KULTUS: PERMASALAHAN DAN
PENANGGULANGANNYA BERDASARKAN IMAN
Oleh : Nurcholish Madjid
Event Artikel : KKA-77 (Agustus 1993)
Diupdated
pada: Kamis 29 Maret 2001
Mukadimah
Kita mulai pembahasan ini dengan ucapan syukur kepada
Allah bahwa agaknya negeri dan masyarakat kita relatif
masih bebas dari gejala gerakan kultus. Setidak-tidaknya
jika kita bandingkan dengan banyak negara lain,
lebih-lebih dengan negara-negara Amerika Utara dan Eropa
Barat. Beberapa negara Asia pun banyak yang menunjukkan
gejala adanya gerakan kultus yang cukup mengkhawatirkan,
seperti India, misalnya.
Tapi tidak lama yang lalu masyarakat kita dikejutkan oleh
peristiwa Haur Koneng yang memakan korban beberapa orang
tewas, sipil dan militer. Koran-koran banyak menyebutkan
kelompok Haur Koneng di Majalengka itu sebagai
"aliran sesat", sekalipun ada pula yang
membantahnya dan memandang peristiwa tersebut sebagai
tidak lebih daripada kriminalitas biasa. (Lihat, antara
lain dari koran Republika tanggal 30 dan 31 Juli, 1 dan 5
Agustus 1993, Pelita tanggal 30 dan 31 Juli, 2 dan 5
Agustus 1993, dan Kompas tanggal 30 dan 31 Juli, 1, 2 dan
5 Agustus 1993).
Sementara Haur Koneng diperselisihkan apakah merupakan
"aliran sesat" atau bukan, peristiwa Waco di
Texas diketahui dengan pasti besangkutan dengan sebuah
kultus yang menamakan dirinya "Ranting Daud"
(Branch Davidian). Dan sementara Haur Koneng melibatkan
kalangan masyarakat bawah yang miskin, Ranting Daud
mencatat di antara para anggotanya orang-orang yang
sangat mampu, dari banyak negeri, di luar Amerika Serikat
sendiri.
Mungkin sekali penilaian bahwa peristiwa Haur Koneng
hanya sebuah kriminalitas biasa adalah benar adanya. Dan
mungkin sekali benar pula bahwa peristiwa di Majalengka
itu lebih banyak disebabkan oleh kesenjangan
sosial-ekonomi (untuk tidak menyebutknya ketidak-adilan
sosial) yang menyebabkan orang-orang yang tidak mampu itu
putus asa dan "lari" ke suatu paham tertentu
sebagai cara menyatakan diri dan nasib mereka. Karena itu
penyelesaian persoalannya secara asasi mungkin terletak
dalam penyelesaian persoalan kesenjangan sosial itu
sendiri. Namun tidak demikian halnya dengan peristiwa
Waco. Masalah kesenjangan sosial tidak relevan bagi
mereka (karena banyak dari mereka yang terlibat itu
adalah orang-orang yang mampu), dan akar persoalannya
harus dicari pada faktor-faktor lain. Dan faktor-faktor
itu ialah hal-hal yang berakar dalam berbagai kenyataan
tentang kultus (Inggris: cult).
Pengertian Kultus
Jika Haur Koneng tidak dapat dinamakan sebuah kultus dan
hanya merupakan peristiwa kriminal biasa, dan jika di
negeri kita memang belum atau tidak ada gejala yang dapat
dinamakan kultus, kita semua patut bersyukur. Sebab
kultus adalah gejala yang amat merugikan masyarakat, dan
tidak jarang malah membahayakan. Dorongan untuk
membicarakan masalah ini adalah perlunya membuat
antisipasi, mengingat negeri kita samasekali tidak kebal
dari pengaruh keadaan di dunia pada umumnya, termasuk
pengaruh kultus. Bahkan kita dapat mengingat kembali
peristiwa-peristiwa The Children of God dan Jehovah
Witnesses, dua contoh kultus dari Amerika, yang
kehadirannya di tengah masyarakat kita dahulu dirasakan
sangat mengganggu, yang kemudian dilarang.
Masalah kultus ini sekarang telah menjadi sasaran kajian
ilmiah yang melibatkan berbagai disiplin, khususnya
antropologi, sosiologi agama, theologi, psikologi, dan
lain-lain. Kajian-kajian itu telah menghasilkan banyak
bahan bacaan, termasuk yang berupa buku-buku, antara lain
Cults that Kill, Probing the Underworld of Occult Crime
oleh Larry Kahaner (New York, Warner Books, 1989), Cults,
Converts and Charisma oleh Thomas Robbins (London, Sage
Publications, 1988), Fanaticism, a Historical and
Psychoanalytical Study, oleh Andr Haynal dan
lain-lain (New York, Schocken Books, 1980), Cults in
America oleh Willa Appel (New York: Holt, Rinehart and
Winston, 1983), The Guru Papers, Masks of Authoritarian
Power oleh Joel Kramer dan Diana Alstad (Berkeley: North
Atlantic Books, 1993), dan Massacre at Waco, Texas, The
Shocking True story od Cult Leader David Koresh and the
Branch Davidians oleh Clifford L. Linedecker (New York:
St Martin's Press, 1993). Kesemua buku itu dalam
kajiannya tentang kultus mengarah kepada pencirian umum
gejala penyimpangan keagamaan itu sekitar hal-hal
berikut:
1. Kultus sebagai bentuk pemujaan selalu berpusat kepada
otoritas pribadi sang pemimpin. Ia mencekam para
pengikutnya sehingga tumbuh mind set kepatuhan,
ketundukan dan ketergantungan kepadanya yang sangat kuat.
2. Karena itu kultus selalu membentuk sebuah komunitas
"orang yang percaya" dengan pola organisasi
yang ketat, yang sedikit sekali memberi kemungkinan
anggotanya untuk keluar.
3. Gabungan antara otoritarianisme sang pemimpin dengan
pola keorganisasian yang ketat itu menghasilkan sebuah
gerakan penuh rahasia (cabbalistic), yang menganut
pandangan perlunya menjaga "kesucian" kelompok
dengan menghindar dari kontak dengan pihak lain,
khususnya kontak yang bersangkutan dengan masalah ajaran.
Kontak dengan pihak lain dipandang sebagai sumber
"polusi" kepada kemurnian ajaran mereka.
4. Maka tidak heran bahwa banyak kultus yang kemudian
mengembangkan pandangan-pandangan dan sikap-sikap anti
sosial, sejak dari penolakan membayar pajak (seperti
kasus-kasus Moonisme dan kelompok Bhagwan Shri Rajneesh)
sampai kepada penggunaan kekerasan semisal pembunuhan
(seperti kasus Satanisme dan New Nation).
5. Karena faktor-faktor tersebut itu semua, maka
kejahatan oleh kultus sulit sekali dilacak dan diatasi.
Beberapa anggota polisi di Amerika yang terlibat langsung
dalam usaha mengatasi masalah ini menggambarkan masalah
kejahatan kultus sebagai berikut:
Occult crime may be the most difficult area of police
work today. You won't find simple cases with obvious
suspects. You find bits and pieces, evidence that goes
nowhere, testimony that is always suspect and crimes so
bizarre and disgusting that even most police officers
don't want to believe it exists. (Sandi Gallant,
Kepolisian San Francisco, California, Amerika Serikat,
sebagaimana dikutip oleh Larry Kahaner dalam Cults that
Kill, Probing the Underworld of Occult Crime [New York,
Warner Books, 1989], h. xiii).
(Kejahatan okultisme mungkin merupakan bidang yang paling
sulit dalam tugas kepolisian hari ini. anda tidak
mendapatkan kasus sederhana dengan tersangka yang jelas.
Anda akan dapati sedikit demi sedikit, bukti yang menemui
jalan buntu, kesaksian yang selalu mencurigakan dan
kejahatan demikian liar dan menjijikkannya sehingga
bahkan kebanyakan opsir polisipun tidak mau mempercaya
bahwa hal semacam itu ada).
Where all these occult religions go bad is when people
aren't satisfied to live within the environment they have
created. It's not enough to have power over themselves.
They want to control the heavens and each other. As the
need for more power grows, occult crime increases. It
attracts people who aren't satisfied; they want more
power. The more powerful you are, the more people you
have power over, and the more powerful you become in
turn. (Cleo Wolson, Kepolisian Denver, Colorado, Amerika
Serikat, Ibid.).
(Semua agama okultisme ini berkembang menjadi buruk
ketika orang tidak lagi puas untuk hidup dalam lingkungan
yang mereka ciptakan sendiri. Tidak cukup hanya mempunyai
kekuasaan terhadap diri mereka sendiri. Mereka ingin
mengontrol langit dan juga sesamanya. Jika kebutuhan
kepada kekuasaan yang lebih banyak itu tumbuh, maka
bertambah pula kejahatan okultisme. Ia menarik
orang-orang yang tidak puas; mereka menginginkan
kekuasaan yang lebih banyak. Semakin Anda berkuasa,
semakin banyak banyak orang yang dapat Anda kuasai, dan
pada urutannya Anda pun semakin berkuasa).
6. Banyak dari kultus-kultus yang mengajarkan pandangan
dunia yang bersemangat apokaliptik (dunia akan segera
binasa atau kiamat), kadang-kadang dengan ramalan yang
pasti tentang kapan hal itu bakal terjadi (seperti pada
kasus ajaran Jame Jones dari kultus People's Temple).
Karena itu banyak ajaran kultus yang juga mengandung
"alarmisme", yaitu peringatan terhadap bahaya
zaman yang bobrok, dan janji keselamtan yang pasti kepada
siapa saja yang mau bergabung dengan kelompok mereka.
7. Pandangan apokaliptik dan alarmisme biasanya
bergandengan dengan messianisme atau mileniarisme, yaitu
pandangan hidup yang disemangati oleh penantian yang
penuh percaya akan datangnya juru selamat dari langit
(gaib, meskipun tampil dalam bentuk manusia). (Misalnya,
gerakan mBah Suro di perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur
pada saat-saat berakhirnya Orde Lama memiliki ciri kultus
yang sangat kuat, dengan semangat messianisme dan
mileniarisme rakyat di kalangan orang Jawa yang sudah
terkenal, yaitu paham dan harapan akan tampilnya
"Ratu Adil").
Bergitulah secara garis besar ciri-ciri kultus. Dari situ
tampak jelas bahwa inti dari kultus, sebagaimana
perkataan "kultus" itu sendiri sudah
menunjukkan, ialah otoritarianisme seorang tokoh
pemimpin, ketaatan dan ketergantungan para pengikut
kepadanya, dan, akibatnya, perampasan kemerdekaan dan
kebebasan pribadi.
Iman sebagai Penangkal Kultus
Secara singkatnya, untuk menanggulangi kemungkinan bahaya
kultus itu tidak lain kita harus menempun hidup beriman
secara benar. Beberapa ajaran pokok agama kita dapat
dengan ringkas kita jadikan pangkal tolak di sini:
Syahadat pertama, (Tiada Tuhan selain Allah), sebagai
kemestian utama dan pertama seseorang menerima Islam.
Rumus syahadat itu terdiri dari nafy (peniadaan) dan
itsbat (pengukuhan), yaitu peniadaan suatu tuhan atau
sesembahan apapun, secara mutlak, dan pengukuhan adanya
satu sesembahan Tuhan saja, yaitu Allah, Tuhan yang
sebenarnya, Yang Maha Esa. Mengapa rumus syahadat itu
dimulai dengan rangkaian kata negatif atau peniadaan,
adalah karena manusia, secara alaminya, memiliki
kecenderungan dan hasrat untuk memuja, menyembah dan
tunduk kepada sesuatu. Sebab dengan sikap memuja,
menyembah dan tunduk itu ia meraih rasa ketenteraman dan
kepastian (betapapun kelak ternyata palsu), karena dengan
begitu ia dapat menggantungkan diri dan pasrah kepada
sasaran pemujaannya itu. Dari segi psikologi, ini adalah
peringanan beban hidup yang besar sekali. Tetapi
persoalannya ialah bahwa setiap sikap pemujaan,
penyembahan dan penundukan diri dengan sendirinya
mengandung arti penyerahan kebebasan, sebagian atau
seluruhnya, dari yang bersangkutan. Dan ini, seperti
dibuktikan dalam banyak kasus kultus di luar negeri,
dapat berakhir dengan hilangnya kebebasan itu samasekali,
dengan akibat peniadaan harkat dan martabat pribadi,
serta penindasan. Karena itu manusia harus menempuh
proses pembebasan diri dari kungkungan sasaran pemujaan,
penyembahan dan ketundukan itu, dengan mengucapkan
kalimat nafy atau peniadaan pada bagian pertama kalimat
syahadat.
Tetapi akan merupakan kemustahilan samasekali jika orang
berhenti pada kalimat peniadaan itu. Sebab hidup tanpa
percaya kepada sesuatu adalah mustahil. Manusia tidak
mungkin hidup bagaikan biduk yang lepas di tengah
samudra, atau layang-layang yang tanpa tambatan di tengah
badai. Manusia perlu kepercayaan, dan perlu meyakini
sesuatu yang dapat dijadikan tambatan hidupnya, dan yang
dapat merupakan "ground zero" dari mana segala
sesuatu memancar dan berasal. Sasaran pemujaan seperti
itu haruslah suatu Wujud yang benar-benar tidak
terjangkau, sehingga tidak merupakan sekedar mitos
belaka. Sebab pemujaan kepada suatu wujud yang sekedar
berupa mitos (karena ditarik dari sesama manusia atau pun
alam sekitar) suatu masa, lambat atau cepat, tentu akan
runtuh dan akan menjadi tidak absah lagi sebagai sasaran
pemujaan, penyembahan dan ketundukan diri. Dan sasaan
pemujaan itu tidak boleh membelenggu, melainkan justru
harus membebaskan. Sasaran pemujaan itu tidak semata-mata
menguasai manusia, tapi lebih-lebih lagi juga
mencintainya. Itulah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang
sekaligus serba Maha Tinggi sehingga tidak mungkin
terjangkau manusia dan yang serba Maha Hadir sehingga
selalu dekat kepada manusia.
Pandangan dasar itu dapat dipahami lebih gamblang lagi
dari berbagai firman Allah dalam Kitab Suci al-Qur'an,
antara lain adalah berikut ini:
Dan mereka yang menjauhi thaghut dari menyembahnya, serta
kembali kepada Allah, bagi mereka adalah kabar gembira
(kebahagiaan). Maka berilah kabar gembira (hai Muhammad)
kepada hamba-hamba-Ku! Yaitu mereka yang mau mendengarkan
perkataan (pendapat), lalu mengikuti yang terbaik
daripadanya. Mereka itulah orang-orang yang diberi
petunjuk oleh Allah, dan mereka itulah orang-orang yang
berpikiran mendalam. (Al-Qur'an, s. al-Zumar/39:17-18).
Jika kita renungkan lebih mendalam, firman Allah itu
menjelaskan bahwa kabar gembira akan didapatkan oleh
seseorang yang:
Pertama, mampu menghindar dan membebaskan diri dari
kemungkinan menyembah, memuja atau berserah diri kepada
thaghut. Para 'ulama' ada yang mengartikan atau
menerjemahkan perkataan thaghut sebagai
"berhala" (Lihat A. Hassan, Al-Furqan). Dan
pengertian "berhala" ialah setiap sasaran
sesembahan, pujaan dan ketundukan selain Allah, Tuhan
Yang Maha Esa. Jadi termasuk berhala ialah sesama manusia
sendiri, seperti hakikatnya dicerminkan dalam diri para
pemimpin kultus di Amerika semacam David Koresh, James
Jones, Sung Hung Moon, dan lain-lain. Dalam al-Qur'an,
tokoh yang sering dituturkan sebagai epitom thaghut ialah
Fir'aun dari Mesir kuna. Perintah Allah kepada Nabi Musa
untuk menyampaikan seruan Tuhan kepada Fir'aun disertai
keterangan bahwa Fir'aun adalah seorang yang thagha
(berperangai dan bertindak sebagai thaghut), yaitu
menciptakan susunan kemasyarakatan yang tiranik. Manusia
harus menjauhi dan membebaskan diri dari setiap tiran
atau thaghut sebagai pangkal tolak pertama menuju
kebahagiaan. Inilah salah satu makna terpenting kalimat
nafy dalam syahadat pertama, yang intinya ialah
pembebasan diri dari setiap bentuk kepercayaan yang
membelenggu. Ibn Taymiyah mengatakan bahwa syahadat
pertama itu adalah "pembebasan diri dari semua
kepercayaan yang palsu" (bara'ah min al-mu'taqadat
al-fasidah).
Kedua, untuk memperoleh kebahagiaan itu orang harus
kembali kepada Allah, yaitu mempunyai sistem keimanan
yang benar kepada Wujud Yang Maha Benar, Tuhan Yang Maha
Esa (Ahad), tempat menambatkan harapan (al-Shamad), yang
tidak mitologis (seperti mempunyai anak atau
diperanakkan), dan yang tidak terjangkau oleh akal
manusia karena tidak semisal dengan apapun, yaitu
sifat-sifat Tuhan sebagaimana diringkaskan dan dipadatkan
dalam al-Qur'an, surat al-Ikhlash). Dalam cakupan ini
seluruh pembahasan tentang iman dan tauhid adalah
relevan, yang sudah sering kita lakukan.
Ketiga, merupakan rangkaian dengan dua hal di atas ialah
sikap terbuka kepada ide-ide, pikiran-pikiran dan
ajakan-ajakan antara sesama manusia dengan kritis dan
penuh pertimbangan, kemudian bersedia mengikuti mana dari
semuanya itu yang terbaik. Para 'ulama' semuanya sangat
menyadari masalah ini, sehingga A. Hassan, misalnya,
menegaskannya dengan memberi tafsir atau catatan:
"Yaitu orang-orang yang suka mendengarkan ajakan,
lalu menimbang, lantas mengambil ma'na yang terbaik,
bukan menolak dengan buta tuli"--tapi juga bukan
mengikuti dengan buta-tuli, NM--(A. Hassan, al-Furqan, h.
905 [catatan No. 3406]). Sikap kritis sehingga merasa
perlu menimbang-nimbang sehingga dapat diketahui mana
yang terbaik itu adalah akibat langsung dari pandangan
dasar bahwa tidak mungkin manusia itu pasti benar belaka,
sebagaimana juga tidak mungkin manusia itu salah atau
keliru belaka. Dengan perkataan lain, di sini ditekankan
paham kenisbian manusia: bisa benar dan bisa salah,
sehingga harus selalu ada pendekatan kritis. Dan patut
sekali diperhatikan bagaimana firman Allah itu
menjelaskan bahwa menjauhi tirani, kembali kepada Allah
dan sikap terbuka kepada ide-ide sesama manusia adalah
pertanda adanya hidayah dari Allah, juga pertanda bahwa
orang bersangkutan adalah tergolong mereka yang
berpikiran mendalam (ul al-albab).
Penutup
Makalah pendek tentang persoalan kultus ini dapat kita
akhiri dengan menegaskan bahwa sesungguhnya ajaran Islam
secara built-in pasti memagari dan melindungi seorang
Muslim dari bahaya kultus serta bahaya kepercayaan palsu
apapun, asalkan ia mampu menangkap makna dasar yang
dinamis dari sistem keimanannya. Yang sangat pas dengan
masalah ini ialah sebuah firman Allah, tidak begitu
berbeda dalam pengkalimatannya dari yang terdahulu, namun
ringkas dan padat:
"Maka barangsiapa menolak thaghut dan beriman kepada
Allah maka ia sungguh telah berpegang kepada tali yang
kukuh, yang tidak akan lepas." (Al-Qur'an, s.
al-Baqarah/2:256).
Wa 'llah-u a'lam-u bi al-shawab
|