ARISTOTELIANISME DALAM RASIONALISME
ISLAM KLASIK
Oleh : Nurcholish Madjid
Event Artikel : Oktober 1992
Diupdated
pada: Rabu 4 April 2001
Mukaddimah
Kalimat pertama kata pengantar Simon van den Berg untuk
terjemah Inggrisnya bagi buku Ibn Rusyd, Tahafut
al-Tahafut, terbaca demikian: "If it may be said
that Santa Maria sopra Minerva is a symbol of our
European culture, it should not be forgotten that the
mosque also was built on the Greek temple."1 (Jika
boleh dikatakan bahwa Santa Maria sopra Minerva adalah
sebuah lambang kebudayaan Eropa kita, maka harus tidak
dilupakan bahwa masjid pun didirikan di atas kuil
Yunani"). Maksud van den Berg dengan ungkapannya itu
ialah: (1) budaya Barat adalah budaya Kristen
(dilambangkan dalam pribadi Maria atau Maryam yang suci,
Ibunda Isa al-Masih) yang didirikan di atas mitologi
Yunani-Romawi (yang dilambangkan dalam dewi Minerva); (2)
bahwa Islam pun, yang dilambangkan dalam bangunan masjid,
juga didirikan di atas budaya Yunani, yang dilambangkan
dalam bangunan kuil-kuilnya. Dengan kata-kata lain,
menurut van den Berg, sebagaimana budaya Eropa merupakan
hasil peleburan agama Kristen dalam mitologi
Yunani-Romawi, budaya Islam pun sangat berat terpengaruh
oleh Hellenisme. Sekalipun van den Berg agak
melebih-lebihkan, namun kenyataannya memang dalam
beberapa sosok pemikiran Islam, khususnya Falsafah, Kalam
dan Tasauf, terdapat banyak unsur budaya Yunani. Dari
berbagai unsur Hellenisme atau budaya Yunani yang telah
menyebar ke berbagai kawasan dalam lingkungan Timur Dekat
itu, falsafah adalah yang paling berpengaruh. Dan dari
falsafah itu, rasionalisme Aristoteles, melalui teori
logika formalnya, adalah yang paling menonjol. Falsafah
dan Kalam adalah berturut-turut yang terbanyak menyerap
silogisme Aristoteles, yang di kalangan umat Islam lebih
dikenal dengan sebutan Ilmu Manthiq ('ilm al-manthiq),
atau Manthiq Aristi (al-manthiq al-aristhI).
Mengapa Pinjam?
Pertanyaan "mengapa pinjam" sudah muncul sejak
masa-masa paling dini perkembangan pemikiran Islam.
Pertanyaan itu ada yang muncul sebagai akibat rasa
perhatian yang sungguh-sungguh terhadap kemungkinan umat
Islam melakukan peminjaman tanpa pilih-pilih sehingga
membuat agama Islam kehilangan kemurniannya. Tetapi juga
ada pertanyaan serupa itu yang timbul hanya karena gejala
semacam xenophobia. Dalam hal ini setiap kelompok umat
manusia sedikit-banyak mempunyai perasaan takut kepada
orang atau sesuatu dari budaya asing, antara lain sebagai
mekanisme pertahanan diri, khususnya dalam masa-masa
kelompok itu merasa kalah oleh bangsa lain. Tentu saja di
kalangan umat Islam, dari dahulu sampai sekarang, juga
ada yang mempunyai perasaan serupa itu.
Tetapi sesungguhnya pertanyaan itu tidak perlu timbul
dari kalangan umat Islam. Sebab sejak dari semula, oleh
Rasulullah s.a.w. sendiri, bahkan termuat dalam
al-Qur'an, Islam ditegaskan sebagai agama universal dan
bersemangat kosmopolitan. Universalisme Islam menyatakan
diri dalam dua sisi: (1) Ajaran Islam cocok untuk setiap
zaman dan tempat, karena esensinya didasarkan kepada
nilai kemanusiaan asal yang suci (fithrah). Maka Islam
disebut agama fithrah, merupakan fithrah yang diturunkan
dari Tuhan (fithrah munazzalah) kepada umat manusia
melalui para Rasul Allah sejak Adam a.s. sampai Muhammad
s.a.w. Ajaran Islam juga cocok untuk setiap zaman dan
tempat karena segi pelaksanaan dan institusionalisanya
dapat dibuat untuk mencocoki tuntutan spesifik zaman dan
tempat itu, melalui penalaran kembali atau ijtihad secara
dinamis akan makna-makna esensial dan substantifnya; (2)
Universalisme Islam juga menyatakan diri dalam
sikap-sikapnya yang terbuka (dan membuka diri) untuk
setiap hal yang baik dari budaya umat manusia mana saja.
Sisi kedua universalisme Islam berpangkal dari pandangan
yang positif-optimis kepada manusia, sebagai kelanjutan
konsep fithrah yang mengajarkan bahwa manusia itu menurut
kejadian asalnya adalah suci-bersih. Apalagi al-Qur'an
juga menegaskan bahwa umat manusia itu pada asalnya
adalah umat yang satu.2 Maka untuk menegaskan sisi ini
Rasulullah s.a.w. menganjurkan agar kita belajar meskipun
ke negeri Cina,3 agar kita memungut hikmah atau wisdom di
manapun menjumpainya,4 dan agar kita mengambil hikmah
atau wisdom dari mana dan siapapun berasal, tanpa
mempedulikan "bejana"-nya.5
Sebagai wujud kesejarahan dari universalisme,
kosmopolitanisme dan humanisme Islam itu, kaum Muslim
Arab yang dalam kecepatan luar biasa membebaskan
daerah-daerah Hellenis juga mengambil dan memungut
unsur-unsur budaya setempat yang kiranya berguna begi
umat Islam. Maka ketika Bani Umayyah berkuasa dan
mengambil Damaskus, sebuah kota Hellenis, sebagai
ibukota, mereka menggunakan tenaga-tenaga berbahasa
Yunani untuk urusan administrasi negara, juga
mempertahankan uang Yunani untuk urusan ekonomi. Memang
kemudian Khalifah 'Abdul-Malik ibn Marwan melalukan
Arabisasi, namun sistem administrasi pemerintahan Bani
Umayyah sebagian besar masih tetap berdasarkan sistem
warisan Byzantium yang mereka usir dari Timur Tengah.
Demikian pula Bani 'Abbas, mereka ini menegakkan sistem
pemerintahannya sebagian besar berdasarkan warisan sistem
Persia dari dinasti Sasan, dengan mempekerjakan
tenaga-tenaga ahli mereka selaku menteri-menteri, seperti
keluarga Barmak yang terkenal. Dan ketika Muhammad ibn
Qasim membebaskan India, dan para gubernur Islam yang
datang kemudian, mereka menggunakan tenaga-tenaga ahli
India yang beragama Hindu untuk menjalankan administrasi
negara, dengan mengikuti sistem yang sudah ada
sebelumnya. Ini digambarkan dalam penjelasan seorang ahli
tentang Islam di Anakbenua India, demikian:
Setelah pendudukan Sindus, kebijakan orang Arab di sana,
sebagaimana di tempat-tempat lain dalam kekhalifahan
Umayyah, ialah mempertahankan sebanyak mungkin
sifat-sifat bentuk administrasi setempat yang sekiranya
sejalan dengan pandangan administratif mereka. Sindus
beruntung mempunyai Muhammad ibn Qasim sebagai gubernur
Muslim pertama mereka, yang membiarkan banyak sekali
sifat-sifat sistem administrasi Hindu untuk tetap
berjalan; dan administrasi sipil dan pajak tetap berada
di tangan orang-orang Hindu atau orang Islam pindahan
dari Hinduisme. Inovasinya yang paling mencolok ialah
penunjukannya kepada Siskar, bekas menteri dari musuhnya
yang ditaklukkan, Raja Dahir, sebagai penasehatnya
setelah Siskar menerima Islam.6
Demikian itu sikap kosmopolitan kaum Muslim di bidang
administrasi negara dan pemerintahan, dam demikian pula
sikap mereka dalam bidang-bidang yang lain, khususnya
ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, penghargaan kepada kaum
Muslim klasik sudah bukan barang baru lagi. Salah satunya
tercermin dari ungkapan Halkin, seorang ahli sejarah
budaya Yahudi, demikian:
Adalah jasa orang-orang Arab bahwa sekalipun mereka itu
para pemenang secara militer dan politik, mereka tidak
memandang peradaban negeri-negeri yang mereka taklukkan
dengan sikap menghina. Kekayaan budaya-budaya Syria,
Persia, dan Hindu mereka salin ke bahasa Arab segera
setelah diketemukan. Para khalifah, gubernur, dan
tokoh-tokoh yang lain menyantuni para sarjana yang
melakukan tugas penerjemahan, sehingga kumpulan ilmu
bukan-Islam yang luas dapat diperoleh dalam bahasa Arab.
Selama abad-abad kesembilan dan kesepuluh, karya-karya
yang terus mengalir dalam ilmu-ilmu kedokteran, fisika,
astronomi, matematika, dan filsafat dari Yunani, sastra
dari Persia, serta matematika dan astronomi dari Hindu
tercurah ke dalam bahasa Arab.7
Atau seperti dikatakan oleh C.A. Qadir:
. . . pusat-pusat pengajaran yang dipimpin oleh
orang-orang Kristen terus berfungsi tanpa terusik bahkan
setelah mereka itu ditaklukkan oleh orang-orang Muslim.
Ini menunjukkan tidak saja kebebasan intelektual yang
terdapat di mana-mana di bawah pemerintahan Islam zaman
itu, tetapi juga membuktikan kecintaan orang-orang Muslim
kepada ilmu dan sikap hormat yang mereka berikan kepada
para sarjana tanpa mempedulikan agama mereka.8
Disebut-sebut bahwa al-harits ibn Qaladah, seorang
Sahabat Nabi, sempat mempelajari ilmu kedokteran di
Jundisa-pur, Persia, tempat berkumpulnya beberapa
failasuf yang dikutuk gereja Kristen karena dituduh telah
melakukan bid'ah. Disebut-sebut juga bahwa Khalid ibn
Yazid (ibn Mu'awiyah) dan Ja'far al-Shadiq sempat
mendalami alkemi (al-kimya') yang menjadi cikal-bakal
ilmu kimia moderen.9 Bahkan seorang khalifah Bani
Umayyah, Marwan ibn al-hakam (683-685 M), memerintahkan
agar buku kedokteran oleh Har-n, seorang dokter dari
Iskandaria, Mesir, diterjemahkan dari bahasa Suryani
(Syriac) ke bahasa Arab.10
Sedikit tentang Hellenisme
Dari uraian di atas nampak jelas bagaimana pandangan
hidup Islam berkenaan dengan masalah peminjaman kultural
itu. Tindakan itu merupakan konsistensi universalisme,
kosmopolitanisme dan humanisma Islam. Maka meminjam
budaya bangsa dan umat yang lain samasekali tidak
mengandung stigma atau pun cela, justru terpuji, asalkan
disertai dengan sikap kritis menurut jalan pikiran Islam.
Contohnya yang paling mudah ialah bagaimana umat Islam
klasik meminjam dari Cina teknik pembuatan mesiu (sesuai
dengan petunjuk Nabi supaya menuntut ilmu sekalipun ke
Cina). Sejarah mencatat bahwa umat Islam belajar membuat
mesiu dari orang-orang Cina. Tetapi umat Islam
meminjamnya dengan sikap kritis. Pada orang Cina, mesiu
hanya berfaedah untuk membuat petasan, guna menciptakan
suara gaduh, guna mengusir setan. Ini berkatian dengan
keperayaan mereka bahwa setan takut atau tidak senang
kepada suara gaduh berupa ledakan-ledakan. Maka dalam
perasyaan-perayaan Cina, kehadiran petasan atau mercon
adalah keharusan, demi keselamatan perayaan itu karena
setan tidak akan mengganggu. Tentu saja umat Islam
menolak samasekali takhayul semacam itu. Karena itu
teknik membuat mesiunya diambil, tanpa takhayul dan
mitologi Cinanya. Dan mesiu itupun mereka gunakan sebagai
senjata dalam peperangan, sehingga kerajaan-kerajaan
Mogul di India, Shafawi di Iran dan Ustmani di Turki
disebut oleh sementara ahli sejarah dunia sebagai
"kerajaan-kerajaan mesiu" (gunpowder kingdoms).
Dengan begitu mesiu yang semula hanya berguna untuk
mengusir setan-sebutlah begitu-di tangan pemerintahan
Islam bermanfaat untuk menguatkan kekuasaan dan
memperketat pengawasan birokrasi kota-kota.11
Analog dengan itu ialah sikap-sikap kaum Muslim terhadap
segi-segi budaya bangsa-bangsa lain yang abstrak, seperti
falsafah dan ilmu pengetahuan. Dalam bidang inilah umat
Islam banyak sekali meminjam dari bangsa-bangsa lain.
Bahkan, umat Islam menjadi agen pertama
penginternasionalan ilmu pengetahuan. Ini terjadi dari
dua jurusan: semua ilmu pengetahuan yang ada di kalangan
umat manusia secara internasional disatukan; kemudian
ilmu yang telah menyatu hasil pengolahan oleh Islam
disajikan lagi kepada umat manusia secara internasional.
Sejak itu suatu "kebenaran" ilmiah tidak lagi
"nasional" dan "parokial", melainkan
internasional, dengan pengujian-pengujian yang bahan
pertimbangannya universal.
Umat Islam melakukan peminjaman itu dari seluruh muka
bumi yang dikenal mereka saat itu. Tapi dari antara bahan
yang banyak dipinjam oleh umat Islam, falsafah dan ilmu
pengetahuan Yunani adalah yang paling banyak dan paling
berpengaruh. Bangsa Yunani memang memiliki keistimewaan
yang luar biasa dalam hal falsafah dan ilmu pengetahuan
ini, sampai orang bicara tentang "mukjizat
Yunani." Yaitu "mukjizat" yang melahirkan
dunia baru, yang secara radikal berbeda dari dunia
sebelumnya sejak manusia memasuki fajar sejarah oleh
bangsa-bangsa di Lembah Mesopotamia dan Mesir. Unsur
"mukjizat" Yunani yang paling penting ialah
paham kemanusiaannya, suatu pahan bahwa manusia adalah
pusat jagad raya, bahkan jagad raya itu sendiri dalam
bentuk kecil (micro cosmos). Meskipun jalan pikiran
orang-orang Yunani masih dipenuhi oleh takhayul dan
mitologi (yang baru berkurang drastis setelah menerima
ajaran Kristen), namun pandangan mereka yang menempatkan
manusia di pusat jagad raya telah membuat manusia dan
pemikirannya menjadi sangat penting. Bahkan dewa-dewa pun
mereka gambarkan secara sangat antropomorfis (menyerupa
manusia) sehingga terasa intim dan dekat, jauh lebih
intim daripada gambaran dewa-dewa Mesopotamia dan Mesir
yang serba menakutkan.
Keintiman kepada nilai kemanusiaan itu menjadi pangkal
kreatifitas orang-orang Yunani, dan itu tersalurkan dalam
karya-karya sastra dan falsafah mereka. Para penguasa
Yunani banyak yang berusaha menyebarkan pandangan hidup
Yunani itu, antara lain ialah Iskandar Agung. Ia
menaklukkan banyak negeri, dan di mana-mana menanamkan
budaya Yunani. Inilah yang disebut Hellenisasi, yaitu
penyebaran pola budaya yang kelak oleh ahli sejarah dari
Jerman, J. G. Droysen disebut Hellenisme. Yaitu pola
budaya yang menyebar di kawasan Timur Tengah sejak tahun
323 S.M. sampai 30 S.M., atau dari saat kematian Iskandar
Agung sampai penggabungan Mesir ke dalam kekaisaran
Romawi. Dalam periode itu muncul banyak kerajaan di
sekitar Laut Tengah, khususnya pesisir timur dan selatan
seperti Syria dan Mesir, yang diperintah oleh bangsa
Makedonia dari Yunani. Akibatnya, mereka ini membawa
berbagai perubahan besar dalam banyak bidang di kawasan
itu, antara lain bahasa (daerah-daerah itu didominasi
Bahasa Yunani) dan pemikiran (ilmu pengetahuan Yunani,
terutama filsafatnya, diserap oleh daerah-daerah itu
melalui berbagai cara).12 Dari dunia Hellenis itulah umat
Islam meminjam banyak unsur falsafah dan ilmu.
Kedudukan Aristotelianisme
Di atas telah dikemukakan bahwa yang paling berpengaruh
kepada dunia pemikiran Islam ialah Aristotelianisme,
khususnya teori logika formal yang telah berkembang.
Mengapa Aristotelianisme, adalah suatu hal yang amat
menarik. Salah satu keterangannya ialah karena
Aristotelianisme sejalan dengan rasionalisme Islam-jika
tepat menamakannya demikian-yaitu semangat yang ada di
balik banyak sekali gugatan dalam al-Qur'an agar manusia
menggunakan akal, berfikir, merenung, memperhatikan dan
memikirkan kejadian alam raya, dst.
Salah seorang failasuf Islam besar yang amat
"fanatik" kepada Aristoteles ialah Ibn Rusyd
(Averroes) dari Andalusia, Spanyol. Sedemikian
fanatiknya, sampai-sampai ia mengatakan bahwasanya tidak
ada kebenaran yang lebih tinggi daripada kebenaran yang
diajarkan oleh Aristoteles. Dan Ibn Rusyd hanya
meneruskan persepsi yang sudah lama ada dalam dunia
pemikiran Islam, yang menganggap bahwa Aristoteles adalah
"guru pertama" (al-mu'allim al-awwal), dan
seorang failasuf Muslim sendiri, al-Farabi, hanyalah
sorang guru kedua (al-mu'allim al-tsanI). Ibn Rusyd juga
mempunyai semacam obsesi untuk "memurnikan"
ajaran-ajaran Aristoteles dari kemungkinan kemasukan
ajaran-ajaran luar, sehingga ia sempat mengritik Ibn Sina
(Avicenna), pendahulunya di Timur (Persia), karena
dianggap kurang murni karena lebih banyak memahami dan
mengikuti Neo-Platonisme. Ibn Rusyd dianggap representasi
terbesar Aristotelianisme dalam Islam, dan perannya
sebagai penafsir falsafah Aristoteles membuatnya mendapat
gelar sebagai komentator agung.13
Pengaruh Aristotelianisme dalam Ilmu Kalam juga amat
besar. Bahkan sesungguhnya ada petunjuk bahwa ilmu
tradisional Islam yang banyak membahas masalah
sendi-sendi kepercayaan ini dinamakan "Ilmu
Kalam" karena terkait erat dengan logika
Aristoteles. Perkataan Arab "kalam" adalah
sinonim dengan perkataan Arab "manthiq" yang
agaknya merupakan terjemahan perkataan Yunani
"logos", asal kata perkataan
"logika." Jadi Ilmu Kalam adalah Ilmu Manthiq,
yang juga berarti Ilmu Logika. Demikian itu setidaknya
karena amat pentingnya metode berpikir logis (termasuk
berpikir menurut kaedah logika formal dari Aristoteles)
dalam usaha pembuktian rasional suatu simpul atau akidah
('aqidah) keimanan (seperti, misalnya, bahwa Tuhan
bersifat "Kemaha-Esaan" atau
"Wahdaniyyah", dll.) Maka tidak mengherankan
bahwa Ab- al-hasan al-Asy'ari, salah seorang tokoh Ilmu
Kalam (dan bapak Ilmu Kalam Sunni) menulis risalah yang
membela kedudukan Ilmu Logika dan menganjurkan kaum
Muslim untuk mempelajarinya.14
Sampai sekarang Ilmu Logika Aristoteles itu masih
dipelajari oleh banyak kaum Muslim, termasuk di berbagai
pesantren di tanah air kita. Berbagai buku dalam teori
berpikir logis ini juga banyak ditulis orang, termasuk
oleh para kiyahi kita. Ini tentu wajar sekali, mengingat
Imam al-Ghazali sendiri adalah seorang penganjur
pelajaran Ilmu Manthiq, yang untuk itu ia banyak menulis
buku.15 Melalui al-Ghazali dan al-Asy'ari itu
Aristotelianisme diterima oleh hampir seluruh kaum Muslim
sebagai bagian dari tradisi dan budaya mereka sendiri.
Problema "Selective Borrowing"
Telah dikatakan bahwa umat Islam, menurut pandangan
hidupnya, tidak mempunyai halangan untuk melakukan
peminjaman unsur budaya dari bangsa-bangsa lain namun
harus dilakukannya dengan sikap kritis dan selektif
secukupnya. Telah dikemukakan pula bagaimana umat Islam
meminjam teknologi pembuatan mesiu dari Cina dengan
membuang mitologinya, sebagai contoh yang cukup
ilustratif. Dalam hal-hal yang lebih abstrak, tentu saja
persoalannya lebih ruwet. Namun tidak berarti bahwa
prinsip yang sama tidak diterapkan kaum Muslim klasik.
Maka demikian itulah keadaannya berkenaan dengan
peminjaman umat Islam dari bahan-bahan budaya dan pikiran
bangsa-bangsa lain. Telah disebutkan bahwa
Aristotelianisme dipinjam umat Islam karena sejalan
dengan perintah-perintah al-Qur'an untuk berpikir dan
memperhatikan alam raya. Setidaknya itulah argumen yang
dibentangkan oleh Ibn Rusyd dalam salah satu
makalahnya.16 Karena itu dari Aristotelianisme pun
peminjaman oleh umat Islam lebih dipusatkan kepada ilmu
logika. Sedangkan metafisika Aristoteles, umat Islam
cenderung sangat kuat menolaknya, sebagaimana menjadi
tema pokok polemik al-Ghazali terhadap para failasuf.
Jadi dalam hal Aristotelianisme pun umat Islam melakukan
"selective borrowing." Juga dalam
Neo-Platonisme, yang mendapatkan tempat yang baik dalam
dunia pemikiran Islam, khususnya dalam Ilmu Tasauf,
karena ia mengesankan paham Ketuhanan Yang Maha Esa atau
Tauhid yang diajarkan Islam. Namun umat Islam banyak
sekali meninggalkan unsur Neo-Platonisme yang terlalu
mistis.
Jalan pikiran itu dapat diteruskan dengan menapak ke
belakang. Dari dunia Hellenis dan dari Yunani sendiri
sebenarnya umat Islam menemukan tidak hanya falsafah,
melainkan berbagai unsur budaya lain, termasuk
kesusasteraan. Namun agaknya umat Islam a priori menolak
sastra Yunani. Akibatnya, umat Islam begitu intim
mengenal nama-nama besar dalam falsafah dan ilmu
penetahuan Yunani, namun boleh dikata tidak mengenal
samasekali tokoh-tokoh sastra Yunani seperti Homerus,
Hesiod, Aeschylus, Sophocle, Euripides, Aistophanes,
Menander, Lysias, Demosthenes, Aesop, Sappho, Pindar,
Herodotus, Thucydides, dan lain-lain. Dengan sendirinya
umat Islam juga tidak kenal dengan karya-karya sastra
besar, seperti Iliad dan Edyssey oleh Homerus, Oedipus
Rex, dan Ajax oleh Sophocles, Electra, Hecuba dan Helena
oleh Euripides, dll. Bahkan karya-karya para failasuf
sendiri yang ditulis dalam gaya sastra atau novel juga
tidak dengan intim dikenal kaum Muslim, seperti
karya-karya Plato Euthyphro dan Phaedo.
Tentang apa sebabnya demikian, kiranya cukup mudah
diterangkan. Karya-karya sastra itu selalu mengandung
mitologi, dan setiap mitologi bagi umat Islam akan
dinilai sebagai bagian dari paham yang musyrik. Sebagai
contoh dapat dikemukakan di sini bagian terpenting dari
"Perang Troja" dari novel Iliad karangan
Homerus, seperti diuraikan oleh seorang ahli:
Beberapa saat sebelum Perang Troja, dewa Zeus mengatur
agar Thetis, seorang dewi, kawin dengan Peleus (seorang
manusia biasa); mereka berdua kemudian menjadi ibu dan
bapak Achilles yang mulia. Pada saat perkawinan, semua
dewa dan dewi bersuka ria ketika Eris, seorang dewi
pertengkaran, yang karena alasan yang sudah jelas tidak
diundang, tiba-tiba melemparkan apel emas ke
tengah-tengah mereka dengan kata-kata "UNTUK YANG
PALING ADIL" terukir padanya.
Hera, Athena, dan Aphrodites masing-masing mengaku bahwa
apel itu miliknya, dan minta kepada Zeus untuk menjadi
hakim, namun ia dengan bijaksana menolak dan, sebaliknya,
ia menunjuk Paris si penggembala, yang sedang menunggui
ternaknya dekat sana, agar menentukan kontes itu. Para
dewi mendekati Paris, dan masing-masing mencoba
menyuapnya dengan menawarkan keistimewaannya: Hera
menawarinya kerajaan yang kaya dan kekuasaan; Athena
menawarinya kebijakan dan keunggulan militer; Aphrodites
menawarinya cinta dan wanita tercantik di dunia, yaitu
Helen yang amat menakjubkan. Karena itu Paris memilih
Aphrodites, dan dengan begitu menjadi musuh bebuyutan
bagi Hera dan Athena, yang kedua dewi itu bersumpah untuk
menghancurkan Paris dan kota Troy.17
Jadi novel itu penuh dengan kemusyrikan. Maka mustahil
umat Islam akan bersedia menyerap dan menghayati hal
serupa itu. Sedangkan bagi dunia Barat, sekalipun telah
menjadi Kristen dan sudah melewati fase-fase ketika para
tokoh Gereja ingin memberantas paganisme Yunani itu,
cerita tersebut dan banyak sekali yang serupa tetap
populer, lebih-lebih di Zaman Moderen ketika humanisme
yang menolak agama (Kristen) berkembang kokoh.
Sebab yang lain mengapa umat Islam melakukan peminjaman
yang amat selektif dan menolak karya-karya sastra ialah,
karena karya-karya sastra Yunani itu kebanyakan
bertemakan tragedi. Dan tema tragedi itu berkisar dari
dua unsur terpenting, yaitu "The Unhappy
Ending" (Kesudahan Yang Tak Bahagia) dan "The
Tragic Hero" (Pahlawan Tragis). Oleh karena itu
secara esensial dikatakan bahwa tragedi adalah cerita
tentang kejatuhan dan kematian seorang besar. Aeschylus,
Sophocle, dan Euripides disebut-sebut sebagai para
pelopor penulisan cerita sastra dengan tema menyedihkan
itu.18
Umat Islam tidak dapat menerima representasi kehidupan
yang pesimis seperti itu. Umat Islam diajari oleh Kitab
Suci-nya untuk melihat dengan optimis kehidupan ini dan
lingkungannya. Dan meskipun dari sastra Yunani ada bentuk
sastra dengan tema sebaliknya, yaitu komedi, namun
penggarapan masalah hidup di situ dalam pandangan umat
Islam kurang mengena, karena masih disajikan dalam
kemasan weltanschauung yang khas kemusyrikan Yunani. Maka
umat Islam menolaknya, dan tidak mau meminjamnya. Umat
Islam, karena latar belakang budaya Arabnya, lebih banyak
bersandar kepada warisan sastra Arab, kemudian ditambah
dengan unsur-unsur warisan bangsa-bangsa Arya (Iran dan
India), seperti, misalnya Kalilah wa Dimnah, Sindbad
al-Bahr, dll., yang tanpa tragedi atau komedi, namun
memuat pesan-pesan yang jelas.
Jadi, seperti diberikan petunjuknya dalam al-Qur'an, umat
Islam dipujikan sebagai golongan yang mendapat hidayah
Allah karena mempunyai sikap terbuka kepada apapun yang
bermanfaat, namun tetap kritis agar mampu mengikuti mana
yang terbaik.19
Wa 'l-Lah-u a'lam.
Catatan:
1 Simon van den Berg, Averroes' Tahafut al-Tahafut,
(terjemahan Inggris), (London: Oxford University Press,
1954), "Introduction," h. ix.
2 Lihat Al-Qur'an, s. al-Baqarah/2:213, s. Y-nus/10:19.
3 hadIts, (Carilah ilmu sekalipun ke negeri Cina)
4 hadIts, (Hikmah adalah barang-hilang kaum beriman. Maka
siapapun menjumpainya hendaknya ia memungutnya).
5 hadIts, (Ambillah hikmah, dan tidak akan berbahaya bagi
kamu dari bejana apapun ia keluar).
6 "After the occupation of Sind, the policy of the
Arabs there, as elsewhere in the Umayyad caliphate was to
retain as many features of the local forms of
administration as were compatible with administrative
outlook. Sind was lucky to have Muhammad ibn Qasim as its
first Muslim governor, who allowed the broad features of
Hindu administrative system to continue to operate; and
the civil and the revenue administration remained either
in the hands of the Hindus or converts from Hinduism. His
boldest innovation was the appointment of SIskar, the
former minister of his vanquished adversary Raja Dahir,
as his adviser after SIskar had accepted Islam."
(Aziz Ahmad, Studies in Islamic Culture in the Indian
Environment [Oxford: Clarendon Press, 1964], h. 101).
7 It is to the credit of the Arabs that although they
were the victors militarily and politically, they did not
regard the civilization of the vanquished lands with
contempt. The riches of Syrian, Persian, and Hindu
cultures were no sooner discovered than they were adapted
into Arabic. Caliphs, governors, and others patronized
scholars who did the work of translation, so that a vast
body of non-Islamic learning became accessible in Arabic.
During the ninth and tenth centuries, a steady flow of
works on Greek medicine, physics, astronomy, mathematics,
and philosophy, Persian belles-lettres, and Hindu
mathematics and astronomy poured into Arabic. (Abraham S,
Halkin, "The Judeo-Islamic Age, The Great
Fusion" dalam Leo W. Schwarz, ed., Great Ages &
Ideas of the Jewish People [New York: The Modern Library,
1956], hh. 218-219.
8 . . . the centers of learning led by the Christians
continued to function unmolested even after they were
subjugated by the Muslims. This indicates not only the
intellectual freedom that prevailed under Muslim rule in
those days, but also testifies to the Muslims' love of
knowledge and the respect they paid to the scholars
irrespective of their religion. (C. A. Qadir, Philosophy
and Science in the Islamic World [London: Croom Helm,
1988]. h. 34).
9 Drs. Hasyim Asy 'arI MA, Bahasa Arab dan Perkembangan
Ilmu Pengetahuan (makalah dalam seminar tentang Bahasa
Arab, Fakultas Sastra, UGM, Yogyakarta, 15-16 Oktober
1988).
10 Qadir, h. 34.
11 Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam, 3 jilid
(Chicago: the University of Chicago Press, 1974), jil. 3,
h. 26.
12 Lihat Britannica, s.v. "Hellenic Age".
13 "Avicenna was a Neo-Platonist, while Averroes,
the last of the Muslims who dared stand up for philosophy
against orthodox theology, was Aristotelian to the core;
'the last great representative of Greek philosophy in
medieval Islam.'" (The Age of Belief, p. 127).
14 Yaitu risalah Istihsan al-Khawdl fI 'Ilm al-Kalam
(Anjuran Mendalami Ilmu Kalam-yakni, Ilmu Logika).
15 Antara lain, buku-bukunya, Mihakk al-Nazhar, Mi'yar
al-'Ilm, al-Qisthas al-MustaqIm.
16 Yaitu makalahnya, Fashl al-Maqal wa TaqrIr Ma bayn
al-hikmah wa al-SyarI'ah min al-Ittishal.
17 Mary Ellen Snodgrass, M.A., Greek Classics (Lincoln,
Neb.: Cliffis Notes, 1988), h. 20.
18 Lihat, Britannica, s.v. "Tragedy."
19 Lihat al-Qur'an, s. al-Zumar/39:17-18.
|