnya, khusus di dunia Islam. Ilmu
pengetahuan modern, misalnya, dengan mudah dapat
ditelusuri asal usulnya sebagai kelanjutan dunia keilmuan
Islam yang pernah berkembang dalam masanya jayanya yang
''liberal'', ketika kaum Muslim terlatih untuk menghargai
suatu temuan pikiran dan keilmuan baru, dan ketika
wawasan mereka terbentuk karena semangat kosmopolitisme
dan universalisme yang sejati. Namun pada saat yang sama,
karena tuntutan zamannya, seorang Muslim ''modern'' harus
tetap berada dalam pangkuan agamanya dan dijiwai oleh
nilai-nilai asasinya.
Zaman modern, atau yang menurut Marshall Hodgson lebih
tepat dinamakan ''Zaman Teknik'' (Technical Age'') adalah
jelas berbeda secara mendasar dari zaman agraris
sebelumnya. Padahal agama Islam, sebagaimana halnya
dengan agama-agama besar yang lain, dilahirkan dalam
zaman agraris. Seperti baru saja disebutkan di atas, ini
tidaklah berarti bahwa zaman modern terputus samasekali
dari zaman sebelumnya itu. Justru unsur kontinuitasnya
dengan masa lalu sedemikian rupa tidak mungkin diingkari,
karena dasar- dasar zaman modern inipun diletakkan masa
sebelumnya itu di zaman agraris. Suatu teori kesejarahan
dunia malah menyebutkan bahwa zaman agraria sebenarnya
telah mengelami perkembangan menuju ke arah kompliksitas
yang tinggi pada masa ''Axial Age'' (''Masa Aksial'' atau
''Sumbu''), yaitu masa yang terbentang selama enam abad
sejak dari abad kedelapan sampai abad kedua sebelum Nabi
'Isa al-Masih a.s. Pada saat itu terjadi perubahan asasi
di mana- mana, akibat lepasnya monopoli pengetahuan tulis
baca dari tangan kelas pendeta dan menjadi tersebar di
antara berbagai kelompok burjuis, dan karenanya watak
serta kecepatan perkembaradisi tulis-baca itu juga
berubah. Pada waktu yang sama, keseluruhan tatanan
geografis bagi kegiatan bermakna kesejarahan manusia juga
mengalami transformasi, sebab saat itu mulai menyebar,
meliputi hampir seluruh belahan bumi. 1. Pada masa itu
dengan nyata budaya manusia mulai berkembang keluar dari
inti kawasan Nil-Amudarya (Mesir-Transoxiana) yang
menjadi inti kawasan bumi yang berpenghuni dan
berperadaban (Arab: al-Da'irat al-Ma'murah; Yunani:
Oikoumene, ''Daerah Berpenduduk'').
Zaman Islam adalah zaman ''Pasca-Sumbu'' (Post-Axial),
dan masa kejayaan Islam merupakan puncak perkembangan
''Zaman Agraria Berkota'' (Agrariante Citied Society),
yaitu masyarakat agraris dengan ciri kehidupan perkotaan
(urbanity) yang menonjol. Adalah dalam urbanity itu
--suatu pola kehidupan sosial-ekonomi yang ditandai oleh
tingginya kegiatan ekonomi urban dan penghargaan
kepadanya, khususnya perdagangan, dan etos intelektual--
terletak benang merah kontinuitas antara zaman Modern
dengan zaman Islam. Tetapi sekalipun zaman Islam masih
sepenuhnya berada dalam rangkaian zaman agraris (jadi
masih mempunyai kesambungan dengan zaman sebelumnya),
perubahan yang dibawanya sedemikian radikal dan
eksplosif, sebanding dengan radikal dan eksolosifnya
pembebasan (futuhat) yang dilakukan kaum Muslim,
pertama-tama atas kawasan Nil-Amudarya, kemudian segera
meliputi daerah yang lebih luas, yang kurang lebih waktu
itu merupakan daerah paling maju di muka bumi.
Dengan flashback di atas itu kiranya menjadi jelas bahwa
sesungguhnya peralihan dari masa lalu yang agraris urban
itu ke zaman modern sekarang ini tidaklah terlalu unik
dalam pandangan sejarah ummat manusia. Dan disebabkan
oleh faktor peranan sejarahnya sendiri sebagai puncak
zaman agraris urban, maka Islam memiliki potensi untuk
menjadi pewaris yang paling beruntung dari zaman modern
ini dan pelanjut serta pengembangnya di masa depan,
karena unsur-unsur asasi zaman modern itu tidak asing
bagi pandangan hidup kaum Muslim. Jika kita ambil
pristiwa Inkuisisi Kristen dalam menghadapi ilmu
pengetahuan dan praktis tidak adanya hal serupa dalam
Islam, justru tujuh abad sebelumnya, maka sejarah
membuktikan betapa problemataiknya hubungan dogma Kristen
dengan unsur pokok modernitas, yaitu ilmu pengetahuan,
dan betapa dalam Islam situasi problematik itu dapat
dikata tidak ada sama sekali, bahkan sejarah menjadi
bahwa sikap positif terhadap ilmu pengatahuan adalah sui
generis atau tiada taranya dalam pandangan hubungan
organiknya yang sejati dengan sistem keimanan.
Tetapi sudah tentu faktor kontinuitas prinsipil bukanlah
satu- satunya perkara yang membentuk dan menentukan sikap
seseorang atau komunitas dalam menghadapi perubahan
zaman. Berbagai pengalaman historis yang lebih spesifik
pada bangsa-bangsa Muslim dalam interaksinya dengan
bangsa-bangsa Barat, khususnya pengalaman permusuhan
(antara lain karena titik singgung keagamaan
Islam-Kristen dan ketetanggaan geografis Timur
Tengah-Eropa) justru nampak menjadi sumber problematik
bangsa-bangsa Muslim menghadapi perubahan ke zaman
modern, karena adanya asosiasi (yang tidak seluruhnya
benar) antara modernisme dan westernisme. Apalagi
bangsa-bangsa Barat itu, ketika melakukan penjajahan atas
bangsa-bangsa Muslim, jelas-jelas membaca-bawa kenangan
pengalaman historis masa lampau yang penuh permusuhan
(antara lain dilambangkan dan dibuktikan dalam bagaimana
para penjajah Spanyol menanamkan kaum Muslim Mindanao
sebagai ''orang-orang Moro'', sebagai kelanjutan semangat
permusuhan antara orang Spanyol Kristen dengan orang
Spanyol Muslim yang mereka sebut ''orang Moro''). Adalah
beberapa pengalaman historis permusuhan ini, dan bukannya
faktor kontinuitas kultural di atas, yang menyebabkan
kebanyakan kaum Muslim mengalami kesulitan dalam
menghadapi zaman modern. Maka, misalnya, Turki yang
Muslim sampai sekarang masih menunjukkan ciri dunia
ketiga yang non-industrial, sementara Jepang yang Buddhis
justru memperlihatkan tanda-tanda Barat dalam beberapa
segi industrialnya. Kesulitan kaum Muslim ini di
antaranya tercermin dalam bagaimana menangani masalah
reinterpretasi hukum Islam untuk zaman modern.
Masalah
Kontinuitas dan Perubahan
Kontinuitas yang mengisyaratkan pertahanan unsur-unsur
masa lalu dan perubahan yang mengandung makna
penggantaian unsur-unsur masa lalu itu dengan sesuatu
yang lain dengan sendirinya selalu menimbulkan kesan
pertentangan. Tetapi, sebagaimana setiap ''kesan'' atau
''dugaan'' (dhann) tidak selamanya mengandung kebenaran,
pengamatan lebih jauh atas berbagai peristiwa besar
menyimpulkan tidak adanya kemestian pilihan hitam putih
antara kontinuitas dan perubahan. Betapapun besarnya
suatu perubahan, sebagaimana sedikit banyak ditunjukkan
dalam pembicaraan di atas tadi, tetap terdapat
unsur-unsur persambungan tertentu dengan masa lalu.
Justru tidak jarang bahwa esensi nilai baru dalam suatu
masyarakat yang berubah itu memperoleh pengukuhannya dan
penguatan efektifitasnya karena mendapatkan tempat dalam
sistem nilai lama yang lebih luas, atau dapat diterangkan
dalam kerangka nilai lama yang lebih luas itu. Inilah
yang dalam jargon ilmu sosial mutakhir disebut
''modernitas tradisi''.
Garis argumen itu lebih-lebih tepat jika kenakan terhadap
Islam dan kaum Muslim dalam menghadapi zaman modern.
Yaitu bahwa mereka, sementara secara imperatif mesti
menerima kehidupan modern (sebagamana telah menjadi
kenyataan, betapapun adhoc dan eclectic-nya sikap yang
melatarbelakanginya) tetapi dapat bertahan dengan
nilai-nilai keislamannya, dan samasekali tidak perlu
meninggalkannya. Jika hal ini dengan sendirinya menjadi
keyakinan seorang Muslim, para pengamat luar pun mengakui
adanya hal yang sama, bahkan sering dengana nada
peneguhan dan apresiasi. Maka sosiolog terkenal Ernest
Gellner, misalnya, memiliki pandangan tentang Islam dan
kemodernan yang mungkin membuat seorang Muslim menjadi
lebih percaya diri. Ia katakan:
Hanya Islam yang mampu bertahan sebagai keimanan yang
serius, yang mengatasi baik tradisi kecil maupun Tradisi
Besar. Tradisi Besarnya dapat dipermodern (modernisable);
dan pelaksanaannya dapat disajikan, tidak sebagai inovasi
ataupun konsesi kepala pihak luar, tetapi sebaliknya
sebagai kelanjutan dan penyempurnaan dialog lama dalam
Islam... Jadi dalam Islam, dan hanya dalam Islam,
purifikasi/modernisasi di satu pihak, dan peneguhan apa
yang dianggap suatu ciri lokal lama, dapat dilakukan
dalam bahasa dan perangkat simbul yang satu dan sama.
Versi kerakyatan lama (seperti praktek kesufian rakyat
yang tidak sah atau ''mu'tabarah'', misalnya--NM), yang
pernah menjadi alas dangkal tradisi sentral, sekarang
menjadi kambing hitam yang dibuang, yang dipersalahkan
menyebabkan kemunduran dan dominasi unsur asing. Karena
itu, meskipun tidak merupakan sumber modernitas, Islam
mungkin akan ternyata merupakan penerima manfaat
modernitas tu. Kenyataan bahwa varian sentral, resmi dan
''murni'' Islam bersemangat egaliter dan keilmiahan
--sementara hirarki dan ekstase (seperti dalam banyak
prakterk kesufian rakyat--NM) berkaitan dengan
bentuk-bentuknya yang bersifat pinggriran, senantiasa
meluas namun akhirnya ditampik-- sangat membantu adaptasi
Islam ke dunia modern. Dalam zaman cita-cita melek-huruf
universal, lapisan sarjana yang terbuka (dalam Islam)
dapat berkembang sehingga meliputi seluruh masyarakat,
dan dengan begitu maka cita-cita ''protestan'' agar semua
yang beriman mempunyai akses yang sama (kepada Kitab
Suci--NM) akan terlaksana. Egalitarianisme modern
terpenuhi. Sementara Protestantisme Eropa hanya
menyiapkan lahan untuk nasionalisme melalui perluasan
melek-huruf, potensi Islam yang bangkit kembali untuk
skripturalisme egaliter dapat secara aktual menyatu
dengan nasionalisme, sehingga orang tidak lagi mudah
mengatakan mana salah satu dari keduanya itu yang paling
bermanfaat bagi yang lain. 2.
Karena observasi dan kesimpulannya itu maka tidak heran
bahwa Gellner bahwa Islam adalah yang paling dekat dengan
modernitas dibanding agama Yahudi dan Kristen. Yaitu
dipandang dari sudut semagat Islam tentang universalisme,
skripturalisme, egalitarianisme spiritual, perluasan
partisipasi dalam masyarakat suci yang meliputi semua
anggotanya tanpa kecuali, dan sistematisasi rasional
kehidupan sosial. 3.
Pendapat tentang tidak perlunya kaum Muslim menanggalkan
nilai- nilai dasar keislaman mereka untuk dapat masuk
zaman modern itu juga dikemukakan oleh Maxime Rodinson,
juga seorang sosiolog (Perancis) kontemporer. Dalam
pembukaan sebuah bukunya, Rodinson mempertanyakan:
''Sejauh mana orang (Muslim) harus pergi dalam proses
menuju tingkat untuk dapat mencapai kemakmuran yang
menggiurkan dari negara-negara industri? Haruskah
seseorang berjalan sedemikian jauhnya sehingga
mengorbankan berbagai nilai yang secra khusus diyakini,
yaitu yang membentuk ciri tertentu, kepribadian dan
identitas kelompok orang bersangkutan?'' 4. Jawaban
terhadap pertanyaan ini diberikan pada akhir bukunya,
yang oleh Leonard Binder diringkaskan bahwa tidaklah
perlu meninggalkan sesuatu apapun yang secara esensial
bersifat Islam, karena Islam sesungguhnya tidak ada
kaitannya dengan lingkungan ekonomi negeri-negeri Muslim.
Karena itu Islam tidak dapat dipandang sebagai
bertanggung jawab atas kemunduran kaum Muslim. Dalam
perkataan lain, seseorang dapat berjalan sejauh yang ia
perlukan untuk dapat mengejar Barat tanpa mengorbankan
apapun yang esensial bagi Islam dan yang menjadi bagian
intergral dari identitas kaum Muslim. 5.
Masalah Pesan Dasar Islam
Ketika mengatkaan bahwa Islam tidak mempunyai sangkut
paut dengan milieu ekonomi negeri-negeri Muslim sehingga
tidak dapat dipandang, apalagi dituduh, sebagai penyebab
kemunduran negeri-negeri itu, Rodinson menunjuk kepada
kenyataan betapa masyarakat-masyarakat Islam sepanjang
sejarahnya menunjukkan gejala menganut pola ekonomi yang
bermacam-macam dalam zaman yang berbeda atau tempat yang
berbeda, maka jika kemajuan adalah suatu ''Kapitalisme''
(sebagaimana hari-hari terakhir ini orang cenderung untuk
melihat buktinya melalui runtuhnya sistem sosialis atau
komunis) maka Islam dapat saja bersatu dengan kapitalisme
itu, tanpa kehilangan sifatnya yang paling mendasar.
Sementara tesis Rodinson ini terbuka untuk diperosalkan,
namun kesimpulannya yang tegas bahwa kaum Muslim tidak
perlu meninggalkan hal-hal yang secara esensial bersifat
Islam mendorong orang untuk bertanya: Lalu apa wujud dari
hal-hal yang secara esensial bersifat Islam itu?
Jawabnya adalah bahwa hal-hal yang secara esensial
bersifat Islam itulah ialah, dengan sendirinya, ''pesan
dasar'' (risalah asasiyyah) Islam itu sendiri. Tetapi
sementara frase ''pesan dasar'' Islam terdengar familiar
bagi setiap yang pernah membahas masalah-masalah
keislaman, namun wujud nyatanya sendiri sering masih
merupakan problema. Meskipun problema di sini agaknya
lebih banyak berurusan dengan soal kemampuan ekspresif,
bukan substantif (orang tahu atau merasa tahu
substansinya, tapi gagal mengungkapkannya), namun realita
menunjukkan adanya kesulitan yang nyata. Karena suatu
''pesan dasar'' mengacu kepada suatu nilai yang amat
tinggi, karena itu ada risiko abstraksi yang tinggi pula,
maka dalam suatu masyarakat yang diliputi oleh paham
serba simbul (akibat pendidikan yang rata-rata rendah dan
cara berpikir yang sederhana) ''pesan dasar'' itu sering
terkacaukan dengan hal-hal simbolik dan formal yang
mewadahinya. Seorang beragama tentu tidak akan sepenuhnya
bermakna jika tidak mampu menangkap pesan dasar itu;
namun dalam kenyataan kita masih menemui diri kita sering
tidak begitu jelas mengenai pesan dasar itu. Tanpa
berarti dukungan untuk salah satu dari Ahl al-Dhawahir
dan Ahl al-Bawathin yang buah pikiran mereka sempat ikut
mewarnai polemik-polemik dalam khazanah literatur Islam
klasik, namun tidak bisa disangkal bahwa kecenderungan
banyak orang untuk menilai kadar keimanan orang lain
hanya dari segi hal-hal simbolik dan formal merupakan
indikasi kesulitan menangkap pesan dasar agama seperti
sering dikuatirkan oleh sementara Ahl al-Bawathin tentang
orientasi keagamaan Ahl al-Dhawahir.
Dalam Kitab Suci Al Quran banyak
diungkapkan tentang adanya perjanjian, persetujuan dan
kesepakatan antara Tuhan dan manusia, yang dinyatakan
dalam kata-kata Arab sebagai 'ahd, 'aqd dan mitsaq.
Sebuah firman suci menyebutkan adanya perjanjian
primordial antara Tuhan dan manusia bahwa manusia tidak
akan menyembah syetan dan harus hanya menyembah Allah
semata. 6. Artinya, manusia harus menempuh hidup
bermoral, demi perkenan Tuhan (ridla Allah), dan harus
menjauh dari penyembahan kepada syetan, dengan berbuat
hal-hal tidak bermoral (fahsya', munkar). Perjanjian
primordial itu juga diungkapkan dalam bahasa metaforik
yang sangat ilustratif, demikian:
Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengambil (menciptakan) dari
anak cucu Adam, yaitu dari tulang belakang mereka,
keturunan mereka, dan Dia minta kesaksian mereka atau
diri mereka sendiri: ''Bukankah Aku ini Tuhanmu?!''
mereka menjawab: ''Benar, kami bersaksi!'' (Demikian itu
supaya kami tidak) berkata di hari Kiamat: ''Sesungguhnya
kami lupa akan hal itu.'' 7.
Adalah pernjanjian itu pula yang terjadi antara Tuhan dan
Adam, namun kemudian Adam melupakannya dan tergoda oleh
syetan, yang membuatnya diusir dari surga. 8. Oleh karena
itu manusia diharapkan memenuhi perjanjiannya dengan
Tuhan, agar Tuhan pun memenuhi pernjanjian-Nya dengan
manusia. 9. Dan kaum beriman sejati ialah mereka yang
memenuhi janjinya dengan Allah dan tidak membatalkan
kesepakatan antara dia dan Allah itu. 10. Sebaliknya
orang itu kafir jika menyalahi pernjanjiannya dengan
Allah setelah pernjanjian itu telah menjadi kesepakatan.
11.
Muhammad Asad, dengan mengutip Zamakhsyari dalam tafsir
al-Akasysyaf, menerangkan bahwa pernjanjian (Inggris,
covenant) antara Allah dan manusia itu, sebagaimana telah
disinggung, adalah suatu istilah umum yang mencakup
kewajiban-kewajiban moral dan sosial yang tinmbul akibat
iman itu, terhadap sesama manusia. 12. Asad juga
memperjelas makna pernjajian dengan Allah (ahd Allah),
yang dalam bahasa Inggris secara konvensional
diterjemahkan dengan God's covenant, sebagai merujuk
kepada kewajiban moral manusia untuk menggunakan karunia
bawaan lahirnya --intelektual dan fisik-- dalam suatu
cara yang ditetapkan Allah untuknya, yang antara lain
akan membawa manusia kepada kesadaran akan dirinya
berhadapan dengan Sang Maha Pencipta. 13. Kesadaran
Ketuhanan (Rabbaniyyah) yang mendasari akhlaq mulia
itulah inti pesan dasar agama lewat para Rasul, 14 dan
pokok pernjanjian Tuhan dengan semua Nabi: ''Ingatlah
ketika Kami (Tuhan) mengambil dari para Nabi pernjajian
mereka, juga dari engkau (Muhammad) dan dari Nuh,
Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam, dan telah Kami ambil
dari mereka pernjanjian yang berat.'' 15.
Pemenuhan pernjajian manusia dengan Tuhannya itu
melahirkan sikap hidup bertaqwa, yaitu sikap hidup yang
penuh pertimbangan moral, atas dasar keinsyafan mendalam
bahwa Allah adalah Maha Hadir, yang selamanya menyertai
dan mengawasi tingkah laku setiap orang. 16. Maka Al
Quran pun disebutkan sebagai petunjuk bagi orang- orang
yang bertaqwa, 17. dan dengan Al Quran itu Allah
membimbing siapa saja yang mengikuti keridlaan-Nya ke
berbagai jalan keselamatan. 18. Dan Nabi saw pun bersabda
bahwa ''Tiada suatu apapun yang dalam timbangan lebih
berat daripada keluhuran budi,'' 19. dan bahwa ''Yang
paling banyak menyebabkan manusia masuk surga ialah taqwa
kepada Allah dan budi pekerti luhur.'' 20.
Pesan dasar demikian itu, sebagai pesan Tuhan kepada
semua Nabi dan Rasul, dan melalui mereka kepada seluruh
ummat manusia, membentuk makna ''generik'' agama, yaitu
makna dasar dan universal sebelum suatu agama
terlembagakan menjadi bentuk-bentuk formal dan parokial.
Karena itu, sepanjang penjelasan Al Quran, agama yang
benar ialah agama yang memiliki makna generik itu, yang
titik tolaknya ialah sikap pasrah dan berdamai dengan
Allah (dalam bahasa Arab disebut ''islam''). 21. Maka,
misalnya, Al Quran menolak klaim kaum Yahudi atau Nasrani
bahwa Nabi Ibrahim adalah seorang Yahudi atau Nasrani,
sebab dalam pandangan Kitab Suci Al Quran keyahudian dan
kenasranian adalah bentuk-bentuk pelembagaan formal dan
bahkan parokial dari suatu agama generik yang
sesungguhnya tidak memerlukannya. Yang pertama (Yahudi)
merupakan pelembagaan berdasarkan kebangsaan (atau malah
kesukuan, yaitu suku keturunan Yehuda, anak pertama
Israil atau Ya'qub), sedangkan yang kedua (Nasrani) konon
berdasarkan nama tempat (Nazaret).
Demikian pula bentuk-bentuk pelembagaan formal dan
parokial lainnya ditolak oleh Kitab Suci, sebab agama
yang benar secara asli haruslah tidak bernama kecuali
dengan nama yang menggambarkan semangat makna generik
kebenaran itu sendiri, yaitu, dalam bahasa Arab, Islam
(Sikap Pasrah dan Damai kepada Allah). Oleh karena itu Al
Quran menegaskan bahwa Ibrahim adalah seorang hanif,
yaitu seorang yang karena bimbingan kesucian dirinya
sendiri (fithrah) memelihara kecenderungan dan pemihakan
yang murni kepada yang benar dan baik secara generik,
asli dan sejati. Juga ditegaskan bahwa Ibrahim adalah
seorang muslim (yang pasrah dan damai kepada Allah). 22.
Demikian itu halnya dengan Nabi Ibrahim, dan demikian
pula halnya dengan semua para Nabi, termasuk Musa dan Isa
(Yesus, setelah lewat proses pengalihan nama itu dalam
bahasa Yunani), semuanya adalah tokoh-tokoh yang muslim
dan mengajarkan islam, 23. (sekalipun tidak berarti para
Nabi itu secara harfiah menggunakan perkataan Arab yang
berbunyi ''m-u-s-l-i-m'' dan ''i-s-l-a-m'', karena justru
kebanyakan para Nabi bukanlah orang-orang Arab). Mereka
adalah muslim dan mengajarkan islam dalam arti bahwa
semuanya bersikap pasrah dan berdamai dengan Allah dan
membawa pesan dasar yang sama, yaitu agaar manusia tunduk
patuh kepada-Nya melalui sikap pasrah dan berdamai, dan
dengan jalan menempuh hidup bermoral.
Prinsip Keadilan (Sosial)
Pada pokoknya pesan dasar ini, yang meliputi pernjanjian
dengan Allah ('ahd, aqd, mitsaq), sikap pasrah kepada-Nya
(islam) dan kesadaran akan kehadiran-Nya dalam hidup
(taqwa, rabbaniyyah), adalah universal, berlaku untuk
semua ummat manusia, dan tidak terbatasi oleh pelembagaan
formal agama-agama. Sebagai hukum dasar dari Tuhan, pesan
dasar itu bahkan meliputi seluruh alam raya ciptaan-Nya
ini, dimana manusia hanyalah salah satu bagian saja.
Ketika pesan dasar itu menuntut terjemahannya dalam
tindakan sosial yang nyata, yang menyangkut masalah
pengaturan tata hidup manusia dalam hubungan mereka satu
sama lain dalam masyarakat, maka tidak ada manifestasinya
yang lebih penting daripada nilai keadilan. Oleh karena
itu tindakan menegakkan keadilan ditegaskan sebagai nilai
yang paling mendekati taqwa. 24. Dan sebagai wujud
terpenting pemenuhan perjanjian dengan Allah dan
pelaksanaan pesan dasar agama, maka ditegaskan bahwa
menegakkan keadilan dalam masyarakat adalah amanat Allah
kepada manusia. 25.
Keadilan yang dalam bahasa Kitab Suci dinyatakan dalam
kata-kata 'ad'l, qisth, wasth (semuanya memiliki makna
dasar ''tengah'' atau ''jujur'') adalah wujud lain untuk
hukum keseimbangan (mizan) yang telah ditetapkan Allah
untuk seluruh jagad raya. Sesungguhnya, dari sudut
pandangan kosmologis Al Quran, keadilan adalah hukum
primer seluruh jagad raya. Maka keadilan adalah aturan
kosmis (cosmic order), yang pelanggaran terhadapnya dapat
dilukiskan secara metaforik sebagai mengganggu atau
''mengguncangkan'' tatanan jagad raya. Inilah yang antara
lain dapat kita ambil pengertiannya dari firman Allah:
Dan langit pun ditinggikan oleh-Nya, dan Dia tetapkan
(hukum) keseimbangan. Hendaknya kamu tidak melanggar
(hukum) keseimbangan itu. Dan tegakkanlah olehmu semua
akan neraca dengan jujur, dan jangan kamu bertindak
merugikan (hukum) keseimbangan. 26.
Beberapa tafsir dan terjemah konvensional menerangkan
bahwa yang dimaksud dengan mizan dalam firman itu ialah
neraca yang dikenal. Tentu saja tidak terlalu salah. Tapi
dalam kaitannya dengan penciptaan Allah akan jagad raya,
yang dalam firman ini dilambangkan sebagai penciptaan
langit yang ''ditinggikan'' oleh-Nya, maka lebih tepat
memandang perkataan ''mizan'' di situ dalam makna
kosmologisnya, yaitu bahwa seluruh jagad raya ini
berjalan mengikuti hukum keseimbangan. Bahkan neraca yang
kita kenal dan nampak bekerja secara ''sederhana'' itu
pun adalah suatu gejala kosmis, karena keseimabagan dalam
sebuah neraca adalah kelanjutan dari hukum keseimbangan
yang lebih luas (yang menguasai seluruh alam), misalnya,
melalui hukum gravitasi.
Dari sudut pandangan inilah kita dapat memahami mengapa
banyak para 'ulama', dalam hal ini khususnya Ibn
Taymiyyah, sedemikian tegas dan jauhnya berpegang kepada
prinsip keadilan itu sebagai ideatum tatanan sosial
manusia yang bakal menjamin kekokohan dan
kelangsungannya. Sedemikian rupa jauhnya pandangan Ibn
Taymiyyah, sehingga ia menguatkan pandangan bahwa
''Sesungguhnya Allah akan menegakkan negeri yang adil
meskipun kafir, dan tidak akan menegakkan negeri yang
zalim meskipun Islam,'' dan ''Dunia akan bertahan bersama
keadilan dan kekafiran, dan tidak akan bertahan lama
bersama kezaliman dan Islam.'' 27.
Dengan pernyataannya yang tidak biasa itu Ibn Taymiyyah
hanya bermaksud agar ummat Islam tidak ''take for
granted'' keislaman: bahwa keislaman yang formal saja
tidak akan membawa keselamatan di dunia ini, khususnya
dalam arti sosial, jika tidak disertai keadilan.
Sebaliknya, meskipun suatu masyarakat adalah kafir namun
menegakkan keadilan di dunia ini, maka masyarakat itu
akan tegak, didukung Allah. Sebab, sama dengan yang telah
dijelaskan di atas, keadilan adalah "tatanan segala
sesuatu'' (nidham-u kull-i syay) 28., yakni, suatu
''cosmic order'' yang menjadi hukum Tuhan atau
Sunnatullah yang tidak tergantung kepada keinginan
seseorang (obyektif) dan berlaku universal, di segala
tempat dan masa, tidak akan berubah (immutable).
Beberapa Contoh Pemikiran Kontemporer Tentang
Fiqh
Kita telah pergi sejauh yang diperlukan untuk membahas
masalah- masalah pokok yang mendasari pemikiran
kontemporer tentang fiqh. Berbagai pemikiran mutakhir
tentang fiqh menegaskan perlunya kesadaran akan pesan
dasar Islam sebelum suatu hukum atau hukuman
dilaksanakan. Kesadaran itu dapat disebut sebagai
karakteristik pemikiran tentang fiqh dan hukum Islam di
zaman modern. Di sini akan dikemukakan contoh pemikiran
para intelektual Islam mutakhir, dari tiga tokoh yang
representatif, yaitu Fat'hi 'Utsman (pemimpin redaksi
majalah Islam internasional Arabia yang terbit di
London), Muhammad Asad (salah seorang arsitek dan pemikir
konstitusi Negara Islam Pakistan), dan Ahmad Zaki Yamni
(yang pernah menjabat sebagai Menteri Perminyakan Saudi
Arabia dan tokoh OPEC yang amat terkenal).
Fat'hi 'Utsman menegaskan bahwa suatu hukum, termasuk
yang ada dalam Al Quran, dapat dilaksanakan hanya setelah
ditegakkannya keadilan sosial dan tatanan kemasyarakatan
yang menjamin anggotanya untuk tidak melanggar ketentuan
yang ditetapkan. Kami kutipkan dan terjemahkan sepenuhnya
pendapat Fa'hi 'Utsman yang relevan, dari bukunya, Al-Din
li al-Waqi' (Agama untuk Realita):
Keadilan Sosial sebelum Hukuman. Allah
menerangkan dalam Kitab- Nya berbagai hukuman kejahatan
(hadd) seperti, misalnya, hukum bunuh (qishash) untuk
kejahatan pembunuhan, potong tangan untuk pencurian, dan
lain-lainnya. Wajar bahwa Islam menempuh jalan penetapan
hukum-hukum setelah ditempuhnya jalan pengarahan pikiran
melalui aqidah dan pendidikan tingkah laku melalui
prinsip tabadul.
Tetapi penetapan hukum Islam tidak pernah disebut kecuali
mesti timbul dalam pikiran orang gambaran yang mengerikan
tentang tangan-tangan buntung dan jasad-jasad berserakan.
Sedangkan yang sebenarnya ialah bahwa rahmat Allah untuk
sekalian alam tidaklah menetapkan hukuman kecuali sesudah
ditempuh jalan proteksi, sama dengan yang dikatakan oleh
Francis Aveling dalam bukunya Ilmu Jiwa Klasik dan
Modern: ''Kalau tujuan kita ialah kebaikan masyarakat,
maka tujuan hukuman haruslah proteksi. Dan cara apapun
yang dapat merealisasikan tujuan ini harus dipandang
sebagai wajar dari sudut pandangan sosial. Jadi jika kita
dapat mencegah sebab-sebab dan situasi yang mendorong
kejahatan, baik yang berasal dari lingkungan atau pun
dari pribadi sendiri, maka itulah cara yang ideal yang
kita wajib menggunakannya.''
Dalam praktek memang telah terjadi berbagai usaha ke arah
ini melalui berbagai pengabdian sosial. Tetapi kalau
seandainya seluruh situasi yang berkaitan dengan
lingkungan telah tersedia dengan sebaik-baiknya, maka
tentulah yang tersisa bagi kita ialah memikirkan
sebab-sebab individual yang mendorong orang untuk
melakukan pelanggaran-pelanggaran.
Dari sini kita melihat bahwa Islam, ketika menetapkan
pelaksanaan qishash dalam kejahatan pembunuhan, ia
bersama itu juga menetapkan langkah-langkah yang menjamin
hilangnya dorongan-dorongan permusuhan golongan, kelompok
atau perbedaan tingkat sosial. Dan ketika menetapkan
hukuman potong tangan pencuri, maka Islam tidaklah
melakukan hal itu sebelum tegaknya hak-hak hidup pribadi
dan mantapnya tanggung negara untuk menjamin hak-hak
pribadi itu.
Dan ketika Islam menetapkan hukum rajam atau cambuk atas
pezina, maka sesungguhnya ia juga menetapkan kemudahan
jalan perkawinan dan melindungi bagian-bagian privat dari
tubuh dengan menutup aurat dan menjaga penglihatan mata,
serta melarang khalwat (kencan seorang lelaki dan seorang
perempuan yang bukan muhrim, namun tanpa muhrim perempuan
itu). Jadi pengaturan sosial berjalan seiring atau
mendahului penetapan hukuman kejahatan. 29.
Lebih runtut lagi adalah jalan pikiran dan garis argumen
Muhammad Asad. Dalam memberi penjelasan tentang makna
yang lebih mendasar di balik hukuman yang amat keras bagi
pencuri (potong tangan), Asad membuat uraian panjang
lebar. (Di sini kami kutipkan seluruh uraian itu, namun
maaf tidak sempat menerjemahkan):
The extreme severity of this Quranic punishment can be
understood only if one bears in mind the fundamental
rpinciple of Islamic Law that no duty (taklif) is ever
imposed on man without his being granted a coresponding
right (haqq); and the term ''duty'' also comprises, in
this context, liability to punishment. Nw, among the
inalienable rights of every member of the Islamic society
--Muslim and non-Muslim alike-- is the right to
protection (in every sense of the word) by the community
as a whole. As is evedent from innumerable Quranic
ordinances as well as the Prophet's injuctions
forthcoming from authentic Traditions, every citizen is
entitled to a share in the community's economis resources
and, thus, to the enjoyment of social security: in other
words, he or she must be assured of an equitable standard
of living commensurate with the resource at the disposal
of the community. For, although the Quran makes it clear
that human life cannot be expressed in terms of physical
existence alone --the ultimate values of life being
spiritual ian nature-- the believers are not entitlend to
look upon spiritual truths and values as something that
could be divorced from the physical and social factors of
human existence. In short, Islam envisages and demands a
society that provides not only for the spiritual needs of
man, but for his boduly and intellectual needs as well.
It follows, threfore, that --in order to be truly
Islamic-- a society (or a state) must be so constituted
that every individual, man and woman, may enjoy that
minimum of material well-being and security without which
there cana be no human dignity, no real freedom and, in
the last resort, no spiritual progress: for, there can be
no real happiness and strength in a society that permits
some of its members to suffer undeserved want while
others have more than the need. If the whole society
suffers privations owing to circumstances beyond its
control (as happened, for instance, to the Muslim
community in the early days of Islam), such shared
privations may become a source of spiritual strength and,
through it, of future greatness. But if the available
resources of a community are so unevenly distributed that
certain groups within it live in affluence while the
majority of the people are forced to use up all their
energies in search of their daily bread, poverty becomes
the most dangerous enemy of spiritual progress, an
occasionally drives whole communities away from
God-consciousness and into the arms of soul-destroying
materialism. It was undoubtedly this that the Prophet had
in mind when he uttered the warning woeds (quoted by
As-Suyuti in al-Jami as-Saghir), ''Proverty may well turn
into a denial of the truth (kufr).'' Consequently, the
social legislation of Islam aims at a state of affair in
which every man, woman and child has (a) enough to eat
and wear, (b) an adequate home, (c) equal opportunities
and facilities for education, and (d) free medical care
in health and sickness. A corollary of these rights is
the right to productive and remunerative work while of
working age and in good health, and a provision (by the
community or the state) of aduquate nourishment, shelter,
etc. in cases of disability resulting from illness,
widowhood, enforeced enemployment, old age, or under-age.
As already mentioned, the communal obligation to create
such a comprehensive social securitu scheme has been laid
down in many Quranic verses, and has been amplified and
explainde by a great number of the Prophet's
commandments. It was the second Caliph, Umar ibn al-
Khattab, who began to translate these ordinances into a
concrete administrative scheme (see Ibn Sa'd, Tabaqat,
III/1. 213-217); but after hin premature death, his
successors had nither the vision nor the statemanship to
continue his unfinished work.
It is against the background of this social security
scheme envisaged by Islam that the Quran imposes the
severe sentence of hand-cutting as a deterrent punishment
for robbery. Since, under the circumstances outlinde
above, ''temptation'' cannot be admitted as a justifiable
excuse, and since, in the last resort, the entire
socio-economic system of Islam is based on the faith of
its adherents, its balance is extremely delicate and in
need of constant, strictly-enforced protection. In a
community in which everyone is assured of full security
and social justice, any attempt on the part of an
individual to achieve an easy, unjustified gain atu the
expense of other members of the community must be
considered an attack against the system as a whole, and
must be punished as such: and, therefore, the aboce
ordinance which lays down that the hand of the thied
shall be cut off. One must, however, always hear in mind
the principle mentioned at the beginning of this note:
namely, the absolute interdependence between man's right
and corresponding duties (including liability to
punishment). In a community or state which neglects or is
unable to provede complete social security for all its
members, the temptetion to enrich onself by illegal means
often becomes irresistible --and, consequently, theft
cannot and should not be punished as severely as itu
should be punished in a state in which social security is
a reality in the full sense of the woed. If the society
is unable to fulfil its duties with regard to everyone of
its memebrs, it has not right to invoke the full sanction
of creminal law (hadd) against the individual
transgressor, but must confine itself to milder forms of
adminisrrative punishment. (Its was in correct
appreciation of this prinsiple that the great Caliph Umar
waived the hadd of hand-cutting in a period of famine
which afflicted Arabia during his reign.) To sum up, one
may safely conclude that the cutting-off of a hand in
punishment for theft is applicable only within the
context of an already-existing, fully-functioning social
security scheme, and in no other circumstances. 30.
Fiqh sangat erat kaitan dengan Syari'ah, jika bukannya
malah identik (seperti menurut pengertian kebanyakan
orang). Ahmad Zaki Yamani, dalam sebuah risalahnya yang
terkenal, memperjelas persoalan Syari'ah itu dalam
kaitannya dengan hasil karya para ulama terdahulu yang
secara keseluruhannya biasanya dipandang sebagai korpus
Hukum Islam. Perhatikanlah bagaimana Yamani menegaskan
bahwa hasil pemikiran (''fiqh'' dalam arti asalnya) para
ulama dalam kitab-kitab itu baginya tidaklah mengikat,
karena pemikiran itu tidak lepas dari tuntutan zaman dan
tempat yang lebih spesifik, yang belum tentu mencocoki
tuntutan zaman kita sekarang. Sama dengan yang di atas,
di sini kami kutipkan sepenuhnya uraian Yamni (namun,
sekali lagi, maaf tidak sempat menerjemahkannya):
The Islamic Shari'a as a phrase has two scope of
meanings. Generally and widely construed, it denotes
everything that has been weitten by Moslem jurists
throughout the centuries, whther it dealt with
contemporaneous issues of the time or in anticipation of
furute ones. The jurists derived their principles from
the Quran and the Sunnah (way of action and the opinions
of the Prophet), and from the other sources of Shari'a
such as Ijma' (the consensus of the community represented
by its scholars and learned men), and public interest
considerations. The Shari'a, looked upon in this wide
scope, constitutes a huge Juristic tradition the value of
which depends on the individual jurist himself, his era,
or even the particular problem confronting him. As such
the system has a trmenedous scholastic value to the
Moslem, however, it has no binding authority; since
within it one might find different, and sometimes
contradictory principles resolving the same issues,
depending on the Juristic school that propagated the
principle. Furthermore, it cannot have a binding
authority since circumstances that brought about a
certain principle might not be in existence any more, and
surely we cannot maintain that previous Moslem Jurists
have anticipated all our existing contemporary problems.
Yet, as I said before in this wide sense, one cannot deny
the Shari'a scholastic value as an elaborate system of
deduction which should be relied upon for future
derivations of principles.
Construed narrowly, the Shari'a is confined to the
undoubted principles of the Quran, to what is true and
valid of the Sunna, and the consensus of the community
represented by its sholars and learned men during a
certain period and regarding a particular problem,
provided such consensus was possible. Viewed as such, the
Shari'a has a binding authority on every Moslem, and he
is obligated to follow and employ it ti solve his
affairs....
The importance of differentiating between the wide and
the narrow scope of Shari'a is evident in countries that
fully implement the system, such as the Kingdom of Saudi
Arabia. As I explained earlier, not all the principles of
Shari'a in its wider sense are of a binding authoruty,
because of certain inherent difficulties in attempting to
hamonize some of them. Furthermore, one cannot choose one
juristic school for implementation to the exclusion of
all others, which was done in the past, since as a
logical consiquence on would have to maintain thet the
princiles of the orther schools are not valid, or at
least, are not worthy of being followed.
According to the well-known Shari'a principle ''the
validity of that on which there is a difference can be
questioned, but not the validity of that on which there
is consensus,'' it becomes imperative ... to adopt the
narrow meaning of Shari'a, confined to the Quran, the
Sunna, and consensus; then, select principles from the
various jurustice schools with no exceptions, the
creterion being what is more appropriate to the nedds of
that particular country. Such countries could legislate
new solutions for novel problems, deriving such solutions
from the general principles of the Shari'a and
considerations of public interest and communal welfare.
31. (Garis bawah dari kami--NM).
Bagi Yamani prinsip ''publik interest'' atau kepentingan
umum adalah sangat fundamental. Berkaitan dengan prinsip
ini, dengan merujuk kepada kitab Thabaqat al-Hanabilah
oleh Ibn Rajab, Yamani mengutip, dengan implikasi sebuah
dukungan, pendapat yang ekstrem dari diri Imam al-Tuff
yang diduga dari mazhab Hanbali (tapi juga ada yang
menduganya bermazhab Syi'ah), yang mengatakan bahwa
kepentingan umum mengatasi dan mendahului ketentuan
tekstual, sekalipun dari Al Quran dan Sunnah. Maka jika
terdapat pertentangan antara pertimbangan kepentingan
umum di satu pihak dan ketentuan tekstual atau nas di
pihak lain, al-Tufi berpendapat bahwa kepentingan umum
itu harus dimenangkan, betapapun absahnya sebuah nas. ia
berpandangan bahwa kepentingan umum itulah yang menjadi
maksud dan tujuan Maha Hakim (Allah), sedangkan ketentuan
tekstual yang diwahyukan dan sumber-sumber lainnya
hanyalah perantaan untuk mencapai tujuan itu, dan tujuan
harus selalu mendahului perantaan atau cara. 32.
Lebih jauh, Yamani mengritik sebagian kaum Orientalis
yang tidak memahami Syari'ah dan mencampur-adukkan dua
unsurnya yang berbeda namun tidak terpisah, yaitu
hukum-hukum keagaman ('ibadat) dan hukum-hukum kegiatan
manusian dalam hidup keduniaan (mu'amalat):
The religious essence and value of the Shari'a must never
be overestimated. Many Western Orientalists who weote
about Shari'a, failed to distinguish between what is
purely religious and the principles of secular
transactions. Though both are derived from the same
source, the latter principles have to be vewed as a
system of civil law, based on public interest and
utility, and therefore always evolving to an ideal
best.... The Prophet himself had set precedence for this
religious-secular relationship when he said, ''I am only
human, if I order something pertaining to your religion
comply, if I order something of my opinion consider it in
the light that I am only human.'' Or when he said, ''You
know better about your civil non-religious matters.'' 33.
Penutup
Dari seluruh uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa
fiqh dan sistem hukum Islam memiliki kesempatan besar
untuk diterapkan dalam zaan modern. Tetapi prasyaratnya
ialah bahwa kaum Muslim harus mampu terlebih dahulu
menangkap pesan dasar agamanya, dan beralaskan itu
mengembangkan pemikiran hukum yang akan menjawab tuntutan
zaman dan tempat. Halangan terbesar bagi kemungkinan itu
datang dari sikap-sikap dogmatis dan literalis, yang kini
masih banyak melanda kaum Muslim. Tetapi dengan bekal
inner dynamics Islam itu sendiri, masa depan yang lebih
baik tentu dapat diciptakan, sehingga akan terbukti
ramalan Gellner bahwa kaum Muslim adalah penarik manfaat
yang sebenarnya dari modernitas.
Wa-'llah-u a'lam.
Catatan:
1. Marshal G. S. Hodgson, The Venture of Islam, 3 jilid
(Chicago: The University of Chicago Press, 1974), jil. 1,
h. 108.
2. Only Islam survives as a serious faith pervading both
a folk and a Great Tradition. Its great Tradition is
modernisable; and the operation can be presented, not as
an innovation or concession to oursiders, but rather as
the continuation and completion of and old dialogue
within Islam.... Thus in Islam, and only in Islam,
purification/modernization on the one hand, and the
reaffirmation of a putative old local identity on the
other, can be done in one and the same language and set
of symbols. The old folk version, once a shallow of the
central tradition, now becomes a repidiated scapegoat,
blamed for retardation and foreign domination. Hence,
though not the source of modernity, Islam may yet turn
out to be its beneficiary. The fact that its central,
official, ''pure'' variant was egalitarian and scholarly,
whilst hierarchy and wcstaasy pertained to ists
expendable, eventually disavowed, peripheral forms,
greatly aids its adaptation to the modern world. In an
age of aspiration to universal literacy, the open class
of scholars can expand towards embracing the entire
community, and thus the 'protestant' ideal of equal
wccess for all believers can be implemented. Modern
egalitarianism is satisfied. Whilst European
Protestantism merely prepared the ground for nationalism
by furthering literacy, the reawakened Muslim protential
for egalitarian scripturalism can acctually fuse with
nationalism, so that one can hardly tell which one of the
two is of most benefit to the other. (Ernest Gallner,
Muslim Society (Cambridge: Cambridge University Press,
1981), hh. 4-5).
3. By various obvious criteria --universalism,
scripturalism, spiritual egalitarianism, the extension of
full participation in the sacred community not to one, or
some, but to all, and the rational systematisation of
social life-- Islam is, of the three great Western
monotheisms, the one closest to modernity. (Gellner, h.
7).
4. Maxime Rodinson, Islam and Capitalism, terjemah dari
Perancis oleh Brian Peace (Austin: University of Texas
Press, 1978), h. 1.
5. Leonard Binder, Islam Liberalism (Chicago: The
University of Chicago Press, 1988), h. 211.
6. Lihat Q., s. Yasin/36:60
7. G., s. Al-A'raf/7:172.
8. Lihat Q., s. Thaha/20:115.
9. Lihat Q., s. al-Baqarah/2:40.
10. Lihat Q., s. al-Ra'd/13:20.
11. Lihat Q., s. al-Ra'd/13:25.
12. Muhammad Asad, The Message of the Quran (London: . J.
Brill, 1980), h. 363, catatan 42.
13. Ibid., hh. 7-8, catatan 21.
14. Lihat Q., s. Ali Imran/3:79.
15. Q., a. al-Ahzab/33:7.
16. Lihat Q., s. al-Hadid/57:4.
17. Lihat Q., s. al-Baqarah/2:2.
18. Lihat Q., s. al-Ma'idah/5:16.
19. Bulugh al-Maram, hadits No. 1551.
20. Ibid., hadits No. 1561.
21. Lihat Q., s. Ali Imran/3:19 dan 85.
22. ''Ibrahim itu bukanlah seorang Yahudi ataupun
Nasrani, melainkan seorang hanif (lurus kepada
kebenaran), dan seorang muslim (pasrah kepada Tuhan), dan
tidaklah dia termasuk mereka yang musyrik. Sesungguhnya
manusia yang paling dekat kepada Ibrahim ialah mereka
yang benar-benar mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad)
serta mereka yang beriman. Allah adalah pembimbing kaum
beriman itu.'' (Q., s. Ali Imbran/3:67-68).
23. Terdapat banyak penegasan, langsung dan tidak
langsung, berkenaan dengan keislaman para Nabi. Suatu
penegasan bahwa semua penganut agama (yang benar secara
generik, hanif) menyembah Tuhan yang sama, yaiatu Tuhan
Yang Maha Esa, dan bersikap pasrah kepada-Nya (Islam).
Secara umum dapat disimpulkan dari firman Allah tentang
sikap anak turun Ya'qub Israil):
''Adakah kamu menjadi saksi ketika maut datang kepada
Ya'qub, ketika ia bertanya anak-anaknya: 'Ap yang kamu
sesudahku?' Mereka menjawab: 'Kami menyembah Tuhanmu dan
Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Isma'il dan Is'haq, yaitu
Tuhan Yang Maha Esa, dan kami semua pasrah (muslimun)
kepada-Nya.' '' (Q., s. al-Baqarah/2:133).
Setiap orang yang dikaruniai Allah pangkap kenabian mesti
menyeru manusia agar berkesadaran Ketuhanan (Rabbaniyyun)
dan tidak akan menyimpang dari garis lurus itu setelah
para pengikutnya benar-benar menjadi kaum yang pasrah
kepada-Nya (muslimun):
''Tidak pernah terjadi pada seorang manusia yang
kepadanya Allah mengaruniakan kitab suci, ajaran
kebenaran (hukum) dan kenabian kemudian berkata kepada
orang banyak: 'Jadilah kamu semua hamba-hamba bagiku,
bukan bagi Allah!' Melainkan (ia tentu berkata): 'Jadilah
kamu orang-orang yang berkesadaran Ketuhanan
(Rabbaniyyun) berdasarkan kitab suci yang kamu ajarkan
dan berdasarkan yang kamu sendiri pelajari.' Dan ia (Nabi
itu) tidak menyuruh kamu agar kamu mengambil para
malaikat dan para Nabi yang lain sebagai Tuhan-tuhan.
Apakah patut ia menyuruh kamu menjadi kafir sesudah kamu
semua menjadi orang-orang yang pasrah (muslimun)?'' (Q.,
s. Ali Imran/3:79-80).
24. Lihat Q., s. al-Ma'idah/5:8.
25. Lihat Q., s. al-Nisa/4:58.
26. Q., s. al-Rahman/55:7-9.
27. Ibn Taymiyyah, dalam risalahnya, Al-Amr bi al-Ma'ruf
wa al- Nahy 'an al-Munkar (Beirut: Dar al-Kitab a-jadid,
1396 H/1976 M), h. 40.
28. Ibid.
29. Fat'hi Utsman, Al-Din li al-Waqi' (Kuwait: al-Dar
al-Kuwaytiyyah, tt.), hh. 91-92.
30. Muhammad Asad, hh. 149-150, catatan 48.
31. Ahmad Zaki Yamani, Islamic Law and Contemporary
Issues (Jeddah: The Saudi Publishing House 1388 H), hh.
6-7).
32. Ibid., hh. 10-11.
33. Ibid., hh. 13-14.
|