PERISTIWA ISRA MI'RAJ: MASJID HARAM DAN
MASJID AQSHA DALAM TINJAUAN KESEJARAHAN
Oleh : Nurcholish Madjid
Event Artikel : KKA-70 (Jakarta, Januari 1993)
Diupdated
pada: Rabu 4 April 2001
Muqaddimah
Peristiwa Isra' dan Mi'raj Nabi Muhammad s.a.w. mempunyai
kedudukan yang sangat istimewa dalam sistem ajaran Islam.
Negara kita, sebagai negara dengan sebagian besar
penduduknya beragama Islam, telah menjadikan hari
peringatan peristiwa amat penting itu sebagai hari libur
nasional, dan peringatannya sendiri diadakan secara resmi
di Masjid Istiqlal (Masjid Kemerdekaan), dengan dihadiri
Presiden, Wakil Presiden, para anggota kabinet, para
wakil negara Islam, dan para undangan terhormat lainnya.
Jalannya peristiwa itu sendiri sudah sangat umum dikenal,
dan menjadi tema-tema pokok berbagai ceramah dan tabligh
untuk memperingatinya. Juga sudah dibeberkan dalam
berbagai karya tulis, baik yang klasik maupun yang
moderen. Hikmahnya pun telah pula sangat luas diketahui,
yang kiranya tidak perlu banyak disinggung di sini.
Sebaliknya, dalam makalah ini akan dikemukakan segi-segi
kesejarahan berkenaan dengan dua tempat suci yang terkait
dengan peristiwa amat penting itu, yaitu Masjid Haram di
Makkah dan Masjid Aqsha di Bait al-Maqdis. Tujuannya
ialah memberi kesadaran historis kepada kita semua selaku
pemeluk Islam dan yang mempercayai sepenuhnya kejadian
luar biasa Isra' dan Mi'raj itu, seperti dirintis oleh
Ibn Khaldun, pelopor sesungguhnya falsafah sejarah dan
ilmu-ilmu sosial, dan seperti dilakukan oleh Ibn
Taimiyyah..
Masjid Haram di Makkah
Masjid Haram (al-Masjid al-haram), baik dalam arti
bangunan masjid itu sendiri ataupun dalam arti
keseluruhan kompleks Tanah Suci Makkah (sebagaimana
dikemukakan para ahli tafsir Al-Qur'an), adalah tempat
bertolak Nabi s.a.w. dalam menjalani Isra' dan Mi'raj.
Ini dijelaskan tanpa meragukan dalam Al-Qur'an, surat
al-Isra' (juga disebut surat Bani Isra'il), yaitu surat
ke 17, ayat pertama:
Maha Suci Dia (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya
di suatu malam, dari Masjid Haram ke Masjid Aqsha yang
Kami berkati sekelilingnya, agar Kami perlihatkan
kepada-Nya sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami.
Sesungguhnya Dia (Allah) Maha Mendengar, Maha Melihat.1
Mengapa Nabi s.a.w. dalam perjalanan suci itu bertolak
dari Masjid Haram, kiranya adalah karena alasan yang amat
jelas, yaitu karena beliau adalah orang Makkah dan
tinggal di sana. Tetapi mungkin sekali ada kaitannya
dengan sejarah Masjid Haram itu sendiri, sehingga
perjalanan beliau yang bertolak dari Makkah (menuju
Masjid Aqsha, dan terus ke Sidrat al-Muntaha) itu
mempunyai makna lain, yaitu isyarat Makkah sebagai titik
tolak semua ajaran para Nabi dan Rasul, yaitu Tauhid
(memahaesakan Tuhan) dan Islam (sikap pasrah yang tulus
kepada-Nya). Sebab dalam Kitab Suci Al-Qur'an sendiri
terdapat firman yang mengaskan bahwa "Sesungguhnya
Rumah (suci) yang pertama didirikan untuk umat manusia
ialah yang ada di Bakkah [Makkah] itu, sebagai bangunan
yang diberkati dan merupakan petunjuk bagi seluruh
alam."2
Sebagai rumah ibadat yang pertama untuk umat manusia,
para 'ulama' mengatakan bahwa Masjid Haram di Makkah itu
didirikan oleh Nabi Adam a.s. Adam dan isterinya hawa',
telah bersalah melanggar larangan Allah memakan buah
Pohon Khuldi (Syajarat al-Khuld-i).3 Konon Nabi Adam a.s.
membangunnya segera setelah ia turun ke bumi, diusir dari
surga, karena pelanggarannya itu.Tentang Adam sebagai
yang pertama mendirikan Masjid Haram, dalam hal ini ialah
Ka'bah, terdapat sebuah Hadits, bahwa Nabi s.a.w. pernah
menerangkan:
Allah mengutus Jibril kepada Adam dan hawa', dan berkata
kepada keduanya: "Dirikanlah untuk-Ku Rumah
Suci." Lalu Jibril membuat rencana untuk keduanya
itu. Maka mulailah Adam menggali dan hawa' memindahkan
tanah sehingga bertemu air, lalu ada suara memanggil dari
bawahnya: "Cukup untukmu, wahai Adam!" Setelah
selesai membangun Rumah Suci itu, Allah memberi wahyu
kepadanya: "Hendaknya engkau tawaf
mengelilinginya." Dan difirmankan kepadanya:
"Engkau adalah manusia pertama, dan ini adalah Rumah
Suci pertama." Kemudian generasi pun silih berganti
sampai saatnya Nabi Nuh menunaikan haji ke sana, dan
generasi pun terus berganti sesudah itu sampai Nabi
Ibrahim mengangkat fondasi daripadanya.4
Bahwa Nabi Ibrahim mengangkat fondasi bangunan itu,
dijelaskan dalam Al-Qur'an, berkaitan dengan
firman-firman tentang kegiatan Ibrahim dan puteranya,
Isma'il, membangun (kembali) Masjid Haram, dalam hal ini
khususnya Ka'bah: "Dan ingatlah tatkala Ibrahim dan
Isma'il mengangkat fondasi dari Rumah Suci itu, lalu
berdo'a, 'Wahai Tuhan kami, terimalah dari kami,
sesungguhnya Engkau Maha Mendengar, Maha
Mengetahui.'" 5
Kita semua sudah tahu bahwa Nabi Ibrahim sampai di Makkah
atas petunjuk Allah dalam perjalanan membawa anaknya,
Isma'il beserta ibunya, Hajar. Ibrahim sendiri melukiskan
bahwa Makkah adalah suatu lembah yang "tidak
bertetumbuhan", sehingga ia merasa iba dan sedih
telah meninggalkan sebagian dari keturunannya, yaitu
Isma'il, di tempat yang tandus itu. Namun ia tetap
berdo'a untuk tempat itu dan para penghuninya,
sebagaimana dituturkan dalam firman suci yang mengharukan
sekali, demikian terjemahnya:
Wahai Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan
sebagian dari keturunanku di suatu lembah yang tidak
bertetumbuhan, di dekat Rumah-Mu yang Suci. Wahai Tuhan
kami, agar mereka menegakkan sembahyang, maka jadikanlah
hati nurani manusia condong (mencintai) mereka, dan
karuniakanlah kepada mereka bermacam buah-buahan, semoga
mereka bersyukur.6
Agaknya sumber air yang ditemukan dalam galian oleh Adam
dan hawa' itu ialah sumur Zamzam yang di sebelah Rumah
Suci, yaitu Rumah Allah (Bait Allah,
"Baitullah"), Ka'bah. Sumber itu, karena berada
cukup jauh dalam tanah, kemudian hilang karena tertimbun
pasir. Secara mukjizat sumber itu diketemukan kembali
oleh Isma'il dan ibundanya, Hajar, pada saat keduanya
untuk pertama kali tinggal di lembah itu dari Kana'an,
dan Ibrahim, ayah Isma'il meninggalkan mereka dengan
pasrah kepada Allah. Zamzam menjadi daya tarik yang amat
kuat bagi lembah itu, sehingga lambat laun tumbuhlah
sebuah kota, yaitu Makkah atau Bakkah. Mula-mula adalah
orang-orang Arab dari suku Jurhum yang meminta izin Hajar
untuk ikut tinggal di Makkah. Mereka mengetahui adanya
sumber air di lembah itu dalam suatu perjalanan dagang
mereka dari Syria menuju negeri mereka di arabia Selatan.
Hajar mengizinkan, dengan syarat bahwa Zamzam tetap
menjadi haknya untuk menguasai. Isma'il berumah tangga
dengan wanita dari kalangan orang Arab itu, dan dari
rumah tangga Isma'il itulah kelak tumbuh suku Arab
Quraisy, dan dari suku ini kelak tampil Nabi Muhammad
s.a.w., penutup semua Utusan Tuhan.
Dalam perjalanan waktu, sumur Zamzam yang telah
diketemukan kembali oleh Isma'il dan ibundanya itu sempat
hilang lagi karena ditimbuni tanah dan pasir oleh suatu
kelompok penduduk Makkah sendiri yang sedang berperang
dengan kelompok lainnya, dan mereka menjalankan taktik
"bumi hangus" terhadap Makkah, kemudian
meninggalkan kota itu. "Politik bumi hangus"
ini berhasil, karena sumur Zamzam tidak pernah lagi dapat
diketemukan oleh penduduk Makkah sendiri yang tersisa.
Sedikit demi sedikit keturunan Isma'il yang berhak atas
Makkah itu kembali lagi, dan mereka inilah yang kemudian
melahirkan suku Quraisy tersebut. Tokoh mereka yang
sangat terpandang ialah kakek Nabi, 'Abd-al-Muththalib.
Melalui petunjuk dalam mimpi, kakek Nabi ini berhasil
menggali dan menemukan kembali sumur Zamzam setelah
hilang sekian lama itu.7
Peninggalan pengalaman Ibrahim,
Hajar dan Isma'il telah menjadi patokan ibadah haji. Maka
ibadah haji sebagian besar merupakan acara memperingati
dan menapak tilas (commemorative) tiga makhluk manusia
yang dipilih oleh Allah untuk meletakkan dasar-dasar
paham Ketuhanan Yang Maha Esa (Tauhid) dan ajaran pasrah
kepada-Nya (Islam). Selain ritus tawaf keliling Ka'bah
yang merupakan peninggalan Nabi Adam, manasik atau ritus
haji lainnya merupakan upaya menghidupkan kembali
pengalaman dan perjuangan tiga manusia, Ibrahim, Hajar
dan Isma'il menegakkan ajaran Tauhid dan Islam: sa'i
antara dua bukit Safa dan Marwah, wukuf di Arafah, turun
ke Mina, melempar ketiga jumrah, dan berkorban binatang
ternak. (Keterangan lebih lanjut tentang Makkah dan
Masjid Haram serta kaitannya dengan manasik haji sudah
amat terkenal, karena itu di sini dirasakan tidak perlu
lagi diulang, kecuali hal-hal tersebut di atas yang amat
pokok dan penting).
Dari keturunan Isma'il tidak ada yang tampil menjadi Nabi
kecuali Nabi Muhammad s.a.w. Sedangkan dari keturunan
Ishaq, yaitu putera Ibrahim dengan Sarah, tampil banyak
sekali Nabi, sehingga sebagian besar tokoh-tokoh para
Nabi yang dituturkan dalam Al-Qur'an adalah tokoh-tokoh
keturunan Ishaq itu, yang juga menjadi tokoh-tokoh dalam
Bibel, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.
Tetapi Nabi Muhammad s.a.w. adalah yang terbesar dan
paling berpengaruh dari semua Nabi dan Rasul, dan
merupakan penutup para Nabi dan Rasul Allah sepanjang
masa. Peranan dan pengaruh Nabi Muhammad diakui oleh para
ahli sejarah di manapun (asalkan berpikir jujur) sebagai
yang paling besar dalam sejarah umat manusia. Dalam
Perjanjian Lama semua itu sudah diisyaratkan dengan
tegas, demikian:
Dan lagi kata Malaekat Tuhan kepadanya (Hajar):
"Bahwa Aku akan memperbanyakkan amat anak-buahmu,
sehingga tiada tepermanai banyaknya." Dan lagi pula
kata Malaekat Tuhan kepadanya: "Sesungguhnya engkau
ada mengandung dan engkau akan beranak laki-laki seorang,
maka hendaklah engkau namai akan dia Isma'il, sebab telah
didengar Tuhan akan dikau dalam hal kesukaranmu."8
Maka akan hal Isma'il itupun telah Kululuskan
permintaanmu; bahwa sesungguhnya Aku telah memberkati
akan dia dan membiakkan dia dan memperbanyakkan dia amat
sangat dan duabelas orang raja-raja akan berpancar
daripadanya dan aku akan menjadikan dia satu bangsa yang
besar. Akan tetapi perjanjianku akan kutetapkan dengan
Ishaq, yang akan diperanakkan oleh Sarah bagimu pada masa
yang tertentu, tahun yang datang ini.9
Maka didengar Allah akan suara budak (anak kecil, yaitu
Isma'il) itu, lalu berserulah Malaekat Allah dari langit
akan Hajar, katanya kepadanya: "Apakah yang engkau
susahkan, wahai Hajar? Janganlah takut, karena telah
didengar Allah akan suara budak itu dari tempatnya.
Bangunlah engkau, angkatlah budak itu, sokonglah dia,
karena Aku hendak menjadikan dia suatu bangsa yang
besar." Maka dicelikkan Allah akan mata Hajar,
sehingga terlihatlah ia akan suatu mata air, lalu
pergilah ia mengisikan kirbat itu dengan air, diberinya
minum akan budak itu. Maka disertai Allah akan budak itu
sehingga besarlah ia, lalu iapun duduklah (tinggal) dalam
padang belantara dan menjadi seorang pemanah.10
Berbahagialah orang (Isma'il) yang kekuatannya adalah
dalam Engkau, dan hatinya adalah pada jalan raya ke
Ka'bah-Mu. Apabila mereka itu melalui lembah pokok ratam
dijadikannya mata air (Zamzam), bahkan seperti kelimpahan
hujan awal menudungi mereka itu.11
Maka tampilnya Nabi Muhammad s.a.w. sebagai Rasul Allah
yang penghabisan dapat dipandang sebagai wujud dari semua
yang telah dijanjikan oleh Allah kepada Ibrahim, Hajar
dan Isma'il itu. Juga merupakan wujud dikabulkannya do'a
Nabi Ibrahim sendiri agar di antara keturunan Isma'il
kelak akan juga tampil seorang Rasul yang akan membacakan
ayat-ayat Allah, dan mengajarkan Kitab Suci dan Hikmah
Ilahi kepada mereka dan kepada umat manusia.12
Semuanya itu kemudian dibuktikan dengan tampilnya Bangsa
Arab, di bawah pimpinan kaum Quraisy, untuk mengemban
amanat Allah melalui agamanya yang terakhir, dan telah
membawa pengaruh kepada kemajuan dan reformasi peradaban
umat manusia sampai sekarang, dan seterusnya sepanjang
zaman.
Masjid Aqsha di Bait al-Maqdis
Masjid Aqsha adalah tujuan perjalanan malam (Isra') Nabi
s.a.w., serta titik tolak beliau melakukan Mi'raj, menuju
Sidrat al-Muntaha, menghadap Tuhan Seru sekalian alam.
Ini dengan jelas disebutkan dalam Al-Qur'an, surat
al-Isra', ayat pertama, sebagaimana telah dikutip di
atas. Salah satu pengalaman Nabi s.a.w. ketika berada di
Masjid Aqsha itu ialah ketika beliau menjadi imam
sembahyang untuk seluruh Nabi dan Utusan Allah, sejak
dari Nabi Adam a.s. Ini jelas melambangkan persamaan
dasar dan kontinuitas agama Allah seperti dibawa oleh
para Rasul itu semuanya, dan agama itu kemudian
berkembang sejak dari bentuk yang dibawa oleh Nabi Adam
menuju bentuknya yang terakhir dan sempurna, yang dibawa
oleh Nabi Muhammad s.a.w. Karena itulah Nabi Muhammad
s.a.w. menjadi imam para Nabi dan Rasul di Masjid Aqsha
itu, yang hal ini jelas sekali melambangkan dan
menegaskan bahwa beliau, selaku penutup para Nabi dan
Rasul, mewakili puncak perkembangan agama Allah, yaitu
al-Islam (ajaran kepatuhan dan pasrah kepada Allah dengan
tulus).
Tentang bagaimana dapat terjadi bahwa Nabi Muhammad
s.a.w. bertemu dengan para Nabi, sejak dari Adam sampai
Isa al-Masih, bahkan tentang bagaimana seluruh peristiwa
perjalanan suci Isra' dan Mi'raj itu terjadi, tentulah
merupakan rahasia Allah, menjadi bagian dari perkara gaib
yang kita harus beriman kepadanya. Sementara itu, para
ahli tafsir menuturkan tentang adanya perbedaan pendapat
di kalangan umat Islam, apakah Nabi s.a.w. mengalami
peristiwa Isra' dan Mi'raj itu secara ruhani-jasmani,
ataukah ruhani saja. Sebagian besar riwayat mengatakan
bahwa Nabi s.a.w. melakukan perjalanan suci itu secara
ruhani-jasmani sekaligus. Tetapi ada beberapa riwayat,
seperti dari 'A'isyah, Mu'awiyah dan al-hasan (ibn 'Ali
ibn Abi Thalibh), sebagaimana dikutip oleh al-Zamahhsyari
dalam kitab tafsirnya, al-Kasysyaf, bahwa Isra' dan
Mi'raj itu dialami Nabi secara ruhani saja.13
Tetapi sesungguhnya masalah itu, di hadapan Tuhan Yang
Maha Kuasa, tidaklah relevan. Karena apapun yang
dikehendaki oleh Tuhan tentu akan terjadi. Dan sekarang
ini, dengan pertolongan ilmu pengetahuan moderen, mungkin
kita dapat menjelaskan sedikit lebih baik tentang masalah
ini. Yaitu kalau kita lihat dalam kerangka teori
kenisbian waktu seperti dikembangkan oleh Robert
Einstein. Kalau Einstein dan para ilmuwan dapat membangun
teori bahwa manusia dapat "berjalan-jalan" ke
masa lalu dan masa mendatang-antara lain berdasarkan
kenisbian waktu-yang teori itu telah dituangkan dalam
tulisan-tulisan science fiction seperti id tentang
adanya "lorong waktu" (time tunnel), maka
mungkin saja bahwa Nabi dalam Isra' dan Mi'raj itu,
dengan kehendak Allah karena dibebaskan oleh-Nya dari
belenggu dimensi ruang-waktu, telah melakukan perjalanan
dalam "lorong waktu", sehingga beliau dapat
melihat dan mengalami hal-hal di masa lalu dan di masa
mendatang sekaligus. Sebab Allah sendiripun tidak terikat
ruang dan waktu, dan baik ruang maupun waktu itu tidak
lain adalah ciptaan Allah semata, tidak mutlak, dan tidak
abadi. Bahan-bahan bacaan, termasuk yang dirancang secara
populer, sekarang dengan mudah dapat diperoleh mengenai
hal ini. Jadi, sekali lagi, masalah bagaimana Nabi s.a.w.
mengalami Isra' dan Mi'raj itu, di hadapan kehendak Allah
dan kemahakuasaan-Nya, tidaklah terlalu relevan. Kita
percaya kepada Allah, dan kita membenarkan terjadinya
Isra' dan Mi'raj itu dengan sepenuh hati, sebagaimana hal
itu diteladankan oleh wisdom Sahabat Nabi yang terdekat,
Abu Bakr r.a., sehingga beliau ini mendapat gelar
al-Shiddiq (pendukung kebenaran yang tulus).
Seperti halnya dengan pertemuan Nabi s.a.w. dengan para
Nabi dan Rasul sepanjang zaman dalam shalat bersama dan
beliau menjadi imam itu, begitu pula pengalaman
keberadaan Nabi di Masjid Aqsha adalah suatu pengalaman
yang telah lepas dari dimensi ruang-waktu yang relatif.
Sebab semasa Nabi melakukan perjalanan suci itu, Masjid
Aqsha dalam arti bangunan fisiknya tidak ada, kecuali
sisa beberapa bagiannya yang kurang penting.
Tentang bagaimana perjalanan nasib Masjid Aqsha itu dalam
sejarah masa lalu sejak didirikan, Al-Qur'an sendiri
telah memberi keterangan yang cukup jelas, bahwa ia telah
mengalami penghancuran total dua kali. Penafsiran
keterangan dalam Al-Qur'an itu dengan fakta-fakta sejarah
menjadi amat penting, karena tanpa itu kita akan terjebak
dalam cara berpikir a-historis, sesuatu yang dikritik
keras oleh Ibn Khaldn dan Ibn Taimiyyah.
Keterangan dalam Al-Qur'an tentang apa yang terjadi pada
Masjid Aqsha sepanjang sejarahnya di masa lalu termuat
dalam surat al-Isra', yaitu surat yang justru dibuka
dengan peneguhan telah terjadinya perjalanan suci Nabi
Muhammad s.a.w. seperti telah dikutip di atas. Keterangan
itu, dalam terjemahnya, adalah demikian:
Dan telah Kami takdirkan bagi Bani Israil dalam Kitab,
"Kamu pasti akan membuat kerusakan di bumi dua kali,
dan kamu akan menjadi amat sangat sombong. Maka tatkala
telah tiba janji (takdir) yang pertama dari dua
pengrusakan itu, Kami bangkitkan atas kamu hamba-hamba
Kami yang memiliki kekuatan dahsyat, lalu mereka
merajalela di setiap pelosok negeri. Ini adalah janji
(takdir) yang telah terlaksana. Kemudian Kami kembalikan
kepada kamu kekuasaan atas mereka (musuh-musuhmu), dan
Kami karuniakan kepada kamu harta kekayaan dan keturunan,
serta Kami jadikan kamu lebih banyak jiwa (warga). Jika
kamu berbuat baik, maka kamu berbaik untuk dirimu
sendiri, dan jika kamu berbuah jahat maka kamu berbuat
jahat untuk dirimu sendiri pula. Maka tatakala tiba janji
(takdir) yang kedua (dari dua takdir pengrusakan
tersebut), (Kami utus hamba-hamba-Ku yang memiliki
kekuatan dahsyat) agar mereka merusak wajah-wajahmu, agar
mereka masuk masjid seperti mereka dahulu (pada janji
pengrusakan pertama) masuk masjid, dan agar mereka
menghancurkan samasekali apapun yang mereka kuasai.
Semogalah Tuhanmu mengasihi kamu. Dan jika kamu kembali
(membuat kerusakan), maka Kami pun akan kembali (memberi
azab). Dan kami jadikan jahanam sebagai penjara bagi
orang-orang yang menentang (kafir)."14
Jadi dalam firman itu disebutkan bahwa Anak-cucu Israil,
yaitu kaum Yahudi, telah ditetapkan dalam Kitab (menurut
para ahli tafsir dapat berarti Laufuzh ataupun Kitab
Taurat15) akan membuat kerusakan di bumi dua kali, dan
pada kedua peristiwa perusakan itu Allah mengirimkan
azab-Nya kepada mereka, berupa hancur luluhnya Masjid
Aqsha atau Bait al-Maqdis, dan terhinanya bangsa Yahudi.
Sekarang, pertanyaannya ialah, apa dan kapan wujud
terjadinya kedua peristiwa perusakan dan turunnya azab
Allah itu?
Sepeninggal Nabi (Raja) Sulaiman, Bani Israil terpecah
menjadi dua, yaitu kelompok sepuluh suku Yahudi yang
berkuasa di bagian selatan Palestina dan berpusat di
Samaria, dan kelompok dua suku Yahudi (Yehuda dan
Bunyamin) yang menguasai Yudea dan berpusat di Yerusalem
atau Bait al-Maqdis. Dalam kitab tafsirnya, al-Kasysyaf,
Zamakhsyari mengatakan bahwa peristiwa perusakan yang
pertama berupa pembunuhan Nabi Zakaria dan pemenjaraan
Aramia, padahal sudah diperingatkan akan datangnya
kemurkaan Allah jika mereka melakukan kejahatan itu.
Sedangkan peristiwa perusakan yang kedua ialah pembunuhan
Nabi Yahya, putera Nabi Zakaria, serta rencana mereka
untuk membunuh Nabi 'Isa putera Maryam, a.s. Tetapi,
dalam keterangannya tentang siapa "para hamba Allah
yang berkekuatan dahsyat (uli ba's-in syadid)" yang
dibangkitkan untuk menjadi alat mengazab kaum Yahudi itu,
pada peristiwa perusakan pertama Zamakhsyari menyebutkan
kemungkinan balatentera Sunjarib atau balatentera
Nebukadnezar. Juga disebutkan adanya riwayat dari Ibn
'Abbas, bahwa mereka itu ialah balatentera Jalut
(Goliath) yang membunuh para 'ulama' Yahudi, membakar
Taurat, menghancurkan Masjid (Aqsha) dan membantai
tujuhpuluh ribu orang Yahudi. Zamaksyari tidak
menerangkan siapa "para hamba Allah yang berkekuatan
dahsyat" yang menjadi instrumen azab Tuhan pada
peristiwa perusakan yang kedua oleh kaum Yahudi itu.16
Zamakhsyari tentu saja bukanlah satu-satunya yang mencoba
menerangkan apa dan kapan serta bagaimana sebenarnya dua
kali peristiwa perusakan oleh Bani Israil yang mengundang
azab Ilahi yang dahsyat itu. Ibn Katsir, seorang penafsir
Al-Qur'an yang kenamaan, mengatakan bahwa para 'ulama'
Islam, baik yang terdahulu (salaf) maupun yang kemudian
(khalaf) berselisih pendapat tentang siapa "para
hamba Allah yang berkekuatan dahsyat" tersebut tadi,
serta kapan kejadiannya dan bagaimana. Ibn Katsir
mengritik beberapa sumber yang ia sebutkan sebagai lemah
atau dla'if, dan menyebutkan tentang adanya cerita yang
fantastis atau aneh tentang jalannya peristiwa tersebut.
Namun mirip dengan Zamakhsyari, Ibn Katsir juga
menyebutkan kemungkinan bahwa pada peristiwa perusakan
yang pertama, mereka "para hamba Allah yang
berkekuatan dahsyat" itu adalah balatentera Raja
Sunjarib dari al-Maushil, tapi juga mungkin Nebukadnezar
dari Babilonia. Dan sama dengan Zamakhsyari, Ibn Katsir
juga tidak mencoba menerangkan siapa "para hamba
Allah yang berkekuatan dahsyat" pada peristiwa
perusakan yang kedua tersebut.17
Kitab tafsir lain yang cukup populer di Dunia Islam ialah
Tasfir al-Baidlawi. Dalam tafsir ini al-Baidlawi, sedikit
berbeda dan lebih masuk akal daripada Zamakhsyari,
mengatakan bahwa peristiwa perusakan pertama oleh kaum
Yahudi ialah sikap mereka meninggalkan ajaran-ajaran
Taurat dan pembunuhan Nabi Sya'ya'-ada yang mangatakan
Nabi Aramiya' (menurut Zamakhsyari, Nabi Aramia-lihat di
atas)-dan persitiwa perusakan kedua ialah pembunuhan
mereka atas Nabi Zakaria dan Nabi Yahya, serta percobaan
mereka untuk membunuh Nabi Isa al-Masih. Untuk yang
pertama, al-Baidlawi tidak merasa pasti siapa yang
berperan sebagai "para hamba Allah yang berkekuatan
dahsyat" yang dibangkitkan untuk menjadi instrumen
azab Tuhan kepada Bani Israil itu: boleh jadi balatentra
Nebukadnezar dari Babilonia, atau Jalt dari
kalangan bangsa Filistin, atau Sunjarib dari Niniveh
(al-Maushil, menurut Ibn Katsir-lihat di atas). Sedangkan
untuk peristiwa perusakan kedua, al-Baildawi menyebutkan
bahwa "para hamba Allah yang berkekuatan
dahsyat" itu ialah balatentera Persia, yang melalui
mereka ini Allah membalas dendam atas pembunuhan Nabi
Yahya.18
Kitab tafsir lain ialah Tafsir al-Khazin, yang memberi
penjelasan sangat panjang lebar tentang peristiwa dua
kali perusakan oleh Bani Israil tersebut. Sedikit
mengulangi keterangan-keterangan seperti tersebut diatas,
tafsir ini menegaskan bahwa untuk peristiwa perusakan
yang pertama "para hamba Allah yang berkekuatan
dahsyat" itu ialah balatentera Nebukadnezar,
sedangkan untuk perstiwa perusakan yang kedua ialah
balatentera Herodus (Khirudsy). Namun dalam kitab
tafsir ini juga disebutkan peristiwa penyerbuan Bait
al-Maqdis oleh tentera Titus dari Roma, yang
meluluhlantakkan Bait al-Maqdis dan membuatnya
terbengkalai sampai tiba saatnya tempat suci itu dikuasi
oleh umat Islam pada zaman Khalifah 'Umar ibn
al-Khaththab yang memerintahkan kaum Muslim untuk
membangun sebuah masjid di bekas tempatnya itu.19
Keterangan yang lebih ilmiah (dari sudut pandangan
kesejarahan) diberikan oleh Ibn Khaldun, dalam kitabnya
yang amat terkenal, Muqaddimah. Menurut ahli sejarah yang
kesohor ini Nebukadnezar menaklukkan Samaria, kemudian
Judea dan menyerbu Yerusalem, menghancurkan Masjid Aqsha,
membakar Taurat dan mematikan agama Yahudi. Nebukadnezar
kemudian memboyong orang-orang Yahudi ke negerinya (untuk
dijadikan budak). Ini adalah peristiwa penghancuran
Masjid Aqsha yang pertama.
Selang tujuh puluh tahun seorang raja Persia dari dinasti
Kiyaniyyah (Achaemenid) berhasil mengembalikan bangsa
Yahudi itu ke Yerusalem, setelah mengalahkan Babilonia
dalam suatu peperangan. Kaum Yahudi membangun kembali
masjid mereka (Masjid Aqsha) menurut bentuk aslinya (dari
zaman Nabi Sulaiman), namun hanya untuk para pendeta
saja, tanpa kekuasaan politik seperti sebelumnya.
Kekuasaan politik berada di tangan bangsa Persia.
Iskandar Agung dari Yunani mengalahkan Persia, dan kaum
Yahudi berada dalam kekuasaan Yunani. Tetapi kekuasaan
ini segera melemah, dan kaum Yahudi bangkit kembali dan
berhasil mengakhiri penjajahan Yunani. Kini kekuasaan
kaum Yahudi ada di tangan kaum pendeta Hasmonean (Bani
hasymanaya), sampai mereka kemudian dikalahkan oleh
bangsa Romawi. Pada waktu Romawi menyerbu Yerusalem, kaum
Yahudi diperintah oleh Raja Herodus (yang agung), seorang
penguasa Yahudi (konon berdarah Arab, namun berbudaya
Yunani), yang kawin dengan wanita dari klan Hasmonean.
Tentera Romawi, dipimpin oleh Titus, menghancurkan
Yerusalem, meratakan Masjid Aqsha dengan tanah, dan
mengasingkan orang-orang Yahudi ke Roma dan ke daerah
yang lebih jauh lagi. Inilah penghancuran Masjid Aqsha
yang kedua, dan peristiwa pengasingan tersebut disebut
kaum Yahudi sebagai "Pengasingan Besar"
(al-Jalwat al-Kubra atau al-Jala' al-Akbar, the Great
Exile).20
Ibn Khaldun menuturkan keterangan kesejarahan yang sangat
menarik tentang Bait al-Maqdis (juga disebut al-Bait
al-Muqaddas, al-Quds, Yerusalem atau Ursyalim), demikian:
Adapun Bait al-Maqdis, yaitu al-Masjid al-Aqsha,
mula-mula, di zaman kaum Shabi'ah, adalah tempat kuil
Zahrah (Dewi Venus).
Kaum Shabia'h menggunakan minyak sebagai sajian
pengorbanan yang ditumpahkan pada karang yang ada di
sana. Kuil Zahrah itu kemudian hancur. Dan Bani Israil,
setelah menguasai Yerusalem, menggunakan karang tersebut
sebagai kiblat. Hal ini terjadi sebagai berikut: Nabi
Musa memimpin Bani Israil keluar dari Mesir, untuk
memberi mereka Yerusalem yang telah dijanjikan oleh Allah
kepada moyang mereka, Israil (Nabi Ya'qub), dan kepada
ayahnya, Ishaq, sebelumnya. Pada waktu mereka mengembara
di gurun, Allah memerintahkan mereka membuat kubah dari
kayu akasia yang ukurannya, gambarannya, efigi
(haikal)-nya dan patung-patungnya ditetapkan dengan
wahyu. Dalam kubah itu ditempatkan Tabut, meja dengan
piring-piringnya dan tempat api dengan lampu-lampunya dan
dibuatkan pula altar tempat berkorban, yang semuanya
digambarkan dengan lengkap dalam Taurat. Maka kubah
itupun dibuat, dan disitu diletakkan Tabut Perjanjian
(Tabt al-'Ahd, the Ark of Covenant), yaitu tabut
yang didalamnya terdapat lembaran batu yang dibuat
sebagai ganti dari lembaran batu yang diturunkan (kepada
Nabi Musa) dengan Sepuluh Perintah (al-Kalimat al-'Asyr,
the Ten Commandments) karena telah pecah berantakan. Dan
sebuah altar dibangun di sebelahnya. Allah membuat janji
kepada Musa bahwa Harun adalah penaggung jawab upacara
pengorbanan itu. Mereka mendirikan kubah itu di tengah
perkemahan mereka di gurun, bersembahyang ke arahnya,
melalukan pengorbanan pada altar di depannya, dan pergi
kesana untuk menerima wahyu. Ketika Bani Israil berhasil
menguasai Syam (Syria), mereka menempatkan kubah tersebut
di Gilgal dalam kawasan Tanah Suci (al-Ardl
al-Muqaddasah) antara Benjamin dan Ephraim. Kubah itu
tetap berada di sana selama empat belas tahun, tujuh
tahun selama perang dan tujuh tahun selama pembagian
negeri. Setelah (Nabi) Yosyua (Ysya', Joshua),
a.s., meninggal, mereka pindahkan kubah itu ke Syilu
dekat Gilgal, dan mereka dirikan tembok sekelilingnya.
Kubah itu berdiri di sana selama tiga ratus tahun, sampai
kemudian dikuasai oleh bangsa Filistin..... Bangsa ini
mengalahkan mereka (Bani Israil), kemudian (akhirnya)
kubah itu mereka kembalikan, dan setelah matinya Eli
('Ali) sang pendeta, dipindahkan ke Nob (Nuf). Pada masa
Thalut kubah itu dipindahkan ke Gibeon (Kab'un) di tanah
Benjamin. Setelah Nabi Dawud, a.s., berkuasa, ia
pindahkan kubah dan Tabut itu ke Bait al-Maqdis, lalu ia
bangun kemah khusus untuknya, dan diletakkan di atas
Karang (Shakhrah) disana.
Kubah itu tetap menjadi kiblat yang diletakkan di atas
Karang di Bait al-Maqdis. (Nabi) Dawud ingin membangun
masjid di Karang itu, tertapi tidak selesai, dan
diteruskan oleh puteranya, Nabi Sulaiman, yang
membangunnya pada tahun keempat dari kekuasaannya dan
pada tahun lima ratus sejak wafat Nabi Musa, a.s.
Tiang-tiangnya dibuat dari perunggu, dan di dalamnya
dibangun lantai dari kaca. Dinding-dinding dan
pintu-pintunya dibalut dengan emas. Nabi Sulaiman juga
menggunakan emas untuk memperindah efigi-efigi
(hayakil)-nya, patung-patungnya, bejana-bejananya, dan
tungku-tungkunya. Kunci-kuncinya dibuat dari emas. Di
tengahnya dibuat semacam galian untuk meletakkan Tabut
Perjanjian, yaitu Tabut yang di dalamnya terkandung
lembaran-lembaran suci (berisi Sepuluh Perintah) yang
dipindahkan dari Zion tampat ayahnya (Nabi Dawud) setelah
diletakkan di sana untuk sementara sewaktu Masjid Aqsha
itu sedang dibangun. Suku-suku Israil dan para pendeta
mereka membawa Tabut itu dan menempatkannya di dalam
lubang yang disediakan. Kubah, bejana-bejana, dan altar
semuanya diletakkan dalam tempat-tempat yang telah
disediakan dalam Masjid. Keadaan tetap demikian selama
dikehendaki Allah.
Kelak, Masjid itu dihancurkan oleh Nebukadnezar, setelah
delapan ratus tahun berdiri. Nebukadnezar membakar
Taurat, tongkat (milik Nabi Musa), melelehkan
efigi-efigi, dan memporak porandakan batuan-batuannya.
Kemudian para penguasa Persia mengizinkan Bani Israil
kembali (ke Yerusalem). 'Uzair (Ezra), seorang Nabi dari
Bani Israil saat itu, membangun kembali Masjid Aqsha,
dengan bantuan penguasa Persia, Bahman (Artaxerxes), yang
dalam kelahirannya behutang budi kepada Bani Israil yang
digiring menjadi tawanan (di Babilonia) oleh
Nebukadnezar. Bahman menetapkan batasan-batasan
pembangunan kembali Masjid Aqsha dan membuatnya sebagai
bangunan yang lebih kecil daripada yang ada di masa Nabi
Sulaiman. Bani Israil tidak mau melanggar ketentuan itu.
. . . .
Bangsa-bangsa Yunani, Persia dan Romawi silih berganti
menguasai Bani Israil. Selama masa itu, wewenang
memerintah yang leluasa dipunyai Bani Israil, kemudian
dilakukan oleh para pendeta Yahudi, kaum Hasmonean. Kaum
Hasmonean sendiri kemudian diganti oleh Herodus yang
punya hubungan perkawinan dengan mereka, kemudian
diterukan oleh anak-anak Herodus. Herodus membangun
kembali Masjid Aqsha dengan sangat megah, mengikuti
rencana Nabi Sulaiman. Ia menyelesaikan pembangunan itu
selama enam tahun. Kemudian Titus, salah seorang penguasa
Romawi, muncul dan mengalahkan bangsa Yahudi serta
menguasai negeri mereka. Titus (tahun 70 Masehi)
menghancurkan Yerusalem dan Masjid Aqsha yang ada di
sana. Tempat bekas berdirinya Masjid itu ia perintahkan
untuk diubah menjadi ladang.
Kemudian, bangsa Romawi memeluk agama al-Masih, a.s., dan
mulailah mereka mengagungkan al-Masih itu. Para penguasa
Romawi maju-mundur untuk memeluk agama al-Masih, sampai
datang masa Konstantin yang ibunya, Helena, memeluk agama
Masehi. Helena pergi ke Yerusalem untuk menemukan kayu
yang digunakan bagi penyaliban al-Masih, menurut pendapat
mereka (orang Nasrani). Para pendeta memberi tahu
kepadanya bahwa salib itu telah dibuang ke dalam tanah
dan penuh sampah dan kotoran. Helena menemukan kayu salib
itu dan di tempat kotoran itu ia dirikan Gereja Kotoran
(Kanisat al-Qumamah, konon nama ejekan untuk Kanisat
al-Qiyamah, "Gereja Kiamat"). Gereja itu oleh
kaum Masehi dianggap berdiri di atas kubur al-Masih.
Helena menghancurkan sisa-sisa sebagian dari Masjid Aqsha
yang masih berdiri. Kemudian ia memerintahkan agar
kotoran dan sampah dilemparkan ke atas Karang Suci sampai
seluruhnya tertutup oleh sampah dan kotoran itu, dan
letak Karang Suci menjadi tersembunyi. Helena menganggap
inilah balasan yang setimpal kepada kaum Yahudi atas
perbuatan mereka terhadap kubur al-Masih. . . .
Keadaan tetap bertahan seperti itu sampai datangnya Islam
dan 'Umar datang untuk membebaskan Bait al-Maqdis dan
menanyakan tempat Karang Suci itu, lalu ditunjukkan
tempatnya dan ia dapatkan di atasnya tumpukan sampah dan
tanah. Lalu ia bersihkan tempat itu dan ia dirikan masjid
di atasnya menurut cara kaum Badui. 'Umar mengagungkan
tempat itu sejauh yang diizinkan Allah dan sesuai dengan
kelebihannya sebagaimana disebutkan dan ditetapkan dalam
Induk Kitab Suci (Umm al-Kitab, yakni, Al-Qur'an).
Kemudian Khalifah al-Walid ibn 'Abd-al-Malik mencurahkan
perhatian untuk membangun masjidnya menurut model
bangunan masjid-masjid Islam, sebagaimana dikehendaki
Allah, seperti yang juga ia lakukan untuk Masjid Haram
(di Makkah) dan Masjid Nabi s.a.w. di Madinah.21
Kiranya kutipan dari keterangan Ibn Khaldun itu membantu
memberi kejelasan kepada kita tentang riwayat Masjid
Aqsha sehingga terbentuk seperti yang sekarang ini.
Beberapa hal oleh Ibn Khaldun diterangkan lebih rinci.
Misalnya, pembangunan oleh Helena (ibunda Raja Konstantin
yang mendirikan Konstantinopel) akan "Gereja
Kiamat" ("Gereja Kebangkitan", karena
menurut anggapan orang Masehi gereja itu berdiri di atas
kubur Nabi Isa al-Masih setelah disalib, yang dari kubur
itu beliau dibangkitkan kembali) terjadi pada tahun 328
Masehi, dan bahwa Helena memerintahkan untuk membuang
segala macam kotoran dan sampah ke atas Karang Suci
(Shakhrah), kiblat orang Yahudi, sebagai penghinaan
kepada mereka.22
Keterangan yang menarik lagi dari Ibn Khaldun menyangkut
peranan Khalifah 'Umar ibn al-Khaththab, demikian:
'Umar ibn al-Khaththab datang ke Syam, dan mengikat
perjanjian perdamaian dengan penduduk Ramalla atas syarat
mereka membayar jizyah. Kemudian ia perintahkan 'Amr (ibn
al-'Ashsh) dan Syarahbil untuk mengepung Bait al-Maqdis,
dan mereka lakukan. Setelah pengepungan itu membuat
mereka (penduduk Bait al-Maqdis) sangat menderita, mereka
meminta perdamaian dengan syarat bahwa keamanan mereka
ditanggung oleh 'Umar sendiri. Maka 'Umar pun datang
kepada mereka dan ditulisnya perjanjian keamanan untuk
mereka yang teksnya (sebagian) adalah: "Dengan nama
Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, dari 'Umar ibn
al-Khaththab kepada penduduk Aelia (Iliyya', yakni, Bait
al-Maqdis atau Yerusalem), bahwa mereka aman atas jiwa
dan anak turun mereka, juga wanita-wanita mereka, dan
semua gereja mereka tidak boleh diduduki dan tidak boleh
dirusak."
'Umar ibn al-Khaththab masuk Bait al-Maqdis dan sampai ke
Gereja Qumamah (Qiyamah) lalu berhenti di plazanya. Waktu
sembahyang pun datang, maka ia katakan kepada Patriak:
"Aku hendak sembahyang." Jawab Patriak:
"Sembahyanglah di tempat Anda." 'Umar menolak,
kemudian sembahyang pada anak tangga yang ada pada
gerbang gereja, sendirian. Setelah selesai dengan
shalatnya itu ia berkata kepada Patriak: "Kalau
seandainya aku sembahyang di dalam gereja, maka tentu
kaum Muslim kelak sesudahku akan mengambilnya dan
berkata, 'Di sini dahulu 'Umar sembahyang.'" Dan
'Umar menulis (perjanjian) untuk mereka bahwa pada tangga
itu tidak boleh ada jama'ah untuk sembahyang dan tidak
pula akan dikumandangkan adzan padanya. Kemudian 'Umar
berkata kepada Patriak: "Sekarang tunjukkan aku
tempat yang di situ aku dapat mendirikan sebuah
masjid." Patriak berkata: "Di atas Karang Suci
(Shakhrah) yang di situ dahulu Allah pernah berbicara
kepada Nabi Ya'qub." 'Umar mendapati di atas karang
itu banyak darah (di samping sampah dan kotoran), maka ia
pun mulailah membersihkannya dan mengambil darah itu
dengan tangannya sendiri dan mengangkatnya dengan bajunya
sendiri. Semua kaum Muslim mengikuti jejaknya, dan sampah
itu bersih ketika itu juga, kemudian ia perintahkan untuk
didirikan masjid di situ.23
Cukup banyak yang diterangkan oleh Ibn Khaldun tentang
Bait al-Maqdis dan Masjid Aqsha. Tetapi beberapa
keterangan tambahan yang penting masih diperlukan di
sini. Para 'ulama', seperti Ibn Taimiyyah, mengatakan
bahwa yang sesungguhnya disebut al-Masjid al-Aqsha ialah
seluruh kompleks di atas bukit Moria di Bait al-Maqdis
atau Yerusalem itu, yang kompleks tersebut sekarang
dikenal, dalam bahasa Arab, sebagai al-haram al-Syarif
(Tanah Suci Mulia). Di atas kompleks al-haram al-Syarif
itulah dahulu berdiri Masjid Aqsha yang pertama oleh Nabi
Sulaiman (sebagaimana telah dikutip pembahasannya dari
Ibn Khaldun di atas), yang oleh orang Arab juga dinamakan
Haikal Sulaiman (dan diinggriskan menjadi Solomon
Temple). Seperti telah dijelaskan oleh Ibn Khaldun yang
dikutip di atas, Masjid Aqsha yang didirikan oleh Nabi
Sulaiman ini dihancurkan oleh Nebukadnezar. Kemudian
'Uzair, dengan bantuan seorang raja Persia, Bahman,
membangunnya kembali secara sederhana. Lalu raja Yahudi
Herodus (yang agung, begitu kaum Yahudi menyebutnya),
membangun kembali Masjid itu dengan amat megah, di
saat-saat sekitar kelahiran Nabi Isa al-Masih. Masjid
Aqsha yang kedua ini kemudian dihancurkan oleh Titus dari
Roma, pada tahun 70 Masehi. Dan orang-orang Romawi,
karena kebencian mereka kepada bangsa Yahudi, berusaha
melenyapkan samasekali sisa-sisa keyahudian pada Bait
al-Maqdis dan bekas Masjid Aqsha itu, dengan
menjadikannya pusat penyembahan berhala mereka. Di atas
bekas Masjid itu mereka bangun patung Dewi Aelia, berhala
Romawi, dan nama Yerusalem atau Bait al-Maqdis pun diubah
menjadi Aelia Kapitolina, atau Aelia saja. Orang Arab
mengenalnya sebagai Iliyya', sehingga nama ini pun
tercantum dalam naskah perjanjian keamanan yang dibuat
'Umar untuk penduduk Bait al-Maqdis.
Pada waktu Helena (ibu Raja Konstantin) membangun Gereja
Kiamatnya, karena kemarahannya kepada kaum Yahudi ia
perintahkan untuk menimbuni Shakhrah atau Karang Suci,
kiblat kaum Yahudi, dengan sampah dan kotoran, dan untuk
menghancurkan sisa-sisa Masjid Aqsha (peninggalan
Herodus) yang masih berdiri, sehingga yang akhirnya
tersisa hanyalah sebuah tembok, yang oleh orang Yahudi
disebut "Tembok Ratap" (Wailing Wall). Termbok
itu kini merupakan tempat paling suci bagi kaum Yahudi
dan tujuan kunjungan mereka yang terpenting.
Keadaan seperti itulah yang didapati oleh 'Umar ibn
al-Khaththab ketika masuk kompleks bekas Masjid Aqsha
itu, yang kemudian ia dan kaum Muslim bersihkan, lalu
didirikan masjid di situ. Sebelum menetapkan tempat
masjid itu, 'Umar bertanya kepada seorang Sahabat,
bernama Ka'b al-Ahbar, bekas pemeluk agama Yahudi, di
mana sebaiknya diadakan sembahyang. Ka'b menunjukkan
tempat sebelah utara Karang atau Shakhrah, nampaknya
dengan maksud agar sembahyangnya menghadap sekaligus ke
arah Shakhrah itu (sebagai kiblat pertama dalam Islam)
dan ke arah Masjid Haram di Makkah. 'Umar marah kepada
Ka'b, dan menuduhnya masih membawa-membawa semangat
keyahudiannya. Lalu 'Umar memilih tempat di sebelah
selatan Shakhrah, menghadap ke Makkah dan membelakangi
Shakhrah itu. Di situlah 'Umar memerintakan didirikan
masjid, sebagaimana dituturkan oleh Ibn Khaldun.
Masjid itu, juga sebagaimana dituturkan Ibn Khaldun,
kelak dibangun dengan megah oleh Khalifah al-Walid ibn
'Abd-al-Malik. Tapi sebelum pembangunan masjid itu oleh
Khalifah al-Walid, sebuah kubah yang sangat indah, yang
ditopang oleh bangunan bersegi delapan (oktagonal) pada
tahun 72 H/691 M didirikan oleh Khalifah 'Abd-al-Malik
ibn Marwan, ayah al-Walid, persis di atas Shakhrah atau
Karang Suci itu. Bangunan ini kemudian dikenal sebagai
Qubbat al-Shakhrah (diinggriskan menjadi The Dome of the
Rock), karena dirancang untuk melindungi Karang Suci,
kiblat pertama Islam, dan tempat Nabi s.a.w. menjejakkan
kaki beliau menuju Sidrat al-Muntaha dalam peristiwa
Mi'raj. Karang Suci itu sendiri berbentuk batu besar yang
berlubang di tengahnya, berukuran 18 kali 14 meter. Pada
waktu Qubbat al-Shakhrah ini didirikan, Makkah berada di
tangan kekuasaan 'Abd-Allah ibn al-Zubair yang
memberontak kepada Bani Umayyah di Damaskus, sehingga
kaum Muslim Syam (Syria) tidak dapat menunaikan ibadah
haji. Karena itu ada yang mengatakan bahwa motif
'Abd-al-Malik ibn Marwan mendirikan Qubbat al-Shakhrah
ialah untuk mengalihkan perhatian kaum Muslim dari
'Abd-Allah ibn al-Zubair. Tetapi banyak para ahli yang
mengatakan bahwa motif sesungguhnya ialah untuk
menegaskan kemenangan dan keunggulan Islam di atas
agama-agama lain, khususnya Yahudi dan Nasrani, persis di
pusat kedua agama itu sendiri, yaitu Bait al-Maqdis atau
Yerusalem.24 Dan begitulah keadaannya sampai saat
sekarang ini.
Penutup
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa kejadian
Isra'-Mi'raj Nabi s.a.w., selain merupakan perjalanan
metafisis dan luar biasa maknanya sebagai pengalaman
keagamaan yang amat tinggi (bahkan tertinggi, karena Nabi
telah mencapai Sidrat al-Muntaha, "tempat" yang
paling tinggi dalam susunan wujud ini), adalah juga suatu
peristiwa yang amat erat terkait dengan sejarah agama
Allah di kalangan umat manusia. Karena itu makna dan
siginifikansi peristiwa metafisis itu akan masih terasa
pada umat manusia, dan akan terus terungkap sepanjang
sejarah, sesuai dengan janji yang lebih menyeluruh dari
Allah: "Akan Kami perlihatkan kepada mereka (umat
manusia) tanda-tanda kebesaran Kami di seluruh cakrawala
dan dalam diri mereka sendiri, sehingga akan jelas bagi
mereka bahwa Dia adalah Benar adanya."25
Demikianlah, semoga Allah selalu membimbing kita untuk
semakin mampu menyingkap kebenaran-Nya dan menangkap
pesan-Nya sesuai dengan janji tersebut. Amin.
Wallahu a'lam
Catatan:
1. Al-Qur'an, s. al-Isra' (Bani Isra'il)/17:1.
2. Al-Qur'an, s. Alu 'Imran/3:96.
3. Al-Qur'an, s. Thaha/20:120.
4. Al-hajj 'Abbas Kararah, al-Din wa Tarikh al-haramain
al-Syarifain (Makkah: Markaz al-haramain al-Tijari, 1404
H/1984 M), hh. 33-4.
5. Al-Qur'an, s. al-Baqarah/2:127.
6. Al-Qur'an, s. Ibrahim/14:37.
7. Lihat Sirah Ibn Ishaq, terjemah Inggris oleh A.
Guillaume "The Life of Muhammad" (Karachi:
Oxford University Press, 1980). h. 62.
8. Kitab Kejadian, 16:10-11.
9. Ibid., 17:20-21
10. Ibid., 21:17-20.
11. Mazmur, 84:5-6.
12. Al-Qur'an, s. al-Baqarah/2:129.
13. Abu al-Qasim Jar-u-'l-Lah Mahmud ibn 'Umar
al-Zamakhsyari al-Khawarizmi (467-538 H), Al-Kasysyaf,
(Teheran: Intisyarat Aftab, tanpa tahun), jil. 2, h. 437.
14. Al-Qur'an, s. al-Isra'/17:4-8.
15. Lihat A. Hassan, Al-Furqan, (Bangil: Persis, 1401 H),
h. 528, keterangan 1838
16. Al-Zamakhsyari, h. 438.
17. Abu al-Fida' Isma'il ibn Katsir al-Qurasyi
al-Dimsyaqi (wafat 774 H), Tafsir ibn Katsir (Beirut: Dar
al-Fikr, 1981 M/1401 H), jil. 3, hh. 26-27.
18. Nashir al-Din Abu Sa'id 'Abd-Allah ibn 'Umar ibn
Muhammad al-Syairazi al-Baidlawi, Anwar al-Tanzil wa
Asrar al-Ta'wil (Tafsir al-Baidlawi) (Beirut: Mu'assasat
Sya'ban, tanpa tahun), jil. 3, hh. 196-7.
19. 'Ala' al-Din 'Ali ibn Muhammad al-Baghdadi, terkenal
dengan nama al-Khazin (wafat 725 H), Tafsir al-Khazin
(Lubab al-Ta'wil fi Ma'ani al-Tanzil), (Beirut: Dar
al-Fikr, tanpa tahun), jil. 3, hh. 152 dan 157.
20. Ibn Khaldun, Muqaddimah (diedit oleh Suhail Zukar dan
diberi anotasi oleh Khalil Syahadah), (Beirut: Dar
al-Fikr, 1401 H / 1981 M), hh. 288-9. Tentang kubah yang
disebut Ibn Khaldn bahwa Bani Israil diperintahkan
oleh Allah untuk membangunnya itu, ada yang mengatakan
bahwa yang benar ialah bukannya kubah dari kayu,
melainkan sebuah kemah besar dari kulit, sebagai kemah
pertemuan atau "aula" Bani Israil di gurun, dan
disebut, dalam bahasa Ibrani, Tabernakel-Lihat, Franz
Rosenthal, Muqaddimah [terjemah Inggris], 3 jilid [New
York: Pantheon Books, 1958], jil. 2, h. 258 catatan kaki
65)
21. Ibid., hh. 440-443.
22. Ibn Khaldun, Tarikh ibn Khaldun (Beirut: Dar al-Fikr,
1401 H / 1981 M), jil. 2, h. 175.
23. Ibid., jil. 2, hh. 268-9.
24. Lihat pembahasan dalam Andrew Rippin, Muslims, Their
Religious Beliefs and Practices (New York: Routledge,
1991), Vol. 1, hh. 53-4.
25. Al-Qur'an, Fushshilat/41:53.
|