KEBEBASAN NURANI (FREEDOM OF
CONSCIENCE) DAN KEMANUSIAAN UNIVERSAL
Oleh : Nurcholish Madjid
Event Artikel : Diskusi mengenai Hak Asasi, 1 Maret 1994
Diupdated
pada: Senin 2 April 2001
KEBEBASAN NURANI (FREEDOM OF
CONSCIENCE)DAN KEMANUSIAAN UNIVERSAL SEBAGAI PANGKAL
DEMOKRASI, HAK ASASI DAN KEADILAN
Mukaddimah
Perjuangan menegakkan hak-hak asasi di negeri kita adalah
hal yang amat wajar sebagai kewajiban kita semua,
disebabkan oleh tuntutan nilai-nilai falsafah kenegaraan
kita, Pancasila. Semua sila dalam falsafah itu melahirkan
kewajiban kita berusaha menegakkan hak-hak asasi,
khususnya sila Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Ditambah lagi bahwa kita sebagai anggota PBB, dengan
sendirinya kita menerima dan menyetujui serta terikat
kepada butir-butir dalam Deklarasi Universal Hak-hak
Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights),
1948. Bertitik tolak dari tuntutan nilai-nilai
kefalsafatan negara kita itu, di sini akan kita coba
membahas masalah hak-hak asasi dalam kaitannya dengan
demokrasi dan demokratisasi. Berpijak kepada nilai
kemanusiaan yang adil dan beradab, kita akan bicarakan
bagaimana korelasi antara capaian-capaian pembangunan
sekarang ini dengan pengembangan dan pengukuhan kesadaran
nilai-nilai kemanusiaan.
Kelanjutan Logis Pembangunan
Usaha menegakkan hak-hak asasi dapat juga dipandang
sebagai kelanjutan logis, alami dan wajar dari tingkat
perkembangan dan kemajuan bangsa kita di segala bidang,
sebagai hasil pembangunan nasional selama Orde Baru. Pada
saat sekarang ini kita bangsa Indonesia telah sampai
kepada jalan persimpangan pertumbuhan dan perkembangan
yang amat menentukan untuk masa mendatang. Pembangunan
ekonomi yang telah berjalan selama sekitar seperempat
abad telah menunjukkan hasil yang sangat mengesankan.
Dari suatu bangsa yang miskin dan hampir bangkrut pada
awal tahun 60-an kini Indonesia mulai tampil dengan cukup
harga dan kepercayaan diri dalam pergaulan antar bangsa.
Meskipun sesungguhnya kita masih jauh dari kemakmuran
negara-negara maju bahkan di antara negara-negara
Asia Tenggara pun kita masih tergolong yang terkebelakang
namun hasil yang telah dicapai oleh bangsa kita
melandasi harapan kita bagi masa depan yang lebih baik.
Yaitu masa depan yang lebih makmur, lebih terbuka, lebih
adil, dan lebih demokratis.
Dari pengalaman yang sejauh ini telah berlangsung, kita
membuktikan kebenaran peringatan Nabi s.a.w. bahwa
kemiskinan akan menyeret manusia kepada sikap-sikap
mengingkari kebenaran. Kemiskinan akan membuat manusia
terhalang dari usaha-usaha peningkatan dirinya menuju
kepada harkat dan martabat kemanusiaannya yang lebih
tinggi. Oleh sebab kemiskinan dan kemelaratan membuat
seseorang lebih terpusat kepada usaha-usaha
mempertahankan hidup jasmaninya, maka kemiskinan dan
kemelaratan juga membuatnya terhalang dari perhatian
kepada tingkat kehidupan yang lebih mulia, yaitu
kehidupan ruhani, kehidupan untuk memenuhi dorongan
naluri manusia guna kembali (inâbah) kepada Tuhan. Sebab
Tuhanlah Sumber segala kebahagiaan, Asal-Muasal segala
yang ada. Tuhanlah pangkal keberadaan kita semua, dan
Dialah tujuan keberadaan kita semua.
Kemanusiaan Universal
Berdasarkan pandangan itu maka memberantas kemiskinan
dengan upaya meningkatkan taraf hidup kaum miskin adalah
bagian tidak langsung dari kesertaan membimbing mereka ke
arah tingkat hidup yang lebih tinggi, lebih fithri, dan
lebih mendekat kepada harkat dan martabat manusia,
sejalan dengan design agung Ilahi. Oleh karena itu
mengusahakan dan memperjuangkan perbaikan hidup lahiri
adalah bagian yang tak terpisahkan dari usaha peningkatan
hidup ruhani. Dan jika benar bahwa kemelaratan dapat
menjadi penghalang dari kemampuan menghayati kehidupan
yang lebih tinggi dan lebih mampu menerima dan meresapi
kebenaran, maka sebaliknya dapat pula diharapkan bahwa
kemakmuran akan memberi kesempatan lebih baik untuk
meningkatkan seseorang kepada dataran hidup yang lebih
tinggi, yang lebih mendekati ridla Ilahi. Maka setiap
usaha dan perjuangan meningkatkan taraf hidup sesama
manusia juga berarti usaha dan perjuangan menghantarkan
manusia kepada sesuatu yang lebih bermakna dan lebih
memenuhi rasa tujuan hidup yang mendalam dan hakiki.
Manusia adalah jagad kecil, suatu
"mikrokosmos", yang menjadi cermin dari jagad
besar, "makrokosmos", yang meliputi seluruh
alam semesta. Manusia adalah puncak ciptaan Tuhan, yang
dikirim ke bumi untuk menjadi khalifah atau wakil?Nya.
Oleh karena itu setiap perbuatan yang membawa perbaikan
manusia, oleh sesama manusia sendiri, mempunyai nilai
kebaikan dan keluhuran kosmis, menjangkau batas-batas
jagad raya, menyimpan makna kebenaran dan kebaikan
universal, suatu nilai yang berdimensi kesemestaan
seluruh alam. Dan karena manusia itu, dalam analisa
terakhir, terdiri dari individu-individu atau
kenyataan-kenyataan perorangan yang tidak terbagi-bagi,
maka masing-masing perorangan itu menjadi
"instansi" pertanggungjawaban terakhir dan
mutlak dalam pengadilan Hadirat Ilahi di akhirat nanti.
Dan masing-masng perorangan itu pulalah yang akhirnya
dituntut untuk menampilkan diri sebagai makhluk moral
yang bertanggung jawab, yang akan memikul segala amal
perbuatannya tanpa kemungkinan mendelegasikannya kepada
pribadi yang lain. Karena itu, nilai seorang pribadi
adalah sama dengan nilai kemanusiaan universal,
sebagaimana nilai kemanusiaan universal adalah sama nilai
dengan nilai kosmis seluruh alam semesta. Maka agama
mengajarkan bahwa "barangsiapa membunuh seseorang
tanpa dosa pembunuhan atau tindakan perusakan di bumi
maka bagaikan ia membunuh seluruh umat manusia, dan
barangsiapa menolong hidupnya maka bagaikan ia menolong
hidup seluruh umat manusia."
Jadi harkat dan martabat setiap perorangan atau pribadi
manusia harus dipandang dan dinilai sebagai cermin, wakil
atau representasi harkat seluruh umat manusia. Maka
penghargaan dan penghormatan kepada harkat masing-masing
manusia secara pribadi adalah suatu amal kebajikan yang
memiliki nilai kemanusiaan universal. Dan demikian pula
sebaliknya, pelanggaran dan penindasan kepada harkat dan
martabat seorang pribadi adalah tindak kejahatan kepada
kemanusiaan universal, suatu dosa kosmis, dosa yang amat
besar. Harkat dan martabat pribadi itu, sebagaimana telah
dikemukan tadi, dimulai dengan pemenuhan keperluan hidup
primernya, berupa sandang, pangan dan papan. Tetapi dari
deretan sejumlah argumen di atas juga dapat disimpulkan
bahwa terpenuhinya segi kehidupan lahiri tidaklah akan
dengan sendirinya berarti menghantar manusia kepada
dataran kehidupan yang lebih tinggi. Kehidupan material
dan kemakmuran hanyalah salah satu prasarana
meskipun amat penting, jika bukannya yang paling penting
bagi pencapaian kehidupan yang lebih tinggi.
Dengan meminjam adagium kaum Sufi, "Hanya orang yang
mampu berjalan di tanah datar yang bakal mampu mendaki
bukit."
Namun justru ibarat orang yang mampu berlari di tanah
datar tapi belum tentu tertarik untuk mendaki bukit, maka
demikian pula halnya dengan orang yang telah terpenuhi
kehidupan lahiriahnya: belum tentu ia tertarik untuk
meningkatkan dirinya ke dataran peri-kehidupan yang lebih
tinggi. Mungkin ia malah merasa puas hanya dengan
berlari-lari dan berputar-putar di tanah datar. Sungguh,
justru yang banyak kita jumpai ialah adanya mereka yang
memandang pemenuhan kehidupan lahiri sebagai tujuan akhir
dan menjadi titik ujung cita-cita hidupnya. Dalam bahasa
sehari-hari, orang seperti itu biasanya disebut
materialis atau bersemangat kebendaan. Maka agama-agama
senantiasa memberi peringatan, jangan sampai kita
terpedaya oleh kehidupan duniawi, kehidupan rendah,
kehidupan material, sehingga kita lupa akan kehidupan
yang lebih bermakna, yang lebih berarti dan lebih
bernilai. Agama memperingatkan bahwa harta kekayaan
juga anak dan keturunan adalah
"fitnah" atau percobaan dari Tuhan kepada kita.
Janganlah kita biarkan diri kita terbuai, terpukau dan
terkecoh oleh keberhasilan lahiri, kemudian kita
melupakan, mengabaikan dan meninggalkan sesuatu dalam
kehidupan ini yang nilainya lebih tinggi dan lebih agung
daripada segi-segi lahiriah dan jasmaniah. Maka sebagai
"fitnah" atau ujian dari Tuhan, harta dan
keturunan harus diarahkan dan digunakan untuk memperkuat
usaha menuju makna hidup yang lebih hakiki. Termasuk
keberhasilan dalam kehidupan lahiriah itu ialah
keberhasilan dalam memperoleh kekuasaan politik.
Kekuasaan politik bukanlah tujuan akhir perjalanan hidup
kita menuju kebahagiaan, baik pribadi maupun bersama.
Kekuasaan politik hanyalah sarana untuk mempermudah
mencapai tujuan itu. Karena itu Junjungan kita Nabi
Muhammad s.a.w. pun, setelah berhasil membebaskan Makkah
dari kaum musyrik Quraisy, diperintahkan Tuhan untuk
ber-tasbîh memuji-Nya dan memohon ampun kepada-Nya.
Yaitu, untuk meningkatkan diri kepada dataran nilai
kehidupan yang lebih hakiki, sebagai kelanjutan dari
kesuksesan beliau meletakkan prasarana kehidupan
sosial-politik.
Kita sekalian sebagai bangsa
Indonesia menyadari hal itu semua. Sebab semuanya itu
merupakan tuntutan asasi dari falsafah kebangsaan dan
kenegaraan kita, Pancasila. Dari falsafah itu kita
meyakini bahwa hidup yang bahagia harus terlebih dahulu
didasari oleh jiwa keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa tidak satu pun dari
kegiatan kita yang dibolehkan lepas dari kesadaran akan
asal dan tujuan hidup kita, yaitu Tuhan. Dari Dialah kita
berasal, dan kepada Nyalah kita akan kembali. Maka dalam
perspektif ini, seluruh hidup kita tidak lain adalah
persiapan guna menghadap ke Hadirat-Nya, dan kita semua
harus berusaha untuk memperoleh perkenan atau ridla-Nya.
Kebebasan Hati Nurani (Freedom of Conscience)
Sekarang, berusaha memperoleh perkenan atau ridla Tuhan
berarti berusaha menempuh hidup yang diresapi oleh rasa
kebajikan dan diilhami oleh keyakinan kepada kebenaran.
Berusaha memperoleh perkenan Ilahi dimulai dengan
ketulusan niat dalam hati sanubari untuk mengikuti jalan
yang benar dan mewujudkan kebaikan. Juga berarti bahwa
usaha mencapai perkenan Ilahi berpangkal dari hati
nurani, sebab inti sanubari ialah hati nurani. Sanubari
adalah modal primordial kita yang dianugerahkan oleh
Tuhan kepada kita guna dapat secara naluriah mengetahui
benar dan salah, baik dan buruk.
Dalam lubuk hati nurani yang paling dalam yang
dapat kita nyatakan secara lahiriah lewat ucapan lisan
kita kita mewujudkan niat, bahwa kita berbuat
dengan nama Allah dan bertujuan untuk ridla Allah. Oleh
karena itu manusia tidak akan mampu tampil sebagai
makhluk moral, yaitu makhluk yang secara logis dapat
dimintai pertanggungjawaban atas segala amal
perbuatannya, baik ataupun buruk, jika ia sebagai pribadi
tidak memiliki kebebasan untuk memilih tindakannya.
Seorang pribadi yang menjalankan tindakan dan perilakunya
karena terpaksa misalnya, karena ia hidup dalam
sistem sosial-politik yang tiranik, otoriter dan menindas
bukanlah seorang yang dapat dituntut untuk
mempertanggungjawabkan tindakan dan perilakunya itu. Ia
tidak dapat dituntut untuk tampil sebagai makhluk moral,
dan ia terbebas dari tanggungjawab, karena ia adalah
makhluk terpaksa. Tetapi itu berarti bahwa ia dirampas
hak dan kesempatannya untuk menampilkan dirinya secara
utuh. Dan pribadi yang tidak utuh serupa itu akan dengan
sendirinya terhalang dari jalan mendapatkan kebahagiaan
sejati. Ia menjadi manusia yang tidak lagi integral,
sehingga ia pun tidak lagi mungkin tampil sebagai
khalifah Allah di bumi. Karena itu sungguh besar
kezaliman orang yang merampas kebebasan orang lain
malalui tindakan tiranik, otoriter dan zalim. Karena
harkat dan martabartnya, manusia adalah makhluk yang
tidak boleh menindas dan tidak boleh pula ditindas.
Oleh karena itu kehidupan yang utuh, yang integral, yang
memenuhi fungsi kekhalifahan kemanusiaan universal di
bumi, berpangkal dari kebebasan nurani. Yaitu kebebasan
dari setiap bentuk pemaksaan, sekalipun pemaksaan yang
dilakukan atas nama kebenaran mapan (established truth),
sesuatu yang jelas benar dan baik. Keutuhan hidup manusia
dimulai dengan adanya kebebasan padanya untuk menerima
atau menolak sesuatu yang berkaitan erat dengan nilai
hidup pribadinya yang mendalam. Lebih-lebih setelah
mencapai tingkat peradaban seperti yang ditampilkan sejak
kurang lebih limabelas abad terakhir ini, kemanusiaan
universal haruslah dipandang sebagai telah dewasa, telah
matang dalam mengambil keputusan tentang hidup nuraninya.
Seorang manusia harus dibiarkan dengan bebas
bereksperimen dengan kebebasan hati nuraninya sendiri:
kebebasan untuk menerima atau menolak sesuatu baik
dan buruk, benar dan salah dengan kesediaan
menanggung risikonya sendiri, juga baik dan buruk,
bahagia dan sengsara. Sebab yang benar telah jelas
berbeda dari yang salah, yang sejati telah jelas
berlainan dari yang palsu. Manusia, dalam suasana
kebebasan dan kejujuran hati nuraninya, akan mampu
membedakan, menangkap dan mengikuti mana yang benar dari
yang salah, yang sejati dari yang palsu. Manusia sejak
limabelas abad terakhir ini harus dipandang sebagai
makhluk yang dewasa, yang perkembangan budayanya telah
dapat memperkuat kemampuan primordialnya untuk mengenali
yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang palsu.
Tinggal ia harus membuktikan sendiri, apakah pilihannya
itu membuahkan kebebasan yang lebih besar, yaitu
kebebasan dari setiap bentuk tirani termasuk
kecenderungan tiranik diri sendiri yaitu suatu
kebebasan yang menjadi buah dan hasil pengenalan dan
penganutan seseorang kepada yang benar dan yang sejati.
Oleh karena sedemikian asasinya kemerdekaan nurani ini,
maka biarpun seorang yang mengetahui dengan pasti tentang
apa yang benar dan yang sejati seperti para Nabi
dan Rasul, misalnya tidak diperkenankan Allah
memaksakan pengetahuannya itu kepada orang lain. Mereka
yang meyakini suatu kebenaran dan kesejatian, serta
meyakini pula bahwa kebenaran dan kesejatian itu akan
membawa keselamatan dan kebahagiaan orang lain,
dibolehkan hanya sampai kepada tingkat memberi peringatan
kepada orang lain itu, dan hanya sampai kepada tingkat
mengajaknya dengan hikmah kebijaksanaan, keterangan
persuasif yang penuh pengertian, dan argumentasi
dialektis yang meyakinkan. Karena itu para Rasul pun
hanya bertugas memberi peringatan seperti itu, dan
samasekali tidak diberi tugas untuk memaksa atau
menguasai orang lain.
Demokrasi, Demokratisasi dan Hak Asasi
Dalam persimpangan jalan pertumbuhan dan perkembangan
bangsa kita yang amat penting sekarang ini,
prinsip-prinsip kebebasan nurani dalam semangat
kemanusiaan universal tersebut di atas sungguh harus
mulai menjadi acuan serius bagi seluruh lapisan
masyarakat. Prinsip-prinsip itu merupakan dasar dan titik
tolak bagi segenap usaha mengembangkan dan menegakkan
kesadaran akan hak-hak asasi dan demokrasi, sejalan
dengan tekad dan cita-cita bangsa sebagaimana tertuang
dalam falsafah negara. Tidak seorangpun dari kita yang
boleh dibiarkan menyisihkan hak istimewa untuk dirinya
sehingga terbebas dari kewajiban memenuhi tuntutan
nilai-nilai falsafah negara itu. Hak dan kewajiban setiap
pribadi warga negara adalah sama di hadapan nilai
kefalsafatan negara. Hak seseorang terhadap yang lain
adalah kewajiban orang lain itu, dan kewajiban seseorang
terhadap orang lain adalah hak orang bersangkutan.
Seperti halnya semua nilai luhur tidak dengan sendirinya
terwujud dalam masyarakat tanpa kesungguhan
mengusahakannya, maka demikian pula hak-hak asasi juga
tidak akan terwujud tanpa pribadi-pribadi dan
lembaga-lembaga yang memiliki komitmen dan ketulusan
batin untuk memperjuangkannya. Maka kini, dalam simpang
jalan perjalanan bangsa ini, tindak lanjut logis dari
pembangunan bangsa yang amat prinsipil antara lain ialah
memperjuangkan hak-hak asasi sebagaimana dikehendaki oleh
falsafah negara. Berkaitan dengan sumber-sumber
kekuasaan, dalam masyarakat secara minimal harus
ditegakkan hak-hak yang tak terpisahkan dari
perikehidupan yang sentosa, yaitu hak-hak pribadi untuk
hidup dan memperoleh jaminan keamanan atas hidupnya itu;
hak-hak pribadi untuk tidak disiksa, baik fisik maupun
mental; hak-hak pribadi untuk memperoleh pengadilan yang
tidak memihak, yang fair; hak-hak pribadi untuk tidak
mengalami penangkapan dan penahanan sewenang-wenang.
Pelanggaran atas hak-hak pribadi tersebut akan merupakan
pelanggaran hak asasi yang paling telanjang. Pelanggaran
atas hak-hak itu juga merupakan penyelewengan yang paling
gawat dari dasar dan falsafah kenegaraan kita. Dan karena
hak-hak itu ada dalam konteks kekuasaan, maka usaha
melindungi dan menegakkannya memerlukan sistem dan
tatanan kekuasaan yang adil, yang fair, yang tidak
memihak kepada kepentingan diri sendiri dan golongan.
Yaitu suatu sistem kekuasaan yang tidak terpengaruh oleh
perasaan suka-tidak suka. Yaitu suatu kekuasaan yang
sanggup menegakkan keadilan sekalipun terkena kepada diri
si penguasa sendiri.
Asas Keimanan dan Ketaqwaan
Semuanya itu memerlukan sistem yang dalam dirinya
terkandung mekanisme untuk mampu mengawasi dan meluruskan
dirinya sendiri, serta mendorong pertumbuhan dan
perkembangannya ke arah yang lebih baik, dan terus lebih
baik. Yaitu sistem yang kini lazim disebut demokrasi.
Yaitu sistem yang dalam konteks falsafah kenegaraan kita
bertitik tolak dari jiwa keimanan dan ketaqwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa, dasar yang benar dari seluruh
kegiatan manusia.
Jiwa keimanan dan ketaqwaan itu melengkapi kita dengan
tujuan hidup yang tinggi, yang transendental, yang
mengatasi tujuan-tujuan hidup yang duniawi, yang
terrestrial. Tetapi karena keimanan dan ketaqwaan
selamanya bersifat pribadi justru yang paling
pribadi maka ia tidak cukup guna menciptakan
masyarakat yang membahagiakan semuanya. Keimanan dan
ketaqwaan itu harus diterjemahkan kedalam
tindakan-tindakan nyata dalam masyarakat, berupa
tindakan-tindakan kebajikan yang sejalan dengan semangat
kemanusiaan universal, sehingga berdampak kepada
kehidupan bersama.
Selanjutnya karena tindakan berdimensi sosial itu
menyangkut para anggota masyarakat yang menjadi
lingkungannya, jauh atau dekat, maka ia tidak dapat
dipertaruhkan hanya kepada keinginan atau aspirasi
pribadi. Tidak boleh diremehkan adanya kemungkinan
seorang pribadi dikuasai oleh kepentingan dirinya sendiri
dan didikte oleh vested interest-nya, menuju kepada
tirani. Maka dari itu dalam masyarakat selalu diperlukan
adanya mekanisme yang efektif untuk terjadinya proses
saling mengingatkan tentang apa yang benar dan yang
menjadi kebaikan bersama. Dan pada urutannya, proses
serupa itu memerlukan kebebasan menyatakan pendapat,
berkumpul, dan berserikat. Oleh karena itu setiap
pengekangan kebebasan-kebebasan ini dan pencekalan atau
pelarangan berbicara dan mengemukakan pikiran adalah
pelanggaran yang amat prinsipil terhadap tuntutan
falsafah kenegaraan kita. Dengan hasil pembangunan yang
membuat rakyat kita semakin cerdas dan semakin mampu
mengambil peran dalam kehidupan bersama sekarang ini,
setiap pengekangan dan pembatasan kebebasan menyatakan
pendapat harus diakhiri dengan tegas, dan kita harus
menumbuhkan dalam diri kita sendiri kepercayaan yang
lebih besar kepada rakyat. Janganlah kita menjadi korban
dari keberhasilan pembangunan nasional kita sendiri,
karena kita tidak menyadari dinamika masyarakat yang
menjadi konsekwensi logisnya, kemudian kita digulung oleh
gelombang dinamika perkembangan masyarakat itu.
Sampai di sini pun persoalan belum berhenti, dan tidak
cukup. Semua prinsip yang tiga itu keimanan,
keterlibatan sosial, serta kebebasan menyatakan pendapat
sebagai dasar terciptanya pengawasan dan pengimbangan
(check and balance) masih harus dilanjutkan dan
dilengkapi dengan jiwa, semangat dan kemampuan menahan
diri dan tabah hati untuk menerima kenyataan-kenyataan
yang mungkin bertentangan dengan kepentingan diri
sendiri, yaitu kenyataan-kenyataan yang akan membawa
kebaikan bersama. Harus ada semangat menepiskan
kepentingan diri sendiri dan mendahulukan kepentingan
orang banyak. Karena memang keterbukaan dan kebebasan
yang sejati selalu memerlukan sikap-sikap bertanggung
jawab, sikap-sikap yang bebas dari egoisme dan vested
interest. Sebab, seperti pernah diingatkan Bung Hatta,
kebebasan yang tak terkendali akan mengundang lawan
kebebasan itu sendiri, yaitu tirani.
Berdasarkan itu semua harus dipandang dan diterima
sebagai hal yang wajar saja bahwa akhir-akhir ini negeri
kita ditandai oleh arus deras tuntutan mewujudkan
demokrasi dan demokratisasi. Wajar, karena arus itu
merupakan salah satu dari banyak konsekwensi alami
tingkat perkembangan negara kita, baik yang materiil
maupun yang non-materiil. Yang materiil ialah taraf hidup
yang makin baik dari masyarakat pada umumnya, dan yang
non-materiil ialah taraf kemampuan kognitif yang lebih
tinggi daripada sebelumnya, sebagai hasil kesempatan
berpendidikan yang bertambah luas.
Sebagai hal yang wajar, kita harus menilai arah
perkembangan itu secara positif. Jika dapat dilakukan
pembedaan analitis yang tegas dan jelas antara segi makro
dan segi mikro arah perkembangan itu, maka barangkali
penilaian kita ialah bahwa keseluruhan perkembangan
tersebut akan membawa kebaikan bersama dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, sekalipun segi-segi mikronya
mungkin ada hal-hal yang tidak sepadan.
Masalah Oposisi
Dengan titik tolak pandangan dasar itu kita ingin bicara
tentang demokrasi, demokratisasi dan oposisi. Oleh karena
perkataan demokrasi sudah menjadi kata-kata harian, ada
kesan seolah-olah pembicaraan tentang hal itu tidak perlu
lagi. Tetapi ketika orang menyadari adanya tarik-menarik
antara, di satu pihak, pengertian demokrasi sebagai
sesuatu yang universal dan, di pihak lain, perwujudan
demokrasi itu dalam konteks ruang, seperti faktor
geografis yang acapkali berdampak kultural, dan konteks
waktu seperti pengalaman kesejarahan suatu bangsa yang
menjadi unsur kuat identifikasi diri bangsa itu, maka
kita dapati bahwa demokrasi--seperti halnya dengan
konsep-konsep besar lainnya, termasuk agama--tidak pernah
sederhana. Diskusi, bahkan kontroversi, di negeri kita
sekitar masalah itu sudah lama dikenal, sejak dari
masa-masa para bapak republik meletakkan dasar pemikiran
kenegaraan kita (yang antara lain menghasilkan Pancasila)
sampai kepada isyu tidak lama yang lalu seperti ide
reaktualisasi Islam oleh Munawir Syadzali dan
mempribumikan Islam oleh Abdurrahman Wahid. Reaksi-reaksi
yang sengit terhadap ide-ide itu menunjukkan kompleksitas
permasalahan bersangkutan.
Kompleksitas demokrasi yang berada dalam dinamika
tarik-menarik antara universalitasnya dan kenisbian
kultural dalam perwujudannya tercermin dalam kenyataan
tentang banyaknya ragam atau versi demokrasi, dari satu
negara ke negara lain. Keragaman itu sedemikian rupa
sehingga penilaian terhadap versi yang berbeda-beda itu
mendorong penilaian yang berbeda-beda pula, dalam
kategori penolakan dan penerimaan, pendukungan dan
penentangan. Alexis de Toqueville, misalnya, dalam
bukunya yang sudah menjadi klasik, Democracy in America,
mendapati bahwa demokrasi ala Amerika Serikat adalah pada
hakikatnya sebuah sistem yang memberi peluang kepada
mayoritas untuk bertindak semaunya. Demokrasi Amerika,
kata sarjana Perancis kenamaan itu, adalah semacam sistem
diktator mayoritas. Jika Anda termasuk minoritas, kata de
Tocqueville, Anda tidak akan mendapatkan apa-apa, karena
semuanya telah ditentukan oleh mayoritas yang memenangkan
pemilihan umum. Dan melalui kemenangan dalam pemilihan
umum itu sebuah partai mayoritas menyisihkan untuk
dirinya semua hak menentukan kebijakan politik, melalui
institusi kepresidenan yang amat kuat. Presiden yang
memangku jabatan dalam jangka waktu yang telah
ditetapkan, yaitu empat tahun, adalah seorang kepala
eksekutif yang sangat berkuasa, dan yang tidak dapat
dijatuhkan di tengah masa jabatan. Tentu ada
perkecualian, seperti Richard Nixon yang dikenakan
tuntuan Kongres (impeachment) karena skandal Watergate.
Di luar itu, demokrasi ala Amerika adalah sistem politik
yang melandasi pemerintahan yang sangat kuat, jauh lebih
kuat daripada banyak pemerintahan demokratis di Eropa
Barat. Maka jika pengamatan dan penilaian de Tocqueville
benar--sebagaimana banyak orang menerima dan meyakini
demikian--bahwa demokrasi Amerika adalah
"kedikatoran" atau "tirani
mayoritas", maka demokrasi Amerika sesungguhnya
boleh dikata bukanklah demokrasi, sebab sebuah
kediktatoran atau tirani, betapapun kualifikasinya
seperti pelaksanaannya yang oleh mayoritas, samasekali
bukanlah demokrasi.
Namun sudah pasti bahwa mereka yang bersangkutan sendiri,
yaitu orang-orang Amerika, akan dengan keras menolak
penilaian serupa itu. Demokrasi dalam pengertian yang
lebih menyeluruh tidak dapat direduksikan hanya kepada
mekanisme-mekanisme pelaksanaan kekuasaan yang antara
lain melahirkan kekuasaan mayoritas yang mungkin saja
berlangsung atas kerugian minoritas. Demokrasi adalah
lebih banyak daripada sekedar tatanan pemerintahan.
Meskipun hal itu amat penting, namun ia harus dipandang
sebagai salah satu hasil akhir yang bersifat formal dan
struktural. Dan segi-segi kekurangan sudut formal dan
struktural demokrasi itu dapat diimbangi dengan usaha
perbaikan sambil berjalan, melalui improvisasi
berdasarkan pengalaman-pengalaman nyata. Justru kekuatan
demokrasi ialah bahwa ia merupakan sebuah sistem yang
mampu, melalui dinamika internnya sendiri, untuk
mengadakan kritik kedalam dan perbaikan-perbaikannya,
berdasarkan prinsip keterbukaan dan kesempatan untuk
bereksperimen. Dan prinsip keterbukaan serta kesempatan
bereksperimen itulah salah satu dari ruh demokrasi yang
paling sentral.
Kebebasan dan Tanggung Jawab
Keterbukaan itu dengan sendirinya mengandung pengertian
kebebasan. Dan logika dari kebebasan ialah tanggung
jawab. Seseorang disebut bebas apabila ia dapat melakukan
sesuatu seperti dikehendakinya sendiri atas pilihan serta
pertimbangannya sendiri, sehingga orang itu secara logis
dapat dimintai pertanggungjawaban atas apa yang ia
lakukan. Seseorang yang melakukan sesuatu karena terpaksa
dengan sendirinya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban
atas apa yang dilakukannya itu. Seperti dikatakan oleh
S.I. Benn dan R.S. Peters,
Mengatakan bahwa seseorang tidak dapat menghindar atau
terpaksa melakukan sesuatu yang ia kerjakan adalah sama
dengan mengatakan bahwa dia tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban atas tindakannya itu. Karenanya dalam
pembicaraan tentang keadaan tak mampu menghindar dalam
kaitannya dengan kebebasan dan determinisme kita
sesungguhnya juga berbicara tentang konsep
pertanggungjawaban.
Oleh karena itu, menurut Bradley, sebagaimana dikutip
oleh Benn dan Peters, tanggung jawab dalam kaitannya
dengan kebebasan melibatkan beberapa persyaratan:
Pertama, kelangsungan identitas perorangan. Artinya,
tindakan yang bebas ialah tindakan yang tetap
mencerminkan kepribadian orang bersangkutan. Justru
seseorang bebas melakukan sesuatu karena sesuatu itu
mencocoki dirinya, sehingga menjadi pilihannya. Maka
tidak dapat dinamakan sebagai kebebasan jika seseorang
melakukan sesuatu yang tidak merupakan kelanjutan yang
konsisten dari kepribadiannya. Dan hanya dengan dasar
kontinuitas dan konsistensi itu maka seseorang dapat
dipandang sebagai bertanggung jawab atas tindakannya. Dan
ini merupakan dasar bagi keharusan adanya freedom of
conscience, kebebasan nurani.
Kedua, seseorang disebut bebas dan bertanggung jawab
kalau pekerjaan yang dilakukannya benar-benar keluar dari
dirinya sendiri, jadi tidak dipaksakan dari luar.
Pemaksaan didefinisikan oleh Bradley sebagai
"dihasilkannya suatu akibat, dalam jasmani atau
ruhani suatu makhluk hidup, dari sesuatu yang tidak
terkait sebagai konsekwensi kemauan makhluk itu."
("...the production, in the body or mind of an
animate being, of a result which is not related as a
consequence to its will.") Dengan perkataan lain,
pemaksaan adalah dihasilkannya suatu tindakan yang
bertentangan dengan kemauan yang bersangkutan. Karena itu
dia tidak dapat disebut sebagai bertanggung jawab atas
tindakan yang dilakukannya.
Ketiga, orang disebut bebas dan bertanggung jawab jika ia
berakal, yakni, ia mengetahui keadaan khusus perkara yang
dihadapi. Jika ia melakukannya karena tidak mengerti,
maka ia tidak dapat dipandang sebagai bertanggung jawab.
Keempat, orang bersangkutan haruslah seorang pelaku moral
(moral agent), yaitu orang yang mengetahui aturan umum
yang dituntut oleh masyarakatnya. Tanpa pengetahuan itu,
seseorang tidak mungkin diperlakukan sebagai bertanggung
jawab atas tindakannya.
Demokrasi dan Eksperimentasi
Demokrasi adalah suatu kategori dinamis, bukan statis.
Tidak seperti kategori-kategori statis yang stasioner
(diam di suatu tempat), suatu kategori dinamis selalu
berada dalam keadaan terus bergerak, baik secara negatif
(mundur) atau positif (maju). Dalam masalah sosial, suatu
nilai yang berkategori dinamis, seperti demokrasi dan
keadilan, gerak itu juga mengimplikasikan perubahan dan
perkembangan. Karena adanya sifat gerak itu, maka
demokrasi dan keadilan tidak dapat didefinisikan
"sekali untuk selamanya" (once and for all).
Karena itu "demokrasi" adalah sama dengan
"proses demokratisasi" terus-menerus. Cukuplah
untuk dikatakan bahwa suatu masyarakat tidak lagi
demokratis kalau ia berhenti berproses menuju kepada yang
lebih baik, dan terus yang lebih baik lagi.
Oleh karena itu faktor eksperimentasi, dengan coba dan
salahnya, trial and error-nya, adalah bagian yang
integral dari ide tentang demokrasi. Suatu sistem disebut
demokratis jika ia membuka kemungkinan eksperimentasi
terus-menerus, dalam kerangka dinamika pengawasan dan
pengimbangan (check and balance) masyarakat. Demokrasi
yang dirumuskan "sekali untuk selamanya",
sehingga tidak memberi ruang bagi adanya perkembangan dan
perubahan, adalah sesungguhnya bukan demokrasi, melainkan
kediktatoran. Contoh yang paling mudah untuk hal ini
ialah apa yang disebut "Demokrasi Rakyat" model
negara-negara komunis. Itulah demokrasi yang dirumuskan
"sekali untuk selamanya." Dan pengalaman
menunjukkan bahwa begitu orang mencoba merumuskan
demokrasi "sekali untuk selamanya" maka ia
berubah menjadi ideologi tertutup, padahal mengatakan
demokrasi sebagai ideologi tertutup adalah suatu
kontradiksi dalam terminologi.
Itulah sebabnya maka demokrasi memerlukan ideologi
terbuka. Atau, demokrasi adalah ideologi terbuka. Yaitu,
sekali lagi, ideologi yang membuka lebar pintu bagi
adanya perubahan dan perkembangan, melalui eksperimentasi
bersama. Karena itu demokrasi adalah satu-satunya sistem
yang mampu mengoreksi dirinya sendiri dan membuat
perbaikan dan perubahan ke arah kemajuan bagi dirinya
sendiri.
Eksperimentasi itu, sebagaimana telah disinggung,
dipertaruhkan kepada dinamika masyarakat, dalam wujudnya
sebagai dinamika pengawasan dan pengimbangan (check and
balance). Mengapa pengawasan, karena, sebagai ideologi
terbuka, demokrasi adalah sistem yang terbuka untuk semua
pemeran?serta (partisipan), dan tidak dibernarkan untuk
diserahkan kepada keinginan pribadi atau
kebijaksanaannya, betapapun wasesa-nya (wise-nya) orang
itu. Dan mengapa pengimbangan, karena sistem masyarakat
dapat dikatakan sebagai demokratis hanya jika terbuka
kesempatan bagi setiap kelompok dalam masyarakat untuk
berpartisipasi, apapun dan bagaimanapun caranya, dan
tidak boleh dibiarkan adanya unsur sebagian yang
mendominasi keseluruhan. Adalah mekanisme ini yang
membuat demokrasi di Amerika, misalnya, tidak sepenuhnya
merupakan "tirani mayoritas" seperti dikatakan
oleh Alexis de Tocqueville.
Oposisi dan Pengawasan dan Pengimbangan
Dengan begitu terciptalah sistem yang dalam dirinya
terkandung mekanisme untuk mampu mengoreksi dan
meluruskan dirinya sendiri, serta mendorong pertumbuhan
dan perkembangannya ke arah yang lebih baik, dan terus
lebih baik. Karena dalam analisa terakhir masyarakat
terdiri dari pribadi-pribadi atau, dalam perkataan lain,
masyarakat adalah jumlah keseluruhan pribadi-pribadi,
maka demokrasi pun sesungguhnya berpangkal kepada
pribadi-pribadi yang "berkemauan baik". Akan
tetapi karena sifatnya yang pribadi itu, kemauan atau
iktikad, baik dan buruk, dapat dipandang sebagai
"rahasia" yang menjadi urusan pribadi orang
bersangkutan. Maka ia akan mempunyai fungsi sosial hanya
jika diwujudkan dalam tindakan bermasyarakat, yang
bedimenasi sosial.
Karena tindakan berdimensi sosial itu menyangkut para
anggota masyarakat yang menjadi lingkungannya, jauh atau
dekat, maka ia tidak dapat dipertaruhkan hanya kepada
keinginan atau aspirasi pribadi. Tidak boleh diremehkan
adanya kemungkinan seorang pribadi dikuasai oleh
kepentingan dirinya sendiri dan didikte oleh vested
interest-nya, menuju kepada tirani. Maka dari itu dalam
masyarakat selalu diperlukan adanya mekanisme yang
efektif untuk terjadinya proses saling mengingatkan
tentang apa yang benar dan yang menjadi kebaikan bersama.
Dan pada urutannya, proses serupa itu memerlukan
kebebasan menyatakan pendapat, berkumpul, dan berserikat.
Oleh karena itu setiap pengekangan kebebasan-kebebasan
tersebut dan pencekalan atau pelarangan berbicara dan
mengemukakan pikiran adalah pelanggaran yang amat
prinsipil terhadap tuntutan falsafah kenegaraan kita. Di
sinilah relevannya pembicaraan tentang perlunya partai
oposisi. Yaitu partai atau kelompok masyarakat yang
senantiasa mengawasi dan mengimbangi kekuasaan yang ada,
sehingga terpelihara dari kemungkinan jatuh kepada
tirani.
Harus diakui bahwa ide tentang oposisi adalah sebuah
temuan modern. Artinya, sebelum zaman modern ini ide
tentang oposisi sebagai kelembagaan yang dibuat secara
deliberate belum ada. Yang ada pada zaman itu ialah
oposisi de facto yang lahirnya dan penerimaannya dalam
masyarakat bersifat kebetulan, tidak sengaja, alias
accidental. Padahal sesuatu yang terjadi hanya secara
"kebetulan" (apalagi jika wujud de facto-nya
ada tetapi pengakuan de jure-nya tidak ada), tidak akan
berjalan efektif, malah kemungkinan justru mudah
mengundang anarki dan kekacauan karena usaha-usaha check
and balance berlangsung sekenanya dan tidak dengan penuh
tanggung jawab.
Demokrasi dan Kedewasaan
Namun sesungguhnya prinsip-prinsip kemauan baik pribadi,
komitmen sosial, dan mekanisme pengawasan dan
pengimbangan melalui kebebasan-kebebasan menyatakan
pendapat, berkumpul dan berserikat, belumlah lengkap dan
sempurna. Kembali kepada pribadi, juga kepada kelompok,
masih diperlukan adanya sikap tabah dan tulus untuk
mendahulukan kepentingan umum dan menyisihkan kepentingan
pribadi semata, dan untuk melihat kemungkinan diri
sendiri salah dan orang lain benar. Dengan kata-kata
lain, diperlukan kedewasaan menyatakan pendapat, menerima
pendapat, dan berbeda pendapat. Ini dapat merupakan hal
yang amat berat atas individu-individu, mengingat
kecenderungan setiap orang kepada egoisme dan
mendahulukan vested interest?nya sendiri. Demokrasi tidak
akan terwujud jika tidak ada ketabahan pribadi untuk
kemungkinan melihat dirinya salah dan orang lain benar.
Dan ini hanya dapat diatasi jika setiap orang memahami
dan menerima demokrasi sebagai pandangan hidup, atau way
of life. Seperti dikatakan oleh T.V. Smith dan Eduard C.
Lindeman,
Orang-orang yang berdedikasi kepada pandangan hidup
demokratis mampu bergerak ke arah tujuan itu jika mereka
bersedia menerima dan hidup menurut aturan tentang
terlaksananya (hanya) sebagian dari idé-idé.
Perfeksionisme dan demokrasi adalah dua hal yang saling
tidak cocok.
Barangkali terlalu banyak kalau dikatakan bahwa demokrasi
menuntut adanya tingkat tanggung jawab pribadi yang
tinggi. Tetapi memang keterbukaan dan kebebasan yang
sejati selalu memerlukan sikap-sikap bertanggung jawab,
sikap-sikap yang bebas dari egoisme dan vested interest.
Seperti ternyata dari kutipan di atas, kita mampu
mendukung pandangan hidup demokratis kalau kita mampu
meninggalkan sikap "mau menang sendiri", dan
menerima ketentuan bahwa demokrasi akan menghasilkan
diterimanya dan dilaksakannya hanya sebagian dari
keinginan dan pikiran kita. Perfeksionisme dan absultisme
adalah pandangan-pandangan yang berlawanan dengan ide
demokrasi dan demokratisasi. Dalam demokrasi harus selalu
ada kesediaan untuk membuat kompromi-kompromi. Apalagi
selalu ada kemungkinan bahwa keinginan dan pikiran kita
sendiri itu adalah hasil perpanjangan dari vested
interest kita, jadi egois, setidaknya subyektif. Maka
prinsip "partial functioning of ideas" harus
benar-benar dimengerti, dihayati dan dipegang teguh.
Sudah tentu demikian pula halnya dalam kita melakukan
oposisi yang merupakan bagian amat penting dari mekanisme
check and balance, sebagai kekuatan amar maruf nahi
munkar (mendorong kebaikan dan mencegah kejahatan).
Wallâh-u alam.
|