WANITA DALAM ISLAM ANTARA STEREOTIP
BARAT DAN KUNGKUNGAN ADAT
Oleh : Nurcholish Madjid
Event Artikel : KKA-94 (Jakarta, Januari 1995)
Diupdated
pada: Rabu 4 April 2001
Mukadimah
Persoalan wanita dalam Islam akhir-akhir ini muncul
dengan tajam. Tidak saja karena umat Islam semakin
menyadari pentingnya memahami dan menghidupkan kembali
wawasan Islam tentang wanita, tapi juga antara lain
akibat benturan budaya Islam dengan budaya modern Barat.
Dalam hal pertama, pemunculan masalah wanita itu adalah
absah, otentik dan sejati (artinya, benar-benar timbul
dari keinginan yang murni). Sedangkan dalam hal kedua,
karena merupakan reaksi, pemunculan masalah wanita di
kalangan umat Islam itu terasa bersifat emosional,
apologetik, ideologis dan tidak jarang subyektif,
sekalipun dari celah-celahnya kadang-kadang memancar
perenungan dan pemikiran kreatif dan orisinal.
Dalam idiom Islam, suatu nilai atau sistem nilai yang
zalim dapat disebut sebagai nilai Jahiliah. Meskipun
istilah jahiliyah sendiri semula dimaksudkan sebagai
secara khusus keadaan Jazirah Arabia sebelum Islam dengan
ciri utama politeisme atau syirik, namun dalam
penggunaannya yang lebih generik istilah itu dimaksudkan
untuk menunjuk kepada faham, pandangan dan praktek yang
bertentangan dengan rasa keadilan. Maka dalam kerangka
pandangan itu, patut dipertanyakan, apakah ada pengaruh
(kembali) nilai-nilai Jahiliah dalam masyarakat Islam,
terutama, dalam lingkup pembahasan di sini, tentang
wanita? Apakah benar bahwa kedudukan wanita dalam Islam
yang kurang beruntung itu-sebagaimana sering digambarkan
oleh kalangan tertentu, khususnya dari dunia Barat-memang
betul-betul berasal dari ajaran Islam sendiri atau karena
pengaruh faktor luar seperti budaya, adat, politik, dan
sebagainya?
Di bidang sosial-politik, ada sarjana yang mengatakan
bahwa berakhirnya masa khilafah rasyidah di Madinah dan
digantikannya oleh dinasti Umayyah di Damaskus merupakan
masa kembalinya komunitas Muslim Arab kepada tatanan
sosial-politik pra-Islam, alias Jahiliah. Ciri utama
tatanan itu ialah faham kesukuan (qabiliyah), tata sosial
politik yang tertutup dengan partisipasi warga negara
yang terbatas, faktor keturunan lebih penting daripada
kemampuan, masyarakat yang mengenal hirarki sosial yang
kuat, dan last but not least, direndahkannya kedudukan
wanita. Keadaan terakhir ini muncul antara lain yang
terpenting dalam bentuk gejala dinginnya sambutan kepada
lahirnya bayi perempuan, suatu pandangan hidup yang dalam
Kitab Suci banyak disindir dengan nada kutukan. Memang
sulit untuk begitu saja mengatakan bahwa nilai-nilai
Jahiliah Arab (pra Islam) berpengaruh kembali dalam
pandangan tentang wanita di kalangan orang Islam
(terutama Arab). Tetapi dinginnya sambutan kepada
kelahiran jabang bayi wanita merupakan indikasi adanya
semangat seperti yang melatarbelakangi praktek Jahiliah
yang terkutuk, yaitu pembunuhan bayi wanita (wa'd
al-banat), dan merupakan refleksi dari adanya pandangan
yang rendah terhadap wanita dalam masyarakat.
Maka, seolah-olah menirukan jejak orang-orang Barat, di
kalangan umat Islam juga tampil gerakan pembelaan wanita,
biasa disebut feminisme. Tampilnya gerakan itu di Barat
adalah khas budaya Barat, dalam arti merupakan reaksi
wajar terhadap keadaan wanita di sana yang dirasakan
banyak melecehkan kaum wanita. Sayangnya cara pandang
orang Barat itu kemudian digunakan pula dalam melihat
masyarakat Islam, tanpa memperhatikan apa sesungguhnya
ajaran Islam itu sendiri tentang wanita, dan apa pula
lingkungan sejarah dan budaya yang membentuknya sehingga
wanita Islam, di Dunia Islam secara keseluruhan (artinya,
tidak di tempat, negara atau masyarakat Muslim tertentu),
tampil seperti keadaan mereka sekarang ini. sudah
disebutkan, mustahil membantah bahwa di sebagian Dunia
Islam keadaan dan kedudukan wanita jauh dari yang
diharapkan. Tetapi membuat generalisasi berdasarkan
situasi khusus itu sehingga dikatakan bahwa Islam memang
membuat posisi wanita di bawah standar kemanusiaan yang
adil (dan beradab) adalah keliru. Sama halnya dengan
generalisasi tentang masyarakat Barat sebagai masyarakat
a-moral, hanya karena melihat tingkah laku para turis di
pantai-pantai, atau berdasarkan apa yang ditampakkan pada
media umum, khususnya film dan televisi.
Stereotip Barat tentang Islam
Di atas disebutkan bahwa salah satu yang mendorong adanya
pembicaraan yang ramai tentang wanita dalam Islam
akhir-akhir ini ialah adanya gambaran dengan nada menuduh
atau merendahkan oleh orang Barat tentang Islam yang
tidak menghargai wanita. Meskipun kita tahu beberapa
sebabnya-yang juga membuat kita tidak heran dengan adanya
pandangan negatif Barat kepada Islam itu-namun juga tidak
dapat disembunyikan bahwa pandangan Barat tersebut banyak
sekali disebabkan oleh salah faham, atau malah oleh rasa
permusuhan. Apalagi dengan adanya tulisan Samuel
Huntington yang mengemukakan tentang kemungkinan
terjadinya perbenturan budaya (clash of civilizations)
dengan Islam sebagai pola budaya yang paling potensial
"membentur" budaya modern Barat, maka rasa
permusuhan yang laten kepada Islam itu semakin memperoleh
bahan pembenaran.
Untunglah bahwa di kalangan orang Barat sendiri selalu
tampil orang-orang yang jujur dan sadar. Dalam kejujuran
dan kesadaran itu mereka sering tampil-sungguh
menarik-sebagai pembela-pembela Islam yang tangguh.
Kerapkali mereka juga sangat gemas dengan pandangan penuh
nafsu namun salah dan zalim dari kalangan orang Barat
tentang Islam dan kaum Muslim. Contohnya ialah Robert
Hughes, seorang yang lama bekerja sebagai kritikus seni
majalah Time. Karena pandangan dan komentarnya dengan
baik sekali mewakili sikap kritis seorang Barat terhadap
lingkunganya sendiri dan mencoba bersikap adil dan benar,
maka ada baiknya penulis terkenal ini kita kutip sebuah
pernyataannya secara agak panjang-lebar. Dalam sebuah
bukunya yang berjudul Culture of Complaint- sebuah best
seller koran New York Times-Hughes mengatakan tentang
pandangan hidup aneka-budaya (multikultur) demikian,
Maka jika pandangan aneka-budaya ialah belajar melihat
tembus batas-batas, saya sangat setuju. Orang Amerika
sungguh punya masalah dalam memahami dunia lain. Mereka
tidaklah satu-satunya-kebanyakan sesuatu memang terasa
asing bagi kebanyakan orang-tetapi melihat aneka ragam
asal kebangsaan yang diwakili dalam masyarakat mereka
(Amerika) yang luas, sikap tidak pedulinya dan mudahnya
menerima stereotip masih dapat membuat orang asing heran,
bahkan (berkenaan dengan diri saya) sesudah tinggal di
A.S. duapuluh tahun. Misalnya: Jika orang Amerika putih
masih punya kesulitan memandang orang hitam, bagaimana
dengan orang Arab? Sama dengan setiap orang, saya
menonton Perang Teluk di televisi, membaca beritanya di
koran, dan melihat bagaimana perang itu membuat klimaks
buruk pada kebiasaan yang sudah lama tertanam pada orang
Amerika, berupa ketidakpedulian yang penuh permusuhan
kepada dunia Arab, dahulu dan sekarang. Jarang didapat
petunjuk dari media, apalagi dari kaum politisi, bahwa
kenyataan tentang budaya Islam (baik dahulu maupun kini)
bukanlah tidak lain dari sejarah kefanatikan. Sebaliknya,
orang pintar bergantian maju untuk meyakinkan umum bahwa
orang Arab pada dasarnya adalah sekumpulan kaum maniak
agama yang berubah-ubah, pengambil sandra, penghuni semak
beduri dan padang pasir yang panjang zaman menghalangi
mereka untuk kenal dengan negeri-negeri yang lebih
beradab. Fundamentalisme Islam di zaman modern memenuhi
layar televisi dengan mulut-mulut yang berteriak dan
tangan-tangan melambaikan senjata; tentang Islam masa
lalu-apalagi sikap ingkar orang Arab sekarang terhadap
senofobia dan militerisme fundamentalis-sangat sedikit
terdengar. Seolah-olah orang Amerika sedang dicekoki
dengan versi pandangan Islam yang dianut Ferdinand dan
Isabella pada abad 15, yang dibesar-besarkan dan
disesuaikan dengan zaman. Inti pesannya ialah bahwa orang
Arab adalah tidak hanya tidak berbudaya, tetapi tidak
dapat dibuat berbudaya. Dalam caranya yang jahat,
pandangan itu melambangkan suatu kemenangan bagi para
mulla dan Saddam Husein-di mata orang Amerika, apa saja
di dunia Arab yang tidak cocok dengan kejahatan dan
maniak eskatologis ditutup rapat, sehingga mereka (orang
Amerika) tetap menjadi pemilik penuh bidang (segala
kebaikan) itu.
Tetapi memperlakukan budaya dan sejarah Islam sebagai
tidak lebih daripada mukadimah kefanatikan sekarang ini
tidak membawa faedah apa-apa. Itu sama dengan memandang
katedral Gotik dalam kerangka orang Kristen zaman modern
seperti Jimmy Swaggart atau Pat Robertson (dua penginjil
televisi yang amat terkenal namun kemudian jatuh tidak
terhormat karena skandal-skandal-NM). Menurut sejarah,
Islam sang Perusak adalah dongeng. Tanpa para sarjana
Arab, matematika kita tidak akan ada dan hanya sebagian
kecil warisan ilmiah Yunani akan sampai ke kita. Roma
abad tengah adalah kampung tumpukan sampah dibanding
dengan Baghdad abad tengah. Tanpa invasi Arab kepada
Spanyol selatan atau al-Andalus pada abad 8, yang
merupakan ekspansi terjauh ke barat dari emperium Islam
yang diperintah dinasti Abasiah dari Baghdad (sic., yang
benar ialah Spanyol Islam berdiri di bawah dinasti
Umawiah, tanpa pernah menjadi bagian wilayah dinasti
Abasiah di Baghdad-NM), kebudayaan Eropa selatan akan
sangat jauh lebih miskin. Andalusia Spanyol-Arab, antara
abad 12 dan 15, adalah peradaban
"multikultural" yang brilian, dibangun atas
puing-puing (dan mencakup motif-motif yang hampir punah)
dari koloni Romawi kuna, menyatukan bentuk-bentuk Barat
dengan Timur tengah, megah dalam ciptaan iramanya dan
toleransinya yang pandai menyesuaikan diri. Arsitektur
mana yang dapat mengungguli Alhambra di Granada, atau
Masjid Agung Kordoba? Mestizaje es grandeza: perbauran
adalah keagungan.44
Itulah mawas diri dan kritik seorang intelektual Amerika
tentang masyarakatnya sendiri, suatu masyarakat yang
mengidap perasaan benci kepada Islam (khususnya Arab)
yang tak pernah terpuaskan. Pandangan umum yang tidak
senang dengan Islam itu, seperti dikatakan dalam kutipan
di atas, sudah diidap orang Barat sejak berabad-abad yang
lalu, kemudian seolah-olah diperkuat oleh
kejadian-kejadian mutakhir yang menyangkut Islam dan umat
Islam. Kesimpulan impulsif yang mereka buat tentang
segi-segi negatif masyarakat Islam karena melihat
kejadian-kejadian itu barangkali memang dapat difahami.
Tetapi orang Barat, termasuk kebanyakan kaum cendekiawan
mereka, apalagi politisi mereka, melupakan dua sejarah
dari dua masyarakat masa lalu yang sangat kontras: mereka
lupa akan sejarah mereka sendiri yang kejam, bengis dan
tidak beradab, sampai dengan saatnya mereka berkenalan
dengan peradaan Islam; kemudian mereka lupa, atau
semata-mata tidak tahu, sejarah Islam yang membawa rahmat
bagi semua bangsa, membuka ilmu pengetahuan untuk semua
masyarakat, dan membangun peradaban yang benar-benar
kosmopolit. Sampai-sampai para sarjana Yahudi (yang di
masa lalu terkenal sengit kepada Islam dan Kristen itu),
seperti Schweitzer, Halkin dan Dimont, memuji masyarakat
Islam klasik sebagai yang paling baik memperlakukan para
penganut agama lain, temasuk kaum Yahudi, yang sampai
sekarangpun kebaikan itu belum tertandingi.
Stereotip Barat tentang Wanita Islam
Bertolak dari pandangan negatif umum tentang Islam dan
kaum Muslim itu muncullah pandangan negatif umum tentang
wanita dalam Islam. Gambaran-gambaran negatif mengenai
wanita dalam Islam menjadi sangat dramatis oleh buku-buku
bergaya novel seperti yang ditulis oleh Jean Sasson
(Princess dan Daugthers of Arabia) dan oleh Betty
Mahmoody bersama William Hoffer (Not Without My
Daughter). Buku-buku itu, menurut pengakuan para
penulisnya, bukanlah khayal. Princess ditulis berkenaan
dengan seorang wanita aristokratik Arabia yang dihukum
mati karena bercinta. Daughters of Arabia menuturkan
kisah seorang wanita Arabia terpelajar yang menyadari
kezaliman masyarakatnya terhadap wanita dan ingin
merombaknya. Sedangkan Not Without My Daughter berkisah
tentang pengalaman seorang ibu asal Amerika yang harus
berpisah dari suaminya yang orang Iran, dengan melarikan
diri, dan berjuang untuk memperoleh hak memelihara dan
mendidik anak perempuan mereka, karena kuatir (dan tahu)
bahwa, dalam lingkungan ayahnya, gadis itu akan merana.
Pada sampul luar buku ini tertera gambaran singkat
mengenai drama pelarian diri itu demikian:
Betty Mahmoody dan suaminya, Dr. Sayyid Bozorg Mahmoody
('Moody'), datang ke Iran dari Amerika untuk berjumpa
dengan keluarga Moody. Bersama mereka adalah anak
perempuan mereka yang baru berumur empat tahun, Mahtob.
Kecewa oleh kejorokan kondisi hidup mereka, dan ketakutan
oleh apa yang dilihatnya, yaitu sebuah negara dimana
wanita hanya benda bergerak dan orang Barat dihina, Betty
segera sangat mendambakan kembali ke Amerika. Tetapi
Moody, dan keluarganya yang sering kasar itu, punya
rencana lain. Ibu dan anak menjadi tawanan budaya asing,
sandera seorang lelaki yang semakin tiranik dan kejam.
Betty mulai mengatur pelarian. Menghindar dari jaringan
mata-mata Moody yang jahat, ia secara rahasia bertemu
dengan para simpatisan yang melawan rezim Khumaini yang
biadab. Tetapi setiap rencana yang disarankan kepadanya
berarti meninggalkan Mahtob selamanya...
Akhirnya, Betty diberi nama seseorang yang akan membuat
rencana pelariannya yang berbahaya keluar dari Iran,
sebuah perjalanan yang hanya sedikit wanita atau
anak-anak pernah melakukannya. Percobaan mereka yang
mengerikan untuk pulang itu bermula dalam badai salju
yang menakutkan...
Keadaan yang mengerikan yang ditemui Betty Mahmoody akan
memberi mimpi buruk kepada setiap wanita yang penuh
cinta. Inilah cerita yang memukau tentang keberanian
seorang wanita dan pengabdian yang sempurna kepada
anaknya yang akan membuat anda mengikuti mereka sepanjang
tiap jengkal dari perjalanan mereka yang penuh bahaya.45
Lagi-lagi bunyi ungkapan yang tertera pada sampul
buku-buku tentang wanita dalam Islam yang ditulis oleh
orang Barat itu. Daughters of Arabia merupakan cerita
pembebasan wanita Arabia yang dicita-citakan oleh seorang
wanita terhormat negeri itu. Mungkin lebih menarik
daripada buku Not Without My Daughter tersebut di atas,
karena memuat cerita sampingan dengan cukup wajar,
seperti upacara ibadah haji, dan lain-lain. Namun tak
pelak lagi tema pokoknya ialah ilustrasi tentang betapa
mundurnya (atau tertinggalnya) kedudukan wanita di
Arabia. Dengan gaya propaganda, sampul luar belakang buku
itu memuat kalimat demikian:
Siapa saja yang mempunyai minat sesedikit apapun kepada
hak-hak asasi manusia akan mendapatkan buku ini mencekam.
Ia ditulis dengan baik, kisah pribadi tentang pelanggaran
hak-hak asasi manusia di Saudi Arabia dan peranan
sebenarnya dari kaum wanita yang ditentukan oleh kaum
pria, bahkan di kalangan keluarga kaya, di negeri itu.
Cerita semacam ini harus datang dari wanita setempat
sendiri untuk dapat dipercaya.
Wanita aristokrat itu mengungkapkan seperti apa menjadi
kaya, anggota keluarga raja dan wanita di suatu negeri
yang prianya memiliki wanita. Isinya tidak dapat
dilupakan, sangat menarik dalam rincinya, sebuah buku
yang membuat Anda melelehkan air mata dan menjadikan Anda
merasa bahagia dengan nasib Anda sendiri dalam hidup
ini.46
Wanita Islam antara Syari'at dan Adat
Apakah semua yang ditulis oleh orang Barat itu merupakan
bagian dari propaganda Barat melawan Islam? Orang tentu
akan mudah membuat kesimpulan demikian, karena berbagai
alasan yang dapat diterima. Tetapi apapun motif para
penulisnya, buku-buku itu dan sejenisnya telah menggugah
kesadaran kaum wanita Islam sendiri untuk mempertanyakan
dan meneliti kembali apa sebenarnya ajaran Islam tentang
wanita. Ada kemungkinan mereka harus menelan pil pahit
dengan mendapatkan kenyataan bahwa memang ajaran Islam
menghendaki wanita dalam keadaan seperti dilukiskan dalam
buku-buku best-seller tersebut. Tetapi tidak mustahil,
dan ini memang yang terjadi, bahwa kaum wanita Muslimah
yang serius mempelajari ajaran agamanya akan menemukan
bahwa banyak siatuasi kewanitaaan di sebagian Dunia Islam
sekarang ini adalah tidak bersesuaian dengan ajaran yang
sebenarnya.
Dari mana kita kita dapat mengetahui ajaran Islam yang
sebenarnya tentang wanita? Secara naluri keislaman setiap
orang Muslim akan menjawab: dari Kitab Suci dan Sunnah
Nabi, dan itulah Syari'at. Meskipun jawab itu wajar saja,
namun dirasa perlu dikemukakan di sini beberapa argmen,
sebagai penegasan pendekatan pembahasan tentang perkara
yang amat penting ini. Sebab yang dapat diduga dari
semula ialah bahwa titik-titik kritis persoalan wanita
dalam Islam sekarang ini, kalau pun tidak dapat disebut
merupakan penyimpangan dari ajaran Kitab Suci dan Sunnah
Nabi, sekurangnya merupakan tafsiran terhadap
ajaran-ajarannya yang secara salah didominasi, bahkan
langsung dikalahkan, oleh pertimbangan-pertimbangan
sosiologis-historis sesaat. Dapat juga diduga sebagai
bagian dari usaha pembingkaian kepentingan politik
tertentu dalam sejarah dinasti-dinasti Islam.
Mengikuti agenda kaum Salafi, salah satu cara yang baik
untuk memahami apa sebenarnya yang diajarkan Islam
tentang wanita, seperti juga tentang hal-hal lain, ialah
kembali kepada Kitab Suci dan Sunnah Nabi. Ini bukanlah
semata-mata menuruti dorongan skripturalistis, melainkan
dalam hal agama, lebih-lebih lagi Islam, pengorientasian
pandangan keagamaan kembali kepada sumber-sumber suci
mutlak diperlukan untuk dapat mengukur seberapa jauh
perjalanan sejarah suatu pandangan telah atau tidak
menyimpang dari hulunya yang murni. Situasi dilematis
dalam memandang dan menilai sejarah memang dapat menjadi
sumber banyak kesulitan: di satu pihak, sejarah harus
dilihat sebagai wujud nyata dalam konteks ruang dan waktu
berbagai usaha melaksanakan ajaran agama; di pihak lain,
interaksi dinamis antara nilai-nilai normatif dengan
tuntutan ruang dan waktu sedemikian rupa mewarnai setiap
usaha melaksanakannya, sehingga acapkali sulit dibedakan
mana yang perenial dan mana pula yang temporer.
Meskipun kembali kepada sumber-sumber suci melibatkan
penafsiran teks-teks, namun suatu penafsiran tidak
sepenuhnya dapat dilakukan secara subyektif, dengan
mengabaikan makna literer obyektif kebahasaan teks-teks
itu. Kecuali jika kita memperlakukan setiap ekspresi
literer teks-teks suci sebagai metafor belaka (yaitu
suatu pemahaman yang menekankan makna teks sebagai
tamsil-ibarat saja dengan mengingkari makna
harfiahnya-halmana adalah sulit dicek kebenaran
obyektifnya), maka bunyi teks itu menurut apa adanya akan
tetap mempunyai fungsi pengawasan terhadap
pemahaman-pemahaman yang ada.
Tetapi untuk bertindak jujur terhadap teks-teks suci,
kita tidak mungkin memahaminya samasekali lepas dari
konteks sejarah diturunkannya atau kejadiannya, sehingga,
mengikuti pandangan ulama klasik, asbab al-nuzl
(situasi turunnya ayat al-Qur'an tertentu) dan asbab
al-wurd (situasi terjadinya tindakan, ucapan atau
sikap Nabi tertentu) adalah penting untuk diperhatikan.
Pandangan yang mempertimbangkan milieu kesejarahan suatu
teks suci itu menjadi lebih-lebih lagi diperlukan karena
banyak dari kosa kata dan peristilahan dalam teks-teks
suci itu yang dalam penggunaan umum selanjutnya menjadi
berbeda makna, banyak atau sedikit. Misalnya, perkataan
sulthan dan dawlah atau dlah dalam Kitab Suci
semula berturut-turut dimaksudkan berarti kekuatan dan
giliran. Tetapi dalam penggunaan umum kemudian menjadi
berarti raja dan kekuasaan, dengan kaitan logis
samar-samar dengan makna asalnya, namun tetap menjadi
berbeda, banyak atau sedikit.
Mengikuti jalan fikiran itu mulai banyak wanita Muslimah
yang berusaha mengkaji kembali pandangan Islam tentang
wanita, dan meneliti mana yang syari'at dan mana pula
yang adat. Sebuah serial buku tentang wanita ditulis para
tokoh wanita Islam di bawah pimpinan Fatimah Zahra'
Azrawil. Salah satu buku itu berjudul al-Mar'ah bayn
al-Tsaqafi wa al-Qudsi (Wanita antara yang Kultural dan
yang Sakral), ditulis oleh Zainab al-Ma'adi. Buku ini
adalah bantuan beasarjana Timur Tengah dari kantor
kependudukan Kairo, dan ditulis dengan dilengkapi data
empirik dari keadaan wanita di Maroko.
Dalam buku itu juga dibahas pandangan Kitab Suci dan
Sunnah Nabi tentang wanita, kemudian dibandingkan dengan
pandangan kefiqihan yang menurut penulisnya lebih
mencerminkan segi kultural (yakni, adat) masyarakat
daripada segi sakral (yakni, ajaran agama). Tetapi
mengapa ada pertentangan atau perbedaan pandangan antara
adat dan ajaran suci (yang notabene, sepanjang mengenai
teks-teks sucinya dalam Kitab dan Sunnah-sebagaimana
disinggung-juga datang dalam konteks ruang dan waktu
tententu di zaman Nabi), jawabnya ialah karena adanya
semacam keagagalan untuk memahami ide umum teks-teks suci
itu dan terpaku pada ide-ide ad hoc-nya. Ini bukanlah
suatu jenis interpretasi metaforis, sebab makna lahiri
sebuah ungkapan kebahasaan teks tetap dipegang. Hanya
saja dalam usaha memahami pesan dasar sebuah teks suci
diperhatikan benar bahan kesejarahan yang terkait, guna
menangkap hikmat al-tasyri' (kearifan dasar atau
"falsafah" penetapan syari'at), juga disebut
manath al-hukm atau 'illat al-hukm (alasan penetapan
hukum, atau ratio legis).
Dengan metode pendekatan itu Zainab al-Ma'adi sampai pada
kesimpulan asas bahwa seluruh ide tentang wanita dalam
al-Qur'an dimaksudkan untuk menjunjung tinggi martabat
wanita dan mempersamakan hak dan kewajibannya dengan pria
melalui proses (sekali lagi, proses) pembebasannya dari
kungkungan adat dan kebudayaan serta kelembagaan sosial
Arab Jahiliah. Proses pembebasan itu dapat dikenali
dengan jelas dari beberapa isu dalam Kitab Suci yang
menyangkut pengecaman dan pengutukan atas praktek-praktek
Arab Jahiliah berkenaan dengan wanita:
(1) Masalah wa'd-u 'l-banat (pembunuhan bayi perempuan).
Praktek yang amat keji ini timbul pada orang orang
Jahiliah karena pandangan mereka yang amat rendah kepada
kaum wanita, sehingga lahirnya seorang bayi perempuan
dianggap akan membawa beban aib kepada keluarga. Kitab
Suci mengutuknya melalui firman dalam surat
al-Takwir/81:8-9 berupa gambaran tentang pertanggungan
jawab yang amat besar pada hari kiamat, dan dalam surat
al-Nahl/16:58-59, berupa gambaran dalam nada kutukan
tentang sikap orang Arab Jahiliah yang merasa tercela
karena lahirnya jabang bayi perempuan.
(2) Masalah al-'a-l (yaitu adat menghalangi atau melarang
wanita dari nikah setelah talak, sengaja untuk
mempersulit hidupnya. Larangan ini ada dalam surat
al-Baqarah/2:232, yang terjemahnya demikian: "Dan
jika kamu menalak wanita, kemudian telah tiba saat (idah)
mereka, maka janganlah kamu menghalangi mereka untuk
nikah dengan (calon-calon) suami mereka jika terdapat
saling suka antara mereka dengan cara yang baik.
Demikianlah dinasehatkan kepada orang dari kalangan kamu
yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan itulah
yang lebih suci bagi kamu serta lebih bersih. Allah
mengetahui, dan kamu tidak mengetahui."
(3) Masalah al-qisamah, suatu kebiasaan buruk yang cukup
aneh di kalangan orang Arab Jahiliah, berupa larangan
kepada kaum wanita dalam keadaan tertentu untuk meminum
susu binatang seperti kambing, onta, dan lain-lain,
sementara kaum pria diperbolehkan. Penyebutan disertai
pengutukan tentang kebiasaan ini ada dalam al-Qur'an
surat al-An'am/6:139, yang terjemahnya adalah demikian:
"Mereka (orang Arab Jahiliah) berkata, 'Apa yang ada
dalam perut ternak ini melulu hanya untuk kaum pria kita,
dan terlarang untuk isteri-isteri kita.' Tetapi kalau
(bayi binatang itu) mati, maka mereka (pria-wanita)
sama-sama mendapat bagian. Dia (Allah) akan mengganjar
(dengan azab) pandangan mereka itu, dan sesungguhnya Dia
Maha Bijak dan Maha Tahu."
(4) Masalah al-zhihar, suatu kebiasaan buruk yang juga
cukup aneh pada orang Arab Jahiliah, berupa pernyataan
seorang lelaki kepada isterinya bahwa isterinya itu
baginya seperti punggung (zhahr) ibunya, sehingga
terlarang bagi mereka untuk melakukan hubungan
suami-isteri, sebagaimana terlarangnya seseorang untuk
berbuat hal itu kepada ibunya sendiri. Kutukan terhadap
praktek aneh yang menyiksa wanita ini ada dalam surat
al-Mujadalah/58:1-3.
(5) Masalah al-ila', yaitu kebiasaan sumpah seorang suami
untuk tidak bergaul dengan isterinya, sebagai hukuman
kepadanya. Pada orang Arab Jahiliah sumpah itu tanpa
batas waktu tertentu, dan dapat berlangsung sampai
setahun atau dua tahun. Kitab Suci membolehkan sumpah
serupa itu jika memang diperlukan, tapi hanya sampai
batas waktu empat bulan, atau talak. Sumpah tidak bergaul
dengan isteri lebih dari empat bulan tanpa menceraikannya
adalah tindakan penyiksaan dan perendahan derajat kaum
wanita. Larangan atas praktek ini ada dalam surat
al-Baqarah/2:226-227.
Masalah-masalah tersebut merupakan sebagian dari contoh
yang paling nyata dari proses pembebasan wanita dari
kungkungan adat yang merampas dan atau membatasi
kebebasannya. Dari proses pembebasan itu, menurut Zainab
al-Ma'ad, wanita kemudian diangkat derajatnya
menjadi sama dengan pria, baik dalam harkat dan martabat
maupun dalam hak dan kewajiban. Sudah tentu-seperti yang
ada pada setiap budaya, temasuk budaya modern-pembebasan
dan penyamaan derajat itu tidak mungkin melupakan dan
mengingkari kenyataan perbedaan fisiologis antara pria
dan wanita. Penegasan tentang kesamaan derajat atas
wanita dan pria itu dapat dibaca dalam berbagai surat dan
ayat, antara lain surat al-Hujurat/49:13,
al-Njam/53:45-46, al-Nisa'/4:1, dan al-A'raf/7:190. Dan
Nabi s.a.w. pernah membuat penyataan kutukan kepada
praktek mengingkari persamaan pria dan wanita itu sebagai
praktek Jahiliah. Diriwayatkan bahwa beliau berkeliling
kota Makkah setelah pembebasannya, lalu berpidato dengan
mengucapkan puji syukur kepada Allah, dan bersabda,
"Al-Hamd-u li 'l-Lah, segala puji bagi Allah yang
telah membebaskan kamu sekalian dari sikap tercela
Jahiliah. Wahai sekalian manusia, manusia itu hanya dua
macam: yang beriman dan bertaqwa serta mulia pada Allah,
dan yang jahat dan sengsara serta hina pada Allah."
Kemudian beliau membaca surat al-Hujurat/49:13,
"Wahai sekalian umat manusia, sesungguhnya Kami
ciptakan kamu sekalian dari lelaki dan perempuan, lalu
Kami jadikan kamu sekalian berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku ialah agar kamu saling kenal (dengan sikap
saling menghargai). Sesungguhnya yang paling mulia pada
Allah di antara kamu ialah yang paling bertaqwa.
Sesungguhnya Allah Maha Tahu dan Maha Teliti."47 Dan
sudah tentu bagi para wanita Muslimah, juga bagi siapa
saja, penting sekali peristiwa turunnya sebuah ayat yang
menegaskan persamaan derajat pria dan wanita. Seorang
isteri Nabi s.a.w., yaitu Umm Salamah, pernah
menyampaikan kepada beliau semacam keluhan bahwa Kitab
Suci hanya menyebutkan kaum lelaki dan tidak menyebutkan
kaum wanita Berkenaan dengan peristiwa itu, turunlah
firman Allah, surat al-Ahzab/33:35, yang terjemahnya
demikian:
Sesungguhnya mereka lelaki dan perempuan yang berserah
diri ("ber-islam"), mereka lelaki dan perempuan
yang beriman, mereka lelaki dan perempuan yang taat,
mereka lelaki dan perempuan yang jujur, mereka lelaki dan
perempuan yang tabah, mereka lelaki dan perempuan yang
khusyu', mereka lelaki dan perempuan yang berderma,
mereka lelaki dan perempuan yang berpuasa, mereka lelaki
dan perempuan yang menjaga kehormatannya, mereka lelaki
dan perempuan yang banyak ingat kepada Allah, Allah
menyediakan bagi mereka semua ampunan dan pahala yang
agung."48
Penyebutan hampir hanya jenis kelamin kebahasaan lelaki
dalam Kitab Suci sesungguhnya adalah semata-mata karena
bahasa Arab memang mengenal jenis lelaki-perempuan,
sekalipun tentang benda-benda mati, sama dengan bahasa
Perancis, misalnya, bukan dengan maksud diskriminasi.
Namun penegasan dalam firman itu sungguh sangat bermakna
bagi tekanan kepada hakikat kesamaan derajat pria dan
wanita yang diajarkan Islam.
Penutup
Dari uraian para ahli di kalangan wanita sendiri
sebagaimana dikutip di atas jelas sekali bahwa sebenarnya
kaum wanita Islam tidak perlu merasa kuatir dengan harkat
dan martabat mereka dalam agamanya. Jika penyimpangan
terjadi, maka selalu dapat diluruskan kembali dengan
merujuk kepada sumber-sumber suci, dan justru inilah
kelebihan Islam atas agama-agama yang lain. Dengan
merujuk kepada semangat dasar dan kearifan asasi atau
(ikmah ajaran Kitab Suci dan Sunnah Nabi, kita dapat
mengetahui bahwa banyak memang praktek dalam sebagian
Dunia Islam yang merendahkan kaum wanita itu tidak
berasal dari agama, tapi dari adat dan kultur setempat.
Kadang-kadang malah merupakan kelanjutan dari kebutuhan
mempertahankan pola tatanan sosial-politik tertentu yang
menguntungkan pihak penguasa status quo.
Fatimah Mernisi dengan keahlian yang sangat tinggi banyak
melacak kepalsuan hadits-hadits yang cenderung
merendahkan wanita, termasuk yang diriwayatkan oleh
Bukhari. Sebagai seorang penganut madzhab Maliki, Fatimah
menerapkan metode kritik hadits yang diajarkan dan
diterapkan oleh Imam Malik, dan menghasilkan kajian
kritis yang tangguh.49 Di atas semuanya itu, al-Qur'an
masih akan tetap ada di tangan umat Islam, dan Kitab Suci
itulah yang akan menjadi sumber ajaran kebenaran untuk
selama-lamanya, serta yang akan menjadi hakim dari
berbagai pertikaian pandangan tentang agama, termasuk
tentang wanita. Jangankan kita kaum Islam sendiri,
sedangkan mereka yang bukan-Islam pun mulai dengan
sungguh-sungguh memperhatikan al-Qur'an, mempelajarinya
dan menghargainya sangat tinggi. Berkenaan dengan ini,
cobalah perhatikan pernyataan Thomas Cleary, demikian:
The Qur'an is undeniably a book of great importance even
to non-Muslim, perhaps more today than ever, if that is
possible. One aspect of Islam that is unexpected and yet
appealing to the post-Christian secular mind is the
harmonious interplay of faith and reason. Islam does not
demand unreasoned belief. Rather, it invites intelligent
faith, growing from observation, reflection, and
contemplation, beginning with nature and what is all
around us. Accordingly, antagonism between religion and
science such as familiar to Westerners is foreign to
Islam.50
(Al-Qur'an adalah kitab yang tidak dapat diingkari amat
penting bahkan untuk non-Muslim, barangkali lebih-lebih
lagi pada zaman sekarang daripada yang zaman telah
terjadi, jika memang hal itu dimungkinkan. Satu segi dari
Islam yang tidak terduga namun menarik bagi jiwa sekular
pasca-Kristen ialah adanya saling hubungan yang serasi
antara iman dan akal. Islam tidak menuntut kepercayaan
yang tidak masuk akal. Sebaliknya, ia mengundang
kepercayaan yang cerdas, yang tumbuh dari observasi,
refleksi, dan kontemplasi, dimulai dengan alam dan apa
saja yang ada sekeliling kita. Karena itu, antagonisme
antara agama dan sains yang dikenal oleh orang Barat itu
adalah asing bagi Islam).
Kalau al-Qur'an tidak menuntut kepercayaan yang tidak
masuk akal, maka lebih-lebih lagi ia tidak akan menutut
pandangan dan sikap kepada sesama manusia hanya karena
perbedaan fisiologis yang tidak masuk akal, malah
merendahkan. Itulah yang menjadi salah satu dasar pesan
Islam sebagai agama fithrah, agama alami dan kewajaran
yang suci dan bersih. Dan benarlah para ulama yang
menegaskan bahwa al-Qur'an itulah imam kita, pembimbing
kita, dan penuntun kita menempuh hidup yang benar.
Wallah-u a'lam bi al-sahwab
Catatan:
1.Lihat Ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut, yang ditutup
dengan pernyataan: "Tidak ragu lagi bahwa orang ini
(al-Ghazali membuat kesalahan terhadap agama
(al-syari'ah) sebagaimana ia membuat kesalahan terhadap
falsafah (al-Hikmah). Allah Pembimbing kepada yang benar,
dan Pemberi anugerah khusus kebenaran kepada yang
dikehendaki."
2.Dikutip oleh Dr. 'Umar Sulayman al-Asyqar dalam Tarikh
al-Fiqh al-Islamiy (Kuwait: Maktabat al-Falah,
1982/1402), h. 172.
3.Ibid., hh. 172-3.
4.Ibid., h. 173.
5.Ibid., h. 174.
6.Ibid., hh. 174-5.
7.Cyril Glass, The Consise Encyclopedia of Islam
(San Fransisco, Harper, 1989), s.v.
"al-Ghazali".
8.Untuk uraiannya tentang berbagai ilmu ini, lihat
al-Ghazali, Ihya' 'Ulm al-Din, 4 jilid (Beirut: Dar
al-Fikr, 1411/1991), jil. 1, hh. 15-30.
9.Sebuah novel keagamaan yang sangat menarik bagi kaum
Muslim, karena menggambarkan tragedi perbenturan antara
ilmu-pengetahuan yang datang dari Islam dengan dogma
gereja. Diterbitkan di New York oleh Time Warner, 1986.
Sudah diangkat ke layar perak, dan menghasilkan film yang
dipujikan sangat tinggi, dengan judul yang sama, The Name
of the Rose.
10.The cosmopolitanism of Islam has become of enormous
import. It is ultimately in its cosmopolitanism that it
presents a positive and powerful response to the
challenge of Modernity. (Marshall G. S. Hidgson, The
Venture of Islam, tiga jilid, Chicago: The University of
Chicago Press, 1974), jil. 3, h. 409.
11.Lihat al-Qur'an, s. al-Baqarah/2:213.
12.Lihat al-Qur'an, s. al-Ma'idah/5:48.
13.Lihat al-Qur'an, s. Hd/11:118.
14.Lihat al-Qur'an, s. al-Ahzab/33:21.
15.Lihat al-Qur'an, s. Alu 'Imran/3:159.
16.Lihat al-Qur'an, s. al-Nahl/16:36.
17.Lihat al-Qur'an, al-Anbiya'/21:92 dan s.
al-Mu'minn/23:52.
18.Lihat al-Qur'an, s. al-Baqaah/2:136 dan 285, serta s.
Alu 'Imran/3:84.
19.Lihat al-Qur'an, s. al-A'raf/7:172 dan s.
al-Rm/30:30.
20.Al-Qur'an, s. al-Fajr/89:17-20.
21.Al-Qur'an, s. al-Balad/90:4-7.
22.Sebuah Hadits menuturkan sabda Nabi s.a.w., (Orang
beriman yang kuat adalah lebih baik dan lebih disukai
Allah daripada orang beriman yang lemah, namun pada
kedua-duanya tetap terdapat kebaikan). (Lihat kutipan
Hadits ini oleh Ibn Taymiyah dalam Minhaj alSunnah,
suntingan Dr. Muhammad Rasyad Salim, 9 jilid, (?):
Mu'assasat Qurthubah, 1406 H / 1986 M, jil. 6 h. 28.
Riwayat mengatakan bahwa Hadits ini berkaitan dengan
kasus adanya seorang Sahabat Nabi seperti 'Abd-al-Rahman
ibn 'Awf, yang seorang pedagang suksus dan kaya raya, dan
Ab Dzarr al-Ghifari, seorang Sahabat yang hidupnya
prihatian dan asketik.
23.Lihat al-Qur'an, s. al-A'raf/7:32.
24.Lihat al-Qur'an, s. al-Mulk/67:3.
25.Sebuah Hadits terbaca: (Sesungguhnya Allah itu Maha
Indah, dan menyukai keindahan). Lihat kutipan Hadits itu
dan keterangannya dalam Ibn Taymiyah, Minhaj al-Sunnah,
suntingan Dr. Muhammad Rasyad Salim, 9 jilid, (?):
Mu'assasat Qurthubah, 1406 H / 1986 M, jil. 3, h. 161.
26.Lihat al-Qur'an, s. Luqman/31:33 dan s. Fathir/35:5.
27."The distinguished Austrian novelist Robert Musil
described the age as characterised by "relativity of
perspective verging on epistemological panic". The
phrase is extremely apt. The West did indeed exist in a
state of panic about knowledge and meaning, the two
primary issues to which the branch of philosophy called
epistemology addresses itself. Beneath the frenzied self
indulgence of the era of Charleston and flapper, there
lurked a sense of desperation, an often frantic terror at
the absence of meaning, the uncertainty of all knowledge,
the impossibility of saying definitely what or even that
one knew. Meaning and knowledge became as relative, as
mutable, as provisional as everything else."
(Michael Baigent, Richard Leigh & Henry Lincoln, The
Messianic Legacy [New York: Bantam Dobuleday Dell, 1986],
h. 184).
28."Human dignity rests on the assumption that human
life is in some way significant. We are more prepared to
endure pain, deprivation, anguish and all manner of ills,
if they serve some purpose, than we are to endure the
inconsequential. We would rather suffer than be of no
importance." (Baigent, et al., h. 176).
29.Al-Qur'an, s. Saba'/34:46
30.Lihat al-Qur'an, s. al-Mujadalah/58:11.
31.Lihat al-Qur'an, s. al-Baqarah/2:1-3.
32.Lihat, Muhammad Asad, The Message of the Qur'an,
Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980, h. 4, catatan 3.
33."Finally, in both science and religion frontier
knowledge is disclosed only through the use of
instruments. Win the unaided eye a small, faint smudge
can be detected in the constellation of Orion, and
doubtless an imposing cosmological theory could be
founded on this smudge. But no amount of theorizing,
however ingenious, could ever tell us as much about the
galactic and extragalactic nebulae as can direct
acquaintsnce by means of a good telescope, camera, and
spectroscope.
What are the mystic counterparts of such instruments?
Basically they are two, one of which is coporate, the
other private. For collectivities-tribes, societies,
civilizations, traditions-the revealing instruments are
the Revealed Texts.... In either case, "in the
beginning," that illo tempore of man's
once-upon-a-time, there came to Moseses and Muhammads of
humanity the shruti (Truth that is heard) in comparison
with which all subsequent truth is smitri (truth that is
remembered).
These revealed canons are the "Palomar
telescopes" that disclose the heavens and declare
God's glory, but in this, religion' case, other more
individual instruments are reaquired as well. There comes
a point when the mystic's instrument cannot stop with
being external and must become-himself." (Huston
Smith, Forgotten Truth, San Fransisco,
HarperSanFransisco, 1992, hh. 114-115.
34.Lihat al-Qur'an, s. Fushshilat/41:53.
35.Al-Qur'an, s. al-Mu'minn/23:115.
36.Al-Qur'an, s. al-Baqarah/2:156.
37.Pengertian inilah yang dapat kita tarik dengan jelas
dari semangart al-Qur'an, s. al-'Ashr.
38.Ini, sudah tentu, berdasarkan firman Allah yang banyak
dikutip, yaitu al-Qur'an, s. al-A'raf/7:172.
39.Lihat, al-Qur'an, s. al-Dzariyat/51:56.
40.Al-Qur'an, s. al-Baqarah/2:257-258.
41.Lihat al-Qur'an, s. al-'Alaq/96:6.
42.Lihat al-Qur'an, s. al-Rm/30:30.
43.Al-Qur'an, s. al-Zumar/39:54-55.
44.Robert Hughes, Culture of Complaint, a Passionate Look
into the Ailing Heart of America, New York: Warner Books,
1994, hh. 100-102. Dalam bahasa aslinya, Inggris, kutipan
itu adalah sebagai berikut:
Thus, if multiculturalism is about learning to see
through boders, I'm all in favor of it. Amerincans have a
real problem in imagining the rest of the world. They are
not the only ones-most things are foreign to most
people-but considering the variety of national origins
represented in their vast society, its incuriosity and
proneness to stereotype can still surprise the foreigner,
even (in my case) after twenty years' residence in the
U.S. For example: If white Americans still have
difficulty seeing blacks, what of the Arabs? Like
everyone else, I watched the Gulf War on television, read
about it in the press, and saw how that conflict brought
to an ugly climax America's long-implanted habit of
hostile ignorance about the Arab world, past and present.
Rarely did one get an indication from the media, let
alone from politicians, that the realities of Islamic
culture (both past and present) were anything other than
a history of fanaticism. Instead, a succession of pundits
came forth to assure the public that Arabs were basically
a bunch of volatile religious maniacs, hostage takers,
sons of thornbush and dune whose whole past disposed them
against intercourse with more civilized states. Modern
Islamic fundamentalism filled the screen with screaming
mouths and waving arms; of the Islamic past-let alone
present day Arab dissent from fundamentalist xenophobia
and militarism-one heard much less. It was as though
Americans were being fed an amplified, updated version of
the views on Islam held by Ferdinand and Isabella in the
15th century. The core message was that Arabs were not
just uncivilized, but uncivilizable. In its perverse way,
this represented a victory for the mullahs and for Saddam
Hussein-in American eyes, everything in the Arab world
that contradicted their cruelties and eschatological
maniacs was blotted out, so that they were left in full
possession of the field.
But to treat Islamic culture and history as a mere
prelude to today's fanaticism gets us nowhere. It is like
reading a Gothic cathedral in terms of such modern
Christians as Jimmy Swaggart or Pat Robertson.
Historically, Islam the Destroyer is a myth. Without Arab
scholars, our mathematics would not exist and only a
fraction of the Greek intellectual heritage would have
come down to us. Medieval Rome was a scavengers' village
compared with medieval Baghdad. Without the Arab invasion
of southern Spain or el-Andalus in the 8th century, which
produced the farthest westward expansion of the Islamic
empire run by the Abbasid dynasty from Baghdad (sic.),
the culture of southern Europe would be unimaginably
poorer. Hispano-Arabic Andalusia, between the 12th and
the 15th centuries, was a brilliant
"multicultural" civilization, built over the
ruins (and incorporating the half-lost motifs) of ancient
Roman colonies, mingling Western with middle-Eastern
forms, glorious in its lyric invention and adaptive
tolerance. What architecture surpasses that of the
Alhambra in Granada, or the Great Mosque of Cordoba?
Mestizaje es grandeza: mixture is greatness.
45.Betty Mahmoody bersama William Hoffer, Not Without My
Daughter, London: Corgi Books, 1993, halaman kulit luar,
belakang.
46.Jean Sasson, Daughters of Arabia, London: Doubleday,
1994, halaman sampul belakang luar.
47.Untuk semua pembahasan di atas itu, lihat Zainab
al-Ma'adi, al-Mar'ah bayn al-Tsaqafi wa al-Qudsi, serial
dengan pengawasan Fatimah Zahra' Azryil (al-Dar
al-Baydla': Nasyr al-Fank, tanpa tahun), hh. 63-65.
48.Lihat, ibid.
49.Lihat Khlidah Sa'id, al-Mar'ah, al-Taharrur, al-Ibda'
(Wanita, Pembebasan dan Kreatifitas), serial dengan
pengawasan Fatimah Mernisi, al-Dar al-Baydla', Nasyr
al-Fank, tanpa tahun, hh, 124-133.
50.Thomas Cleary, The Essential Koran, the Heart of
Islam, an Introductory Selection of Readings from the
Qur'an (San francisco: HarperSanFrancisco, 1994), h. vii.
|