WAWASAN AL-QUR'AN TENTANG AHL AL-KITAB
Oleh : Nurcholish Madjid
Event Artikel : KKA-73 (JAkarta, April 1993)
Diupdated pada: Rabu 4 April 2001

Muqaddimah

Salah satu segi ajaran Islam yang sangat khas ialah konsep tentang para pengikut kitab suci atau Ahl al-Kitab (baca: "ahlul-kitab", diindonesiakan dan dimudahkan menjadi "Ahli Kitab"). Yaitu konsep yang memberi pengakuan tertentu kepada para penganut agama lain yang memiliki kitab suci. Ini tidaklah berarti memandang semua agama adalah sama-suatu hal yang mustahil, mengingat kenyataannya agama yang ada adalah berbeda-beda dalam banyak hal yang prinsipil-tapi memberi pengakuan sebatas hak masing-masing untuk berada (bereksistensi) dengan kebebasan menjalankan agama mereka masing-masing.

Para ahli mengakui keunikan konsep ini dalam Islam. Sebelum Islam praktis konsep itu tidak pernah ada, sebagaimana dikatakan oleh Cyril Glass‚, "...the fact that one Revelation should name others as authentic is an extraordinary event in the history of religions" (...kenyataan bahwa sebuah Wahyu (Islam) menyebut wahyu-wahyu yang lain sebagai absah adalah kejadian luar biasa dalam sejarah agama-agama).1 Juga dampak sosio-keagamaan dan sosio-kultural konsep itu sungguh luar biasa, sehingga Islam benar-benar merupakan ajaran yang pertamakali memperkenalkan pandangan tentang toleransi dan kebebasan beragama kepada umat manusia. Bertrand Russel-seorang ateis radikal yang sangat kritis kepada agama-agama-misalnya, mengakui kelebihan Islam atas agama-agama yang lain sebagai agama yang lapang atau "kurang fanatik", sehingga, menurut Russel, sejumlah kecil tentera Muslim mampu memerintah daerah kekuasaan yang amat luas dengan mudah, berkat konsep tentang Ahli Kitab.2

Konsep tentang Ahli Kitab ini juga mempunyai dampak dalam pengembangan budaya dan peradaban Islam yang gemilang, sebagai hasil kosmopolitisme berdasarkan tata masyarakat yang terbuka dan toleran. Ini antara lain dicatat dengan penuh penghargaan oleh kalangan para ahli berkenaan dengan, misalnya, peristiwa pembebasan (fat'?) Spanyol oleh tentera Muslim (di bawah komando Jenderal Thariq ibn Ziyad yang namanya diabadikan menjadi nama sebuah bukit di pantai Laut Tengah, Jabal Thariq-diinggriskan menjadi Gibraltar), pada tahun 711. Pembebasan Spanyol oleh kaum Muslim itu telah mengakhiri kezaliman keagamaan yang sudah berlangsung satu abad lebih, dan kemudian selama paling tidak 500 tahun kaum Muslim menciptakan tatanan sosial-politik yang kosmopolit, terbuka dan toleran. Semua kelompok agama yang ada, khususnya kaum Muslim sendiri, beserta kaum Yahudi dan Kristen, mendukung dan menyertai peradaban yang berkembang dengan gemilang. Kerjasama itu mengakibatkan banyaknya terjadi hubungan darah karena (kaum Muslim lelaki dibenarkan kawin dengan wanita non-Muslim Ahli Kitab), namun tanpa mencampuri agama masing-masing.3 Keadaan yang serba serasi dan produktif itu buyar setelah terjadi penaklukan kembali (reconquesta) atas Semenanjung Iberia itu, yang kemudian diikuti dengan konversi atau pemindahan agama secara paksa terhadap kaum Yahudi dan Islam serta kekejaman-kekejaman yang lain.4

Jadi konsep tentang Ahli Kitab merupakan salah satu tonggak bagi semangat kosmopolitisme Islam yang sangat terkenal. Dengan pandangan dan orientasi mondial yang positif itu kaum Muslim di zaman klasik berhasil menciptakan ilmu pengetahuan yang benar-benar berdimensi universal atau internasional, dengan dukungan dari semua pihak. Ini digambarkan dengan cukup jelas oleh Bernard Lewis (meskipun dia ini adalah seorang orientalis yang beragama Yahudi), sebagai berikut:

Pada masa-masa permulaan, banyak pergaulan sosial yang lancar terdapat di antara kaum Muslim, Kristen dan Yahudi, sementara menganut agama masing-masing, mereka membentuk masyarakat yang satu, dimana perkawanan pribadi, kerjasama bisnis, hubungan guru-murid dalam ilmu, dan bentuk-bentuk aktifitas bersama lainnya berjalan normal dan, sungguh, umum dimana-mana. Kerjasama budaya ini dibuktikan dalam banyak cara. Misalnya, kita dapatkan kamus-kamus biografi pada dokter yang terkenal. Karya-karya ini, meskipun ditulis oleh orang-orang Muslim, mencakup para dokter Muslim, Kristen dan Yahudi tanpa perbedaan. Dari kumpulan besar biografi itu bahkan dimungkinkan menyusun semacam proposografi dari profesi kedokteran-untuk melacak garis hidup beberapa ratus dokter praktek di dunia Islam. Dari sumber-sumber ini kita mendapatkan gambaran yang jelas tentang adanya usaha bersama. Di rumah-rumah sakit dan di tempat-tempat praktek pribadi, para dokter dari tiga agama itu bekerjasama sebagai rekan atau asisten, saling membaca buku mereka, dan saling menerima yang lain sebagai murid. Tidak ada yang menyerupai semacam pemisahan yang biasa didapati di dunia Kristen Barat pada masa itu atau di dunia Islam pada masa kemudian.5

Berdasarkan fakta-fakta sejarah itulah, yang fakta-fakta itu sebagian besar masih bertahan sampai masa kini, banyak orang menyatakan bahwa kebebasan beragama dan toleransi antar penganut agama-agama terjamin dalam masyarakat yang berpenduduk mayoritas Islam, dan tidak sebaliknya (kecuali dalam masyarakat negara-negara moderen atau maju di Barat). Dalam berita-berita sehari-hari jarang sekali diketemukan berita tentang masalah golongan non-Muslim di tengah masyarakat Islam. Tetapi sebaliknya, selalu terdapat kesulitan pada kaum Muslim (minoritas) yang hidup di kalangan mayoritas non-Muslim. Kenyataan itu sulit sekali diingkari, sekalipun setiap gejala sosial-keagamaan juga dapat diterangkan dari sudut-sudut pandang lain diluar sudut pandangan keagamaan semata.

Sekarang marilah kita lihat bagaimana dan apa yang tersebutkan dalam Al-Qur'an tentang kaum Ahli Kitab ini.


Kaum Ahli Kitab Yahudi dan Nasrani

Sebutan "Ahli Kitab" dengan sendirinya tertuju kepada golongan bukan Muslim, dan tidak ditujukan kepada kaum Muslim sendiri, meskipun mereka ini juga menganut kitab suci, yaitu Al-Qur'an. Ahli Kitab tidak tergolong kaum Muslim, karena mereka tidak mengakui, atau bahkan menentang, kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad s.a.w. dan ajaran yang beliau sampaikan. Oleh karena itu dalam terminologi Al-Qur'an mereka disebut "kafir", yakni, "yang menentang" atau "yang menolak", dalam hal ini menentang atau menolak Nabi Muhammad s.a.w. dan ajaran beliau, yaitu ajaran agama Islam.

Dari kalangan umat manusia yang menolak Nabi Muhammad dan ajaran beliau itu dapat dikenali adanya tiga kelompok: (1) mereka yang samasekali tidak memiliki kitab suci, (2) mereka yang memiliki semacam kitb suci, dan, (3) mereka yang memiliki kitab suci yang jelas.6 Tergolong kelompok yang memiliki kitab suci yang jelas ini ialah kaum Yahudi dan Nasrani. Mereka inilah yang dalam Al-Qur'an dengan tegas dan langsung disebut kaum Ahli Kitab.

Kaum Yahudi dan Nasrani mempunyai kedudukan yang khusus dalam pandangan kaum Muslim karena agama mereka adalah pendahulu agama kaum Muslim (Islam), dan agama kaum Muslim (Islam) adalah kelanjutan, pembetulan, dan penyempurnaan agama mereka. Sebab inti ajaran yang disampaikan Allah kepada Nabi Muhammad s.a.w. adalah sama dengan inti ajaran yang disampaikan oleh-Nya kepada semua Nabi. Karena itu sesungguhnya seluruh umat pemeluk agama Allah adalah umat yang tunggal. Tetapi pembetulan dan penyempurnaan selalu diperlukan dari waktu ke waktu, sampai akhirnya tiba saat tampilnya Nabi Muhammad sebagai penutup para Nabi dan Rasul, karena, menurut Al-Qur'an, ajaran-ajaran kebenaran itu dalam proses sejarah mengalami berbagai bentuk penyimpangan. Ini dapat kita pahami dari firman-firman berikut:

Dia [Allah] mensyari'atkan bagi kamu, tentang agama, apa yang dipesankan kepada Nuh, dan yang Kami wahyukan kepada engkau [Muhammad], dan yang Kami pesankan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu, tegakkanlah olehmu semua agama itu, dan janganlah kamu berpecah-belah mengenainya. Terasa berat bagi kaum musyrik apa yang engkau [Muhammad] serukan ini). (Q., s. al-Syura/42:13).

(Wahai para Rasul, makanlah rizki yang baik-baik, dan berbuatlah kebajikan. Sesungguhnya Aku mengetahui segala sesuatu yang kamu kerjakan. Dan ini [semua] umatmu adalah umat yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu sekalian, maka bertaqwalah kamu kepada-Ku. Kemudian mereka [pengikut para Rasul itu] terpecah-belah menjadi berbagai golongan, setiap golongan bangga dengan apa yang ada pada mereka). (Q., s. al-Mu'min–n/23:53).

Jadi kedatangan Nabi Muhammad s.a.w. adalah untuk mendukung, meluruskan kembali dan menyempurnakan ajaran-ajaran para Nabi terdahulu itu. Maka Nabi Muhammad adalah hanya salah seorang dari deretan para Nabi dan Rasul yang telah tampil dalam pentas sejarah umat manusia. Karena itu para pengikut Nabi Muhammad s.a.w. diwajibkan percaya kepada para Nabi dan Rasul terdahulu itu serta kitab-kitab suci mereka. Rukun Iman (Pokok Kepercayaan) Islam, sekurangnya sebagaimana dianut golongan terbanyak kaum Muslim, mencakup kewajiban beriman kepada para Nabi dan Rasul terdahulu itu beserta kitab-kitab suci mereka, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur'an:

(Katakanlah: "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'q–b serta anak-turun mereka, dan kepada apa yang diberikan kepada Musa, Isa dan para Nabi (yang lain) dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun dari mereka itu, dan hanya kepada-Nya kami berserah diri (muslim–n). Baransiapa mencari selain islam (sikap berserah diri kepada Allah) itu sebagai agama, maka samasekali tidak akan diterima dari dia, dan di akhirat dia akan tergolong mereka yang merugi). (Q., s. Alu 'Imran/3:84-85).

Maka sejalan dengan pandangan dasar itu Nabi diperintahkan untuk mengajak kaum Ahli Kitab menuju kepada "kalimat kesamaan" (kalimah sawa') antara beliau dan mereka, yaitu, secara prinsipnya, menuju kepada ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa atau Tauhid. Tetapi juga dipesankan bahwa, jika mereka menolak ajakan menuju kepada "kalimat kesamaan" itu, Nabi dan para pengikut beliau, yaitu kaum beriman, harus bertahan dengan identitas mereka selaku orang-orang yang berserah diri kepada Allah (muslim–n). Perintah Allah kepada Nabi itu demikian:

(Katakan olehmu [Muhammad]: "Wahai Ahli Kitab! Marilah menuju kepada kalimat kesamaan antara kami dan kamu, yaitu bahwa kita [semua] tidak akan menyembah kecuali Allah, dan kita tidak memperserikatkan-Nya kepada apapun juga, dan sebagian dari kita tidak menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah." Kalau mereka itu menolak, maka katakanlah [kepada mereka]: "Saksikanlah, bahwa sesungguhnya kami ini adalah orang-orang yang berserah diri [muslim–n]). (Q., s. Alu 'Imran/3:64).


Klaim-klaim Kaum Ahli Kitab

Sesungguhnya, sebagaimana telah diketahui dalam fakta sejarah selama ini, antara kaum Yahudi dan Nasrani tidak pernah ada kesepakatan, karena masing-masing beranggapan bahwa agama merekalah yang benar, dan yang lain salah. Ini direkam secara abadi dalam Al-Qur'an, demikian:

(Kaum Yahudi berkata: "Tidaklah kaum Nasrani itu berada diatas sesuatu [kebenaran]," dan kaum Nasrani berkata: "Tidaklah kaum Yahudi itu berada diatas sesuatu [kebenaran]." Padahal mereka membaca kitab suci. Orang-orang yang tidak mengerti juga mengatakan seperti perkataan mereka. Maka Allah akan memutuskan perkara antara mereka itu kelak di hari Kiamat berkenaan dengan hal-hal yang pernah mereka perselisihkan itu). (Q., s. al-Baqarah/2:113).

Karena pandangan-pandangan yang eksklusifistik itu maka masing-masing kaum Yahudi dan Nasrani mengklaim sebagai pihak satu-satunya yang bakal selamat atau masuk surga, sedangkan yang lain bakal celaka atau masuk neraka. Inipun dituturkan dalam Al-Qur'an, sambil diingatkan dengan tegas bahwa masalah keselamatan itu tidak tergantung kepada apapun kecuali sikap berserah diri (aslama) kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, dan berbuat baik. Allah berfirman:

(Mereka berkata: "Tidaklah akan masuk surga kecuali kaum Yahudi atau Nasrani." Katakanlah [Muhammad]: "Berikan buktimu jika kamu memang benar." Sebenarnyalah, barangsiapa berserah diri [aslama] kepada Allah dan dia itu berbuat baik, maka dia akan memperoleh pahalanya di sisi Tuhannya, tiada rasa takut pada mereka dan tidak pula mereka bersedih). (Q., s. al-Baqarah/2:112-113).

Sejalan dengan sikap dasar mereka itu, dan sesuai dengan pandangan mereka, maka kaum Yahudi dan Nasrani mengaku bahwa hanya merekalah golongan manusia yang mendapat petunjuk kebenaran. Dalam hal ini mereka lupa akan ajaran dasar agama kebenaran yang disampaikan Allah kepada para Nabi dan Rasul sepanjang zaman, terutama kepada Nabi Ibrahim, yaitu agama yang hanif (kecenderungan alami yang tulus dan murni kepada kebenaran, dengan inti paham Tauhid atau Ketuhanan Yang Maha Esa, sejalan dengan fithrah atau kejadian asal yang suci dari manusia sendiri), dan bukan agama syirik, yaitu agama yang mempersekutukan Tuhan dengan sesuatu dari makhluk. Berkenaan dengan klaim kaum Yahudi dan Nasrani serta peringatan akan ajaran agama yang benar itu kita baca dalam Kitab Suci demikian:

(Mereka berkata: "Jadilah kamu Yahudi atau Nasrani, maka kamu akan mendapatkan petunjuk kebenaan (hidayah)!" Katakanlah [hai Muhammad]: "Tidak! Melainkan agama [millah] Ibrahim yang hanif itulah [yang benar dan membawa hidayah], dan dia itu tidak termasuk orang-orang yang musyrik.") (Q., s. al-Baqarah/2:135).

Jadi memang pada dasarnya mereka tidak mau mengakui, menolak, dan menentang Nabi Muhammad dan ajaran yang beliau bawa dari Allah, yaitu ajaran sikap berserah diri kepada Allah atau al-islam (dalam versinya yang terakhir dan sempurna).

Mereka Tidak Semuanya Sama

Sebagai kelompok masyarakat yang menolak atau bahkan menentang Nabi, kaum Yahudi dan Nasrani mempunyai sikap yang berbeda-beda, ada yang keras dan ada pula yang lunak. Secara umum, penolakan mereka kepada Nabi digambarkan bahwa mereka tidak akan merasa senang sebelum Nabi mengikuti agama mereka. Ini adalah sesuatu yang cukup logis, karena Nabi membawa agama ("baru") yang bagi mereka merupakan tantangan kepada agama yang sudah mapan, yaitu agama Yahudi dan Nasrani, sementara mereka itu masing-masing mengaku agama mereka tidak saja yang paling benar atau satu-satunya yang benar, tapi juga merupakan agama terakhir dari Tuhan. Maka tampilnya Nabi Muhammad s.a.w. dengan agama yang "baru" itu sungguh merupakan gangguan kepada mereka. Karena itu Al-Qur'an memperingatkan kepada Nabi:

(Tidaklah akan senang kepada engkau [wahai Muhammad] kaum Yahudi dan Nasrani itu, sehingga engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah [kepada mereka]: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah yang benar-benar petunjuk....). (Q., s. al-Baqarah/2:120).

Walaupun begitu, Al-Qur'an juga menyebutkan bahwa dari kalangan kaum Ahli Kitab itu ada kelompok-kelompok yang sikapnya terhadap Nabi dan kaum Muslim adalah baik-baik saja, bahkan ada yang secara diam-diam mengakui kebenaran yang datang dari Nabi s.a.w. Ini misalnya dituturkan berkenaan dengan sikap segolongan kaum Nasrani yang banyak memelihara hubungan baik dengan Nabi dan kaum Muslim, yang membuat mereka itu berbeda dari kaum Yahudi dan Musyrik yang sangat memusuhi Nabi dan kaum Muslim:

(Sungguh engkau [Muhammad] akan dapati diantara manusia kaum Yahudi dan orang-orang yang melakukan syirik sebagai yang paling keras permusuhannya kepada kaum beriman; dan sungguh engkau akan dapati bahwa sedekat-dekat mereka dalam rasa kasih sayangnya kepada kaum beriman ialah mereka yang menyatakan, "Kami adalah orang-orang Nasrani". Demikian itu karena di antara mereka ada pendeta-pendeta dan paderi-paderi, dan mereka itu tidak sombong. Dan apabila mereka mendengar apa yang diturunkan kepada Rasul, engkau akan lihat mata mereka bercucuran dengan air mata, karena mereka menangkap kebenaran. Mereka berkata, "Ya Tuhan kami, kami telah percaya, maka catatlah kami bersama mereka yang bersaksi. Mengapalah kami tidak beriman kepada Allah dan kepada kebenaran yang telah datang, dan kami berharap Tuhan kami akan memasukkan kami beserta orang-orang yang baik." Maka Allah pun memberi mereka pahala, atas ucapan mereka itu, berupa surga-surga yang sungai-sungai mengalir di bawahnya. Mereka kekal abadi disana. Itulah balasan orang-orang yang baik). (Q., s. al-Ma'idah/5:82-85).

Bahwa kaum Ahli Kitab itu tidak semuanya sama, juga disebutkan dalam Al-Qur'an tentang adanya segolongan mereka yang rajin mempelajari ayat-ayat Allah di tengah malam sambil terus-menerus beribadat, dengan beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta melakukan amar ma'ruf nahi munkar dan bergegas dalam banyak kebaikan. Lengkapnya, firman Allah itu adalah demikian:

(Mereka [kaum Ahli Kitab] itu tidaklah sama. Dari kalangan Ahli Kitab itu terdapat umat yang teguh [konsisten], mempelajari ajaran-ajaran Allah di tengah malam dan beribadat. Mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian, melakukan amar ma'ruf nahi munkar, dan bergegas dalam berbagai kebaikan. Mereka itu tergolong orang-orang yang saleh. Apapun kebaikan yang mereka kerjakan tidak akan diingkari [pahalanya], dan Allah Maha Tahu tentang orang-orang yang bertaqwa). (Q., s. Alu 'Imran/3:113-115).

Tentang ayat-ayat yang sangat positif dan simpatik kepada kaum Ahli Kitab itu ada sementara tafsiran bahwa karena sikap penerimaan mereka terhadap kebenaran tersebut maka mereka bukan lagi kaum Ahli Kitab, melainkan sudah menjadi kaum Muslim. Tetapi karena dalam ayat-ayat itu tidak disebutkan bahwa mereka beriman kepada Rasulullah Muhammad s.a.w., meskipun mereka percaya kepada Allah dan hari kemudian-sebagaimana agama-agama mereka sendiri sudah mengajarkan-maka mereka secara langsung atau pun tidak langsung termasuk mereka yang "menentang" Nabi, jadi bukan golongan Muslim. Namun karena sikap mereka yang positif kepada Nabi dan kepada kaum beriman, maka perlakuan kepada mereka oleh kaum beriman juga dipesan untuk tetap positif dan adil, yaitu selama mereka tidak memusuhi dan tidak pula merampas harta kaum beriman itu:

(Allah tidak melarang kamu sekalian-berkenaan dengan mereka yang tidak memerangi kamu dalam hal agama dan tidak pula mengusir kamu dari tempat-tempat tinggalmu-untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada mereka. Sesungguhnya Allah cinta kepada orang-orang yang berbuat adil. Hanya saja, Allah melarang kamu sekalian-berkenaan dengan mereka yang memerangi kamu dalam hal agama dan mengusir kamu dari tempat-tempat tinggalmu serta saling membantu [bersekongkol] untuk mengusir kamu-untuk berteman dengan mereka. Barangsiapa berteman dengan mereka maka orang-orang itu adalah zalim). (Q., s. al-Mumtahanah/60:8-9).

Maka meskipun Al-Qur'an melarang kaum beriman untuk bertengkar atau berdebat dengan kaum Ahli Kitab, khususnya berkenaan dengan masalah agama, namun terhadap yang zalim dari kalangan mereka kaum beriman dibenarkan untuk membalas setimpal. Ini wajar sekali, dan bersesuaian dengan prinsip universal pergaulan antara sesama manusia. Berkenaan dengan inilah maka ada peringatan dalam Al-Qur'an:

(Kamu janganlah berbantahan dengan Ahli Kitab, melainkan dengan sesuatu yang lebih baik, kecuali terhadap yang zalim dari kalangan mereka. Dan katakanlah, "Kami beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu, dan Tuhan kami dan Tuhan kamu itu satu, serta kami [kita] semua kepada-Nya berserah diri). (Q., s. al-'Ankab–t/29:46).

Demikianlah pokok-pokok keterangan dan ajaran Al-Qur'an tentang kaum Ahli Kitab yang terdiri dari kaum Yahudi dan Kristen (Nasrani).


Ahli Kitab dan Syirik

Terdapat beberapa perbedaan pandangan di kalangan para ulama tentang apakah kaum Ahli Kitab itu termasuk musyrik ataukah tidak. Sebagian yang tidak terlalu besar ulama mengatakan bahwa mereka itu musyrik, dengan akibat-akibat kehukuman (legal) tertentu sebagaimana berlaku para kaum musyrik. Tetapi sebagian besar ulama tidak berpendapat bahwa kaum Ahli Kitab itu termasuk kaum musyrik. Salah seorang dari mereka yang dengan tegas berpendapat bahwa kaum Ahli Kitab bukanlah kaum musyrik ialah Ibn Taimiyah. Ibn Taimiyah menyebut tentang adanya pernyataan dari 'Abdu'llah ibn 'Umar bahwa kaum Ahli Kitab, khususnya kaum Nasrani, adalah musyrik, karena mereka mengatakan bahwa Tuhan mereka ialah Isa putera Maryam. Ibn Taimiyah menolak pandangan itu, dengan argumen antara lain sebagai berikut:

(Sesungguhnya Ahli Kitab tidaklah termasuk kedalam kaum musyrik. Menjadikan [memandang] Ahli Kitab sebagai bukan kaum musyrik dengan dalil firman Allah: "Sesungguhnya mereka yang beriman, dan mereka yang menjadi Yahudi, kaum Sabi'in, kaum Nasrani, dan kaum Majusi serta mereka yang melakukan syirik...." [Q., s. al-Hajj/22:17]. Kalau dikatakan bahwa Allah telah menyifati mereka itu dengan syirik dalam firmannya, "Mereka [Ahli Kitab] itu mengangkat para ulama dan pendeta-pendeta mereka, serta Isa putera Maryam, sebagai tuhan-tuhan selain Allah, padahal mereka tidaklah diperintah melainkan agar hanya menyembah Tuhan Yang Maha Esa yang tiada tuhan selain Dia. Maha suci Dia dari apa yang mereka persekutukan itu" [Q., s. al-Taubah/9:31], maka karena [Allah] menyifati mereka bahwa mereka telah melakukan syirik, dan karena syirik itu adalah suatu hal yang mereka ada-adakan [sebagai bid'ah] yang tidak diperintahkan oleh Allah, wajiblah mereka itu dibedakan dari kaum musyrik, sebab asal-usul agama mereka ialah mengikuti kitab-kitab yang diturunkan [dari Allah] yang membawa ajaran Tauhid, bukan ajaran syirik. Jadi jika dikatakan bahwa Ahli Kitab itu dengan alasan ini bukanlah kaum musyrik, karena kitab suci yang berkaitan dengan mereka itu tidak mengandung syirik, sama dengan jika dikatakan bahwa kaum Muslim dan umat Muhammad tidaklah terdapat pada mereka itu [syirik] dengan alasan ini, juga tidak ada paham ittihadiyah [monisme], rafdliyah [paham politik yang menolak keabsahan tiga khalifah pertama], penolakan paham qadar [paham kemampuan manusia untuk memilih, dapat juga yang dimaksudkan ialah qadar dalam arti takdir], ataupun bid'ah-bid'ah yang lain. Meskipun sebagian mereka yang tergolong umat [Islam] menciptakan bid'ah-bid'ah itu, namun umat Muhammad s.a.w. tidak akan bersepakat dalam kesesatan. Karena itu selalu ada dari mereka orang yang mengikuti ajaran Tauhid, lain dari kaum Ahli Kitab. Dan Allah 'azza wa jalla tidak pernah memberitakan tentang Ahli Kitab itu dengan nama "musyrik"....).

Pandangan yang persis sama dengan yang di atas itu juga dikemukakan oleh Rasyid Ridla dalam tafsir al-Manar yang terkenal, dengan elaborasi argumennya yang lebih luas dan lengkap.8 Pandangan ini penting sekali, sebab akan berkaitan dengan hal-hal praktis sehari-hari yang timbul dari konsekwensi kehukuman (legal) tentang kaum Ahli Kitab itu, sejak dari masalah sah-tidaknya perkawinan dengan mereka sampai kepada soal halal-haramnya makanan mereka.


Ahli Kitab diluar Yahudi dan Nasrani?

Terdapat beberapa perbedaan pendapat di kalangan para ulama, apakah ada Ahli Kitab di luar kaum Yahudi dan Nasrani. Al-Qur'an sendiri, seperti telah diterangkan, menyebutkan kaum Yahudi dan Nasrani sebagai yang jelas-jelas Ahli Kitab. Tetapi juga menyebutkan beberapa kelompok agama lain, yaitu kaum Majusi dan Sabi'in, yang dalam konteksnya mengesankan seperti tergolong Ahli Kitab. Digabung dengan ketentuan dalam praktek Nabi bahwa beliau memungut jizyah dari kaum Majusi di Hajar dan Bahrain, kemudian praktek 'Umar ibn al-Khaththab memungut jizyah dari kaum Majusi Persia serta 'Utsman ibn 'Affan memungut jizyah dari kaum Berber di Afrika Utara, maka banyak ulama yang menyimpulkan adanya golongan Ahli Kitab di luar Yahudi dan Nasrani. Sebab jizyah dibenarkan dipungut hanya dari kaum Ahli Kitab (yang hidup damai dalam Negeri Islam), dan tidak dipungut dari golongan yang tidak termasuk Ahli Kitab seperti kaum Musyrik (yang umat Islam tidak boleh berdamai dengan mereka ini). Berkenaan dengan ini ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang bahwa Nabi memerintahkan untuk memperlakukan kaum Majusi seperti perlakuan kepada kaum Ahli Kitab, seperti dituturkan oleh Ibn Taimiyah:

(...Karena itulah Nabi s.a.w. bersabda tentang kaum Majusi, "Jalankanlah sunnah kepada mereka seperti sunnah kepada Ahli Kitab", dan beliau pun membuat perdamaian dengan penduduk Bahrain yang dikalangan mereka ada kaum Majusi, dan para khalifah serta para ulama Islam semuanya sepakat dalam hal ini).

Terhadap penuturan Ibn Taimiyah itu Dr. Muhammad Rasyad Salim memberi catatan penting yang cukup lengkap, demikian:

(Dalam kitab al-Muwaththa' 1/278 [bagian zakat, bab jizyah Ahli Kitab dan Majusi], dalam hadits No. 41 dari Ibn Syihab, ia berkata: "Telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah s.a.w. memungut jizyah dari kaum Majusi Bahrain, dan bahwa 'Umar ibn al-Khaththab memungutnya dari kaum Majusi Persia, dan bahwa 'Utsman ibn 'Affan memungutnya dari kaum Berber. Dan dalam hadits No. 42 bahwa 'Umar ibn al-Khaththab membicarakan kaum Majusi, lalu berkata, 'Saya tidak tahu, bagaimana aku harus berbuat terhadap mereka?' Maka 'Abd-al-Rahman ibn 'Auf menyahut, 'Aku bersaksi, sungguh telah kudengar Rasulullah s.a.w. bersabda, 'Jalankanlah sunnah kepada mereka seperti sunnah kepada Ahli Kitab'. Dan dalam kitab al-Bukhari 4/96 (bagian jizyah, bab jizyah dan muwada'ah kepada Ahl al-harb) bahwa 'Umar r.a. tidak memungut jizyah dari kaum Majusi sehingga 'Abd-al-Rahman ibn 'Auf bersaksi bahwa Rasulullah s.a.w. memungutnya dari kaum Majusi Hajar. Dan di halaman itu juga dari 'Amr ibn 'Auf al-Anshari bahwa Rasulullah s.a.w. mengutus Abu 'Ubaidah ibn al-Jarrah ke Bahrain untuk membawa jizyahnya).

Muhammad Rasyid Ridla juga ada mengutip sebuah hadits yang disitu 'Ali ibn Abi Thalib menegaskan bahwa kaum Majusi adalah tergolong Ahli Kitab, demikian:

('Abd ibn Hamid dalam tafsirnya atas surat al-Buruj meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Ibn Abza, bahwa setelah kaum Muslim mengalahkan penduduk Persia 'Umar berkata, "Berkumpullah kalian!" [Yakni, ia berkata kepada para Sahabat, "Berkumpullah kalian untuk musyawarah", sebagaimana hal itu telah menjadi sunnah yang diikuti dengan baik dan kewajiban yang semestinya). Kemudian ia ('Umar) berkata, "Sesungguhnya kaum Majusi itu bukanlah Ahli Kitab sehingga dapat kita pungut jizyah dari mereka, dan bukan pula kaum penyembah berhala sehingga dapat kita terapkan hukum yang berlaku." Maka 'Ali menyahut, "Sebaliknya, mereka adalah Ahli Kitab!").

Rasyid Ridla membahas masalah ini dalam ulasan dan tafsirnya terhadap Al-Qur'an surat al-Ma'idah/5:5, berkenaan dengan hukum perkawinan dengan wanita Ahli Kitab dan memakan makanan mereka. Rasyid Ridla menegaskan bahwa di luar kaum Yahudi dan Nasrani juga terdapat Ahli Kitab, dan dia menyebut-nyebut tidak saja kaum Majusi (Zoroastri) dan Sabi'in, tetapi juga Hindu, Buddha dan Konfusius (Kong Hucu). Pembahasan yang sangat menarik oleh Rasyid Ridla dapat kita ikuti dalam kitab tafsirnya, al-Manar, demikian:

(Para ahli fiqih berselisih mengenai kaum Majusi dan Sabi'in. Kaum Sabi'in bagi Abu Hanifah adalah sama dengan Ahli Kitab. Begitu pula kaum Majusi bagi Abu Tsaur, berbeda dari banyak kalangan yang berpendapat bahwa mereka itu diperlakukan sebagai Ahli Kitab hanya dalam urusan jizyah saja, dan mereka meriwayatkan sebuah hadits dalam hal ini, "Jalankanlah sunnah kepada mereka seperti sunnah kepada Ahli Kitab, tanpa memakan sembelihan mereka dan menikahi wanita mereka." Tetapi pengecualian ini tidak benar, sebagaimana diterangkan oleh para ahli hadits, namun hal itu terkenal di kalangan para ahli fiqih. Dan dikatakan bahwa kedua kelompok itu adalah kelompok Ahli Kitab yang mereka kehilangan kitab suci oleh lamanya waktu.
[Pendapat para ahli fiqih] itu pula yang dahulu pernah menjadi pendirian saya sebelum saya menemukan kutipan dari salah seorang kaum Salaf kita dan ulama ahli agama-agama dan sejarah dari kalangan kita, dan telah pula saya sebutkan dalam al-Manar beberapa kali. Kemudian saya temukan dalam kitab al-Farq bain al-Firaq karangan Ab– Mansh–r 'Abd-al-Qahir ibn Thahir al-Baghdadi [wafat tahun 426 H.] dalam konteks pembahasan tentang kaum Bathiniyah: "Kaum Majusi itu mempercayai kenabian Zarathustra dan turunnya wahyu kepadanya dari Allah Ta'ala, kaum Sabi'in mempercayai kenabian Hermes, Walis [?], Plato, dan sejumlah para failasuf serta para pembawa syari'at yang lain. Setiap kelompok dari mereka mengaku turunnya wahyu dari langit kepada orang-orang yang mereka percayai kenabian mereka, dan mereka katakan bahwa wahyu itu mengandung perintah, larangan, berita tentang akibat kematian, tentang pahala dan siksa, serta tentang surga dan neraka yang disana ada balasan bagi amal perbuatan yang telah lewat." Kemudian dia [al-Baghdadi] menyebutkan bahwa kaum Bathiniyah mengingkari itu semua).

Rasyid Ridla menerangkan lebih lanjut, dengan menyebutkan bahwa pengertian "Ahli Kitab" sebenarnya tidak boleh dibatasi hanya kepada kaum Yahudi dan Nasrani saja, tetapi juga meliputi kaum Sabi'in dan Majusi tersebut di atas, serta kaum Hindu, Budha dan Konfusius. Keterangan Rasyid Ridla adalah demikian:

(Yang nampak ialah bahwa Al-Qur'an menyebut para penganut agama-agama terdahulu, kaum Sabi'in dan Majusi, dan tidak menyebut kaum Brahma [Hindu], Budha dan para pengikut Konfusius karena kaum Sabi'in dan Majusi dikenal oleh bangsa Arab yang menjadi sasaran mula-mula adres Al-Qur'an, karena kaum Sabi'in dan Majusi itu berada berdekatan dengan mereka di Irak dan Bahrain, dan mereka [orang-orang Arab] belum melakukan perjalanan ke India, Jepang dan Cina sehingga mereka mengetahui golongan yang lain. Dan tujuan ayat suci telah tercapai dengan menyebutkan agama-agama yang dikenal [oleh bangsa Arab], sehingga tidak perlu membuat keterangan yang terasa asing [ighrab] dengan menyebut golongan yang tidak dikenal oleh orang yang menjadi adres pembicaraan itu di masa turunnya Al-Qur'an, berupa penganut agama-agama yang lain. Dan setelah itu tidak diragukan bagi mereka [orang Arab] yang menjadi adres pembicaraan [wahyu] itu bahwa Allah juga akan membuat keputusan perkara antara kaum Brahma, Budha, dan lain-lain. Sudah diketahui bahwa Al-Qur'an jelas menerima jizyah dari kaum Ahli Kitab, dan tidak disebutkan bahwa jizyah itu dipungut dari golongan selain mereka. Maka Nabi s.a.w. pun, begitu pula para khalifah r.a., menolak jizyah itu dari kaum Musyrik Arab, tetapi menerimanya dari kaum Majusi di Bahrain, Hajar dan Persia sebagaimana disebutkan dalam dua kitab hadits yang sahih (Bukhari-Muslim) dan kitab-kitab hadits yang lain. Dan [Imam] Ahmad, al-Bukhari, Ab– Daw–d, dan al-Turmudzi serta lain-lainnya telah meriwayatkan bahwa Nabi s.a.w. memungut jizyah dari kaum Majusi Hajar, dan dari hadits 'Abd-al-Rahman ibn 'Auf bahwa dia bersaksi untuk 'Umar tentang hal tersebut ketika 'Umar mengajak para Sahabat untuk bermusyawaah mengenai hal itu. Malik dan al-Syafi’i meriwayatkan dari dia ('Abd-al-Rahman ibn 'Auf) bahwa ia berkata: "Aku bersaksi, sungguh aku telah mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda, 'Jalankanlah sunnah kepada mereka seperti sunnah kepada Ahli Kitab.' Dalam sanadnya ada keterputusan, dan pengarang kitab al-Muntaqa dan lain-lainnya menggunakan hadits itu sebagai bukti bahwa mereka (kaum Majusi) tidak terhitung Ahli Kitab. Tapi pandangan ini lemah, sebab penggunaan umum perkataan "Ahli Kitab" untuk dua kelompok manusia (Yahudi dan Nasrani) karena adanya kepastian asal kitab-kitab suci mereka dan tambahan sifat-sifat khusus mereka tidak mesti berarti bahwa di dunia ini tidak ada Ahli Kitab selain mereka, padahal diketahui bahwa Allah mengutus dalam setiap umat Rasul-rasul untuk membawa berita gembira dan berita ancaman, dan bersama mereka itu Dia [Allah] menurunkan Kitab Suci dan Ajaran Keadilan (al-Mizan) agar manusia bertindak dengan keadilan. Sebagaimana juga penggunaan umum gelar "ulama" untuk sekelompok manusia yang memiliki kelebihan khusus tidaklah mesti berarti ilmu hanya terbatas kepada mereka dan tidak ada pada orang lain).

Demikianlah keterangan dari Rasyid Ridla tentang pengertian Ahli Kitab, sebagaimana ia dasarkan kepada berbagai sumber yang ia ketahui. Seperti sudah dikemukakan, sesungguhnya para ulama berselisih pendapat tentang hal ini, khususnya tentang golongan selain Yahudi dan Nasrani. Keterangan pemikir Islam yang amat terkenal itu kiranya akan berguna bagi kita sebagai bahan pertimbangan.


Penutup

Masih banyak lagi masalah yang menyangkut konsep tentang Ahli Kitab ini yang dapat kita bicarakan. Namun semoga sedikit pembahasan yang dapat kita buat di atas itu akan membantu kita memahami masalah-masalah dasar konsep itu, yang tidak diragukan lagi akan kuat sekali relevansinya dengan keadaan zaman moderen dengan ciri globalisasi yang menimbulkan masalah kemajemukan ini.

Pada permulaan pembahasan ini dikemukakan bahwa konsep tentang Ahli Kitab merupakan kemajuan luar biasa dalam sejarah agama-agama sepanjang zaman. Dan itu sekaligus membuktikan keunggulan konsep-konsep Al-Qur'an dan Sunnah yang kita semakin perlu untuk memahaminya secara komprehensif dan dalam kaitan sistemiknya yang lengkap. Sebagaimana halnya dengan ajaran-ajaran prinsipil lainnya yang selalu relevan namun memerlukan penjabaran operasional dan praktis dalam konteks ruang dan waktu, maka konsep tentang Ahli Kitab menurut Al-Qur'an dan Sunnah itu juga dapat dijabarkan dalam konteks zaman mutakhir guna memberi responsi yang tepat dan berprinsipil kepada tantangan sosial yang timbul.

Sebagai akhir pembahasan ini, patut sekali kita renungkan firman Allah kepada Nabi kita tentang sikap yang benar terhadap kaum Ahli Kitab:

(Maka dari itu, serulah [mereka] dan tegaklah [dalam pendirian] sebagaimana engkau diperintahkan, serta janganlah engkau turuti keinginan mereka. Dan katakanlah [kepada mereka], "Aku beriman kepada yang diturunkan Allah berupa kitab suci apapun, dan aku diperintahkan untuk berlaku adil antara kamu sekalian. Allah adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu, bagi kami amal perbuatan kami dan bagi kamu amal perbuatan kamu. Tidak ada perbantahan antara kami dan kamu. Allah akan mengumpulkan antara kita semua, dan hanya kepada-Nya itulah tempat kembali.") (Q., s. al-Syura/42:15).

Wallah-u a'lam-u bi al-shawab




Catatan:

1. Cyril Glass‚, (San Francisco: Harper, 1991), s.v. "Ahl al-Kitab".

2."It was the duty of the faithful to conquer as much of the world as possible for Islam, but there was to be no persecution of Christians, Jews, or Zoroastrians--the "people of the Book", as the Koran calls them, i.e., those who followed the teaching of a Scripture... It was only in virtue of their lack of fanaticism that a handful of warriors were able to govern, without much difficulty, vast populations of higher civilization and alien religion." (Bertrand Russel, A History of Western Philosophy [New York: Simon and Schuster, 1959], h. 420-21).

3."The Arab conquest of Spain in 711 had put an end to the forcible conversion of Jews to Christianity begun by King Reccared in the sixth century. Under the subsequent 500-year rule of the Moslems emerged the Spain of three religions and "one bedroom". Mohammedans, Christians, and Jews shared the same brilliant civilization, an intermingling that effected "bloodlines" even more than religious affiliations." (Max I. Dimont, The Indestructible Jews (New York: New American Library, 1973), p. 203.

4."During the reconquest of Spain from Mohammedans, the soldiers of the Cross at first had difficulty recognizing the difference between Jew and Moslem, as both dressed alike and spoke the same tongue. Reconquistadores understandably killed Jew and Arab with impartial prejudice... Once Spain was safely back in the Christian column, however, a national conversion drive was launched." (Max I. Dimont, The Indestructible Jews [New York: New American Library], 1973, h. 221).

5."In earlier times a good deal of easy social intercourse existed among Muslims, Christians, and Jews who, while professing different religions, formed a single society, in which personal friendships, business partnerships, intellectual discipleships, and other forms of shared activity were normal and, indeed, common. This cultural cooperation is attested in many ways. We have, for example, biographical dictionaries of famous physicians. These works, though written by Muslims, include Muslim, Christian, and Jewish physicians without distinction. From these large numbers of biographies it is even possible to construct a kind of prosopography of the medical profession-to trace the life curves of some hundreds of practitioners in the Islamic world. From these sources we get a very clear impression of a common effort. In hospitals and in private practice, doctors of the three faiths worked together as partners or as assistants, reading each other's books and accepting one another as pupils. There was nothing resembling the kind of separation that was normal in Western Christendom at that time or in the Islamic world at a later time. (Bernard Lewis, [Princeton: Princeton University Press, 1987], p. 56).

6.Lihat 'Abd-ul-Hamid Hakim, al-Mu'in al-Mubin, 4 jilid (Bukittinggi: Nusantara, 1955), jil.4, h. 44-45.

7.Untuk pembahasan lebih lengkap tentang argumen Ibn Taimiyah ini, lihat Ibn Taimiyah, Ahkam al-Zawaj (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1408 H / 1988 M), hh. 188-190.

8.Lihat pembahasan yang cukup lengkap oleh al-Sayyid Muhammad Rasyid Ridla, dalam Tafsir al-Manar, jil. 6, hh. 185-190.

9.Ibn Taimiyah, Minhaj al-Sunnah, suntingan Dr. Muhammad Rasyad Salim, 9 jilid (Mu'assat Qurthubah, 1406/1986), jil. 8, h. 516.h

10.Ibid., catatan kaki No.2.

11.Ridla, 6:189.

12.Ibid., 6:185-186.

13.Ibid., 6:188-189.