ISLAM DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL
Oleh : Nurcholish Madjid
Event Artikel : Seminar International Forum Indonesia "Islam Menghadapi Abad ke 21", Jakarta, 23 Juli 1992
Diupdated pada: Rabu 4 April 2001

Pendahuluan

Untuk mengerti lebih baik tentang hakikat Islam dalam hubungan internasional barangkali kita harus terlebih dahulu memahami adanya semacam ketegangan dalam masyarakat Islam antara ketentuan-ketentuan normatif agama Islam tentang hubungan internasional itu dan kenyataan yang ada dalam sejarah. Ketegangan itu semakin terasa pada masa-masa terakhir ini, masa-masa yang ditandai oleh situasi anomali dalam hubungan antara negeri-negeri Muslim seperti, yang paling baru, terjadinya Perang Teluk, dan yang lebih sulit dipahami, Perang Irak-Iran. Meskipun situasi tak wajar itu mungkin dapat diterangkan dalam kerangka perangkat ilmu sosial dan sejarah tertentu, namun ketakwajaran itu tetap diterima oleh umat Islam sedunia sebagai ironi, bahkan sebagai beban moral dan psikologis.

Dari sudut ketentuan normatif, sistem politik yang diperkenalkan Islam melalui Nabi dan para Sahabat beliau adalah suatu sistem yang sangat maju di kalangan umat manusia. Seorang pengamat ahli mengatakan bahwa sistem politik itu sangat modern, bahkan terlalu modern untuk zaman dan tempatnya, sehingga mengalami kegagalan. Dan kegagalan itu ditandai oleh munculnya Dinasti Umayyah yang bagi sebagian umat Islam sendiri merupakan wujud baru tribalisme Arab. Robert Bellah menggambarkan hal ini, demikian:

There is no question but that under Muhammad, Arabian society made a remarkable leap forward in social complexity and political capacity. When the structure that took shape under the prophet was extended by the early caliphs to provide the organizing principle for a world empire, the result is something that for its time and place is remarkably modern. It is modern in the high degree of commitment, involvement, and participation expected from the rank-and-file members of the community. It is modern in the openness of its leadership positions to ability judged on universalistic grounds and symbolized in the attempt to institutionalize a nonhereditary top leadership. Even in the earliest times certain restraints operated to keep the community from wholly exemplifying these principles, but it did so closely enough to provide a better model for modern national community building than might be imagined. The effort of modern Muslims to depict the early community as a very type of equalitarian participant nationalism is by no means an unhistorical ideological fabrication...In a way the failure of the early community, the relapse into pre-Islamic principles of social organization, is an added proof of the modernity of the early experiment. It was too modern to succeed. (Huruf miring dari saya, NM). The necessary social infrastructure did not yet exist to sustain it. (Robert N. Bellah, ed., Beyond Belief [New York: Harper & Row, edisi paperback, 1976], hh. 150-151).

Sesungguhnya, menurut ajaran Islam, sejarah yang terjadi pada umat manusia, termasuk yang terjadi pada kaum Muslim sendiri, adalah bagian dari wujud kesejarahan hidup umat manusia itu sendiri. Artinya, sejarah umat manusia harus dipahami sebagai perjalanan hidup umat manusia dengan hukum-hukumnya yang obyektif dan tidak kenal berubah (dalam bahasa Kitab Suci disebut Sunnat al Lah, dibaca: “ Sunnatullah”, artinya, Hukum Allah). Dan Sunnat al Lah itu berlaku sepanjang masa, telah terjadi pada umat-umat yang telah lalu, sedang terjadi pada saat-saat sekarang dan akan terjadi pada masa-masa mendatang. Karena itu sejarah Islam pun harus dilihat dari sudut berlakunya Sunnat al Lah ini, yang berarti sejarah Islam, karena keislamannya, harus dipahami sebagai sama saja dengan sejarah umat-umat yang lain dengan segala hukum-hukumnya yang tidak tunduk kepada kemauan pribadi itu. Seorang pelaku sejarah akan mengalami sukses dalam menjalankan perannya hanya jika ia mampu memahami hukum-hukum tersebut dan dapat dengan baik menjadikannya sebagai pedoman tindakan dan sepak terjangnya. Dengan kata lain, ia akan sukses jika ia memahami Sunnat al Lah dan menjalankannya.


Sejarah Islam sebagai sebuah “Venture”
Di situlah dimulainya ketegangan antara norma dan fakta tersebut diatas. Secara normatif, umat Islam dalam Kitab Suci dinyatakan mengemban tugas suci selaku “ golongan penengah” (ummat wasath) yang berkewajiban menjadi saksi atas sekalian umat manusia. Dan dengan sikap hidup yang menjunjung tinggi moral dan akhlak (melakukan al-mar bi al-ma‘rûf wa al-nahy ‘an al-munkar) atas dasar iman kepada Tuhan, umat Islam dinyatakan sebagai "umat yang terbaik, yang diketengahkan untuk umat manusia" guna mengambil peranan kepemimpinan. Ketentuan normatif itu, seperti halnya dengan setiap ketentuan tentang “ apa yang seharusnya,” dalam sejarah sering berbenturan dengan fakta-fakta keras, yang memaksa ketentuan-ketentuan normatif itu untuk melakukan kompromi-kompromi. Karena itu, seperti dinyatakan oleh Marshall Hodgson, sejarah umat Islam adalah sejarah sebuah “ percobaan” (venture) menciptakan masyarakat yang sebaik-baiknya, dalam konteks sejarah dan hukum-hukumnya yang obyektif dan immutable itu. Maka sukses atau gagalnya percobaan itu tidaklah terutama terletak pada ketentuan-ketentuan normatifnya, melainkan pada faktor manusia dan pengalamannya yang menyejarah dan bernilai kesejarahan. Tidak ada gejala kemanusiaan yang tidak bersifat kesejarahan, kecuali wahyu-wahyu yang dapat dipandang sebagai wujud keputusan khusus Tuhan untuk orang tertentu yaitu para Nabi. Tetapi para Nabi itu sendiri, dipandang dari segi kepribadiannya sebagai seorang manusia, adalah wujud historis, dengan hukum-hukum kemanusiaannya (disebut al-a‘râdl al-basyariyyah). Kitab Suci al-Qur’ân, misalnya, mengingatkan semua orang beriman bahwa Muhammad hanyalah seorang Rasul yang juga seorang manusia, sehingga dapat mati, bahkan dapat terbunuh. Maka sikap menerima kebenaran tidak boleh dikaitkan dengan segi kenyataan manusiawi pembawanya, yang pembawa itu, baik pribadi maupun umat, adalah wujud kesejarahan biasa.

Pandangan dasar itu dapat digunakan untuk memahami kenyataan-kenyataan penuh anomali, malah sangat menyedihkan, dalam sejarah Islam dari masa-masanya yang paling dini, khususnya kejadian-kejadian yang dinamakan “ fitnah besar” (al-fitnat al-kubrâ) seperti peristiwa pembunuhan Khalifah III, ‘Utsmân ibn ‘Affân, perang antara ‘Alî ibn Abî Thâlib dan Mu‘âwiyah ibn Abî Sufyân, Revolusi ‘Abbasiyah, perang antara Al-Amîn dan Al-M’mûn, dan lain sebagainya.

Ada berbagai indikasi bahwa mula-mula umat Islam menginginkan sebuah sistem politik untuk seluruh umat Islam di seluruh dunia, dalam bentuk kekhalifahan universal. Tetapi keinginan itu terwujud hanya untuk jangka waktu yang pendek saja, seperti selama masa-masa pemerintahan tiga khalifah yang pertama. Masa pemerintahan ‘Alî sudah dihadapkan kepada tantangan Mu‘âwiyah, dan masa pemerintahan Mu‘âwiyah dan para penerusnya dari kekhalifahan Umayyah, sekalipun secara geografis meliputi daerah kekuasaan yang paling luas yang diketahui dalam sejarah Islam (bahkan sejarah umat manusia), namun dengan serius legitimasinya selalu ditentang oleh kelompok-kelompok Islam yang sangat berpengaruh, yang terdiri dari para pengikut Partai ‘Alî (Syî‘at ‘Alî) dan kaum Khawârij. Dan setelah terjadi Revolusi Abbasiah kemudian berdiri pemerintahan Baghdad, umat Islam menyaksikan adanya dinasti lain yang juga sempat mencapai puncak-puncak kejayaannya, yaitu kekhalifahan Umayyah di Andalusia. Jadi, justru dalam masa-masanya yang kini sering dirujuk sebagai Zaman Keemasan Islam, kaum Muslim sedunia sudah dengan nyata meninggalkan konsep sebuah kekhalifahan universal. Kemudian, tidak lama setelah mencapai masa-masa puncak, kekhalifahan Abbasiah sendiri berangsung-angsur terpecah belah menjadi berbagai kesatuan politik yang hubungan satu dengan lainnya longgar. Sebagian dari para pemikir Islam saat-saat sulit itu, seperti Ibn Taymiyyah, menanggapi keadaan demikian sebagai realita, dan mulailah dikembangkan teori politik yang mengakomodasi perkembangan sejarah, dan konsep kekhalifahan universal ditinggalkan.


Dâr al-Islâm, Dâr al-‘Ahd dan Dâr al-Harb
Ketika wujud kekhalifahan masih mampu melaksanakan kekuasaan efektif untuk daerah yang luas, yang kemampuan itu mendekatkan situasi kepada wujud konsep kekhalifahan universal, hubungan internasional antara negeri Islam dan negeri bukan Islam terjadi dalam kerangka pandangan tentang adanya kawasan “ negeri damai”, yaitu negeri Islam (Dâr al-Islâm) sendiri, kemudian kawasan “ negeri perjanjian” (dâr al-‘ahd), dan akhirnya kawasan “ negeri perang” (dâr al-Harb) yang boleh diserang dan ditaklukkan. (Konsep ini sebenarnya tidak sepenuhnya khas Islam, sebab setiap bentuk kekuatan politik dengan ciri hegemoni jagad, yaitu negeri imperial, akan langsung atau tidak langsung, dalam berbagai bentuk dan nama, menganut konsep hubungan internasional seperti di atas). Tetapi setelah Dunia Islam mengenal berbagai kesatuan politik yang terpisah satu dari yang lain, maka konsep-konsep hubungan internasional tersebut melemah dengan sangat. Malah ada saatnya, ketika dinasti-dinasti Islam dalam peringkat internasional tidak tertandingi oleh negeri-negeri bukan Muslim, hubungan internasional yang tumbuh ditandai oleh justru pemusuhan yang pekat antara negeri-negeri kuat Islam sendiri, seperti sikap saling bermusuhan antara tiga “ Kemaharajaan Mesiu” (Gunpowder Empires), yaitu Mogul di India, Shafawi di Iran dan Utsmani di Turki. (Cukup menarik bahwa ketiga-tiganya itu adalah kemaharajaan bukan-Arab, sebab daerah-daerah Arab sendiri, selain terdiri dari kesatuan-kesatuan politik yang kecil-kecil dan terpisah-pisah, sebagian “dijajah” oleh Shafawi, sebagain oleh Utsmani).

Dalam ukuran-ukuran yang tidak lagi spektakuler seperti di masa Islam klasik, ekspansi militer dan politik (yang dalam terminologi Islam disebut al-fat'h atau al-futûhât, " operasi pembebasan") tetap dilaksanakan, khususnya oleh Turki Utsmani terhadap negeri-negeri Eropa. Tetapi pembagian dunia tidak lagi dikotomis antara negeri-negeri kafir sebagai dâr al-Harb dan negeri-negeri Islam sebagai dâr al-islâm. Sebab tidak saja antara berbagai negeri Islam itu sendiri terjadi peperangan, tapi juga antara sebuah negeri Islam dengan negeri bukan Islam sering terikat perjanjian pertahanan bersama justru untuk menghadapi sesama negeri Islam. Betapapun orang memandang hal ini sebagai penyimpangan dari ajaran Islam, namun hal itu merupakan bagian dari kenyataan sejarah, dan dapat diterangkan hanya dalam kerangka hukum sejarah.

Dunia Islam dan Dunia Barat
Kawasan luas Dunia Islam sekarang ini, khususnya Timur Tengah, sebagian besar adalah bekas daerah-daerah Kristen. Beberapa kawasan di antaranya, seperti Syria dan Mesir, juga Turki Eropa, adalah bekas pusat-pusat Kristen yang amat menentukan dalam masa-masa paling formatif agama itu. Sekarang Dunia Kristen lebih banyak diwakili oleh Dunia Barat. Dunia Barat sekarang ini lebih merupakan kawasan budaya gabungan antara unsur-unsur Yunani-Rumawi kuna dan Yahudi-Masehi (yang oleh Simon van den Berg dilukiskan sebagai dunia “Maria sopra Minerva”, artinya, kultus kepada Maria, ibunda ‘Îsâ al-Masih, sebagai kelanjutan mitologi dewi Minerva dari kepercayaan Romawi kuna, yang sepadan dengan dewi Athena dari kepercayaan Yunani kuna). Walaupun begitu, Dunia Barat tidak pelak lagi melihat dirinya sebagai wakil Agama Kristen, khususnya dalam menghadapi Dunia Islam. Tentu saja contoh yang paling baik ialah peristiwa Perang Salib di Timur Tengah, juga perang penaklukan kembali di semenanjung Iberia.

Maka sebelah lain dari keping uang itu ialah adanya pandangan yang sangat umum di kalangan Islam bahwa Dunia Barat masih terus menunjukkan permusuhannya kepada Islam dalam semangat Perang Salib itu. Meskipun kini sekularisme telah menggantikan konsep-konsep kenegaraan theokratis Kristen dan membawa Barat ke tingkat pencerahan yang jauh lebih tinggi dan berkemanusiaan yang lebih adil dan beradab, namun masih banyak kasus hubungan sengit antara Dunia Islam dan Dunia Barat yang masih ditafsirkan sebagai kelanjutan permusuhan keagamaan tadi. Hubungan sengit itu tidak hanya terdapat pada dataran politik, tetapi juga dalam bentuk-bentuk sikap ofensif dalam kebudayaan. Kejadian beberapa waktu yang lalu, yaitu peristiwa buku “Ayat-ayat Syetan” yang sangat merendahkan martabat Nabi, oleh Salman Rushdi, sungguh menjengkelkan umat Islam. Tetapi sesungguhnya yang lebih menjengkelkan ialah sikap Barat yang penuh semangat membela buku itu atas nama kebebasan, yang dalam hal ini Barat dirasakan oleh kaum Muslim sebagai bertindak dengan standar ganda. Kita akan mampu memperoleh pengertian yang sedikit lebih seimbang mengenai masalah ini jika kita menyempatkan diri melihat bagaimana kalangan orang Barat sendiri, yang mencoba untuk obyektif (meskipun tidak berarti selalu simpatik), memandang Nabi:

While Christianity regarded him as the arch-enemy, evil and lascivious,.... The Comte de Boulainvilliers, early in the eighteenth century, hailed him as a free thinker, the creator of religion of reason. Voltaire used him as a weapon againt Christianity by making him a cynical impostor who yet managed to lead his people to the conquest of glory with the help of fairy stories. The eighteenth century as a whole saw him as the preacher of natural, rational religion, far removed from the madness of the Cross. The Academies praised him. Goethe dovoted a magnificent poem to him, in which, as the very epitome of the man of genius, he is compared to a mighty river. The river and streams, his brothers, call on him to help them reach the sea which is waiting for them. Majestic, triumphant, irresistible, he draws them onwards.

Und so tragt er seine Bruder,
Seine Schatze, seine Kinder
Dem erwartenden Erzeuger
Freudebrausend an das Herz.

(And thus he carries his brothers,
his treasures, his children,
all tumultuous with joy,
to their waiting Parents bosom)

Carlyle puts this great soul among the heroes of mankind in whom some spark of divinity is to be seen. After him the scholars came to reconstruct the story of his life from the early sources, from a closer and closer study of the Arab historians. The Arabist Hubert Grimme, at the end of nineteenth century, saw him as a socialist who was able to impose fiscal and social reform with the help of a (strictly minimal) "mythology", invented deliberately to terrify the rich and enlist their support. (Maxime Rodinson, Mohammed, London, Penguin Books, trans. Anne Carter, 1971, p. 213)


Masalah “Fundamentalisme Islam”
Sekarang ini, umat Islam merasakan adanya serangan baru Dunia Barat, melalui pers mereka, yang dikaitkan dengan apa yang disebut “ fundamentalisme Islam.” Jelas bahwa berbagai gejala sosial-politik yang oleh Barat diungkap sebagai gejala fundamentalisme Islam itu dipandang dan ditanggapi oleh sebagian besar umat Islam sebagai gangguan, jika bukannya kekacauan. Hal ini dapat dengan jelas kita pahami dari sebuah ulasan di sebuah majalah Arab yang terbit di Paris:

The new tactics of the fundamentalists is to create tensions among neighboring Arab states. Hasan al-Turabi takes care of reconciliating the fundamentalist movements in the east and the west. Confrontation is coming, no doubt, say the neutral observers of the current escalation of the fundamentalist movements in the Arab world, from the east to the west. (Al-Watan al-Arabi, Paris, 25 October 1991, No. 237-764).

Tetapi masalahnya ialah adanya tendensi pers Barat untuk membuat generalisasi gejala itu bagi seluruh Dunia Islam yang tidak saja merupakan suatu kepalsuan, melainkan, lebih dari itu, suatu tindakan permusuhan. Padahal Dunia Islam, dalam perkembangannya sekarang, justru sedang berusaha mengembalikan masa lalunya yang cerah, yang nilai-nilainya justru akan sejalan dengan nilai-nilai modern. Kalau Bellah yang telah disebutkan di tas menyebut konsep politik Islam sebagai sangat modern, bahkan terlalu modern untuk zaman dan tempatnya saat itu, maka secara logis harapan untuk dapat menerapkan nilai-nilai sosial-politik Islam tersebut (tanpa berarti pengambilan alih pelembagaan formalnya) menjadi semakin besar di zaman moderrn yang telah dirintis dan diratakan jalannya oleh Eropa Barat Laut ini. Misalnya, pluralisme modern dapat dengan mudah didukung oleh Islam yang cerah, yang menginsafi masa lalunya yang lebih utuh, tanpa mitologi, yang telah menunjukkan segi-segi tertentu nilai-nilai sosial-politik modern. Tentang pluralisme, misalnya, dapat kita simpulkan dari pernyataan seorang ahli sejarah di Barat tentang sistem sosial-politik di Spanyol setelah dibebaskan oleh Islam dan selama 500 tahun diperintah oleh kaum Muslim:

The Arab conquest of Spain in 711 had put an end to the forcible conversion of Jews to Christianity begun by King Recared in the sixth century. Under the subsequent 500-year rule of the Moslems emerged the Spain of three religions and "one bedroom". Mohammedans, Christians, and Jews shared the same brilliant civilization, an intermingling that affected "bloodlines" even more than religious affiliation. (Max I. Dimont, The Indestructible Jews, New York: New American Library, 1973, h. 203).

Sebaliknya, setelah semenanjung Iberia itu "dibebaskan kembali" oleh kaum Kristen, maka yang tejadi ialah berbagai tragedi yang dicatat oleh mereka yang bersangkutan dengan kepiluan dan cucuran air mata:

During the reconquest of Spain from Mohammedans, the soldiers of the Cross at first had difficulty recognizing the difference between Jew and Moslem, as both dressed alike and spoke the same tongue. Reconquistadores understandably killed Jew and Arab with impartial prejudice... Once Spain was safely back in the Christian column, however, a national conversion drive was launched. (Ibid., h. 221).

Dan kalau umat Islam di seluruh dunia sulit sekali menerima kehadiran Israel, hal itu bukan saja karena Israel dipandang sebagai wujud kelanjutan imperialisme Barat yang memperlakukan Dunia Islam secara semena-mena, tapi juga karena negara Yahudi itu tidak relevan untuk Timur Tengah, dan tidak relevan untuk sejarah umat manusia, khususnya sejarah kaum Yahudi sendiri dalam hubungan mereka dengan umat Islam. Syukurlah bahwa di kalangan kaum Yahudi dan Barat sendiri selalu ada kelompok-kelompok yang memiliki keinsafan dan rasa keadilan terhadap sejarah, yang mengakui hutang budi mereka kepada umat Islam, seperti yang dikatakan salah seorang mereka, menggambarkan betapa kaum Yahudi memperoleh keuntungan yang besar sekali dengan tampilnya Dunia Islam:

When the Jews confront the open society of the Islamic world, they are 2,500 years old as people...
Nothing could have been more alien to the Jews than this fantasic Islamic civilization that rose out of the desert dust in the seventh century. Yet nothing could have been more the same. Though it represented a new civilization, a new religion, and a new social milieu built on economic foundations, it resembled the packaged "intellectual pleasure principle" presented to the Jews a thousand years earlier when Alexander the Great opened the doors of Hellenistic society to them. Now Islamic society opened the doors of its mosques, its school, and its bedrooms for conversion, education, and assimilation. The challenge for the Jews was how to swim in this scented civilization without drowning, or in the language of modern sociology, how to enjoy the somantic, intellectual, and spiritual conforts offered by the dominant majority without disappearing as a marginal minority.

The Jews did what came naturally. They fired the old scriptwriters and hired a new set of specialists. Instead of rejecting the Muslim civilization, they accepted it. Instead of keeping themselves a part, they integrated. Instead of becoming parochialized fossils, they joined the new swinging society as sustaining members. Arabic became their mother tongue; wine, women, and secular songs their part-time vocations; philosophy, mathematics, astronomy, diplomacy, medicine, and literature, their full-time vocations. The Jews never had it so good. (Max I. Dimont, The Indestructible Jews [New York: New American Library, 1973], hh. 189-190).


Menuju Masa Depan
Uraian di atas dapat digunakan untuk menjadi bagian dari bahan membuat agenda hubungan internasional di masa depan, yang disitu umat mengambil bagian tugas tanggung jawabnya yang positif dan konstruktif. Akhir-akhir ini mulai banyak dikemukakan pendapat oleh pihak-pihak di Barat sendiri yang menaruh harapan kepada peranan positif Islam itu di masa mendatang. Salah satunya dapat kita lihat dalam pernyataan seperti berikut ini, yang mengharapkan peranan positif Islam karena penilaiannya bahwa Islam memiliki unsur-unsur sebagai agama terbuka:

Islam, which has contributed to the spiritual life of humanity and has enriched its culture, offers permanent values from which all have profited. 'Intermediate nation' as the Qur,ân says, it has its role to play between east and west. If it has, like all religious and moral codes, its 'closed' and 'static' aspects in the Bergsonian sense, it also has what is needed for an 'open' religion. (Emile Dermenghem, Muhammad and the Islamic Tradition [New York: The Overlook Press, 1981], p. 87).

Oleh karena itu banyak pihak di kalangan Barat sendiri yang menginsafi betapa besar kerugian yang bakal diderita umat manusia jika Barat terus-menerus melancarkan sikap permusuhan kepada Dunia Islam. Seperti pernyataan Dimont lagi dan harapannya bahwa kelak kaum Muslim, bersama kaum yang lain, akan tampil kembali memimpin umat manusia dan menerangi jagad dengan harapan-harapan baru:

One cannot help wonder if the subsequent subjugation of the Arab world by the West, which crushed its spirit, was not more devastating than the Mongol depredations which destroyed only its physical assets. Today, we once again see the Arab world striving to rise out of the dust to make a place for its people in the modern world. One day, perhaps, the Arab nations will establish another, equally magnificent Semitic civilization to illuminate the hopes of man, and Arabs and Jews will once again live side by side with respect for each other's genius. (Max I. Dimont, The Indestructible Jews [New York: New American Library, 1973], p. 209).

Harapan-harapan untuk masa mendatang yang lebih baik juga diekspresikan oleh kalangan agama, dalam hal ini agama Katolik, setelah mereka menginsafi kekeliruan besar yang mereka lakukan di masa-masa lalu. Bukan saja dalam pergaulan nyata mereka mulai menunjukkan sikap-sikap yang lebih berpengertian, malah juga dalam theologi mereka mengembangkan pandangan yang memberi pengakuan lebih jujur kepada agama-agama lain. Ini, misalnya, tercermin dalam keputusan Konsili Vatikan II, yang menyatakan (setelah terlambat satu setengah milenium) bahwa kaum Muslim juga bakal memperoleh keselamatan (yang selama ini menjadi monopoli mereka):

The Church has also a high regard for the Muslims. They worship God, who is one, living and subsistent, merciful and almighty, the Creator of heaven and earth, who has also spoken to men. They strive to submit themselves without reserve to the hidden degrees of God, just as Abraham submitted himself to God's plan, to whose faith Muslims eagerly link their own. Although not acknowledging him as God, they venerate Jesus as a prophet, his virgin Mother they also honor, and even at times they devoutly invoke. Further, they await the day of judgment and the reward of God following the resurrection of the dead. For this reason they highly esteem an upright life and worship of God, especially by way of prayer, alms-deeds and fasting.

Over the centuries many quarrels and dissensions have arisen between Christians and Muslims. The sacred Council now pleads with all to forget the past, and urges that a sincere effort be made to achieve mutual understanding; for the benefit of all men, let them together preserve and promote peace, liberty, social justice and moral values. (Vatican Council II, Vol. 1 [Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Co., 1992], hh. 739-40).

Atau seperti dikatakan oleh yang lain, dalam bahasa ilmiah, sekalipun tercampur dengan semacam skeptisisme:

Judaism, Christianity and Islam are all, at present, beset by a resurgent fundamentalism. One would like to believe -- though this may be too much to hope for -- that greater understanding of their common roots might help curb the prejudice, the bigotry, the intolerance and fanaticism to which fundamentalism is chronically prone.

Dalam bahasa al-Qur’ân, harapan-harapan itu adalah kelanjutan dari pesan sucinya:

And do not argue with the followers of earlier revelation otherwise than in a most kindly manner -- unless it be such of them as are bent on evildoing -- and say: “We believe in that which has been bestowed from on high upon us, as well as that which has been bestowed upon you: for our God and your God is one and the same, and it is unto Him that we [all] surrender ourselves.” (Q., s. al-‘Ankabût/29:46--translation by Muhammad Asad, The Message of the Qur’ân, Gibraltar, Dar al-Andalus, 1980, p. 613).

Maka, akhirnya, marilah kita semua berharap untuk yang paling baik, berdasarkan sikap saling mengerti, dan karena kerinduan yang tulus kepada yang benar.

Wa 'l-Lâhu a‘lam.