CIVIL SOCIETY, CIVILITY DAN PROSES
DEMOKRATISASI
Oleh : Nurcholish Madjid
Event Artikel : Diskusi Indonesia Menuju Civil
Society Peran dan Fungsi Pers Nasional
Diupdated
pada: Senin 2 April 2001
Apakah di negeri kita
sedang terjadi proses demokratisasi? Jawabnya jelas
positif. Hal itu antara lain sebagai kelanjutan gelombang
politik yang kini boleh dikata berdimensi global, yaitu
kecenderungan ke arah sistem politik yang lebih terbuka.
Bagi negeri kita, sama dengan negeri-negeri dengan pola
pembangunan dan tingkat perkembangan yang kurang lebih
serupa, proses demokratisasi itu juga merupakan akibat
logis pemerataan relatif kecerdasan umum lewat
sistem-sistem pendidikan yang tersedia untuk sebagian
besar warga, dan kemudahan serta keterpenuhan nisbi
keperluan hidup pokok lewat keberhasilan pembangunan
ekonomi. Dari negara-negara Asia Timur (atau Lembah
Pasifik Barat) mungkin Singapura harus dikecualikan dari
suatu hukum umum bahwa tingkat kecerdasan tertentu dan
kemudahan ekonomi tertentu rakyat banyak melahirkan
perkembangan kualitatif sosial-politik warga negara dalam
bentuk tuntutan partisipasi yang lebih besar dan ruang
kebebasan yang semakin lebar. Dari sudut pandang ini
tindakan menghalangi proses-proses demokratisasi yang
wajar akan dapat berarti pengingkaran atau pembendungan
akibat logis pembangunan yang berhasil itu sendiri,
sehingga tindakan itu menjadi setara dengan penentangan
hukum alam sosial. Oleh karena itu krisis yang
diakibatkan tindakan itu dapat bersifat fatal dan
berkemungkinan membatalkan hasil pembangunan itu atau
mendorongnya ke belakang, ke garis kemunduran.
Karena itu, sekalipun tendensi ke arah demokratisasi
merupakan sesuatu yang obyektif dan alamiah dan
ide tentang demokrasi serta demokratisasi menggaung
secara global namun samasekali tidak berarti pasti
berlangsung terus secara konsisten menurut garis
logikanya sendiri. Tendensi dan proses itu dapat dicegat,
ditangguhkan, bahkan dibatalkan oleh suatu kecenderungan
otokratik kalangan tertentu para pemegang kekuasaan.
Gagasan-gagasan sederhana bahwa warga negara atau rakyat
harus didengar suaranya dalam proses-proses pengambilan
keputusan yang mempengaruhi hidup mereka, bahwa rakyat
punya hak untuk tidak diperlakukan secara tidak adil,
bahwa pemerintah harus merespon hajat rakyatnya, dan
seterusnya, mungkin merupakan hal-hal yang mudah mendapat
kesepakatan verbal, tapi acapkali dalam pelaksanaan
kongkretnya menuntut perjuangan pihak-pihak
yang berkepentingan, khususnya rakyat sendiri. Karena
gagasan-gagasan itu semua termasuk kategori perangkat
lunak (bukan perangkat keras seperti prasarana fisik),
maka argumentasi dan advokasinya pun bersifat lunak pula
seperti diisyaratkan oleh pepatah kita,
lidah tak bertulang dengan kemungkinan
setiap orang merasa, mengaku, bahkan meyakini sebagai
punya gagasan yang sama dan sudah pula melaksanakannya.
Karena itu, misalnya, jika tuntutan demokratisasi
dilantangkan dengan sasaran terhadap kalangan para
penguasa, hampir tidak ada kalangan itu yang begitu saja
melayani dan memberi respon positif, dengan dalih bahwa
yang selama ini telah mereka lakukan sudah merupakan
demokrasi dan bahwa sistem mereka adalah sistem yang
demokratis (sekalipun mereka sendiri memberi kualifikasi
demokrasi macam mana). Akibatnya ialah,
pengalaman-pengalaman empirik berbagai bangsa menunjukkan
bahwa proses demokratisasi yang berhasil senantiasa
dibarengi dengan fase-fase krisis tertentu di bidang
kekuasaan. Dalam hal ini, apakah proses krisis itu
bersifat konstitusional atau tidak, lancar atau
terhambat, lunak atau keras, damai atau berdarah,
semuanya itu hanyalah bentuk-bentuk krisis yang
bervariasi sejak dari yang semestinya dikehendaki karena
ideal sampai kepada yang semestinya dihindari karena
pertimbangan cost and benefit yang berujung
netto yang negatif.
Perlambang demokrasi ialah pemilihan umum yang bebas dan
pemberian suara yang rahasia. Hal ini benar-benar dapat
dimengerti, karena hak untuk memberi suara secara bemakna
dan bebas dari paksaan merupakan metafor untuk sistem
politik yang membuka partisipasi rakyat umum. Tetapi
demokrasi tidaklah bersemayam dalam
pemilu-pemilu. Jika demokrasi sebagaimana difahami
di negeri maju harus punya rumah, maka
rumahnya ialah civil society atau masyarakat
madani, dimana berbagai macam perserikatan, klub,
gilda, sindikat, federasi, persatuan, partai dan kelompok
bergabung untuk menjadi perisai antara negara dan warga
negara. Sekalipun konsep tentang civil society tidak
dapat dianalisa secara persis, berfungsinya civil society
jelas dan tegas ada dalam inti sistem-sistem politik yang
membuka partisipasi rakyat umum.
Banyak yang mengatakan bahwa icon kecenderungan global
demokratisasi ialah civil society. Berhadapan dengan
penindasan di Amerika Latin, Eropa Selatan dan Timur,
civil society kerapkali dipandang berjasa dalam
menghalangi rancangan kekuasaan otoriter dan dalam
menantang pemerintahan sewenang-wenang. Walaupun begitu,
civil society tidaklah menumbangkan pemerintahan, yang
pemerintahan itu, jika dilanda korupsi merajalela dalam
kalangannya sendiri dan kehilangan pijakan legitimasinya,
biasanya tumbang dari dalam. Civil society lebih
merupakan penerima manfaat (beneficiary) ketimbang sebuah
kekuatan penghancur.
Lebih dari itu, civil society sering diidealisasikan
sebagai suatu kebaikan sempurna. Sama halnya dengan semua
gejala sosial, civil society dapat, dan sering, punya
sisi-sisi buruk. Sikap mementingkan diri sendiri,
prasangka dan kebencian tidak jarang berjalan seiring
dengan altruisme, sikap adil dan santun. Kiprah civil
society yang bebas tak terkekang bukanlah suatu gagasan
yang harus disambut hangat, melainkan fikiran yang
sungguh mengerikan. Setiap chaos akan mudah menjadi dasar
pembenaran tampilnya orang kuat yang hendak mengatasinya,
sehingga civil society dengan kiprah bebas tak terkendali
akan justru menciptakan lawannya sendiri, yaitu
otoritarianisme seorang kuat.
Adanya masyarakat madani atau civil society
mengisyaratkan identitas yang dipunyai bersama,
setidaknya melalui persetujuan tidak langsung tentang
garis-garis besar batas-batas pranata politik. Dengan
kata lain, kewargaan, dengan hak dan tanggung jawabnya,
adalah bagian utuh dari pengertian civil society.
Kewargaan memberi landasan masyarakat madani. Menjadi
bagian dari keseluruhan adalah prasyarat bagi keseluruhan
itu untuk menjadi suatu masyarakat. Kalau tidak,
masyarakat itu tidak mempunyai keutuhan, menjadi sekedar
ibaratkan bejana yang penuh dengan onderdil-onderdil yang
terpisah-pisah. Karena itu, pribadi dalam civil society
diakui hak-hak asasinya oleh negara, tapi, sebagai
imbalan, ia dituntut penunaian kewajibannya kepada
negara. Semua pemerintahan, khususnya yang otokratis,
cenderung meremehkan kewargaan, dengan menuntut dukungan
warga dan penampilan seremoni patriotik, namun pada saat
yang sama hanya dalam ucapan menyatakan penghargaan
kepada hak-hak kewargaan. Ketika negara karena
kegagalannya telah kehilangan kepercayaan warganya,
kewargaan itu sendiri akan menjadi sasaran pengorbanan
yang pertama. Ketika legitimasi pemerintahan runtuh,
civil society juga terancam untuk mengalami fragmentasi.
Karena itulah tidak punya makna apa-apa membicarakan
civil society tanpa negara yang cukup tangguh.
Civil society adalah lebih daripada sekedar campuran
berbagai bentuk asosiasi. Pengertian civil society juga
mengacu kepada kualitas civility, yang tanpa itu
lingkungan hidup sosial akan hanya terdiri dari
faksi-faksi, klik-klik dan serikat-serikat rahasia yang
saling menyerang. Civility mengandung makna toleransi,
kesediaan pribadi-pribadi untuk menerima berbagai macam
pandangan politik dan tingkah laku sosial; juga kesediaan
untuk menerima pandangan yang sangat penting bahwa tidak
selalu ada jawaban yang benar atas suatu masalah. Dan
penting sekali diperhatikan ada tidaknya civility itu
dalam diri serikat-serikat yang ada, selain dalam
hubungan antara berbagai serikat itu satu sama lain.
Ironisnya, kelompok-kelompok yang memperjuangkan
demokrasi dan nilai-nilai terpuji lainnya kerapkali tidak
mencerminkan nilai-nilai itu dalam diri kalangan mereka
sendiri ataupun pribadi para tokohnya.
Malangnya, civility adalah suatu mutu yang banyak hilang
di negara-negara berkembang. Mungkin suatu negara
menjunjung tinggi kehidupan keserikatan (associational
life) yang aktif, tapi cukup sering di negara itu civil
society dirongrong oleh kurangnya toleransi politik dan
terkekang oleh peraturan pemerintah yang sewenang-wenang.
Tidak adanya civility menimbulkan sikap ragu tentang
prospek jangka pendek demokrasi dalam suatu negara.
Tetapi jika seni berserikat dapat dimengerti dengan baik,
maka peningkatan civil society akan menjadi bermakna
lebih daripada sekedar menciptakan dasar-dasar demokrasi.
Ia sendiri menjadi milieu bagi kehidupan sosial yang
sehat.
Ketika kelompok-kelompok dan
gerakan-gerakan muncul, biasanya tampil dalam bentuk
gerakan pembela hak-hak asasi dan perbaikan harkat atau
dignity kaum lemah atau tersisih. Gerakan seperti itu
dengan sendirinya menegaskan klaim moral yang asasi,
yaitu harkat kemanusiaan universal dan persamaan semua
orang. Karena klaim demikian itu benar-benar mendasar,
maka tidak mudah ditolak atau disanggah terang-terangan
oleh para pemegang kekuasaan negara. Akibatnya, gerakan
hak-hak asasi dan perbaikan harkat kaum lemah boleh jadi
menikmati kebebasan berkiprah yang lebih besar daripada
kekuatan-kekuatan oposisi atau kelompok-kelompok yang
menghendaki realokasi sumber-sumber daya ekonomi melalui
tuntutan pemerataan, misalnya. Gerakan hak-hak asasi dan
pembelaan martabat kaum lemah juga mungkin lebih kebal
terhadap kooptasi, karena tuntutannya mungkin tidak mudah
ditebus, dibayar atau disuap dengan hak-hak istimewa atau
previlisi tertentu, kedudukan, atau uang untuk
pribadi-pribadi para pejuangnya.
Meskipun sebagian dari unsur-unsur masyarakat madani
boleh jadi berdiri tegak dalam oposisi terhadap
pemerintah, pemerintah sendiri tidak boleh melupakan
peran pokoknya selaku wasit, pembuat aturan dan penertib
masyarakat madani. Sebab masyarakat madani atau civil
society itu, bagaimanapun, bukanlah pengganti pemerintah.
Terlalu sering muncul harapan bahwa civil society adalah
suatu obat mujarab, namun bukti menunjukkan dengan jelas
bahwa negara mempunyai peran kunci untuk ikut mendorong
pertumbuhan demokrasi. Demokratisasi atau pembetukan
civil society bukanlah musuh bebuyutan ataupun kawan
setia bagi kekuasaan negara. Negara dituntut untuk
menangani civil society begitu rupa sehingga tidak
terlalu banyak ataupun terlalu sedikit. Dan sekalipun
tertib demokratis tidak dapat dibina melalui kekuasaan
negara, harus selalu diingat bahwa ia juga tidak dapat
dibina tanpa kekuasaan negara.
Memang benar, sebagaimana menjadi keyakinan banyak
sarjana, civil society adalah musuh alamiah otokrasi,
kediktatoran dan bentuk-bentuk lain kekuasaan arbitrer.
Civil society adalah bagian organik demokrasi, dan ia
menurut definisinya sendiri adalah lawan rezim-rezim
absolutis. Tapi mengharapkan atau menguatirkan civil
society akan mampu menumbangkan pemerintahan adalah sikap
yang naif. Bahkan sebenarnya saling hubungan antara
pemerintah dan civil society lebih sering didefinisikan
dalam kerangka kerjasama ketimbang konflik. Karena itu di
negara-negara dengan susunan kekuasaan tidak demokratis,
kita perlu kepada strategi-strategi yang halus. Kita
memerlukan suatu kerangka yang memberi peluang kepada
warga masyarakat untuk mengikat tali hubungan dengan
pemerintah dan suatu saat mengendorkan atau malah
melepaskan ikatan itu dengan tanggung jawab. Tapi kita
juga perlu kepada ruang bagi adanya ikatan antara negara
dan civil society baik yang sejalan maupun yang
bersimpang jalan. Dan dari segi kepraktisan, tidaklah
realistis mengharapkan serikat-serikat kewargaan untuk
memikul tugas oposisi dalam konteks negara yang
penguasanya sering menyamakan antara oposisi dan
pembangkangan atau pengkhianatan. Diperlukan
strategi-strategi yang lebih lembut daripada konfrontasi.
Pemerintah tetap amat penting bagi proyek reformasi
politik, dan reformasi politik adalah vital bagi jaminan
stabilitas. Di sini bukanlah stabilitas dalam makna
statis manapun, karena jelas sekali bahwa berbagai
masalah yang dihadapi banyak pemerintah negara-negara
berkembang seperti Indonesia seperti tidak adanya
efisiensi, dasar legitimasi yang terus merosot, dan
korupsi tidak dapat disingkirkan begitu saja.
Sebaliknya, reformasi politik harus mendukung stabilitas
dinamis yang berarti bahwa civil society harus diberi
ruang untuk bernafas lega melalui pelaksanaan yang
konsisten dan konsekwen akan kebebasan-kebebasan asasi,
yaitu kebebasan menyatakan pendapat, berkumpul dan
berserikat.
Berkaitan dengan itu, dapat diamati banyaknya pemimpin
politik yang bersedia melakukan liberalisasi, namun
sedikit sekali yang bersedia melakukan dan mendukung
demokratisasi. Liberalisasi mengacu kepada hanya sekedar
tindakan perbaikan untuk membuka jalan keluar bagi
kebebasan menyatakan pendapat, membatasi pelaksanaan
kekuasaan yang arbitrer, dan membiarkan tumbuh
serikat-serikat politik, halmana tidaklah terlalu buruk.
Tapi sebaliknya, demokratisasi, yaitu pemilu-pemilu yang
benar-benar bebas, partisipasi rakyat umum dalam
kehidupan politik, serta dalam bahasa yang
gamblang melepaskan belenggu yang membatasi
kebebasan orang banyak atau massa, tidak terjadi dengan
sungguh-sungguh. Kesediaan melakukan liberalisasi dalam
artian tersebut itu karena diduga, dan diharap, dapat
mempertinggi tingkat kesuksesan kekuasaan, karena itu
mengukuhkan legitimasinya; sementara demokratisasi
dihalangi karena secara keliru diduga, dan dikuatirkan,
akan merongrong pemerintahan. Inilah tantangannya.
|