WAWASAN AL-QUR'AN TENTANG AHL AL-KITAB
Oleh : Nurcholish Madjid
Event Artikel : KKA-73 (JAkarta, April 1993)
Diupdated
pada: Rabu 4 April 2001
Muqaddimah
Salah satu segi ajaran Islam yang sangat khas ialah
konsep tentang para pengikut kitab suci atau Ahl al-Kitab
(baca: "ahlul-kitab", diindonesiakan dan
dimudahkan menjadi "Ahli Kitab"). Yaitu konsep
yang memberi pengakuan tertentu kepada para penganut
agama lain yang memiliki kitab suci. Ini tidaklah berarti
memandang semua agama adalah sama-suatu hal yang
mustahil, mengingat kenyataannya agama yang ada adalah
berbeda-beda dalam banyak hal yang prinsipil-tapi memberi
pengakuan sebatas hak masing-masing untuk berada
(bereksistensi) dengan kebebasan menjalankan agama mereka
masing-masing.
Para ahli mengakui keunikan konsep ini dalam Islam.
Sebelum Islam praktis konsep itu tidak pernah ada,
sebagaimana dikatakan oleh Cyril Glass,
"...the fact that one Revelation should name others
as authentic is an extraordinary event in the history of
religions" (...kenyataan bahwa sebuah Wahyu (Islam)
menyebut wahyu-wahyu yang lain sebagai absah adalah
kejadian luar biasa dalam sejarah agama-agama).1 Juga
dampak sosio-keagamaan dan sosio-kultural konsep itu
sungguh luar biasa, sehingga Islam benar-benar merupakan
ajaran yang pertamakali memperkenalkan pandangan tentang
toleransi dan kebebasan beragama kepada umat manusia.
Bertrand Russel-seorang ateis radikal yang sangat kritis
kepada agama-agama-misalnya, mengakui kelebihan Islam
atas agama-agama yang lain sebagai agama yang lapang atau
"kurang fanatik", sehingga, menurut Russel,
sejumlah kecil tentera Muslim mampu memerintah daerah
kekuasaan yang amat luas dengan mudah, berkat konsep
tentang Ahli Kitab.2
Konsep tentang Ahli Kitab ini juga mempunyai dampak dalam
pengembangan budaya dan peradaban Islam yang gemilang,
sebagai hasil kosmopolitisme berdasarkan tata masyarakat
yang terbuka dan toleran. Ini antara lain dicatat dengan
penuh penghargaan oleh kalangan para ahli berkenaan
dengan, misalnya, peristiwa pembebasan (fat'?) Spanyol
oleh tentera Muslim (di bawah komando Jenderal Thariq ibn
Ziyad yang namanya diabadikan menjadi nama sebuah bukit
di pantai Laut Tengah, Jabal Thariq-diinggriskan menjadi
Gibraltar), pada tahun 711. Pembebasan Spanyol oleh kaum
Muslim itu telah mengakhiri kezaliman keagamaan yang
sudah berlangsung satu abad lebih, dan kemudian selama
paling tidak 500 tahun kaum Muslim menciptakan tatanan
sosial-politik yang kosmopolit, terbuka dan toleran.
Semua kelompok agama yang ada, khususnya kaum Muslim
sendiri, beserta kaum Yahudi dan Kristen, mendukung dan
menyertai peradaban yang berkembang dengan gemilang.
Kerjasama itu mengakibatkan banyaknya terjadi hubungan
darah karena (kaum Muslim lelaki dibenarkan kawin dengan
wanita non-Muslim Ahli Kitab), namun tanpa mencampuri
agama masing-masing.3 Keadaan yang serba serasi dan
produktif itu buyar setelah terjadi penaklukan kembali
(reconquesta) atas Semenanjung Iberia itu, yang kemudian
diikuti dengan konversi atau pemindahan agama secara
paksa terhadap kaum Yahudi dan Islam serta
kekejaman-kekejaman yang lain.4
Jadi konsep tentang Ahli Kitab merupakan salah satu
tonggak bagi semangat kosmopolitisme Islam yang sangat
terkenal. Dengan pandangan dan orientasi mondial yang
positif itu kaum Muslim di zaman klasik berhasil
menciptakan ilmu pengetahuan yang benar-benar berdimensi
universal atau internasional, dengan dukungan dari semua
pihak. Ini digambarkan dengan cukup jelas oleh Bernard
Lewis (meskipun dia ini adalah seorang orientalis yang
beragama Yahudi), sebagai berikut:
Pada masa-masa permulaan, banyak pergaulan sosial yang
lancar terdapat di antara kaum Muslim, Kristen dan
Yahudi, sementara menganut agama masing-masing, mereka
membentuk masyarakat yang satu, dimana perkawanan
pribadi, kerjasama bisnis, hubungan guru-murid dalam
ilmu, dan bentuk-bentuk aktifitas bersama lainnya
berjalan normal dan, sungguh, umum dimana-mana. Kerjasama
budaya ini dibuktikan dalam banyak cara. Misalnya, kita
dapatkan kamus-kamus biografi pada dokter yang terkenal.
Karya-karya ini, meskipun ditulis oleh orang-orang
Muslim, mencakup para dokter Muslim, Kristen dan Yahudi
tanpa perbedaan. Dari kumpulan besar biografi itu bahkan
dimungkinkan menyusun semacam proposografi dari profesi
kedokteran-untuk melacak garis hidup beberapa ratus
dokter praktek di dunia Islam. Dari sumber-sumber ini
kita mendapatkan gambaran yang jelas tentang adanya usaha
bersama. Di rumah-rumah sakit dan di tempat-tempat
praktek pribadi, para dokter dari tiga agama itu
bekerjasama sebagai rekan atau asisten, saling membaca
buku mereka, dan saling menerima yang lain sebagai murid.
Tidak ada yang menyerupai semacam pemisahan yang biasa
didapati di dunia Kristen Barat pada masa itu atau di
dunia Islam pada masa kemudian.5
Berdasarkan fakta-fakta sejarah itulah, yang fakta-fakta
itu sebagian besar masih bertahan sampai masa kini,
banyak orang menyatakan bahwa kebebasan beragama dan
toleransi antar penganut agama-agama terjamin dalam
masyarakat yang berpenduduk mayoritas Islam, dan tidak
sebaliknya (kecuali dalam masyarakat negara-negara
moderen atau maju di Barat). Dalam berita-berita
sehari-hari jarang sekali diketemukan berita tentang
masalah golongan non-Muslim di tengah masyarakat Islam.
Tetapi sebaliknya, selalu terdapat kesulitan pada kaum
Muslim (minoritas) yang hidup di kalangan mayoritas
non-Muslim. Kenyataan itu sulit sekali diingkari,
sekalipun setiap gejala sosial-keagamaan juga dapat
diterangkan dari sudut-sudut pandang lain diluar sudut
pandangan keagamaan semata.
Sekarang marilah kita lihat bagaimana dan apa yang
tersebutkan dalam Al-Qur'an tentang kaum Ahli Kitab ini.
Kaum Ahli Kitab Yahudi dan Nasrani
Sebutan "Ahli Kitab" dengan sendirinya tertuju
kepada golongan bukan Muslim, dan tidak ditujukan kepada
kaum Muslim sendiri, meskipun mereka ini juga menganut
kitab suci, yaitu Al-Qur'an. Ahli Kitab tidak tergolong
kaum Muslim, karena mereka tidak mengakui, atau bahkan
menentang, kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad s.a.w.
dan ajaran yang beliau sampaikan. Oleh karena itu dalam
terminologi Al-Qur'an mereka disebut "kafir",
yakni, "yang menentang" atau "yang
menolak", dalam hal ini menentang atau menolak Nabi
Muhammad s.a.w. dan ajaran beliau, yaitu ajaran agama
Islam.
Dari kalangan umat manusia yang menolak Nabi Muhammad dan
ajaran beliau itu dapat dikenali adanya tiga kelompok:
(1) mereka yang samasekali tidak memiliki kitab suci, (2)
mereka yang memiliki semacam kitb suci, dan, (3) mereka
yang memiliki kitab suci yang jelas.6 Tergolong kelompok
yang memiliki kitab suci yang jelas ini ialah kaum Yahudi
dan Nasrani. Mereka inilah yang dalam Al-Qur'an dengan
tegas dan langsung disebut kaum Ahli Kitab.
Kaum Yahudi dan Nasrani mempunyai kedudukan yang khusus
dalam pandangan kaum Muslim karena agama mereka adalah
pendahulu agama kaum Muslim (Islam), dan agama kaum
Muslim (Islam) adalah kelanjutan, pembetulan, dan
penyempurnaan agama mereka. Sebab inti ajaran yang
disampaikan Allah kepada Nabi Muhammad s.a.w. adalah sama
dengan inti ajaran yang disampaikan oleh-Nya kepada semua
Nabi. Karena itu sesungguhnya seluruh umat pemeluk agama
Allah adalah umat yang tunggal. Tetapi pembetulan dan
penyempurnaan selalu diperlukan dari waktu ke waktu,
sampai akhirnya tiba saat tampilnya Nabi Muhammad sebagai
penutup para Nabi dan Rasul, karena, menurut Al-Qur'an,
ajaran-ajaran kebenaran itu dalam proses sejarah
mengalami berbagai bentuk penyimpangan. Ini dapat kita
pahami dari firman-firman berikut:
Dia [Allah] mensyari'atkan bagi kamu, tentang agama, apa
yang dipesankan kepada Nuh, dan yang Kami wahyukan kepada
engkau [Muhammad], dan yang Kami pesankan kepada Ibrahim,
Musa dan Isa, yaitu, tegakkanlah olehmu semua agama itu,
dan janganlah kamu berpecah-belah mengenainya. Terasa
berat bagi kaum musyrik apa yang engkau [Muhammad]
serukan ini). (Q., s. al-Syura/42:13).
(Wahai para Rasul, makanlah rizki yang baik-baik, dan
berbuatlah kebajikan. Sesungguhnya Aku mengetahui segala
sesuatu yang kamu kerjakan. Dan ini [semua] umatmu adalah
umat yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu sekalian, maka
bertaqwalah kamu kepada-Ku. Kemudian mereka [pengikut
para Rasul itu] terpecah-belah menjadi berbagai golongan,
setiap golongan bangga dengan apa yang ada pada mereka).
(Q., s. al-Mu'minn/23:53).
Jadi kedatangan Nabi Muhammad s.a.w. adalah untuk
mendukung, meluruskan kembali dan menyempurnakan
ajaran-ajaran para Nabi terdahulu itu. Maka Nabi Muhammad
adalah hanya salah seorang dari deretan para Nabi dan
Rasul yang telah tampil dalam pentas sejarah umat
manusia. Karena itu para pengikut Nabi Muhammad s.a.w.
diwajibkan percaya kepada para Nabi dan Rasul terdahulu
itu serta kitab-kitab suci mereka. Rukun Iman (Pokok
Kepercayaan) Islam, sekurangnya sebagaimana dianut
golongan terbanyak kaum Muslim, mencakup kewajiban
beriman kepada para Nabi dan Rasul terdahulu itu beserta
kitab-kitab suci mereka, sebagaimana ditegaskan dalam
Al-Qur'an:
(Katakanlah: "Kami beriman kepada Allah dan kepada
apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan
kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qb serta
anak-turun mereka, dan kepada apa yang diberikan kepada
Musa, Isa dan para Nabi (yang lain) dari Tuhan mereka.
Kami tidak membeda-bedakan seorangpun dari mereka itu,
dan hanya kepada-Nya kami berserah diri (muslimn).
Baransiapa mencari selain islam (sikap berserah diri
kepada Allah) itu sebagai agama, maka samasekali tidak
akan diterima dari dia, dan di akhirat dia akan tergolong
mereka yang merugi). (Q., s. Alu 'Imran/3:84-85).
Maka sejalan dengan pandangan dasar itu Nabi
diperintahkan untuk mengajak kaum Ahli Kitab menuju
kepada "kalimat kesamaan" (kalimah sawa')
antara beliau dan mereka, yaitu, secara prinsipnya,
menuju kepada ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa atau Tauhid.
Tetapi juga dipesankan bahwa, jika mereka menolak ajakan
menuju kepada "kalimat kesamaan" itu, Nabi dan
para pengikut beliau, yaitu kaum beriman, harus bertahan
dengan identitas mereka selaku orang-orang yang berserah
diri kepada Allah (muslimn). Perintah Allah kepada
Nabi itu demikian:
(Katakan olehmu [Muhammad]: "Wahai Ahli Kitab!
Marilah menuju kepada kalimat kesamaan antara kami dan
kamu, yaitu bahwa kita [semua] tidak akan menyembah
kecuali Allah, dan kita tidak memperserikatkan-Nya kepada
apapun juga, dan sebagian dari kita tidak menjadikan
sebagian yang lain sebagai tuhan-tuhan selain
Allah." Kalau mereka itu menolak, maka katakanlah
[kepada mereka]: "Saksikanlah, bahwa sesungguhnya
kami ini adalah orang-orang yang berserah diri
[muslimn]). (Q., s. Alu 'Imran/3:64).
Klaim-klaim Kaum Ahli Kitab
Sesungguhnya, sebagaimana telah diketahui dalam fakta
sejarah selama ini, antara kaum Yahudi dan Nasrani tidak
pernah ada kesepakatan, karena masing-masing beranggapan
bahwa agama merekalah yang benar, dan yang lain salah.
Ini direkam secara abadi dalam Al-Qur'an, demikian:
(Kaum Yahudi berkata: "Tidaklah kaum Nasrani itu
berada diatas sesuatu [kebenaran]," dan kaum Nasrani
berkata: "Tidaklah kaum Yahudi itu berada diatas
sesuatu [kebenaran]." Padahal mereka membaca kitab
suci. Orang-orang yang tidak mengerti juga mengatakan
seperti perkataan mereka. Maka Allah akan memutuskan
perkara antara mereka itu kelak di hari Kiamat berkenaan
dengan hal-hal yang pernah mereka perselisihkan itu).
(Q., s. al-Baqarah/2:113).
Karena pandangan-pandangan yang eksklusifistik itu maka
masing-masing kaum Yahudi dan Nasrani mengklaim sebagai
pihak satu-satunya yang bakal selamat atau masuk surga,
sedangkan yang lain bakal celaka atau masuk neraka.
Inipun dituturkan dalam Al-Qur'an, sambil diingatkan
dengan tegas bahwa masalah keselamatan itu tidak
tergantung kepada apapun kecuali sikap berserah diri
(aslama) kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, dan berbuat
baik. Allah berfirman:
(Mereka berkata: "Tidaklah akan masuk surga kecuali
kaum Yahudi atau Nasrani." Katakanlah [Muhammad]:
"Berikan buktimu jika kamu memang benar."
Sebenarnyalah, barangsiapa berserah diri [aslama] kepada
Allah dan dia itu berbuat baik, maka dia akan memperoleh
pahalanya di sisi Tuhannya, tiada rasa takut pada mereka
dan tidak pula mereka bersedih). (Q., s.
al-Baqarah/2:112-113).
Sejalan dengan sikap dasar mereka itu, dan sesuai dengan
pandangan mereka, maka kaum Yahudi dan Nasrani mengaku
bahwa hanya merekalah golongan manusia yang mendapat
petunjuk kebenaran. Dalam hal ini mereka lupa akan ajaran
dasar agama kebenaran yang disampaikan Allah kepada para
Nabi dan Rasul sepanjang zaman, terutama kepada Nabi
Ibrahim, yaitu agama yang hanif (kecenderungan alami yang
tulus dan murni kepada kebenaran, dengan inti paham
Tauhid atau Ketuhanan Yang Maha Esa, sejalan dengan
fithrah atau kejadian asal yang suci dari manusia
sendiri), dan bukan agama syirik, yaitu agama yang
mempersekutukan Tuhan dengan sesuatu dari makhluk.
Berkenaan dengan klaim kaum Yahudi dan Nasrani serta
peringatan akan ajaran agama yang benar itu kita baca
dalam Kitab Suci demikian:
(Mereka berkata: "Jadilah kamu Yahudi atau Nasrani,
maka kamu akan mendapatkan petunjuk kebenaan
(hidayah)!" Katakanlah [hai Muhammad]: "Tidak!
Melainkan agama [millah] Ibrahim yang hanif itulah [yang
benar dan membawa hidayah], dan dia itu tidak termasuk
orang-orang yang musyrik.") (Q., s.
al-Baqarah/2:135).
Jadi memang pada dasarnya mereka tidak mau mengakui,
menolak, dan menentang Nabi Muhammad dan ajaran yang
beliau bawa dari Allah, yaitu ajaran sikap berserah diri
kepada Allah atau al-islam (dalam versinya yang terakhir
dan sempurna).
Mereka Tidak Semuanya Sama
Sebagai kelompok masyarakat yang menolak atau bahkan
menentang Nabi, kaum Yahudi dan Nasrani mempunyai sikap
yang berbeda-beda, ada yang keras dan ada pula yang
lunak. Secara umum, penolakan mereka kepada Nabi
digambarkan bahwa mereka tidak akan merasa senang sebelum
Nabi mengikuti agama mereka. Ini adalah sesuatu yang
cukup logis, karena Nabi membawa agama ("baru")
yang bagi mereka merupakan tantangan kepada agama yang
sudah mapan, yaitu agama Yahudi dan Nasrani, sementara
mereka itu masing-masing mengaku agama mereka tidak saja
yang paling benar atau satu-satunya yang benar, tapi juga
merupakan agama terakhir dari Tuhan. Maka tampilnya Nabi
Muhammad s.a.w. dengan agama yang "baru" itu
sungguh merupakan gangguan kepada mereka. Karena itu
Al-Qur'an memperingatkan kepada Nabi:
(Tidaklah akan senang kepada engkau [wahai Muhammad] kaum
Yahudi dan Nasrani itu, sehingga engkau mengikuti agama
mereka. Katakanlah [kepada mereka]: "Sesungguhnya
petunjuk Allah itulah yang benar-benar petunjuk....).
(Q., s. al-Baqarah/2:120).
Walaupun begitu, Al-Qur'an juga menyebutkan bahwa dari
kalangan kaum Ahli Kitab itu ada kelompok-kelompok yang
sikapnya terhadap Nabi dan kaum Muslim adalah baik-baik
saja, bahkan ada yang secara diam-diam mengakui kebenaran
yang datang dari Nabi s.a.w. Ini misalnya dituturkan
berkenaan dengan sikap segolongan kaum Nasrani yang
banyak memelihara hubungan baik dengan Nabi dan kaum
Muslim, yang membuat mereka itu berbeda dari kaum Yahudi
dan Musyrik yang sangat memusuhi Nabi dan kaum Muslim:
(Sungguh engkau [Muhammad] akan dapati diantara manusia
kaum Yahudi dan orang-orang yang melakukan syirik sebagai
yang paling keras permusuhannya kepada kaum beriman; dan
sungguh engkau akan dapati bahwa sedekat-dekat mereka
dalam rasa kasih sayangnya kepada kaum beriman ialah
mereka yang menyatakan, "Kami adalah orang-orang
Nasrani". Demikian itu karena di antara mereka ada
pendeta-pendeta dan paderi-paderi, dan mereka itu tidak
sombong. Dan apabila mereka mendengar apa yang diturunkan
kepada Rasul, engkau akan lihat mata mereka bercucuran
dengan air mata, karena mereka menangkap kebenaran.
Mereka berkata, "Ya Tuhan kami, kami telah percaya,
maka catatlah kami bersama mereka yang bersaksi.
Mengapalah kami tidak beriman kepada Allah dan kepada
kebenaran yang telah datang, dan kami berharap Tuhan kami
akan memasukkan kami beserta orang-orang yang baik."
Maka Allah pun memberi mereka pahala, atas ucapan mereka
itu, berupa surga-surga yang sungai-sungai mengalir di
bawahnya. Mereka kekal abadi disana. Itulah balasan
orang-orang yang baik). (Q., s. al-Ma'idah/5:82-85).
Bahwa kaum Ahli Kitab itu tidak semuanya sama, juga
disebutkan dalam Al-Qur'an tentang adanya segolongan
mereka yang rajin mempelajari ayat-ayat Allah di tengah
malam sambil terus-menerus beribadat, dengan beriman
kepada Allah dan hari kemudian, serta melakukan amar
ma'ruf nahi munkar dan bergegas dalam banyak kebaikan.
Lengkapnya, firman Allah itu adalah demikian:
(Mereka [kaum Ahli Kitab] itu tidaklah sama. Dari
kalangan Ahli Kitab itu terdapat umat yang teguh
[konsisten], mempelajari ajaran-ajaran Allah di tengah
malam dan beribadat. Mereka beriman kepada Allah dan hari
kemudian, melakukan amar ma'ruf nahi munkar, dan bergegas
dalam berbagai kebaikan. Mereka itu tergolong orang-orang
yang saleh. Apapun kebaikan yang mereka kerjakan tidak
akan diingkari [pahalanya], dan Allah Maha Tahu tentang
orang-orang yang bertaqwa). (Q., s. Alu
'Imran/3:113-115).
Tentang ayat-ayat yang sangat positif dan simpatik kepada
kaum Ahli Kitab itu ada sementara tafsiran bahwa karena
sikap penerimaan mereka terhadap kebenaran tersebut maka
mereka bukan lagi kaum Ahli Kitab, melainkan sudah
menjadi kaum Muslim. Tetapi karena dalam ayat-ayat itu
tidak disebutkan bahwa mereka beriman kepada Rasulullah
Muhammad s.a.w., meskipun mereka percaya kepada Allah dan
hari kemudian-sebagaimana agama-agama mereka sendiri
sudah mengajarkan-maka mereka secara langsung atau pun
tidak langsung termasuk mereka yang "menentang"
Nabi, jadi bukan golongan Muslim. Namun karena sikap
mereka yang positif kepada Nabi dan kepada kaum beriman,
maka perlakuan kepada mereka oleh kaum beriman juga
dipesan untuk tetap positif dan adil, yaitu selama mereka
tidak memusuhi dan tidak pula merampas harta kaum beriman
itu:
(Allah tidak melarang kamu sekalian-berkenaan dengan
mereka yang tidak memerangi kamu dalam hal agama dan
tidak pula mengusir kamu dari tempat-tempat
tinggalmu-untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada
mereka. Sesungguhnya Allah cinta kepada orang-orang yang
berbuat adil. Hanya saja, Allah melarang kamu
sekalian-berkenaan dengan mereka yang memerangi kamu
dalam hal agama dan mengusir kamu dari tempat-tempat
tinggalmu serta saling membantu [bersekongkol] untuk
mengusir kamu-untuk berteman dengan mereka. Barangsiapa
berteman dengan mereka maka orang-orang itu adalah
zalim). (Q., s. al-Mumtahanah/60:8-9).
Maka meskipun Al-Qur'an melarang kaum beriman untuk
bertengkar atau berdebat dengan kaum Ahli Kitab,
khususnya berkenaan dengan masalah agama, namun terhadap
yang zalim dari kalangan mereka kaum beriman dibenarkan
untuk membalas setimpal. Ini wajar sekali, dan
bersesuaian dengan prinsip universal pergaulan antara
sesama manusia. Berkenaan dengan inilah maka ada
peringatan dalam Al-Qur'an:
(Kamu janganlah berbantahan dengan Ahli Kitab, melainkan
dengan sesuatu yang lebih baik, kecuali terhadap yang
zalim dari kalangan mereka. Dan katakanlah, "Kami
beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami dan kepada
apa yang diturunkan kepada kamu, dan Tuhan kami dan Tuhan
kamu itu satu, serta kami [kita] semua kepada-Nya
berserah diri). (Q., s. al-'Ankabt/29:46).
Demikianlah pokok-pokok keterangan dan ajaran Al-Qur'an
tentang kaum Ahli Kitab yang terdiri dari kaum Yahudi dan
Kristen (Nasrani).
Ahli Kitab dan Syirik
Terdapat beberapa perbedaan pandangan di kalangan para
ulama tentang apakah kaum Ahli Kitab itu termasuk musyrik
ataukah tidak. Sebagian yang tidak terlalu besar ulama
mengatakan bahwa mereka itu musyrik, dengan akibat-akibat
kehukuman (legal) tertentu sebagaimana berlaku para kaum
musyrik. Tetapi sebagian besar ulama tidak berpendapat
bahwa kaum Ahli Kitab itu termasuk kaum musyrik. Salah
seorang dari mereka yang dengan tegas berpendapat bahwa
kaum Ahli Kitab bukanlah kaum musyrik ialah Ibn Taimiyah.
Ibn Taimiyah menyebut tentang adanya pernyataan dari
'Abdu'llah ibn 'Umar bahwa kaum Ahli Kitab, khususnya
kaum Nasrani, adalah musyrik, karena mereka mengatakan
bahwa Tuhan mereka ialah Isa putera Maryam. Ibn Taimiyah
menolak pandangan itu, dengan argumen antara lain sebagai
berikut:
(Sesungguhnya Ahli Kitab tidaklah termasuk kedalam kaum
musyrik. Menjadikan [memandang] Ahli Kitab sebagai bukan
kaum musyrik dengan dalil firman Allah:
"Sesungguhnya mereka yang beriman, dan mereka yang
menjadi Yahudi, kaum Sabi'in, kaum Nasrani, dan kaum
Majusi serta mereka yang melakukan syirik...." [Q.,
s. al-Hajj/22:17]. Kalau dikatakan bahwa Allah telah
menyifati mereka itu dengan syirik dalam firmannya,
"Mereka [Ahli Kitab] itu mengangkat para ulama dan
pendeta-pendeta mereka, serta Isa putera Maryam, sebagai
tuhan-tuhan selain Allah, padahal mereka tidaklah
diperintah melainkan agar hanya menyembah Tuhan Yang Maha
Esa yang tiada tuhan selain Dia. Maha suci Dia dari apa
yang mereka persekutukan itu" [Q., s.
al-Taubah/9:31], maka karena [Allah] menyifati mereka
bahwa mereka telah melakukan syirik, dan karena syirik
itu adalah suatu hal yang mereka ada-adakan [sebagai
bid'ah] yang tidak diperintahkan oleh Allah, wajiblah
mereka itu dibedakan dari kaum musyrik, sebab asal-usul
agama mereka ialah mengikuti kitab-kitab yang diturunkan
[dari Allah] yang membawa ajaran Tauhid, bukan ajaran
syirik. Jadi jika dikatakan bahwa Ahli Kitab itu dengan
alasan ini bukanlah kaum musyrik, karena kitab suci yang
berkaitan dengan mereka itu tidak mengandung syirik, sama
dengan jika dikatakan bahwa kaum Muslim dan umat Muhammad
tidaklah terdapat pada mereka itu [syirik] dengan alasan
ini, juga tidak ada paham ittihadiyah [monisme],
rafdliyah [paham politik yang menolak keabsahan tiga
khalifah pertama], penolakan paham qadar [paham kemampuan
manusia untuk memilih, dapat juga yang dimaksudkan ialah
qadar dalam arti takdir], ataupun bid'ah-bid'ah yang
lain. Meskipun sebagian mereka yang tergolong umat
[Islam] menciptakan bid'ah-bid'ah itu, namun umat
Muhammad s.a.w. tidak akan bersepakat dalam kesesatan.
Karena itu selalu ada dari mereka orang yang mengikuti
ajaran Tauhid, lain dari kaum Ahli Kitab. Dan Allah 'azza
wa jalla tidak pernah memberitakan tentang Ahli Kitab itu
dengan nama "musyrik"....).
Pandangan yang persis sama dengan yang di atas itu juga
dikemukakan oleh Rasyid Ridla dalam tafsir al-Manar yang
terkenal, dengan elaborasi argumennya yang lebih luas dan
lengkap.8 Pandangan ini penting sekali, sebab akan
berkaitan dengan hal-hal praktis sehari-hari yang timbul
dari konsekwensi kehukuman (legal) tentang kaum Ahli
Kitab itu, sejak dari masalah sah-tidaknya perkawinan
dengan mereka sampai kepada soal halal-haramnya makanan
mereka.
Ahli Kitab diluar Yahudi dan Nasrani?
Terdapat beberapa perbedaan pendapat di kalangan para
ulama, apakah ada Ahli Kitab di luar kaum Yahudi dan
Nasrani. Al-Qur'an sendiri, seperti telah diterangkan,
menyebutkan kaum Yahudi dan Nasrani sebagai yang
jelas-jelas Ahli Kitab. Tetapi juga menyebutkan beberapa
kelompok agama lain, yaitu kaum Majusi dan Sabi'in, yang
dalam konteksnya mengesankan seperti tergolong Ahli
Kitab. Digabung dengan ketentuan dalam praktek Nabi bahwa
beliau memungut jizyah dari kaum Majusi di Hajar dan
Bahrain, kemudian praktek 'Umar ibn al-Khaththab memungut
jizyah dari kaum Majusi Persia serta 'Utsman ibn 'Affan
memungut jizyah dari kaum Berber di Afrika Utara, maka
banyak ulama yang menyimpulkan adanya golongan Ahli Kitab
di luar Yahudi dan Nasrani. Sebab jizyah dibenarkan
dipungut hanya dari kaum Ahli Kitab (yang hidup damai
dalam Negeri Islam), dan tidak dipungut dari golongan
yang tidak termasuk Ahli Kitab seperti kaum Musyrik (yang
umat Islam tidak boleh berdamai dengan mereka ini).
Berkenaan dengan ini ada sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh banyak orang bahwa Nabi memerintahkan untuk
memperlakukan kaum Majusi seperti perlakuan kepada kaum
Ahli Kitab, seperti dituturkan oleh Ibn Taimiyah:
(...Karena itulah Nabi s.a.w. bersabda tentang kaum
Majusi, "Jalankanlah sunnah kepada mereka seperti
sunnah kepada Ahli Kitab", dan beliau pun membuat
perdamaian dengan penduduk Bahrain yang dikalangan mereka
ada kaum Majusi, dan para khalifah serta para ulama Islam
semuanya sepakat dalam hal ini).
Terhadap penuturan Ibn Taimiyah itu Dr. Muhammad Rasyad
Salim memberi catatan penting yang cukup lengkap,
demikian:
(Dalam kitab al-Muwaththa' 1/278 [bagian zakat, bab
jizyah Ahli Kitab dan Majusi], dalam hadits No. 41 dari
Ibn Syihab, ia berkata: "Telah sampai kepadaku bahwa
Rasulullah s.a.w. memungut jizyah dari kaum Majusi
Bahrain, dan bahwa 'Umar ibn al-Khaththab memungutnya
dari kaum Majusi Persia, dan bahwa 'Utsman ibn 'Affan
memungutnya dari kaum Berber. Dan dalam hadits No. 42
bahwa 'Umar ibn al-Khaththab membicarakan kaum Majusi,
lalu berkata, 'Saya tidak tahu, bagaimana aku harus
berbuat terhadap mereka?' Maka 'Abd-al-Rahman ibn 'Auf
menyahut, 'Aku bersaksi, sungguh telah kudengar
Rasulullah s.a.w. bersabda, 'Jalankanlah sunnah kepada
mereka seperti sunnah kepada Ahli Kitab'. Dan dalam kitab
al-Bukhari 4/96 (bagian jizyah, bab jizyah dan muwada'ah
kepada Ahl al-harb) bahwa 'Umar r.a. tidak memungut
jizyah dari kaum Majusi sehingga 'Abd-al-Rahman ibn 'Auf
bersaksi bahwa Rasulullah s.a.w. memungutnya dari kaum
Majusi Hajar. Dan di halaman itu juga dari 'Amr ibn 'Auf
al-Anshari bahwa Rasulullah s.a.w. mengutus Abu 'Ubaidah
ibn al-Jarrah ke Bahrain untuk membawa jizyahnya).
Muhammad Rasyid Ridla juga ada mengutip sebuah hadits
yang disitu 'Ali ibn Abi Thalib menegaskan bahwa kaum
Majusi adalah tergolong Ahli Kitab, demikian:
('Abd ibn Hamid dalam tafsirnya atas surat al-Buruj
meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Ibn Abza, bahwa
setelah kaum Muslim mengalahkan penduduk Persia 'Umar
berkata, "Berkumpullah kalian!" [Yakni, ia
berkata kepada para Sahabat, "Berkumpullah kalian
untuk musyawarah", sebagaimana hal itu telah menjadi
sunnah yang diikuti dengan baik dan kewajiban yang
semestinya). Kemudian ia ('Umar) berkata,
"Sesungguhnya kaum Majusi itu bukanlah Ahli Kitab
sehingga dapat kita pungut jizyah dari mereka, dan bukan
pula kaum penyembah berhala sehingga dapat kita terapkan
hukum yang berlaku." Maka 'Ali menyahut,
"Sebaliknya, mereka adalah Ahli Kitab!").
Rasyid Ridla membahas masalah ini dalam ulasan dan
tafsirnya terhadap Al-Qur'an surat al-Ma'idah/5:5,
berkenaan dengan hukum perkawinan dengan wanita Ahli
Kitab dan memakan makanan mereka. Rasyid Ridla menegaskan
bahwa di luar kaum Yahudi dan Nasrani juga terdapat Ahli
Kitab, dan dia menyebut-nyebut tidak saja kaum Majusi
(Zoroastri) dan Sabi'in, tetapi juga Hindu, Buddha dan
Konfusius (Kong Hucu). Pembahasan yang sangat menarik
oleh Rasyid Ridla dapat kita ikuti dalam kitab tafsirnya,
al-Manar, demikian:
(Para ahli fiqih berselisih mengenai kaum Majusi dan
Sabi'in. Kaum Sabi'in bagi Abu Hanifah adalah sama dengan
Ahli Kitab. Begitu pula kaum Majusi bagi Abu Tsaur,
berbeda dari banyak kalangan yang berpendapat bahwa
mereka itu diperlakukan sebagai Ahli Kitab hanya dalam
urusan jizyah saja, dan mereka meriwayatkan sebuah hadits
dalam hal ini, "Jalankanlah sunnah kepada mereka
seperti sunnah kepada Ahli Kitab, tanpa memakan
sembelihan mereka dan menikahi wanita mereka."
Tetapi pengecualian ini tidak benar, sebagaimana
diterangkan oleh para ahli hadits, namun hal itu terkenal
di kalangan para ahli fiqih. Dan dikatakan bahwa kedua
kelompok itu adalah kelompok Ahli Kitab yang mereka
kehilangan kitab suci oleh lamanya waktu.
[Pendapat para ahli fiqih] itu pula yang dahulu pernah
menjadi pendirian saya sebelum saya menemukan kutipan
dari salah seorang kaum Salaf kita dan ulama ahli
agama-agama dan sejarah dari kalangan kita, dan telah
pula saya sebutkan dalam al-Manar beberapa kali. Kemudian
saya temukan dalam kitab al-Farq bain al-Firaq karangan
Ab Manshr 'Abd-al-Qahir ibn Thahir
al-Baghdadi [wafat tahun 426 H.] dalam konteks pembahasan
tentang kaum Bathiniyah: "Kaum Majusi itu
mempercayai kenabian Zarathustra dan turunnya wahyu
kepadanya dari Allah Ta'ala, kaum Sabi'in mempercayai
kenabian Hermes, Walis [?], Plato, dan sejumlah para
failasuf serta para pembawa syari'at yang lain. Setiap
kelompok dari mereka mengaku turunnya wahyu dari langit
kepada orang-orang yang mereka percayai kenabian mereka,
dan mereka katakan bahwa wahyu itu mengandung perintah,
larangan, berita tentang akibat kematian, tentang pahala
dan siksa, serta tentang surga dan neraka yang disana ada
balasan bagi amal perbuatan yang telah lewat."
Kemudian dia [al-Baghdadi] menyebutkan bahwa kaum
Bathiniyah mengingkari itu semua).
Rasyid Ridla menerangkan lebih lanjut, dengan menyebutkan
bahwa pengertian "Ahli Kitab" sebenarnya tidak
boleh dibatasi hanya kepada kaum Yahudi dan Nasrani saja,
tetapi juga meliputi kaum Sabi'in dan Majusi tersebut di
atas, serta kaum Hindu, Budha dan Konfusius. Keterangan
Rasyid Ridla adalah demikian:
(Yang nampak ialah bahwa Al-Qur'an menyebut para penganut
agama-agama terdahulu, kaum Sabi'in dan Majusi, dan tidak
menyebut kaum Brahma [Hindu], Budha dan para pengikut
Konfusius karena kaum Sabi'in dan Majusi dikenal oleh
bangsa Arab yang menjadi sasaran mula-mula adres
Al-Qur'an, karena kaum Sabi'in dan Majusi itu berada
berdekatan dengan mereka di Irak dan Bahrain, dan mereka
[orang-orang Arab] belum melakukan perjalanan ke India,
Jepang dan Cina sehingga mereka mengetahui golongan yang
lain. Dan tujuan ayat suci telah tercapai dengan
menyebutkan agama-agama yang dikenal [oleh bangsa Arab],
sehingga tidak perlu membuat keterangan yang terasa asing
[ighrab] dengan menyebut golongan yang tidak dikenal oleh
orang yang menjadi adres pembicaraan itu di masa turunnya
Al-Qur'an, berupa penganut agama-agama yang lain. Dan
setelah itu tidak diragukan bagi mereka [orang Arab] yang
menjadi adres pembicaraan [wahyu] itu bahwa Allah juga
akan membuat keputusan perkara antara kaum Brahma, Budha,
dan lain-lain. Sudah diketahui bahwa Al-Qur'an jelas
menerima jizyah dari kaum Ahli Kitab, dan tidak
disebutkan bahwa jizyah itu dipungut dari golongan selain
mereka. Maka Nabi s.a.w. pun, begitu pula para khalifah
r.a., menolak jizyah itu dari kaum Musyrik Arab, tetapi
menerimanya dari kaum Majusi di Bahrain, Hajar dan Persia
sebagaimana disebutkan dalam dua kitab hadits yang sahih
(Bukhari-Muslim) dan kitab-kitab hadits yang lain. Dan
[Imam] Ahmad, al-Bukhari, Ab Dawd, dan
al-Turmudzi serta lain-lainnya telah meriwayatkan bahwa
Nabi s.a.w. memungut jizyah dari kaum Majusi Hajar, dan
dari hadits 'Abd-al-Rahman ibn 'Auf bahwa dia bersaksi
untuk 'Umar tentang hal tersebut ketika 'Umar mengajak
para Sahabat untuk bermusyawaah mengenai hal itu. Malik
dan al-Syafii meriwayatkan dari dia ('Abd-al-Rahman
ibn 'Auf) bahwa ia berkata: "Aku bersaksi, sungguh
aku telah mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda,
'Jalankanlah sunnah kepada mereka seperti sunnah kepada
Ahli Kitab.' Dalam sanadnya ada keterputusan, dan
pengarang kitab al-Muntaqa dan lain-lainnya menggunakan
hadits itu sebagai bukti bahwa mereka (kaum Majusi) tidak
terhitung Ahli Kitab. Tapi pandangan ini lemah, sebab
penggunaan umum perkataan "Ahli Kitab" untuk
dua kelompok manusia (Yahudi dan Nasrani) karena adanya
kepastian asal kitab-kitab suci mereka dan tambahan
sifat-sifat khusus mereka tidak mesti berarti bahwa di
dunia ini tidak ada Ahli Kitab selain mereka, padahal
diketahui bahwa Allah mengutus dalam setiap umat
Rasul-rasul untuk membawa berita gembira dan berita
ancaman, dan bersama mereka itu Dia [Allah] menurunkan
Kitab Suci dan Ajaran Keadilan (al-Mizan) agar manusia
bertindak dengan keadilan. Sebagaimana juga penggunaan
umum gelar "ulama" untuk sekelompok manusia
yang memiliki kelebihan khusus tidaklah mesti berarti
ilmu hanya terbatas kepada mereka dan tidak ada pada
orang lain).
Demikianlah keterangan dari Rasyid Ridla tentang
pengertian Ahli Kitab, sebagaimana ia dasarkan kepada
berbagai sumber yang ia ketahui. Seperti sudah
dikemukakan, sesungguhnya para ulama berselisih pendapat
tentang hal ini, khususnya tentang golongan selain Yahudi
dan Nasrani. Keterangan pemikir Islam yang amat terkenal
itu kiranya akan berguna bagi kita sebagai bahan
pertimbangan.
Penutup
Masih banyak lagi masalah yang menyangkut konsep tentang
Ahli Kitab ini yang dapat kita bicarakan. Namun semoga
sedikit pembahasan yang dapat kita buat di atas itu akan
membantu kita memahami masalah-masalah dasar konsep itu,
yang tidak diragukan lagi akan kuat sekali relevansinya
dengan keadaan zaman moderen dengan ciri globalisasi yang
menimbulkan masalah kemajemukan ini.
Pada permulaan pembahasan ini dikemukakan bahwa konsep
tentang Ahli Kitab merupakan kemajuan luar biasa dalam
sejarah agama-agama sepanjang zaman. Dan itu sekaligus
membuktikan keunggulan konsep-konsep Al-Qur'an dan Sunnah
yang kita semakin perlu untuk memahaminya secara
komprehensif dan dalam kaitan sistemiknya yang lengkap.
Sebagaimana halnya dengan ajaran-ajaran prinsipil lainnya
yang selalu relevan namun memerlukan penjabaran
operasional dan praktis dalam konteks ruang dan waktu,
maka konsep tentang Ahli Kitab menurut Al-Qur'an dan
Sunnah itu juga dapat dijabarkan dalam konteks zaman
mutakhir guna memberi responsi yang tepat dan
berprinsipil kepada tantangan sosial yang timbul.
Sebagai akhir pembahasan ini, patut sekali kita renungkan
firman Allah kepada Nabi kita tentang sikap yang benar
terhadap kaum Ahli Kitab:
(Maka dari itu, serulah [mereka] dan tegaklah [dalam
pendirian] sebagaimana engkau diperintahkan, serta
janganlah engkau turuti keinginan mereka. Dan katakanlah
[kepada mereka], "Aku beriman kepada yang diturunkan
Allah berupa kitab suci apapun, dan aku diperintahkan
untuk berlaku adil antara kamu sekalian. Allah adalah
Tuhan kami dan Tuhan kamu, bagi kami amal perbuatan kami
dan bagi kamu amal perbuatan kamu. Tidak ada perbantahan
antara kami dan kamu. Allah akan mengumpulkan antara kita
semua, dan hanya kepada-Nya itulah tempat kembali.")
(Q., s. al-Syura/42:15).
Wallah-u a'lam-u bi al-shawab
Catatan:
1. Cyril Glass, (San Francisco: Harper, 1991), s.v.
"Ahl al-Kitab".
2."It was the duty of the faithful to conquer as
much of the world as possible for Islam, but there was to
be no persecution of Christians, Jews, or
Zoroastrians--the "people of the Book", as the
Koran calls them, i.e., those who followed the teaching
of a Scripture... It was only in virtue of their lack of
fanaticism that a handful of warriors were able to
govern, without much difficulty, vast populations of
higher civilization and alien religion." (Bertrand
Russel, A History of Western Philosophy [New York: Simon
and Schuster, 1959], h. 420-21).
3."The Arab conquest of Spain in 711 had put an end
to the forcible conversion of Jews to Christianity begun
by King Reccared in the sixth century. Under the
subsequent 500-year rule of the Moslems emerged the Spain
of three religions and "one bedroom".
Mohammedans, Christians, and Jews shared the same
brilliant civilization, an intermingling that effected
"bloodlines" even more than religious
affiliations." (Max I. Dimont, The Indestructible
Jews (New York: New American Library, 1973), p. 203.
4."During the reconquest of Spain from Mohammedans,
the soldiers of the Cross at first had difficulty
recognizing the difference between Jew and Moslem, as
both dressed alike and spoke the same tongue.
Reconquistadores understandably killed Jew and Arab with
impartial prejudice... Once Spain was safely back in the
Christian column, however, a national conversion drive
was launched." (Max I. Dimont, The Indestructible
Jews [New York: New American Library], 1973, h. 221).
5."In earlier times a good deal of easy social
intercourse existed among Muslims, Christians, and Jews
who, while professing different religions, formed a
single society, in which personal friendships, business
partnerships, intellectual discipleships, and other forms
of shared activity were normal and, indeed, common. This
cultural cooperation is attested in many ways. We have,
for example, biographical dictionaries of famous
physicians. These works, though written by Muslims,
include Muslim, Christian, and Jewish physicians without
distinction. From these large numbers of biographies it
is even possible to construct a kind of prosopography of
the medical profession-to trace the life curves of some
hundreds of practitioners in the Islamic world. From
these sources we get a very clear impression of a common
effort. In hospitals and in private practice, doctors of
the three faiths worked together as partners or as
assistants, reading each other's books and accepting one
another as pupils. There was nothing resembling the kind
of separation that was normal in Western Christendom at
that time or in the Islamic world at a later time.
(Bernard Lewis, [Princeton: Princeton University Press,
1987], p. 56).
6.Lihat 'Abd-ul-Hamid Hakim, al-Mu'in al-Mubin, 4 jilid
(Bukittinggi: Nusantara, 1955), jil.4, h. 44-45.
7.Untuk pembahasan lebih lengkap tentang argumen Ibn
Taimiyah ini, lihat Ibn Taimiyah, Ahkam al-Zawaj (Beirut:
Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1408 H / 1988 M), hh. 188-190.
8.Lihat pembahasan yang cukup lengkap oleh al-Sayyid
Muhammad Rasyid Ridla, dalam Tafsir al-Manar, jil. 6, hh.
185-190.
9.Ibn Taimiyah, Minhaj al-Sunnah, suntingan Dr. Muhammad
Rasyad Salim, 9 jilid (Mu'assat Qurthubah, 1406/1986),
jil. 8, h. 516.h
10.Ibid., catatan kaki No.2.
11.Ridla, 6:189.
12.Ibid., 6:185-186.
13.Ibid., 6:188-189.
|