KEMATIAN SEBAGAI TERMINAL DALAM
PENGALAMAN EKSISTENSIAL MANUSIA
Oleh : Nurcholish Madjid
Event Artikel : KKA-78 (September, 1993)
Diupdated
pada: Jumat 30 Maret 2001
Mukadimah
Dalam ayat-ayat pertama Surat al-Baqarah dari Kitab suci
al-Qur'an disebutkan bahwa kitab suci itu merupakan
petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Kemudian
diterangkan sifat-sifat utama kaum bertaqwa itu, yaitu:
(1) beriman kepada yang gaib, (2) menegakkan salat, (3)
mendermakan sebagian dari harta yang dikaruniakan Tuhan
kepada mereka, (4) beriman kepada kitab suci yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w., (5) beriman
kepada kitab suci yang diturunkan sebelum Nabi Muhammad
s.a.w., (6) yakin akan Hari Kemudian (Akhirat).
Dari sifat-sifat utama kaum bertaqwa itu, sifat yang
terakhir, yaitu yakin akan Hari Kemudian, bersangkutan
langsung dengan masalah kematian. Yaitu bahwa kematian
bukanlah akhir dari segala pengalaman eksistensial
manusia, melainkan permulaan dari jenis pengalaman baru
yang justru lebih hakiki dan lebih abadi. Jika eksistensi
manusia ini dilukiskan sebagai garis berkelanjutan
(kontinuum), kematian hanyalah sebuah titik dalam garis
itu yang menandai perpindahan dari satu fase ke fase yang
lain. Tetapi karena masalah kematian dan apa yang akan
terjadi setelah kematian itu sendiri adalah masalah yang
tidak empiris (artinya, tidak dapat dibuktikan melalui
pengalaman atau "penelitian" manusia yang masih
hidup), maka tekanan dalam deretan firman-firman awal
Surat al-Baqarah itu ialah "iman" atau
"percaya" dan "yakin". Yakni, percaya
dan yakin kepada "berita" (Arab: naba') dari
Tuhan sebagaimana dibawa oleh para "pembawa
berita" atau mereka yang mendapat berita (Arab:
Nabiy, "orang yang diberi berita").
Karena itu masalah kematian merupakan bidang garapan
agama, dan kehidupan keagamaan dengan sendirinya sangat
erat dikaitkan dengan apa yang akan terjadi pada setiap
individu setelah mati. Disebabkan hakikat kematian dan
apa yang bakal terjadi sesudahnya merupakan perkara yang
tidak empirik dan diketahui semata-mata melalui percaya
dan sikap menerima berita Ilahi yang dibawa oleh para
Nabi, maka dalam usaha memahami masalah itu kita hanya
dapat melakukan rujukan-rujukan kepada Kitab Suci dan
Sunnah Nabi, dan hanya sedikit sekali dimungkinkan adanya
argumen ilmiah.
Kematian sebagai Terminal
Sepanjang pemahaman baku di kalangan para 'ulama',
lukisan grafis eksistensi manusia menurut Islam ialah
sebuah garis kontinuum, bukan lingkaran. Jadi berbeda
dengan agama Hindu yang mengajarkan eksistensi manusia
sebagai lingkaran, yang memberi tempat bagi konsep
reinkarnasi. Dalam al-Qur'an terdapat indikasi bahwa
pengalaman dan wujud eksistensial manusia terdiri dari
"dua kematian" dan "dua kehidupan"
atau "dua mati" dan "dua hidup". Ini
dapat kita pahami dari firman Allah, menggambarkan kaum
kafir nanti di Akhirat: "Mereka berkata, 'Wahai
Tuhan kami, Engkau telah mematikan kami dua kali dan
telah menghidupkan kami dua kali. Sekarang kami mengakui
akan dosa-dosa kami. Adakah jalan keluar?'"1 Para
ahli tafsir menerangkan bahwa mati pertama ialah fase
eksistensi kita ketika masih berupa tanah atau sebelum
kita dilahirkan di dunia ini, sedangkan kematian kedua
ialah kematian fisik sebagai akhir hidup duniawi untuk
memasuki hidup ukhrawi. Dan hidup ukhrawi itu, khususnya
setelah terjadi kebangkitan kembali (qiyamah,
"kiamat") adalah hidup kedua, sedangkan yang
pertama ialah yang sedang kita alami sekarang ini, yaitu
hidup duniawi.2
Jadi kematian bukanlah akhir pengalaman eksistensial
manusia. Kematian adalah "pintu" untuk memasuki
kehidupan manusia selanjutnya, suatu kehidupan yang
samasekali lain dari yang sekarang sedang kita alami,
yaitu kehidupan ukhrawi. Pandangan ini semua bagi kita
sekarang yang sudah menjadi anggota masyarakat Islam,
atau agama manapun lainnya, terasa sebagai pandangan yang
wajar saja, yang sudah "taken for granted".
Namun tidaklah demikian pada bangsa Arab sebelum Islam
(Arab Jahailiah). Percaya kepada kematian sebagai
bersifat perpindahan (transitory) dan kepada adanya
kehidupan sesudah mati itu merupakan salah satu segi
ajaran Nabi Muhammad s.a.w. yang bagi orang-orang Arab
Makkah saat itu dirasa mustahil. Berat sekali bagi mereka
menerima pandangan bahwa sesudah kematian masih akan ada
lagi kehidupan lebih lanjut. Sebab bagi mereka yang ada
hanyalah hidup duniawi ini saja: di dunia manusia
mengalami kehidupan, dan di dunia pula mereka akan mati,
dengan sang waktu sebagai satu-satunya yang membawa
kehancuran atau kematian.3
Pandangan ini juga membuat orang-orang
Arab dahulu menolak pandangan bahwa nanti, sesudah
kematiannya, setiap orang akan dibangkitkan dan
dihidupkan kembali.4 Percaya akan adanya kebangkitan dari
kubur merupakan nuktah yang amat penting dalam sistem
ajaran Islam. Sebab kebangkitan itulah yang mengawali
pengalaman eksistensial manusia dalam alam Akhirat.
Percaya kepada Akhirat merupakan salah satu dari tiga
sendi ajaran Nabi, yang di atasnya ditegakkan seluruh
bangunan ajaran Islam. Tiga sendi itu ialah: (1)
meninggalkan semua kepercayaan palsu dalam kemusyrikan
dan hanya percaya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa; (2)
berbuat baik kepada sesama manusia, khususnya usaha bagi
perbaikan nasib kaum miskin; dan (3) percaya kepada Hari
Kemudian yang bakal diawali dengan dibangkitkannya
manusia dari kematian.5 Adalah kebangkitan kembali dari
kematian atau dari kubur itu yang dinyatakan dalam
kepercayaan tentang "Hari Kebangkitan" (Yawm
al-Qiyamah atau Yawm al-Ba'ts), yang langsung berkaitan
dengan kepercayaan tentang "Hari Kemudian"
(Yawm al-Akhirah). Karena itu percaya kepada Allah dan
kepada Hari Kemudian lalu berbuat baik kepada sesama
manusia merupakan sendi utama pengalaman eksistensial
yang bahagia bagi setiap orang, dan menjadi inti semua
agama yang benar.6
Kematian sebagai Kemestian
Kematian adalah peristiwa yang mengerikan, mungkin paling
mengerikan dalam pikiran manusia yang masih hidup. Di
antara kemungkinan pengalaman hidup manusia, barangkali
tidak ada yang lebih menakutkan daripada kematian. Karena
itu hukuman mati, dalam semua peradaban manusia sampai
dengan akhir-akhir ini (hukman mati ditentang oleh
gerakan-gerakan moderen tertentu, seperti Amnesty
International) merupakan hukuman tertinggi dan
penghabisan. Namun justru kematian setiap pribadi
merupakan hal yang pasti terjadi. Maka beberapa failasuf
yang pesimis terhadap kehidupan, seperti Schoppenhauer
dan Dorrow, memandang hidup manusia merupakan
"lelucon yang mengerikan". Sebab, bukankah
hidup ini hanyalah "antri untuk mati", berupa
deretan panjang peristiwa-pristiwa pribadi dan sosial
menuju hal yang amat mengerikan, yaitu kematian?! Menurut
kaum pesimis itu, kalau seandainya dahulu sebelum lahir
ke dunia seorang pribadi sempat ditanya, apakah mau hidup
di dunia ini atau tidak, tentu sebagian besar, mungkin
malah semuanya, akan memilih untuk tidak pernah lahir!
Pendapat pesimis serupa itu hanyalah dugaan atau
spekulasi. Tidak ada dasar yang pasti untuk
membenarkannya. Yang jelas ialah bahwa kehidupan telah
terjadi pada kita di sini, dan kematian menanti kita
setiap saat, tanpa dapat sedikitpun diragukan.
Namun cukup aneh, bahwa banyak orang, jika ditilik dari
tingkah lakunya sehari-hari, seolah-olah ia beranggapan
bahwa hidup ini akan berlangsung terus, tanpa akhir.
Pandangannya yang keliru itu menimbulkan perilaku kurang
bertanggung jawab, karena tipisnya kesadaran bahwa
semuanya ini akan berkesudahan, dan bahwa setiap pribadi
akan menerima akibat perbuatannya, yang baik dan yang
jahat. Misalnya, seperti dilukiskan dalam al-Qur'an, ada
segolongan manusia yang sedemikian sibuknya dengan
kegiatan mengumpulkan harta kekayaan dan baru berhenti
setelah masuk liang kubur, atau mereka itu menduga bahwa
harta kekayaan akan membuatnya hidup terus-menerus secara
abadi.7 Ada pula dari kalangan mereka yang berkeinginan
untuk hidup seribu tahun, karena tidak melihat
kemungkinan kebahagiaan lain selain yang ada di dunia ini
saja.8 Maka al-Qur'an pun senantiasa memperingatkan kita
semua bahwa kematian adalah sebuah kemestian yang tidak
terhindarkan, dan dalam semangat kesadaran akan akhir
hidup itu kita hendaknya mengisi kehidupan ini dengan
sungguh-sungguh memenuhi kewajiban moral kita.
"Setiap pribadi pasti akan merasakan kematian. Dan
kamu pun pasti dipenuhi balasan-balasanmu di Hari
Kiamat"9
"Setiap pribadi pasti akan merasakan kematian. Dan
Kami menguji kamu semua dengan keburukan dan kebaikan
sebagai percobaan."10
"Setiap pribadi pasti akan merasakan kematian.
Kemudian kepada Kami (Tuhan) kamu sekalian akan
dikembalikan."11
"Di manapun kamu berada, kematian pasti akan
menjumpaimu, sekalipun kamu ada dalam benteng-benteng
yang ukuh-kuat."12
Kematian memang merupakan sebuah misteri. Tetapi, dalam
hal ini, kehidupan pun merupakan sebuah misteri. Mengapa
kita hidup? Dan mengapa kemudian kita mati? Telah
disinggung bahwa untuk jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
serupa itu tidak ada yang bersifat empirik. Jawabnya
didapat hanya melalui percaya, yaitu percaya kepada
"berita" yang dibawa oleh para "pembawa
berita" atau "penerima berita", yaitu Nabi
dan Rasul. Menurut berita Ilahi (wahyu), Allah
menciptakan kematian dan kehidupan untuk memberi
kesempatan kepada kita tampil sebagai makhluk moral.
Yaitu makhluk yang memiliki kemampuan untuk berbuat baik
atau jahat. Dan Allah hendak "menguji" kita,
siapa di antara kita yang paling dalam amal perbuatan:
"Maha Tinggi Dia, yang ditangan-Nyalah berada segala
kekuasaan memerintah, dan Dia Maha Kuasa atas segala
sesuatu. Dia yang telah menciptakan kematian dan
kehidupan, agar Dia menguji kamu siapa di antara kamu
yang paling baik amal perbuatannya. Dan Dia itu Maha
Mulia lagi Maha Pengampun."13
Dengan begitu menjadi amat jelas bahwa hidup mempunyai
tujuan, dan wujud tujuan itu akan terlihat dalam
kehidupan setelah mati. Karena itu hidup ini sering
digambarkan sebagai perjalanan menuju tujuan yang
sebenarnya, yaitu Allah "Sangkan-Paran" kita
semua. Hidup ini harus dijalani dengan sungguh-sungguh,
agar tidak lewat begitu saja kepada kita dengan sia-sia.
Beberapa Gambaran tentang Dimensi Alam Akhirat
Telah dikemukakan bahwa kematian adalah pintu memasuki
tahap pengalaman eksistensial manusia yang lain,
samasekali lain dari yang sekarang sedang kita alami.
Sebelum kebangkitan, pengalaman yang akan terjadi ialah
pengalaman dalam alam kubur.
Berkenaan dengan alam kubur itu, terdapat beberapa
keterangan dalam al-Qur'an yang patut sekali kita
renungkan. Yaitu bahwa manusia dalam alam kubur itu akan
merasa seperti tidur nyenyak. Ada ilustrasi bahwa
orang-orang kafir akan terkejut dan protes karena mereka
dibangunkan dari tidur nyenyak mereka (pada Hari Kiamat),
kemudian mereka baru mengakui ajaran para Rasul bahwa
memang ada Hari Kebangkitan. "Dan ditiuplah
sangkakala, kemudian mereka (manusia) pun dari
kubur-kubur segera menuju Tuhan mereka. Mereka (yang
kafir) berkata: 'Celaka benar! Siapakah yang membangunkan
kita dari tidur nyenyak kita? Inilah rupanya yang
dijanjikan oleh Yang Maha Kasih, dan benarlah para Utusan
Tuhan."14
Tetapi kita diingatkan bahwa kehidupan setelah mati,
termasuk "kehidupan" (jika boleh dinamakan
demikian) dalam alam kubur ada dalam dimensi yang
semasekali berbeda dari dimensi hidup di dunia. Kita di
dunia ini sedang mengalami kehidupan yang dimenasinya
adalah lahiriah, terkait dengan bumi dan sekelilingnya
(misalnya, dalam cara kita menghitung waktu dan tumbuhnya
kesadaran waktu itu sendiri). Dan kehidupan di dunia,
untuk meminjam istilah para ahli fisika, adalah kehidupan
yang berdimensi ruang (yang terdiri dari tiga dimensi,
yaitu panjang, lebar dan tinggi) dan waktu. Karena
kungkungan empat dimensi itu kita mengalami kesulitan
memahami hakikat kehidupan sesudah mati. Dari segi ruang,
misalnya, kehidupan sesudah mati itu dapat terasa seperti
pengalaman dalam ruang yang luas-bebas seluas langit dan
bumi, atau sempit menghimpit seperti himpitan
dimensi-dimenasi ruang seukuran badan atau lebih kecil
lagi. Surga atau pengalaman hidup bahagia, misalnya,
dalam al-Qur'an dilukiskan sebagai kehidupan dalam
lingkungan yang luasnya seperti luas seluruh langit dan
bumi:
"Bergegaslah kamu sekalian menuju kepada ampunan
dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya ialah seluruh
langit dan bumi."15
"Berlombalah kamu sekalian menuju kepada ampunan
dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seperti luas
langit dan bumi."16
Demikian pula dalam hal dimensi waktu, kehidupan setelah
mati secara total berbeda dari kehidupan kita sekarang.
Kesadaran waktu kita, sebagaimana dikatakan di atas,
dibentuk oleh hubungan kita dengan lingkungan kita,
khususnya dengan pola hububungan antara planet bumi,
rembulan dan matahari. Kesadaran waktu kita yang membagi
keseluruhan waktu menjadi siang dan malam adalah akibat
hubungan kita dengan rotasi bumi dalam kaitannya dengan
matahari (siang ialah keadaan ketika bumi tempat kita
berpijak menghadap matahari, dan malam adalah sebaliknya,
membelakangi matahari). Demikian pula pembagian kita atas
siang dan malam masing-masing atas jam, menit dan detik,
tidak lain ialah akibat hubungan kita dengan bumi dan
matahari tersebut. Sedangkan konsep waktu kita yang
terdiri dari tigapuluih hari dan kita namakan bulan
(Inggris: month, Perancis: mois, yang semuanya mempunyai
makna etimologis "rembulan" atau
"bulan"), adalah hasil hubungan kita dengan
rembulan, kemudian diterapkan pula kepada hubungan kita
dengan revolusi bumi (gerak bumi mengelilingi matahari).
Kita tuturkan itu semua untuk mengingatkan diri sendiri
kita masing-masing bahwa persepsi kita tentang ruang dan
waktu adalah "subyektif", dalam arti terbatas
hanya kepada pengalaman nyata kita sendiri saja. Karena
itu kita tidak akan dapat mempunyai gambaran tepat
tentang kehidupan setelah mati yang berdimensi lain
tersebut. Maka meskipun dalam firman yang telah dikutip
di atas pengalaman eksistensial manusia dalam kubur itu
seperti orang yang tidur nyenyak (Arab: marqad) namun
tidaklah berarti kita dibenarkan menghadapi kematian itu
dengan sikap yang lengah. Sebab meskipun tidur, namun
dalam hitungan waktu alam kematian ia berlangsung tidak
terlalu lama, mungkin terasa hanya sekejap, dan tiba-tiba
Hari Kiamat datang. Karena itulah dalam ayat yang dikutp
di atas tadi orang-orang kafir, yaitu mereka yang tidak
percaya akan adanya Hari Kebangkitan dan tiak pernah
menduga akan dibangunkan dari kubur, merasa terkejut dan
bertanya-tanya dalan nada protes: "Siapa gerangan
yang membangunkan kita dari tidur nyenyak ini?!"
Berkenaan dengan dimensi waktu yang berbeda dari dimensi
waktu menurut perhitungan kita di dunia ini, al-Qur'an
memberi beberapa ilustrasi. Seperti, misalnya, firman
Allah:
"Dia (Tuhan) berkata, 'Berapa lama kamu tinggal di
bumi dalam hitungan tahun?' Mereka menjawab, 'Kami
tinggal sehari atau setengah hari. Maka tanyakanlah
kepada mereka yang menghitung!' Dia (Tuhan) berkata,
'Kamu tidaklah tinggal (di bumi) melainkan sedikit waktu
(sebentar) saja, kalau saja kamu pernah
menyadarinya.'"17
"Dan ketika Saat (Kiamat) itu tiba, para penjahat
bersumpah bahwa mereka tidaklah tinggal melainkan barang
sesaat saja."18
"Dan ketika Dia mengumpulkan mereka (manusia)
seolah-olah mereka tidaklah tinggal kecuali sesaat di
siang hari ketika mereka saling berkenalan."19
Begitu pula dilukiskan bahwa hitungan satu tahun pada
kehidupan dengan dimensi lain itu juga lain dari hitungan
satu tahun pada kita:
"Dan sesungguhnya satu hari pada sisi Tuhanmu adalah
seperti seribu tahun dari yang kamu perhitungkan."20
"Dia (Tuhan) mengatur aturan dari langit sampai
bumi, kemudian aturan itu naik (menyerah) kepada-Nya,
dalam jangka waktu sehari yang ukurannya ialah seribu
tahun seperti yang kamu (manusia) perhitungkan."21
"Malaikat dan Ruh Suci naik kepada-Nya (Tuhan) dalam
jangka waktu sehari yang ukurannya ialah limapuluh ribu
tahun."22
Jadi kita tidak dapat membandingkan kehidupan sesudah
mati itu dengan kehidupan kita di dunia ini. Setiap usaha
membuat perbandingan serupa itu tentu akan menyesatkan.
Maka meskipun dalam alam kubur itu manusia seperti tidur
nyenyak, namun hal itu tidaklah berarti suatu kenikmatan.
Sebab ia berlangsung hanya dalam waktu yang amat singkat,
sejalan dengan kenisbian waktu. Dan kalau firman-firman
yang dikutip di atas itu menyebutkan angka-angka waktu
seperti "sehari", "setengah hari",
"sesaat", "seribu tahun" dan
"lima puluh ribu tahun", hal tersebut tidaklah
dapat dipahami secara harfiah, melainkan harus digunakan
pendekatan kepadanya sebagai metafora-metafora.
Pengertian metaforis menjelaskan bahwa angka-angka
tersebut adalah lukisan tentang dimensi waktu kehidupan
sesudah mati yang samasekali berbeda dengan yang kita
alami sekarang. Karena pada tingkat pengertian waktu
seperti inipun tidak berlaku pengalaman empirik duniawi,
maka penerimaan akan kebenaran hakikatnya dapat dilakukan
hanya melalui sikap percaya atau iman seperti telah
dikemukakan di atas.
Berkaitan dengan alam kubur, terdapat banyak keterangan,
khususnya dari hadits-hadits, tentang adanya siksa kubur
('adzab al-qabr, fitnat al-mamat). Mungkin karena untuk
banyak kalangan Islam keterangan itu sulit dikompromikan
dengan keterangan yang ada dalam al-Qur'an, maka banyak
pihak, seperti kaum Mu'tazilah, Ikhwan al-Shafa' dan
sebagian kalangan kaum Syiah mengingkari adanya
siksa kubur itu. Namun hal itu samasekali tidak
mengurangi pentingnya kesadaran bahwa sesudah mati
terdapat pengalaman eksistensial kebahagiaan atau
kesengsaraan. Dan suasana seperti tidur nyenyak dalam
kubur tidak dapat digambarkan sebagai penundaan
pengalaman eksistensial itu, disebabkan oleh kenisbian
waktu seperti diterangkan di atas (jadi, tidur nyenyak
itu lebih baik digambarkan sebagai peristiwa yang terjadi
dalam sekejap mata, kemudian disusul oleh datangnya Hari
Kiamat). Pandangan ini juga diisyarakatkan dalam firman
Allah, "Kepunyaan Allah-lah kegaiban langit dan
bumi. Dan tidaklah urusan Kiamat itu kecuali bagaikan
saat sekejap mata, atau lebih singkat. Sesungguhnya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu."23
Hari Kemudian sebagai "Hari Pembalasan"
Kehidupan setelah mati adalah saat pembalasan (yawm
al-jaza'), yaitu pemblasan atas segala sesuatu yang telah
kita kerjakan, baik dan buruk. Ini semua telah kita
maklumi, sebagai bagian dari ajaran agama kita. Di sini
hendak dikemukakan beberapa hal khusus, yang perlu sekali
kita sadari.
Pertama, kematian adalah peristiwa yang tidak dapat
ditunda ataupun dipercepat. Inilah konsep
"ajal" (masa akhir hidup duniawi) yang pasti.
"Dan ketika ajal mereka telah tiba, mereka tidak
dapat menundanya barang sesaatpun, juga tidak dapat
mempercepatnya."24
Kedua, berkenaan dengan "ajal" itu, berlaku
ketentuan "sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian
tak berguna," seperti dilukiskan dengan jelas sekali
dalam firman berikut:
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah hartamu
dan anak-anakmu membuat kamu lengah dari ingat kepada
Allah. Barangsiapa berbuat begitu maka mereka itulah
orang-orang yang merugi. Dan dermakanlah sebagian dari
rizki yang telah Kami (Tuhan) karuniakan kepada kamu,
sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara
kamu kemudian ia berkata, 'Wahai Tuhanku, kalau saja
Engkau tunda aku ke ajal yang dekat (sebentar), sehingga
aku dapat bersedekah dan aku menjadi termasuk mereka yang
saleh.' Namun Allah tidak akan menunda seorang pribadipun
jika ajalnya telah tiba. Dan Allah mengetahui segala
sesuatu yang kamu kerjakan."25
Ketiga, sebagai Hari Pembalasan, kehidupan sesudah mati
tidak lagi mengenal sistem kehidupan antara perorangan
menurut hukum-hukum sosial seperti yang ada di dunia ini.
Karena itu juga tidak ada lagi kesetiakawanan atau
solidaritas dan sikap saling bela-membela. Manusia akan
berhadapan dengan Allah sebagai pribadi mutlak:
"Dan waspadalah kamu kepada hari ketika tidak satu
jiwapun dapat membalas satu jiwa yang lain sedikitpun
juga, dan ketika perantaraan tidak akan diterima, serta
tebusan pun tidak akan diambil, dan mereka (manusia)
tidak akan dibela."26
"Wahai umat manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu
sekalian, dan waspadalah kepada hari yang saat itu tidak
seorang orang tua pun dapat menolong anaknya dan tidak
seorang anakpun dapat menolong orang tuanya sedikitpun
juga. Sesungguhnya janji Allah adalah benar (pasti). Maka
janganlah sekali-kali kehidupan duniawi mengecohkan kamu
sekalian, dan janganlah sekali-kali seorang pengecoh
dapat mengecoh kamu berkenaan dengan Allah."27
"Dan sudahkah engkau tahu apa itu Hari Pembalasan?
Sekali lagi, sudahkah engkau tahu, apa itu Hari
Pembalasan? Yaitu hari ketika tidak seorang juapun dapat
menolong orang lain, dan segala urusan pada hari itu ada
pada Allah semata."28
Jadi terdapat penegasan bahwa tanggung jawab di Akhirat
adalah tanggung jawab pribadi mutlak. Ini berarti bahwa
masing-masing kita, secara pribadi, harus menjalankan
hidup ini dengan penuh tanggung jawab, tanpa menunggu
orang lain. Dan suatu sikap hidup yang bertanggung jawab,
yang dijiwai oleh ikatan batin untuk berbuat
sebaik-baiknya, tentu akan berdimenasi sosial. Perbuatan
seorang pribadi yang bertanggung jawab akan berakibat
semakin diperkuatnya tali hubungan sesama manusia. Sebab
definisi kebaikan ialah kebaikan untuk sesama manusia,
demi mendapatkan ridla Allah s.w.t.
Penutup
Demikian itu sebagian dari keterangan yang dapat kita
petik dari al-Qur'an berkenaan dengan kematian dan
kehidupan sesudah mati. Kematian adalah misteri,
sebagaimana hidup ini pun misteri. Agama menerangkan apa
hakikat dan tujuan hidup itu, dan apa pula yang bakal
terjadi pada setiap orang sesudah mati. Kita percaya
kepada berita-berita langit yang dibawa oleh para Nabi
dan Rasul dari Hadirat Tuhan.
Berita itu mengatakan bahwa hidup dan mati adalah
diciptakan Allah untuk memberi manusia kesempatan
menampilkan dirinya sebagai makhluk akhlaki atau moral.
Dengan hidup Allah hendak menguji kita semua, mana dari
kita yang paling baik dalam amal perbuatan. Dan dengan
mati Allah akan memasukkan kita ke dalam kehidupan yang
dimensinya secara radikal berbeda dengan kehidupan kita
sekarang.
Dalam kehidupan sesudah mati itulah pengalaman
eksistensial manusia yang hakiki, dalam kebahagiaan atau
kesengsaraan, akan terjadi. Kita semua harus bersiap
menghadapi kematian itu, dengan mengemban tugas dan
tanggung jawab pribadi kepada Allah, yang wujudnya di
dunia ini ialah tugas dan tanggung jawab sosial kepada
sesama manusia, yaitu beramal saleh, berbuat kebajikan.
Itulah yang dapat kita ketahui dari ajaran agama. Lebih
dari itu kita tidak tahu, dan hanya Allah yang Maha Tahu.
Wallah-u a'lam-u bi al-shawab.
Catatan:
1.Al-Qur'an, s. Ghafir/Mu'min/40:11.
2.Hamka, Tafsir al-Azhar, 30 juzu' (Surabaya: Yayasan
Latimojong, 1984), Juzu' ke-24, hh. 141-142.
3.Al-Qur'an, s. al-Jatsiyah/45:24.
4.Al-Qur'an, s. Yasin/36:78.
5.Pokok-pokok ajaran ini dapat dipahami dari surat-surat
pendek al-Qur'an dalam "Juz' 'Amma" (juz' 30).
Tekanan kepada adanya kewajiban menunaikan tanggung jawab
moral manusia di dunia ini dan kepada keprcayaan tentang
adanya Hari Kemudian yang didahului dengan Hari
Kebangkitan merupakan tema-tema pokok surat-surat pendek,
khususnya patut sekali direnungkan tema-tema surat-surat
al-Muthafifin/83, al-Lail/92, al-Zilzal/99,
al-'Adiyat/100, al-Qari'ah/101, al-Takatsur/102,
al-Humazah/104, dan al-Ma'un/107.
6.Prinsip ini dapat dipahami antara lain dari dari
al-Qur'an, s. al-Baqarah/2:62, "Sesunguhnya mereka
yang beriman (kepada al-Qur'an), mereka yang menganut
agama Yahudi, orng-orang Nasrani dan orang-orang
Shabi'un, siapa saja yang beriman kepada Allah (Tuhan
Yang Maha Esa) dan kepada Hari Akhirat serta berbuat
baik, maka mereka mendapatkan pahala-pahala mereka di
sisi Tuhan mereka, dan mereka tidak akan takut juga tidak
akan kuatir." Sekarang perhatikanlah uraian para
ahli tafsir, antara lain Abdullah Yusuf Ali dalam
tafsirnya yang amat terkenal dan diakui otoritasnya di
seluruh dunia. Ia memberi komentar atas ayat suci itu
demikian: "The point of the verse is that Islam does
not teach an exclusive doctrine, and is not meant
exclusively for one people. The Jews claimed this for
themselves, and the Christians in their origin were a
sect of the Jews. Even the modern organized Christian
churches, though they have been, consciously or
unsonsciously, influenced by the Time spirit, including
the historical fact of Islam, yet cling to the idea of
Vicarious Atonement, which means that all who do not
believe in it or who lived prevoiusly to the death of
Christ are at a disadvantage spiritually before the
Throne of God. The attitude of Islam is entirely
different. Islam existed before the teaching of Muhammad
on this earth: the Qur'an expressly calls Abraham a
Muslim (iii:67). Its teaching (submission to God's will)
has been and will be the teaching of Religion for all
time and for all peoples." (A. Yusuf Ali, The Holy
Qur'an, Translation and Commentary [Jeddah: Dar
al-Qiblah, 1403 H], hh. 35 [keterangan No. 77]). Dan
Mahdi Ilahi Qumsyahi menerjemahkan ayat suci itu dengan
menyisipkan penegasan demikian: "Ya'ni Haqiqat-e din
Iman be Khoda wa qiyamat wa 'amal syayisteh ast be ism-e
Musulmani wa ghairih" (Yakni hakikat agama yang
benar (din) ialah beriman kepada Tuhan dan Hari Kemudian
serta berbuat baik, yang dinamai orang Muslim dan yang
lainnya). (Mahdi Ilahi Qumsyahi, Qur'an Karim, Tarjamah
[Persi], [Teheran: Syirkat-e Cap-e Offset-e Gulsyan, 1403
H], h. 11).
7.Lihat al-Qur'an, s. al-Takatsur/102 dan s.
al-Humazah/104.
8.Lihat al-Qur'an, s. al-Baqarah/2:96: "Dari mereka
ada yang ingin kalau seandainya diberi umur sampai seribu
tahun."
9.Al-Qur'an, s. Alu 'Imran/3:185.
10.Al-Qur'an, s. al-Anbiya'/21:35.
11.Al-Qur'an, s. al-'Ankabut/29:57.
12.Al-Qur'an, s. al-Nisa'/4:78.
13.Al-Qur'an, s. al-Mulk/67:1-2.
14.Al-Qur'an, s. Yasin/36:51-52.
15.Al-Qur'an, s. Alu 'Imran/3:133.
16.Al-Qur'an, s. al-Hadid/57:21.
17.Al-Qur'an, s. al-Mu'minn/23:112-114.
18.Al-Qur'an, s. al-Rm/30:55.
19.Al-Qur'an, s. Ynus/10:45.
20.Al-Qur'an, s. al-hajj/22:47.
21.Al-Qur'an, s. al-Sajdah/32:5.
22.Al-Qur'an, s. al-Ma'arij/70:4.
23.Al-Qur'an, s. al-Nahl/16:77.
24.Al-Qur'an, s. al-A'raf/7:34.
25.Al-Qur'an, s. al-Munafiqn/63:9-11.
26.Al-Qur'an, s. al-Baqarah/2:48. Lihat juga s.
al-Baqarah/2:123.
27.Al-Qur'an, s. Luqman/31:33.
|