HIJRAH NABI S.A.W. DALAM TINJAUAN
HISTORIS-SOSIOLOGIS
Oleh : Nurcholish Madjid
Event Artikel : KKA-75 (Jakarta, Juni 1993)
Diupdated
pada: Kamis 29 Maret 2001
Muqaddimah
Apakah peristiwa Hijrah Nabi dari Makkah ke Yatsrib (yang
kelak diubah namanya menjadi Madinah) itu semata-mata
peristiwa historis-sosiologis, ataukah merupakan
peristiwa yang mengandung makna keruhanian yang besar
semata? Jawabnya dapat diberikan dari berbagai segi. Jika
diingat bahwa Nabi s.a.w. melakukan Hijrah itu hanya
setelah mendapatkan petunjuk dan izin Allah (seperti
dapat disimpulkan dari turunnya berbagai firman suci yang
memberi isyarat kepada Nabi bahwa peristiwa besar itu
akan terjadi dan akan merupakan titik balik bagi
kemenangan beliau serta kaum beriman, dan seperti juga
dengan jelas dapat dipahami dari percakapan Nabi dengan
Abu Bakr pada saat-saat terakhir sebelum meninggalkan
Makkah), maka Hijrah adalah sebuah peristiwa supranatural
seperti mu'jizat. Tetapi dari sudut bahwa al-Qur'an
sendiri senantiasa menegaskan bahwa segala peristiwa yang
menyangkut kelompok manusia, dalam hal ini terutama pola
kehidupan kolektifnya, selalu mengikuti Sunnatullah yang
tidak berubah-ubah (dan yang kita diperintahkan untuk
mempelajari dan mengambil pelajaran dari yang telah
lalu), peristiwa Hijrah adalah peristiwa
historis-sosiologis. Yaitu peristiwa yang terjadi dengan
mengikuti Sunnatullah yang tak berubah-ubah tersebut.
Peristiwa Hijrah juga dapat disebut sebagai peristiwa
kesejarahan karena dampaknya yang demikian besar dan
dahsyat pada perubahan sejarah seluruh umat manusia.
Kalau sebuah buku yang membahas tokoh-tokoh umat manusia
sepanjang sejarah menempatkan Nabi Muhammad s.a.w.
sebagai yang terbesar dan paling berpengaruh daripada
sekalian tokoh, bukti dan alasan penilaian dan pilihan
itu antara lain didasarkan kepada dampak kehadiran Nabi
dan agama Islam, yang momentum kemenangannya terjadi
karena peristiwa Hijrah. Dari sudut pandang ini tepat
sekali tindakan Khalifah Umar ibn al-Khaththab untuk
memilih Hijrah Nabi sebagai titik permulaan penghitungan
kalender Islam, dan bukan, misalnya, memilih kelahiran
Nabi (yang saat itu tentunya belum menjadi seorang Nabi,
melainkan hanya seorang bayi Muhammad). Tindakan Umar itu
mencocoki prinsip besar Islam, ("penghargaan dalam
Jahiliah berdasarkan keturunan, dan penghargaan dalam
Islam berdasarkan prestasi kerja"). Dan prestasi
kerja Nabi s.a.w. mendapatkan momentumnya dengan
terjadinya Hijrah, sehingga ketika wafat, Nabi Muhammad
s.a.w. adalah seorang Utusan Allah yang paling sukses dan
paling besar pengaruhnya kepada umat manusia.
Maka menirukan jargon yang sering muncul dalam
masyarakat, salah satu inti makna Hijrah ialah semangat
mengandalkan penghargaan karena prestasi kerja, bukan
karena pertimbangan-pertimbangan kenisbatan (ascriptive)
yang sekedar memberi gengsi dan prestise seperti
keturunan, asal daerah, kebangsaan, bahasa, dan
lain-lain. Selain sejalan dengan prinsip di atas,
pandangan ini juga konsekwensi penegasan al-Qur'an bahwa
seseorang tidak akan mendapatkan sesuatu kecuali yang ia
usahakan sendiri. (Q., s. al-Najm/53:36-42).
Hijrah sebagai Peristiwa Supernatural
Jadi, berdasarkan itu, sekali lagi, Hijrah adalah
pristiwa historis yang amat besar, bahkan yang paling
besar dalam sejarah umat manusia jika dilihat dampak yang
dihasilkannya. Walaupun begitu Hijrah adalah sekaligus
peristiwa metafisis, yang dari berbagai segi termasuk
mu'jizat Nabi dan tindakan supernatural beliau.
Untuk kelengkapan pembahasan tentang Hijrah ini, dirasa
perlu memahaminya sebagai peristiwa supernatural terlebih
dahulu. Artinya, memandangnya sebagai sebuah peristiwa
yang tidak akan terjadi tanpa "campur tangan"
Tuhan secara langsung, baik dalam penyiapan, perencanaan,
maupun perlindungannya. Menurut sebagian para ahli, salah
satu firman Allah yang merupakan isyarat kepada
terjadinya Hijrah yang membawa kemenangan besar bagi Nabi
s.a.w. itu ialah (terjemahnya): "Apakah mereka (kaum
kafir Makkah) berkata, 'Kami adalah kelompok yang
menang?' Kelompok mereka itu akan dihancurkan, dan mereka
lari terbirit-birit. Sunguh, Saatnya akan datang sebagai
janji kepada mereka, dan Saat itu akan sangat menyedihkan
dan sangat pahit (bagi mereka)." (Q., s.
al-Qamar/54:45-47). Bahkan ada isyarat dari al-Qur'an
bahwa Nabi akan keluar dari kota tumpah darahnya yang
amat dicintai, yaitu Makkah, namun akan kembali dengan
penuh kemenangan, dengan izin Allah: "Sesungguhnya
Dia (Allah) yang telah menjadikan ajaran al-Qur'an
sebagai panggilan kewajiban atas engkau (Muhammad)
tentulah akan mengembalikan engkau ke tempat asalmu
(Makkah)"--(Q., s. al-Qashash/28:85). Mendengar
antisipasi dan prediksi serupa itu kaum kafir Quraish
hanyalah mengejek dan menertawakan saja.
Tahun-tahun terakhir menjelang Hijrah, bagi Nabi dan kaum
beriman adalah saat-saat yang penuh kesulitan. Oleh
karena itu tidak heran bahwa kaum kafir merasa kemenangan
sudah di ambang pintu, dan Nabi berserta kaum beriman
akan segera lenyap dari muka bumi. Maka mereka hanya
mengejek saja jika ada prediksi bahwa kaum beriman, di
bawah pimpinan Nabi, akan mendapatkan kemenangan dan kaum
kafir akan hancur. Menurut sebagian ulama bahkan surat
al-Rum (surat No.30) ayat-ayat pertama yang meramalkan
kemenangan Romawi Timur (Bizantium) atas Persia juga
merupakan prediksi tidak lanngsung bagi kemenangan Nabi
dan kaum beriman terhadap kaum kafir. Pertama, karena
kaum beriman bersimpati kepada Romawi, tidak kepada
Persia, sementara kaum kafir Makkah bersimpati kepada
Persia, tidak kepada Romawi. Kedua, keadaan Romawi saat
itu, setelah dikalahkan oleh Persia, adalah porak-poranda
sehingga sepintas lalu mustahil akan dapat menang atas
Persia yang perkasa. Tetapi kenyataannya Romawi menang
tidak lama setelah turun surat al-Rum itu. Berarti bahwa
kaum beriman pun, dalam keadaan yang sangat lemah dan
yang dirundung berbagai kesulitan, juga dapat menang atas
kaum kafir Makkah yang kaya dan kuat. Semuanya itu
terbukti menjadi kenyataan setelah Hijrah, dimulai dengan
perang Badar yang merupakan titik balik seluruh sejarah
umat Islam (dan sejarah umat manusia). Karena itu dalam
al-Qur'an perang Badar itu disebut "Hari yang
menentukan" (Yawm al-Furqan--Q., s. al-Anfal/8:41).
Tahun Kesedihan
Dari sudut tinjauan historis-soiologis, peristiwa Hijrah
adalah puncak dari rentetan berbagai peristiwa yang
panjang, sepanjang masa perjuangan Nabi s.a.w. menegakkan
kebenaran di Makkah. Di bawah ini kita coba tuturkan
kembali beberapa peristiwa yang memberi ilustrasi tentang
segi kesejarahan dan sosiologis Hijrah. Sebab-sebab
peristiwa-peristiwa itu mengawali kepindahan Nabi dari
Makkah ke Yatsrib, merupakan pendahuluan atau penyiapan
terjadinya peristiwa bersejarah itu.
Telah lewat lebih dari sepuluh tahun Nabi berjuang
menegakkan kebenaran di Makkah, namun hasilnya tidak
terlalu menggembirakan. Nabi lebih-lebih lagi mengalami
banyak kesulitan karena kematian isteri beliau, Khadijah,
yang selama ini mendukung dan memberanikan beliau dengan
amat setia. Setelah itu wafat pula paman beliau, Ab
Thalib (ayah 'Ali, yang kelak menjadi menantu beliau dan
terpilih sebagai khalifah keempat). Sebagai tokoh besar
klannya, Abu Thalib dengan penuh ketulusan dan tanggung
jawab melindungi Nabi, seorang anggota klan dan
kemenakannya, dari serangan orang-orang kafir Makkah.
Karena wibawanya, perlindungan itu sangat efektif, dan
untuk selama ini Nabi merasa aman, dengan gangguan yang
tidak berarti.
Kematian Khadijah dan Abu Thalib membuat tahun kesepuluh
dari Kenabian menjadi tahun yang amat sulit bagi Nabi,
maka disebut "tahun kesedihan" ('am al-Huzn).
Kini jalan terbuka lebar bagi kaum kafir Makkah untuk
menyiksa Nabi dan menghalangi tugas suci beliau. Suatu
saat, misalnya, Nabi masuk rumah dengan kepala beliau
penuh pasir, akibat ulah seorang Quraisy yang dungu.
Salah seorang puteri beliau menolong Nabi membersihkan
kepalanya dari pasir, sambil menangis. Nabi
menasehatinya: "Janganlah engkau menangis, wahai
anakku, sebab Allah akan melindungi ayahmu." Beliau
juga mengatakan: "Orang Quraisy tidak dapat berbuat
sesuatu yang tidak aku sukai, sampai meninggalnya Abu
Thalib."1
Karena merasakan kerasnya perlawanan kaum Quraisy Makkah,
Nabi s.a.w. mencoba menyampaikan seruan suci beliau
keluar kota. Tha'if merupakan kota pilihan yang wajar.
Selain jaraknya yang tidak begitu jauh dari Makkah, kota
itu menduduki tempat kedua terpenting dalam jajaran
kota-kota di Hijaz. Karena terletak di pegunungan dengan
udara yang segar dan tanah yang subur, Tha'if menjadi
tempat peristirahatan para saudagar kaya dari Makkah,
dengan villa-villa dan kebun-kebuh yang indah. Disertai
oleh Zaid (ibn Haritsah), Nabi datang ke kota itu dan
menyampaikan seruan beliau. Tetapi, sama dengan di
Makkah, Nabi menjumpai penolakan dan perlawanan yang
keras dari penduduk Tha'if. Dan atas hasutan tokoh
mereka, penduduk Tha'if beramai-ramai menghalau Nabi dan
Zaid, sambil melempari keduanya dengan batu.
Dalam keadaan luka parah Nabi dan Zaid meninggalkan
Tha'if. Beliau berdua sedikit tertolong oleh kebaikan dua
orang pemilik kebun di luar kota yang melihat Nabi dan
Zaid yang menderita berat itu berteduh di bawah sebuah
pohon di kebun mereka. Kedua orang itu ialah 'Utbah dan
Syaibah, dari Makkah dan, seperti Nabi sendiri, keturunan
'Abdu Manaf. Mereka menyaksikan perlakuan penduduk Tha'if
kepada Nabi dan Zaid, dan merasa iba kepada keduanya ini.
Mereka suruh salah seorang budak mereka bernama 'Addas
membawa setandan anggur untuk ditawarkan kepada Nabi dan
Zaid. Ketika Nabi menerima anggur itu dan hendak
memakannya, beliau membaca: "Bismi 'l-Lah."
Mendengar bacaan itu, 'Addas mengatakan: "Kata-kata
itu bukanlah yang biasanya diucapkan orang di negeri
ini." Lalu Nabi balik bertanya kepada 'Addas:
"Dari negeri mana kamu? Dan apa agamamu?"
Dijawab oleh 'Addas: "Aku seorang Nasrani, dan aku
datang dari Niniveh." Disahut oleh Nabi: "Dari
kota tempat seorang yang benar, Yunus putera Matta."
'Addas bertanya: "Dari mana tuan mengetahui tentang
Yunus putera Matta?" Nabi menjawab: "Ia adalah
saudaraku. Ia adalah seorang Nabi, dan aku adalah seorang
Nabi." Lalu 'Addas membungkukkan badan kepada Nabi,
mencium kepala, tangan dan kaki beliau." Kedua
pemilik kebun itu menyaksikan dari jauh tingkah laku
'Addas, budak mereka. Ketika kembali, 'Addas ditanya:
"Hati-hati, 'Addas! Apa yang mebuatmu mencium
kepala, tangan dan kaki orang itu?" Ia menjawab:
"Tuan, tidak ada di muka bumi ini yang lebih baik
daripada orang itu! Ia telah bercerita kepadaku tentang
sesuatu yang hanya seorang Nabi yang tahu." Kedua
juragan itu berkata: "Hati-hati kau 'Addas,
janganlah kau biarkan orang itu membelokkan engkau dari
agamamu, sebab agamamu lebih baik daripada
agamanya!"2
Nabi kembali ke Makkah dengan perasaan tidak menentu
tentang nasib beliau berhadapan dengan kaum Quraisy,
karena beliau kini tidak lagi memiliki tokoh-tokoh
pelindung dan pembela. Karena itu beliau tidak langsung
pulang ke rumah di kota, melainkan singgah di gua Hira',
tempat beliau dahulu berkhalwat (menyepi). Dari sana
beliau mengirim utusan untuk meminta perlindungan
beberapa tokoh Quraisy sehingga beliau aman masuk kembali
ke rumah. Namun usaha itu tanpa hasil. Kemudian beliau
ingat seorang tokoh Quraisy yang bernama Muth'im ibn
'Addiy, pemimpin klan Naufal, yang cukup berwibawa dan
baik hati. Beliau meminta kepadanya jaminan perlindungan
untuk masuk kota, dan Muth'im menyetujuinya. Muth'im
memanggil semua anak lelaki dan kemenakannya, melengkapi
mereka dengan senjata dan baju perang. Dengan jaminan
perlindungan oleh Muth'im dan anak-anaknya ini, Nabi
s.a.w. bersama Zaid pun masuk kota. Ketika beliau sampai
di Ka'bah, Muth'im berdiri tegak di atas ontanya, dan
dengan suara sekeras-kerasnya berseru: "Wahai kaum
Quraisy! Aku telah berjanji untuk memberi perlindungan
kepada Muhammad. Karena itu janganlah ada seorangpun yang
mengganggunya!" Abu Jahal bertanya, apakah mereka,
Muth'im dan kelompoknya, telah menjadi pengikut Muhammad.
Mereka menjawab, "Kami hanya memberinya
perlindungan." Mendengar itu klan Bani Makhzum hanya
dapat berkata: "Orang yang kamu lindungi, akan kami
beri pula perlindungan." Dengan begitu Nabi pun
aman, dan beliau dapat kembali pulang ke rumah.3
Berada di Makkah kembali, Nabi hidup kesepian. Beliau
berdo'a kepada Tuhan tentang siapa yang sebaiknya hendak
beliau nikahi. Tidak lama Malaikat Jibril datang dengan
membawa selembar kain sutera, yang padanya tertera potret
'A'isyah, puteri Abu Bakr, sahabat beliau yang paling
setia. Tapi 'A'isyah saat itu baru berumur sepuluh tahun,
sementara Nabi telah berumur lebih dari limapuluh tahun.
Lagipula Abu Bakr telah menjanjikan 'A'isyah untuk
dijodohkan dengan Jubair, anak Muth'im. Karena itu
terhadap Jibril Nabi hanya berkata: "Kalau memang
Allah menghendaki tentu akan terjadi." Tapi beberapa
hari sesudah itu Nabi melihat dalam mimpi datangnya
Jibril membawa lembaran sutera yang sama, dan beliau
meminta kepadanya untuk ditunjukkan isinya. Ketika
disingkap, nampak lagi gambar 'A'isyah, dan sekali lagi
Nabi hanya berkata: "Kalau ini kehendak Allah, tentu
akan terlaksana."
Meskipun telah mendapatkan isyarat dari Jibril, Nabi
tidak segera menikahi 'A'isyah. Bahkan beliau tidak
menyampaikan isyarat Jibril itu kepada siapapun, termasuk
kepada Abu Bakr. Tapi kemudian datang peneguhan yang
ketiga bahwa beliau harus menikahi 'A'isyah, kali ini
dari seorang wanita bernama Khaulah, isteri 'Utsman ibn
Mazh'un, seorang Sahabat Nabi yang amat saleh dan banyak
beribadat, lagipula kaya raya. Wanita itu banyak
memperhatikan keperluan Nabi sepeninggal Khadijah. Ketika
Nabi bertanya kepadanya tentang siapa wanita yang
sebaiknya beliau nikahi, Khaulah menjawab: "'A'isyah
puteri Abu Bakr atau Saudah puteri Zam'ah." Saudah
adalah seorang janda, berusia sekitar tigapuluh tahun.
Suaminya, Sakran, adalah salah seorang Sahabat Nabi yang
berhijrah ke Habasyah (Abessinia atau Ethiopia), namun
wafat tidak lama setelah kembali ke Makkah.
Nabi meminta kepada Khaulah untuk mengatur perkawinan
beliau dengan kedua wanita yang disebutnya itu ('A'isyah
dan Saudah). Saudah dengan senang hati menerima lamaran
Nabi, dan memilih iparnya, Hathib, juga seorang Sahabat
Nabi yang baru kembali dari hijrahnya ke Habasyah,
sebagai pihak yang mengawinkannya dengan Nabi.
Sementara itu, Abu Bakr mendekati Muth'im, memintanya
untuk membatalkan rencana perkawinan 'A'isyah dengan
anaknya, Jubair. Muth'im menerima, dan setelah beberapa
bulan 'A'isyah pun dinikahkan oleh ayahnya, Abu Bakr,
kepada Nabi, tanpa kehadiran 'A'isyah sendiri. Dan Nabi
tidak segera hidup berumah tangga dengan 'A'isyah,
kecuali bertahun-tahun setelah pernikahan resmi beliau,
yaitu kelak di Madinah setelah Hijrah. (Para ulama
mengatakan bahwa perkawinan Nabi dengan 'A'isyah,
sebagaimana terlihat dari "ikut-campur"-nya
Jibril, sesungguhnya adalah rencana Ilahi. Karena
'A'isyah masih sangat muda dan dengan begitu, sesuai
dengan takdir-Nya, dia akan hidup lama setelah Nabi
sendiri wafat, maka akan ada "sumber hidup"
untuk mengetahui detail kehidupan privat Nabi yang perlu
diketahui kaum beriman untuk diteladani. Dan yang terjadi
memang demikian: 'A'isyah hidup cukup lama setelah Nabi,
dan memerankan diri sebagai guru kaum beriman, khususnya
berkenaan dengan kehidupan pribadi Nabi untuk dicontoh
orang banyak. Terutama di bidang itu, 'A'isyah adalah
perawi hadits yang kaya dan subur).4
Sementara itu, Nabi meneruskan perjuangan beliau
menyampaikan seruan suci Islam kepada suku-suku sekitar
Makkah dan di Arabia, seperti suku-suku atau klan-klan
Bani Maharab, Farazah, Ghassan, Marrah, Hanifah, Suldim,
Abs, Kindah, Kalb, harits, Azrah, Hadzramah, dan
lain-lain. Namun semua usaha itu berlalu tanpa hasil yang
memadai.
Dalam keadaan serba sulit itu, peristiwa kecil terjadi
menyangkut Abu Bakr. Ia mendirikan sebuah mushalla kecil
di sebelah rumahnya, dimana ia sembahyang dan membaca
al-Qur'an. Mushalla itu tanpa atap, dan dinding yang
mengelilinginya pun tidak terlalu tinggi, sehingga mudah
dilongok orang dari luar. Ini rupanya menggusarkan hati
kaum kafir Makkah, karena orang yang kebetulan lewat
dekat mushalla itu dan melongoknya, sering tertarik oleh
ibadat Abu Bakr, lebih-lebih oleh ayat-ayat suci yang
dibacanya. Tidak sedikit dari mereka yang kemudian
menyatakan diri menerima Islam. Maka kaum kafir Makkah
mengutus Ibn al-Dughunnah, meminta kepada Abu Bakr untuk
membongkar mushallanya itu, atau membuatnya bangunan
tertutup samasekali sehingga tidak menarik perhatian
orang luar. Abu Bakr dengan tegas menolak, dan mengancam
untuk membatalkan perjanjian damai dengan Ibn
al-Dughunnah, sambil menyatakan: "Cukup bagi saya
perlindungan dari Allah!" Persis pada hari itu
pulalah Nabi s.a.w. memberitahu Abu Bakr dan para Sahabat
yang lain: "Aku telah diberitahu tempat hijrah
kalian: aku melihat tanah dengan pengairan yang cukup,
kaya dengan pohon-pohon kurma, terletak di antara dua
alur batu-batu hitam." Dan yang digambarkan Nabi itu
tidak lain ialah Yatsrib atau Madinah, kota oase.5
Perjanjian 'Aqabah I
Yatsrib adalah sebuah kota di sebelah utara Makkah
sekitar empatratus kilometer, sebuah kota oase yang hijau
karena pepohonan kurma. Penduduknya terdiri dari
orang-orang Arab dan Yahudi. Suku-suku Yahudi di sana
ialah: Bani Nazhir, Bani Qainuqa' dan Bani Quraizhah.
Mereka ini mempunyai Kitab Suci, lebih terpelajar
daripada penduduk Yatsrib yang lain, dan menguasai
perdagangan. Sedangkan suku-suku Arabnya ialah Aus dan
Khazraj. Kedua suku Arab ini saling bermusuhan dengan
amat sengit. Pada sekitar saat-saat itu terjadi
peperangan yang dahsyat antara kedua suku itu, yaitu
perang Bu'ats, namun tidak menyelesaikan persoalan
mereka. Bahkan mereka menjadi semakin porak-poranda.
Suatu saat sebelum perang Bu'ats Nabi secara kebetulan
mengetahui tentang adanya seorang tokoh yang datang dari
kota Yatsrib, bernama Suwaib ibn Tsamat, berada di
Makkah. Ia terkenal pemberani, dari keturunan yang
terhormat, dan manusia berbudi sehingga digelari Kamil
(sempurna). Ia juga dikenal sebagai seorang penyair yang
terpandang. Nabi s.a.w. mengundang Suwaib dan menyerunya
untuk menerima Islam. Setelah mendengar beberapa ayat
suci al-Qur'an dibacakan Nabi, ia sangat terkesan. Ia
tidak menjadi Muslim, tapi menyatakan dukungan kepada
Nabi. Ia kembali ke Yatsrib, namun tidak lagi terdengar
beritanya, diperkirakan terbunuh dalam peperangan suku di
sana. Ini terjadi sebelum perang Bu'ats yang terkenal.
Meskipun tidak sempat dengan tegas menyatakan diri masuk
Islam, namun Suwaib yang sempat bertemu Nabi itu
dipandang sebagai pendahulu penting dari peristiwa
berikutnya, yaitu Perjanjian 'Aqabah I.
Tidak lama sebelum perang Bu'ats yang terkenal itu, Nabi
menerima berita tentang datangnya sebuah rombongan dari
Yatsrib, yang ternyata dari suku Aus. Mereka bermaksud
meminta bantuan suku Quraisy di Makkah untuk menghadapi
seteru mereka, suku Khazraj. Nabi mengajak mereka
menerima Islam, yang kemudian disambut oleh seorang
pemuda bernama Iyas ibn Mu'adz dengan pernyataan:
"Demi Tuhan, yang diserukan orang ini (Nabi s.a.w.)
kepada kita adalah lebih baik daripada tujuan kita
sendiri datang ke sini." Tetapi Abu al-haisar,
pemimpin rombongan mereka, sambil melemparkan segenggam
pasir ke arah Iyas, berteriak: "Diam! Kita datang ke
sini bukan untuk ini!"
Kemudian, beberapa lama setelah itu, sesudah Perang
Bu'ats, pada bulan Rajab tahun kesebelas dari Kenabian,
Rasulullah s.a.w. bertemu lagi dengan sebuah rombongan
kecil dari Yatsrib, dari suku Khazraj. Beliau dengan
halus meminta mereka jika sekiranya mereka sudi
mendengarkan apa yang hendak beliau sampaikan. Atas
persetujuan mereka, beliau duduk di antara mereka,
mengajak mereka menerima Islam, dan membacakan beberapa
ayat suci al-Qur'an. Setelah Nabi selesai menbaca
ayat-ayat suci, mereka saling memandang kemudian
menyatakan kesediaan mereka menerima Islam. Kalau tidak,
mereka kuatir, kaum Yahudi akan mendahului dan
mengalahkan mereka. Ada dua belas orang dalam rombongan
itu, yaitu:
(1) As'ad ibn Zurarah, dari klan Bani Najjar
(2) 'Auf ibn al-?arits, juga dari klan Bani Najjar, yang
dari kalangan mereka ayah 'Abd-ul-Muhhalib mengikat
perkawinan
(3) Rafi' ibn Malik, dari klan Bani Zuraiq. Kepadanya
Nabi s.a.w. menghadiahkan sebuah naskah al-Qur'an yang
sejauh itu sudah diwahyukan kepada beliau.
(4) Qutbah ibn 'Amir, dari klan Bani Salmah
(5) 'Uqbah ibn 'Amir, dari klan Bani Haram
(6) Jabir ibn 'Abd-Allah, dari klan Bani 'Ubaid
(7) 'Ubadah ibn al-Shamit
(8) Abu al-Haitsam ibn al-Tayyahan
(9) Dzakwan ibn 'Abdu Qays
(10) Yazid ibn Tsa'labah
(11) Al-'Abbas ibn 'Ubadah
(12) 'Uwaim ibn Sa'idah.
'Ubadah ibn al-Shamit melukiskan jalannya perjanjian
dengan Nabi itu demikian: "Aku termasuk yang hadir
dalam perjanjian 'Aqabah yang pertama. Kita semua ada
duabelas orang. Maka kami berbai'at kepada Rasulullah
s.a.w. menurut bai'at para wanita. Ini terjadi sebelum
kita diwajibkan berperang. (Kita berjanji) untuk tidak
mempersekutukan Allah dengan apapun juga, tidak mencuri,
tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kita, tidak
memfitnah sesama tetangga, tidak mengingkarinya dalam
kebenaran. (Nabi bersabda), "Kalau kamu penuhi ini
semua, maka kamu akan mendapatkan surga; dan kalau ada
kesalahan yang tersembunyi sampai Hari Kiamat, maka
urusannya terserah kepada Allah: jika dikehendaki, Dia
akan menyiksamu, dan jika dikehendaki, Dia akan
mengampunimu."
Setelah mereka kembali ke Yatsrib, Nabi mengutus Mush'ab
ibn 'Umair, seorang Sahabat beliau dari Makkah, untuk
mengajari mereka agama Islam dan memimpin mereka dalam
sembahyang. Sebab baik suku Aus maupun suku Khazraj
saling menolak kepemimpinan mereka.
Saat berpisah dengan Nabi, mereka mengaku bahwa mereka
telah menjadi sangat lemah karena pertentangan
terus-menerus sesama mereka, dan bahwa perselisihan di
antara mereka besar sekali. Karena itu, setiba mereka di
Yatsrib, mereka akan menyampaikan seruan menerima Islam,
dengan harapan bahwa Allah s.w.t. akan menyatukan mereka
melalui Nabi, dan dengan begitu mereka dapat membantu
beliau. Sejak itu, Islam mulai menyebar di kota Yatsrib.
Perjanjian 'Aqabah II
Mush'ab kembali ke Makkah, dan bersamanya adalah
rombongan orang-orang Yatsrib, yang Muslim dan yang
musyrik, datang ke Makkah untuk ikut festival haji yang
berlangsung di sana. Dalam rombongan itu terdapat
al-Bara' ibn Ma'rur, seorang orang tua yang sangat
disegani dan menjadi pemimpin mereka. Ia sudah menerima
Islam, dan merasa tidak tenteram hatinya jika mengerjakan
shalat dengan membelakangi Ka'bah (karena harus menghadap
ke Bait al-Maqdis di Yerusalem). Maka ia, menyalahi
Sunnah Nabi saat itu, mengerjakan shalat menghadap ke
Makkah dan membelakangi Yerusalem. Karena merasa
ditentang oleh anggota rombongan yang telah Muslim, maka
sesampai di Makkah ia ingin bertemu sendiri dengan Nabi,
memohon pendapat beliau mengenai tindakannya itu. Setelah
bertemu, Nabi besabda, "Engkau akan mendapatkan
qiblat itu jika engkau bersabar hati."5
Setelah selesai mengerjakan upacara haji, rombongan dari
Yatsrib itu dengan penuh rahasia berkumpul di 'Aqabah,
hendak mengadakan perjanjian dengan Nabi s.a.w. Mereka
berjumlah tujuh puluh tiga pria, dan dua orang wanita,
yaitu Nusaibah bint Ka'b dan Asma' bint 'Amr ibn 'Addiy.
Setelah beberapa saat menunggu, mereka melihat Nabi
s.a.w. datang disertai paman beliau, al-'Abbas ibn
'Abd-al-Muththalib, yang saat itu masih kafir, namun
sangat mencintai Nabi dan dengan penuh kesungguhan
berusaha melindungi kemenakannya itu. Setelah Nabi duduk,
al-'Abbas adalah yang pertama membuka pembicaraan:
"Wahai kaum Khazraj, Muhammad ini adalah anggota
golongan kami, sebagaimana kamu telah maklum. Kami telah
melindunginya dari (serangan) kaum kami sendiri
(Quraisy), dari kalangan mereka yang mempunyai pandangan
sama dengan kami mengenai dia. Ia berada dalam kemuliaan
diantara kaumnya sendiri, dan terlindung dalam
kalangannya sendiri. Namun ia berketetapan hati untuk
bergabung dengan kamu dan berserikat dengan kamu. Kalau
kamu yakin bahwa kamu dapat setia kepada apa yang kamu
janjikan kepadanya dan mampu melindunginya dari
musuh-musuhnya, maka kamu berhak mengambil beban tanggung
jawab itu. Tetapi jika sekiranya kamu hendak
menyerahkannya kepada musuh dan menghinakannya setelah ia
bergabung dengan kamu, maka tinggalkan dia sekarang juga!
Sebab ia dalam kemuliaan dan keamanan di kalangan kaum
dan negerinya sendiri."
Mereka dari rombongan Yatsrib itu menyahut: "Sudah
kami dengar semua pernyataanmu. Maka sekarang
berbicaralah, wahai Rasulullah, dan tetapkan untuk dirimu
dan untuk Tuhanmu apa yang kau suka!"
Maka Rasulullah pun berbicara, kemudian membaca ayat-ayat
al-Qur'an, berdo'a kepada Allah dan mengajak kepada
Islam. Kemudian beliau bersabda: "Aku membuat janji
setia kepadamu semua, bahwa kamu akan melindungi aku
seperti kamu melindungi isteri-isteri dan anak-anakmu
sendiri!"
Kemudian al-Bara' ibn Ma'rur mengambil tangan Nabi dan
berkata: "Ya! Dan demi Dia yang telah mengutusmu
dengan kebenaran sebagai Nabi, kami pasti akan
melindungimu seperti kami melindungi keluarga dan harta
kami sendiri. Maka ambillah janji setia dari kami, wahai
Rasulullah! Kami, demi Allah, adalah kaum ahli perang dan
pemilik senjata yang kami warisi turun temurun."
Abu al-Haitsam memotong pembicaraan al-Bara', dan
berkata: "Antara kami dan kelompok lain (yakni, kaum
Yahudi di Yatsrib) terdapat perjanjian, dan jika kami
putuskan barangkali jika itu terjadi lalu Allah
menganugerahkan kemenangan kepada engkau, maka engkau
akan meninggalkan kami?" Terhadap pernyataan itu
Nabi hanya tersenyum, kemudian menjawab: "Tidak!
Darah adalah darah, dan darah harus dibalas dengan darah!
Aku temasuk golonganmu dan kamu termasuk golonganku! Aku
akan perangi golongan yang kamu perangi, dan aku akan
berdamai dengan golongan yang kamu berdamai dengan
mereka!"
Setelah selesai dengan perjanjian itu, Nabi meminta dua
belas orang dari mereka sebagai pemimpin. Maka dipilihlah
sembilan orang dari suku Khazraj dan tiga orang dari suku
Aus, yaitu:
(1) As'ad ibn Zurarah dari klan Banu Najjar, cabang klan
Khazraj, yang juga pemimpin rombongan yang pertama
dahulu. Dialah yang memulai sembahyang Jum'at di Yatsrib.
Ia termasuk Sahabat Nabi yang paling utama. Ia wafat
tidak lama setelah Nabi sampai di Yatsrib, sebelum perang
Badar.
(2) Usayd ibn hudlair, dari klan Bani 'Abd-al-Asyhal,
cabang suku Aus. Ia termasuk Sahabat Nabi yang utama.
Ayahnya adalah seorang komandan suku Aus dalam peperangan
Bu'ats. Ia sangat ikhlas lagi cerdas. Ia meninggal di
zaman Khalifah 'Umar.
(3) Rifa'ah ibn 'Abd-al-Mundzir, dari suku Aus.
(4) Sa'd ibn 'Ubadah dari klan Bani Sa'idah, cabang suku
Khazraj. Ia adalah kepala suku Khazraj dan tergolong di
antara golongan Anshar yang paling utama. Pada saat Nabi
s.a.w. wafat, sebagian kaum Anshar mencalonkan dia
sebagai khalifah atau pengganti Nabi. Ia sendiri wafat di
saman kekhalifahan 'Umar.
(5) Al-Bara' ibn Ma'rur dari klan Bani Salmah, cabang
suku Khazraj. Ia sudah lanjut usia, dan sangat dihormati.
Ia wafat sebelum Nabi s.a.w. tiba di Yatsrib dalam
Hijrah.
(6) 'Abd-Allah ibn Rawa?ah, dari klan Bani ?arits, cabang
suku Khazraj. Ia seorang penyair terkenal, dan seorang
beriman yang sangat berbakti. Ia wafat pada peperangan
Mu'tah, sebagai komandan tentera kaum beriman.
(7) 'Ubadah ibn al-Shamit, dari klan Bani 'Auf, cabang
suku Khazraj. Ia tergolong Sahabat Nabi yang terpelajar.
Ia wafat di zaman kekhalifahan 'Utsman ibn 'Affan.
(8) Sa'd ibn Rabi', dari klan Bani Tsa'labah, cabang suku
Khazraj. Ia seorang yang sangat tulus dan Sahabat Nabi
yang terkemuka. Ia menemui kesyahidannya dalam perang
Uhud.
(9) Rafi' ibn Malik dari klan Bani Zuraiq, cabang suku
Khazraj. Ketika ia menerima Islam, ia diberi hadiah Nabi
sebuah naskah al-Qur'an yang sudah diwahyukan. Ia menjadi
syahid dalam perang Uhud.
(10) 'Abd-Allah ibn 'Amr, dari klan Bani Salamah, cabang
suku Khazraj. Ia gugur dalam perang Uhud. Nabi s.a.w.
menghibur puteranya, Jabir ibn 'Abd-Allah, dan beliau
katakan kepadanya bahwa Allah telah berbicara kepada
ayahandanya dan bersabda, "Wahai hambaku, Aku ridla
kepada engkau. Mintalah kepada-Ku apa saja, dan engkau
akan dikabulkan." Ia menjawab, "Tuhan,
keinginanku hanyalah kalau saja aku dapat hidup kembali
sehingga aku dapat menyerahkan hidupku sekali lagi untuk
Islam." Allah bersabda, "Kalau seandainya tidak
pernah Aku tetapkan bahwa tidak ada orang yang mati akan
hidup kembali, tentu Aku kabulkan permohonanmu itu."
(11) Sa'd ibn Khaitsamah, dari klan Bani Haritsah, cabang
suku Aus. Seorang muda yang kelak gugur sebagai syahid
dalam perang Badar. Ketika ia hendak berangkat ke
peperangan itu, ayahnya mencoba membujuknya untuk tinggal
di rumah, dan membiarkan ia (ayahnya) sendiri pergi
perang. Tetapi ia berketetapan hati untuk pergi, lalu
ayah dan anak itu setuju berundi, dan sang anak
memenangkan undian itu. Ia pun pergi perang menyertai
Nabi, dan menemui syahadah.
(12) Al-Mundzir ibn 'Amr dari klan Bani Sa'idah, cabang
suku Khazraj. Seorang Sahabat Nabi yang tampil dengan
kecenderungan kesufian. Ia gugur sebagai syahid dalam
peristiwa Bi'r Ma'unah.
Demikianlah beberapa rentetan peristiwa yang terjadi
tidak lama sebelum Hijrah. Kesemuanya itu menyiapkan Nabi
dan kaum Muslim, secara psikologis dan sosiologis,
pelaksanaan Hijrah yang amat bersejarah.
Pelaksanaan Hijrah
Setelah matang dengan berbagai persiapan itu, Hijrah pun
dilaksanakan. Tetapi sebelum Nabi sendiri
melaksanakannya, beliau mendorong semua kaum Muslim
Makkah untuk berhijrah. Dan yang tinggal di Makkah
hanyalah beliau sendiri beserta 'Ali ibn Abi Thalib dan
Abu Bakr. Dari berbagai riwayat, diketahui bahwa
"Hari H" Hijrah Nabi datang dari Allah, dan
Nabi menunggu petunjuk Ilahi itu. Ini antara lain
terbukti dari jawaban Nabi kepada Abu Bakr, yang dari
waktu ke waktu memohon kepada Nabi untuk diizinkan
berhijrah ke Yatsrib: "Janganlah tergesa-gesa;
mungkin Allah akan memberimu seorang kawan." Abu
Bakr pun bersabar, dan berharap bahwa kawannya dalam
berhijrah tidak lain ialah Nabi sendiri.
Karena berita tentang rencana berhijrahnya kaum Muslim,
khususnya Nabi sendiri, telah menyebar di kalangan kaum
kafir Makkah (suatu hal yang tak mungkin dihindari), maka
wajar sekali bahwa mereka mengatur siasat bagaimana hal
itu jangan sampai terjadi. Sebab jika Nabi sendiri lolos
dari Makkah dan bergabung dengan para pendukungnya yang
tumbuh semakin banyak, mereka tahu pasti bahwa akibatnya
akan fatal bagi kepentingan kaum Quraisy. Makar-makar
mereka atur, namun, singkatnya cerita, semuanya menemui
kegagalan.
Keberhasilan Nabi dalam melaksanakan Hijrah, selain
karena perlindungan Allah secara mu'jizat, adalah berkat
kecermatan Nabi mengatur siasat. Tentu pertama-tama Nabi
telah menunjukkan jiwa kepemimpinan yang luar biasa,
dengan terlebih dahulu menyelamatkan Abu Bakr, adalah
yang terakhir melakukan Hijrah, dengan perhitungan yang
sangat cermat.
Karena mengetahui bahwa diri beliau adalah sasaran utama
makar kaum Quraisy, Nabi meminta 'Ali mengenakan jubah
beliau dan tidur di atas dipan beliau. Suatu tugas yang
amat berbahaya, namun 'Ali menerimanya dengan tulus dan
gagah berani. Ini ternyata merupakan siasat yang sangat
tepat, karena mampu mengelabui para pelaku makar
seolah-olah Nabi memang masih ada di rumah, sementara
dalam kesempatan yang tepat beliau telah keluar. Dan
mereka para pelaku makar sangat terlambat mengetahuinya.
Dalam perjalanan menuju Yatsrib, Nabi dan Abu Bakr
menempuh rute yang tidak lazim, yaitu menuju selatan,
padahal Yatsrib ada di sebelah utara. Inipun adalah
siasat Nabi yang tepat. Beliau memperhitungkan bahwa para
pelaku makar tentu akan mencoba mengejar beliau ke arah
utara, yaitu arah yang wajar ke Yatsrib. Maka dengan
menempuh jalan ke selatan, Nabi berhasil menunda
kemungknan untuk dapat diketemukan, dan kesempatan itu
digunakan Nabi untuk mengumpulkan perbekalan melalui
orang kepercayaan beliau.
Perjalanan selanjutnya menuju Yatsrib diteruskan oleh
Nabi bersama Abu Bakr dengan menempuh jalan yang juga
tidak lazim, yaitu di sebelah barat, sepanjang pantai
Laut Merah. Ini pun mempunyai arti kesiasatan yang
penting. Tetapi karena perjalanan menjadi lebih panjang
dan lama, Nabi terlambat sampai di Yatsrib dari dugaan
semula orang banyak, sehingga menerbitkan kekuatiran.
Orang banyak telah menunggu-nunggu kedatangan Nabi
beberapa hari. Di hari terakhir, ketika mereka telah
pulang ke rumah Abu Bakr itu. Ia berteriak: "Wahai
anak-cucu Qailah (maksudnya, orang Arab Yatsrib), ini
pemimpinmu telah datang!" Maka orang pun berdatangan
menyambut Nabi dan Abu Bakr, namun kebanyakan mereka
tidak mengenali beliau sampai saatnya Abu Bakr
merentangkan sorbannya untuk mamyungi Nabi, sehingga
mereka pun tahun siapa yang Nabi dan siapa yang Abu
Bakr.6 (Sementara itu, 'Ali sendiri tinggal di Makkah
selama tiga hari sesudah kepergian Nabi, untuk
melaksanakan pesan Nabi agar mengembalikan semua kekayaan
orang Makkah yang dititipkan kepada beliau, karena beliau
tetap terkenal sebagai orang terpercaya, dengan gelar
al-Amin. Setelah selesai dengan tugasnya itu, barulah
'Ali menyusul ke Yatsrib).
Sesampai di Yatsrib, segeralah Nabi s.a.w. bertindak
meletakkan dasar-dasar masyarakat yang hendak dibangun
mengikuti ajaran Islam. Semangat dan corak masyarakat itu
tercermin dalam keputusan Nabi untuk mengganti nama
Yatsrib menjadi al-Madinah, yaitu "kota par
excellence", tempat Madaniyah atau tamaddun,
peradaban. Jadi Nabi di tempat barunya itu hendak
membangun sebuah masyarakat berperadaban (civic society),
sebuah polis yang kelak menjadi contoh atau model bagi
masyarakat-masyarakat politik yang dibangun umat Islam.
Dalam bahasa Arab, di Madinah itu Nabi menegakkan
tsaqafah dan hadlarah, yang berarti pola kehidupan
menetap yang berbudaya dan berperadaban (sebagai lawan
badawah, pola kehidupan nomad yang kasar). Inilah rahmat
yang dibawa beliau untuk seluruh umat manusia, melalui
pelaksanaan tugas beliau menyampaikan risalah suci dari
Allah s.w.t.
Penutup
Sekalipun Hijrah itu sendiri merupakan peristiwa yang
mengandung unsur metafisis (karena "intervensi"
Tuhan), namun secara sosiologis masih dapat diterangkan
sebagai peristiwa yang berlangsung dalam kerangka
Sunnatullah. Mungkin tidak persis sama, namun barangkali
sebanding, dengan perjalanan Dzu al-Qarnain dalam
al-Qur'an yang terus menerus mengalami sukses karena
Allah menyediakan baginya sabab, dan Dzu al-Qarnain
mengikuti dengan baik sabab itu.6 Demikian pula Nabi
s.a.w. telah dianugerahi sabab yang beliau ikuti dengan
setia dan cermat, penuh perhitungan. Dalam pengertian
ini, Hijrah itu berlangsung tetap dalam jalur Sunnatullah
yang tidak berubah-ubah, sehingga dapat dikaji secara
ilmiah, dan pelajaran dapat ditarik daripadanya. Tetapi
karena peristiwa itu menyangkut seorang Utusan Tuhan dan
berkaitan dengan sebuah tugas suci, maka sangat wajar
bahwa ia mengandung unsur-unsur Ilahi sebagai mu'jizat
yang tidak dapat ditiru.
Peristiwa Hijrah Nabi itu menyangkut kegiatan fisik,
yaitu kepindahan dari Makkah ke Yatsrib (Madinah). Tetapi
di balik fenomena fisik itu, seperti nampak dari
penuturan singkat di atas, terkandung fenomena yang tidak
fisik, melainkan spiritual dan kejiwaan, yaitu tekad yang
tidak mengenal kalah dalam perjuangan menegakkan
kebenaran. Maka dalam semangatnya yang spiritual ini,
berhijrah ialah bertekad meninggalkan kepalsuan, pindah
sepenuhnya kepada kebenaran, dengan kesediaan untuk
berkorban dan menderita, karena keyakinan kemenangan
terakhir akan dianugerahkan Allah kepada pejuang
kebenaran itu. Tetapi, sebagaimana diteladankan oleh Nabi
sendiri, semua itu harus dilakukan dengan perhitungan,
dengan membuat siasat, taktik dan strategi. Dengan begitu
jaminan akan berhasil menjadi lebih besar, karena adanya
gabungan serasi antara dorongan iman yang bersemangat dan
bimbingan ilmu-pengetahuan yang tepat, sesuai dengan
firman Allah: "...Allah akan mengangkat mereka yang
beriman di antara kamu dan yang dianugerahi
ilmu-pengetahun ke berbagai tingkat yang lebih
tinggi."8
Catatan:
1. 'Abd-al-Salam Harun, Tahdzib Sirat Ibn Hisyam
(ringkasan kitab biografi Nabi oleh Ibn Hisyam), (Beirut:
Dar al-Buhuts al-'Ilmiyah, 1399 H / 1979 M), h. 95.
2. Ibid., h. 98.
3. Martin Lings, Muhammad, His Life based on the Earliest
Sources (New York: Inner Traditions International, 1983),
h. 100. Lihat juga, Muhammad Zafrullah Khan, Muhammad,
Seal of the Prophets (London: Routledge and Kegan Paul,
1980), h. 58.
4. Khan, hh. 61-62.
5. Harun, hh. 103-104.
6. Harun, h. 119.
7. Al-Qur'an, s. al-Kahf/18:84.
8. Al-Qur'an, s. al-Mujadalah/58:11.
|