SUFISME BARU DAN SUFISME LAMA: MASALAH KONTINUITAS DAN PERKEMBANGAN DALAM ESOTERISISME ISLAM
Oleh : Nurcholish Madjid
Event Artikel : KKA-71 (Jakarta, Februari 1993)
Diupdated pada: Kamis 5 April 2001

Muqaddimah

Sebagai sistem ajaran keagamaan yang lengkap dan utuh, Islam memberi tempat kepada jenis penghayatan keagamaan eksoterik (zhahiri, lahiri) dan esoterik (bathini, batini) sekaligus. Tapi meskipun tekanan yang berlebihan kepada salah satu dari kedua aspek penghayatan itu akan menghasilkan kepincangan yang menyalahi prinsip ekuilibrium (tawazun) dalam Islam, namun kenyataannya banyak kaum Muslim yang penghayatan keislamannya lebih mengarah kepada yang lahiri (lalu disebut Ahl al-Zhawahir) dan banyak pula yang lebih mengarah kepada yang bathini (dan disebut Ahl al-Bawathin). Kaum syari’ah, yaitu mereka yang lebih menitik beratkan perhatian kepada segi-segi syari’ah atau hukum, sering juga disebut kaum lahiri. Sedangkan kaum thariqah, yaitu mereka yang berkecimpung dalam amalan-amalan "tarekat", dinamakan kaum batini. Seperti dikatakan oleh al-Randi, seorang ahli kesufian dan pemberi syarah kepada kitab al-hikam, sebuah buku teks tentang tasauf yang terkenal, kaum Muslim dalam ibadat mereka terbagi menjadi dua: satu kelompok lebih menitik beratkan kepada "ketetuan-ketentuan luar" (ahkam al-zhawahir, yakni, segi-segi lahiriah) dan satu kelompok lagi lebih menitik beratkan kepada ketentuan-ketentuan "dalam" (al-dlama'ir, yakni, segi-segi batiniah).1

Dalam sejarah pemikiran Islam, antara kedua orientasi penghayatan keagamaan itu sempat terjadi ketegangan dan polemik, dengan sikap-sikap saling menuduh bahwa lawannya adalah penyeleweng dari agama dan sesat, atau penghayatan keagamaan mereka tidak sempurna. Dari banyak usaha merekonsiliasi antara keduanya itu, yang dilakukan oleh Imam al-Ghazali adalah yang terbesar dan paling berhasil. Maka melalui pemikiran al-Ghazali syari’ah dan thariqah mengalami perpaduan, dengan hubungan antara keduanya yang saling menunjang. Ajaran thariqah yang terpadu secara baik dengan ajaran syari’ah diakui sebagai mu'tabarah (absah), dan yang tidak memenuhi kriteria itu dinyatakan sebagai ghayr mu'tabarah (tidak absah). Organisasi sosial keagamaan Nahdlatul Ulama (NU) memperhatikan masalah ini, dan membentuk badan yang dinamakan Jam'iyyah Thariqah Mu'tabarah (Perkumpulan Tarekat Mu'tabarah). Muktamar NU di Situbondo 1984 menetapkan bahwa salah satu ketentuan tentang paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah ialah, dalam bidang tasauf, mengikuti tarekat mu'tabarah dengan berpedoman kepada ajaran Imam al-Ghazali, disamping kepada ajaran para tokoh kesufian Sunni yang lain.

Sufisme Baru (Neo-Sufisme) ?

Ketika Prof. Hamka menulis bukunya yang terkenal, Tasauf Moderen, beliau sesungguhnya telah meletakkan dasar-dasar Sufisme baru di tanah air kita. Dalam buku itu terdapat alur fikiran yang memberi apresiasi yang wajar kepada penghayatan esoteris Islam, namun sekaligus disertakan peringatan bahwa esoterisisme itu harus tetap terkendalikan oleh ajaran-ajaran standar syari’ah. Jadi sesungguhnya masih tetap dalam garis kontinuitas dengan pemikiran Imam al-Ghazali tersebut diatas. Bedanya dengan al-Ghazali ialah bahwa Prof. Hamka menghendaki suatu penghayatan keagamaan esoteris yang mendalam tetapi tidak dengan melakukan pengasingan diri atau 'uzlah, melainkan tetap aktif melibatkan diri dalam masyarakat.

Sebagai seorang ulama yang sangat mengenal pemikiran kaum pembaharu klasik seperti Ibn Taymiyah dan Ibn Qayyim al-Jawziyah, Prof. Hamka juga menunjukkan konsistensi pemikirannya dengan pemikiran tokoh-tokoh itu. Maka bukanlah suatu hal yang terjadi secara kebetulan bahwa Prof. Fazlur Rahman, juga seorang sarjana yang amat mendalami pemikiran Ibn Taymiyah dan Ibn Qayyim, menyebut kedua tokoh klasik itu sebagai perintis apa yang ia namakan sebagai Neo-Sufisme. Istilah "neo-Sufisme" terasa lebih netral daripada istilah "tasauf moderen". Istilah "tasauf modern" terasa lebih optimistik, karena "moderen" acapkali berkonotasi positif dan optimis. Tapi keduanya menunjuk kepada kenyataan yang sama, yaitu suatu jenis kesufian yang terkait erat dengan syari’ah, atau, dalam wawasan Ibn Taymiyah, jenis kesufian yang merupakan kelanjutan dari ajaran Islam itu sendiri sebagaimana termaktub dalam Qur'an dan Sunnah, dan tetap berada dalam pengawasan kedua sumber utama ajaran Islam itu, kemudian ditambah dengan ketentuan untuk tetap menjaga keterlibatan dalam masyarakat secara aktif. Fazlur Rahman menjelaskan Sufisme baru itu mempunyai ciri utama berupa tekanan kepada motif moral dan penerapan metode dzikir dan muraqabah atau konsentrasi keruhanian guna mendekati Tuhan, tetapi sasaran dan isi konsentrasi itu disejajarkan dengan doktrin salafi (ortodoks) dan bertujuan untuk meneguhkan keimanan kepada akidah yang benar dan kemurnian moral dari jiwa. Gejala yang dapat disebut sebagai neo-Sufisme ini cenderung untuk menghidupkan kembali aktifisme salafi dan menanamkan kembali sikap positif kepada dunia. Dalam makna inilah kaum hanbali seperti Ibn Taymiyah dan Ibn Qayyim al-Jawziyah, sekalipun sangat memusuhi Sufisme populer, adalah jelas kaum neo-Sufi, malah menjadi perintis ke arah kecenderungan ini. Selanjutnya, kaum neo-Sufi juga mengakui, sampai batas tertentu, kebenaran klaim Sufisme intelektual: mereka menerima kasyf (pengalaman penyingkapan kebenaran Ilahi) kaum Sufi atau ilham intuitif tetapi menolak klaim mereka seolah-olah tidak dapat salah (ma'shum), dengan menekankan bahwa kehandalan kasyf adalah sebanding dengan kebersihan moral dari kalbu, yang sesungguhnya mempunyai tingkat-tingkat yang tak terhingga. Baik Ibn Taymiyah maupun Ibn Qayyim sesungguhnya mengaku pernah mengalami kasyf sendiri. Jadi terjadinya kasyf dibawa kepada tingkat proses intelektual yang sehat. Lebih jauh lagi, Ibn Taymiyah dan para pengikutnya menggunakan keseluruhan terminologi kesufian - termasuk istilah salik, penempuh jalan keruhanian - dan mencoba memasukkan kedalamnya makna moral yang puritan dan etos salafi.2

Jadi "
Sufisme baru" menekankan perlunya pelibatan diri dalam masyarakat secara lebih kuat daripada "Sufisme lama". Sebagai misal, dibawah ini adalah kutipan dari suatu versi tentang zuhud atau asketisme, salah satu unsur amat penting dalam Sufisme, berasal dari sebuah kitab dalam Bahasa Melayu tulisan Jawi (Arab Melayu):

(Fasal) pada menyatakan zuhud yakni benci akan dunia maka yaitu martabat yang tinggi yang terlebih hampir kepada haqq Ta'ala karena manakala benci akan dunia itu melazimkan gemar akan akhirat dan gemar akhirat itulah perangai yang dikasih Taqq Ta'ala seperti sabda Nabi s.a.w. “ tinggalkan olehmu akan dunia niscaya kasih Haqq Ta'ala akan dikau dan jangan kau hiraukan barang sesuatu yang pada tangan manusia niscaya dikasih akan dikau oleh manusia tinggalkan olehmu akan dunia niscaya dimasuk Allah Ta'ala ke dalam hatimu ilmu hikmah yaitu ilmu hakikat maka ketika nyatalah kau pandang hakikat dunia ini dan nyatalah kau pandang hakikat akhirat itu hingga kau ambil akan yang terlebih baik bagimu dan yang terlebih kekal.....
(Maka) yang terlebih sempurna martabat zahid itu zuhd ‘arifin yaitu hina padanya dan keji padanya segala ni'mat yang dalam dunia ini dan semata2 berhadapan kepada Haqq Ta'ala tiada sekali2 berpegang hatinya kepada ni'mat dunia ini dan adalah dunia ini pada hatinya seperti kotoran jua atau seperti bangkai jua tiada mehampir ia melainkan pada ketika dlarurat inilah zuhd yang terlebih tinggi martabatnya daripada segala makhluq tetapi adalah seperti ini sangat sedikit padanya wa 'l-Lah-u 'l-muwaffiq.3

Pandangan tentang zuhud atau asketisme "klasik" yang pasif dan "anti dunia" itu dapat dibandingkan dengan pandangan zuhud atau aseketisme "moderen" seperti dikemukakan dalam sebuah risalah kecil berjudul al-Ruhaniyat al-Ijtima'iyah (Spiritualisme Sosial) terbitan al-Markaz al-Islami (Islamic Center), Jenewa (Swis) pimpinan Dr Sa'id Ramadlan. Sebagai pegangan bagi para pejuang da'wah Islam, buku kecil ini memberi petunjuk yang cukup jelas tentang apa saja yang menjadi pertanda jalan (ma'alim al-thariq) spiritualisme sosial, yang secara amat ringkas adalah: (1) Membaca dan merenungkan makna kitab suci Al-Qur'an; (2) Membaca dan mempelajari makna kehadiran Nabi s.a.w. melalui Sunnah dan Sirah (biografi) beliau; (3) Memelihara hubungan dengan orang-orang saleh seperti para 'ulama' dan tokoh Islam yang zuhud; (4) Menjaga diri dari sikap dan tingkah laku tercela; (5) Mempelajari hal-hal tentang ruh dan metafisika dalam Qur'an dan Sunnah, dengan sikap penuh percaya; (6) Melakukan ibadat-ibadat wajib dan sunnah, seperti sembahyang lima waktu dan tahajjud.
Setelah itu dikemukakan peringatan yang keras sekali terhadap palsunya hidup spiritualisme pasif dan isolatif (i'tizaliyah), demikian:

Di sini kita ingin memberi peringatan tentang sesuatu yang pelik dan penting, yaitu bahwa spiritualisme sosial ini harus ada pada para penganutnya dan orang lain. Adapun spiritualisme isolatif yang mengungkung pelakunya dari masyarakat sehingga ia tidak berhubungan dengan mereka dan mereka tidak berhubungan dengan dia, tidak pula dia memberi pelajaran kepada mereka dan dia tidak belajar dari mereka, ini adalah spiritualisme orang-orang yang lemah dan egois; spiritualisme orang-orang yang lemah, yang tidak tahan menghadapi kejahatan dan bahaya, kemudian lari ke 'uzlah (pengucilan diri) dan berpegang kepada 'uzlah itu; dan spiritualisme kaum egois yang hanya mencari kebahagiaan untuk diri mereka sendiri saja. Hal serupa itu, meskipun ada unsur kebaikan medium dan keluhuran tujuan di dalamnya, adalah jenis penyakit.4

Berkenaan dengan apa ajaran pokok spiritualisme sosial itu, buku kecil al-Ruhaniyat al-Ijtima'iyah itu mengemukan suatu nilai yang sudah secara umum telah diketahui kaum Muslim, yaitu nilai keseimbangan (mizan atau tawazun), sesuai dengan prinsip yang difirmankan Allah s.w.t., "Dan langitpun ditinggikan oleh-Nya, serta diletakkan oleh-Nya (prinsip) keseimbangan. Agar janganlah kamu (manusia) melanggar (prinsip) keseimbangan itu." (Q., s. al-Rahman/55:7-8). Kalau kita perhatikan firman yang mengaitkan prinsip keseimbangan itu dengan penciptaan langit, kita pun tahu bahwa prinsip keseimbangan adalah hukum Allah untuk seluruh jagad raya, sehingga melanggar prinsip keseimbangan merupakan suatu dosa kosmis, karena melanggar hukum yang menguasai jagad raya. Dan kalau manusia disebut sebagai "jagad kecil" atau "mikrokosmos", maka, tidak terkecuali, manusiapun harus memelihara prinsip keseimbangan dalam dirinya sendiri, termasuk dalam kehidupan spiritualnya. Selain dapat dipahami dari kutipan di atas, prinsip ini diuraikan dalam buku al-Ruhaniyat al-Ijtima'iyah, demikian:

Jika orang dengan lurus menghadapi dirinya sendiri kemudian memenuhi hak badannya dan hak ruhnya, maka ia telah berbuat adil kepada kemanusiaannya, sejalan dengan Sunnatullah, dan hidup dengan damai di dunia dan akhirat.

Jika ia cenderung hanya kepada salah satu dari dua jurusan itu, sambil berpaling dari yang lain, maka ia telah berbuat zalim kepada dirinya, dan menghadapkan dirinya itu menentang Sunnatullah. Barangsiapa menghadapkan dirinya menentang Kebenaran tentu hancur - "Engkau tidak akan mendapatkan perubahan dalam Sunnatulah." (Q., s. al-Ahzab/33:62).

Maka orang yang hidup di zaman sekarang, yang hanya mementingkan harta, berlomba untuk sepotong roti, tenggelam dalam urusan badani, sibuk dengan kehormatan kosong dan kemegahan palsu, menyia-nyiakan tuntutan akal dan kalbunya hanya untuk kenikmatan muspra itu, dia adalah orang yang terkecoh dari hakikat dirinya, terdinding dari inti hidup. Ia menginginkan agar Sunnatullah mengangkatnya ke alam yang lebih tinggi, namun tergelincir jatuh dari kemuliaan itu, dan tetap saja bertindak memutuskan tali hubungan tersebut.

Sedangkan orang yang mengarahkan dirinya hanya untuk memenuhi tuntuan ruhnya lalu menggunakan waktu siangnya untuk puasa dan malamnya untuk berdiri (salat), sepanjang umurnya untuk merenung semata sambil mengingkari hal-hal yang baik dari hidup duniawi lalu tidak berpakaian kecuali dengan yang kasar-kasar, tidak makan kecuali yang kering kerontang dengan tujuan agar potensi hidup lahiriahnya menjadi lemah dan - menurut anggapannya - agar potensi ruhaninya menjadi hebat, dia adalah juga orang yang bodoh tentang hakikat hidup, lalai akan Sunnatullah, menyia-nyiakan hak badannya sendiri, atau menyia-nyiakan salah satu dari dua segi hidupnya. Cukup hal itu baginya sebagai kerugian dan pengingkaran terhadap perintah Allah. Diriwayatkan orang banyak bahwa Rasulullah s.a.w. mengunjungi 'Abd-Allah ibn 'Amr ibn al-'Ash, dan isterinya meminta belas kasihan Rasulullah s.a.w., maka beliau bersabda: "Bagaimana keadaanmu, wahai ibu 'Abd-Allah?" Dijawabnya, "(Dia itu, 'Abd-Allah ibn 'Amr ibn al-'Ash) menyendiri, sehingga ia pun tidak tidur, tidak berbuka (puasa), tidak mau makan daging, dan tidak menunaikan kewajibannya kepada keluarganya." Beliau bertanya, "Di mana dia sekarang?" Dijawab, "Dia sedang keluar, dan sudah hampir pulang saat ini." Beliau bersabda, "Kalau dia pulang, tahan dia untukku." Maka Rasulullah s.a.w. pun keluar, lalu 'Abd-Allah datang, dan Rasulullah sudah hampir pulang. Maka beliau katakan, "Wahai 'Abd-Allah ibn 'Amr, bagaimana itu berita yang sampai kepadaku mengenai dirimu? Engkau tidak tidur!" Dijawabnya, "Dengan itu aku ingin aman dari marabahaya yang besar." Sabda beliau, "Dan sampai kepadaku (berita) bahwa engkau tidak berbuka (puasa)!" Dijawabnya, "Dengan itu aku menginginkan sesuatu yang lebih baik di surga." Beliau bersabda, "Dan sampai (berita) kepadaku bahwa engkau tidak menunaikan untuk keluargamu hak-hak mereka!" Dijawabnya, "Dengan itu aku menginginkan wanita yang lebih baik daripada mereka." Maka Rasulullah s.a.w. pun bersabda, "Wahai 'Abd-Allah ibn 'Amr, bagimu ada teladan yang baik pada Rasulullah. Dan Rasulullah itu berpuasa dan berbuka, makan daging, dan menunaikan untuk keluarganya hak-hak mereka. Wahai 'Abd-Allah ibn 'Amr, sesungguhnya Allah mempunyai hak atas engkau, sesungguhnya badanmu mempunyai hak atas engkau, dan sesungguhnya keluargamu mempunyai hak atas engkau!"

Dengan kebijakan yang mendalam itu Rasulullah s.a.w. menggambarkan untuk kita cara hidup yang sehat dan benar, dan menjelaskan bahwa sikap berlebihan adalah tercela, biarpun mengenai sikap seorang hamba dalam kehidupan ruhaninya. Sebab Allah tidak terima dari hamba-Nya jika Sunnah-Nya diabaikan kemudian orang itu menyangka bahwa sikap tersebut membawanya kepada keridlaan-Nya.5

Keterangan di atas itu serta hadits yang dikutipnya sejalan benar dengan keterangan dan penegasan Nabi s.a.w. dalam berbagai contoh yang lain, diantaranya ialah beberapa hadits yang menyangkut seorang Sahabat bernama 'Utsman ibn Mazh'un, dan terkait dengan ajaran beliau tentang al-Hanifiyat al-samhah (yaitu sikap merindukan, mencari dan memihak kepada yang benar dan baik secara lapang):

(Isteri 'Utsman ibn Mazh'–n bertandang ke rumah para isteri Nabi s.a.w., dan mereka ini melihatnya dalam keadaan yang buruk. Maka mereka bertanya kepadanya: "Apa yang terjadi dengan engkau? Tidak ada di kalangan kaum Quraisy orang yang lebih kaya daripada suamimu!" Ia menjawab: "Kami tidak mendapat apa-apa dari dia. Sebab malam harinya ia beribadat, dan siang harinya ia berpuasa!" Mereka pun masuk kepada Nabi dan menceritakan hal tersebut. Maka Nabi pun menemui dia ('Utsman ibn Mazh'un), dan bersabda: "Hai 'Utsman! Tidakkah padaku ada teladan bagimu?!" Dia menjawab: "Demi ayah-ibuku, engkau memang demikian." Lalu Nabi bersabda: "Apakah benar engkau berpuasa setiap hari dan tidak tidur (beribadat) setiap malam?" Dia menjawab: "Aku memang melakukannya." Nabi bersabda: "Jangan kau lakukan! Sesungguhnya matamu punya hak atas engkau, dan keluargamu punya hak atas engkau! Maka sembahyanglah dan tidurlah, puasalah dan makanlah!")

('Utsman ibn Mazh'un membeli sebuah rumah, lalu ia tinggal di dalamnya (sepanjang waktu) untuk beribadat. Berita itu datang kepada Nabi s.a.w., maka beliaupun datang kepadanya, lalu dibawanya ke pintu keluar rumah di mana ia tinggal, dan beliau bersabda: "Wahai 'Utsman, sesungguhnya Allah tidaklah mengutus aku dengan ajaran kerahiban" (Nabi bersabda demikian dua-tiga kali, lalu bersabda lebih lanjut), "Dan sesungguhnya sebaik-baik agama di sisi Allah ialah al-Hanifiyyat al-samhah [semangat pencarian Kebenaran yang lapang].")

(Berita sampai kepada Nabi s.a.w. bahwa segolongan Sahabat beliau menjauhi wanita dan menghindari makan daging. Mereka berkumpul, dan kami pun bercerita tentang sikap menjauhi wanita dan makan daging itu. Maka Nabi pun memberi peringatan keras, dan bersabda: "Sesungguhnya aku tidak diutus dengan membawa ajaran kerahiban! Sesungguhnya sebaik-baik din agama ialah al-Hanifiyyat al-samhah.")6

Dari uraian dan kutipan-kutipan di atas nampak jelas apa yang dimaksud dengan Sufisme baru, neo-Sufisme atau tasauf moderen. Meskipun disebut "baru", "neo" atau "moderen" tapi sesungguhnya, seperti diargumenkan oleh tokoh-tokoh pemikir moderen Hamka, Fazlur Rahman dan Sa'id Ramadlan, serta pemikir pembaharu klasik semisal Ibn Taymiyah dan Ibn Qayyim, Sufisme "baru" ini justru menegaskan konsistensinya dengan ajaran Islam yang sahih.

Sufisme sebagai Ijtihad

Dari antara para pemikir besar Islam di kalangan Sunni, Ibn Taymiyah adalah yang paling kuat argumentasinya untuk mempertahankan tetap terbukanya pintu ijtihad sepanjang masa. Sedemikian rupa ia menegaskan pendiriannya, sehingga ia tidak jemu-jemunya mengingatkan adanya sabda Nabi bahwa orang yang berijtihad kemudian benar maka ia akan mendapatkan dua pahala, dan yang berijtihad kemudian keliru maka ia masih akan mendapatkan satu pahala. Maka sejalan dengan itu ia senantiasa berusaha menunjukkan penghargaan kepada setiap kegiatan ijtihad yang dilakukan oleh siapapun, yang dalam pandangannya memiliki ketulusan niat.

Begitu pula terhadap kaum Sufi, Ibn Taymiyah, yang oleh Fazlur Rahman disebut sebagai pelopor Sufisme baru itu, tetap menunjukkan apresiasinya kepada ijtihad mereka dalam mendekati Allah melalui dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang mereka ajarkan. Ibn Taymiyah memberi apresiasi ini tanpa berarti meninggalkan sikap kritisnya yang terkenal kepada Sufisme populer, yang dengan praktek-praktek pemujaan kepada orang-orang suci dan kubur-kubur mereka itu maka Sufisme populer dalam pandangannya lebih mendekati syirik. Begitu pula terhadap cara mereka berdzikir dan melakukan wirid, Ibn Taymiyah sering melancarkan kritik yang tandas sekali. Walaupun begitu, secara keseluruhan Ibn Taymiyah memandang bahwa tasauf atau Sufisme adalah sejenis ijtihad dalam mendekati Allah. Dalam suatu risalah pendeknya yang amat menarik, berjudul al-Shufiyat wa al-Fuqara', Ibn Taymiyah menjelaskan penilaian dan pendiriannya tentang Sufisme sebagai berikut:

Jika telah diketahui bahwa munculnya tasauf dari kota Basrah dan bahwa di sana ada orang yang menempuh cara ibadat dan zuhud yang di dalamnya terkandung ijtihad baginya - sebagaimana di kota Kufah juga ada orang yang menempuh cara fiqih dan ilmu yang di dalamnya terkandung ijtihad baginya - lalu mereka (di Basrah) itu dikaitkan dengan pakaian lahiriah yaitu pakaian dari bahan wol (shuf) maka dikatakan bahwa seseorang seperti mereka itu adalah shufi. Tetapi tarekat mereka tidaklah terbatasi dengan pakaian dari wol, dan mereka pun tidak mewajibkan hal itu, juga tidak menyangkutkan perkara (tarekat) mereka dengan (pakaian) itu, namun mereka dihubungkan dengan wol (shuf) karena itulah keadaan lahiriah mereka.

Selanjutnya, tasauf bagi mereka mempunyai hakikat-hakikat dan hal-hal tertentu yang telah mereka bicarakan tentang batasan-batasannya, tingkah lakunya dan akhlaknya, seperti kata setengah mereka: "Seorang Sufi ialah orang yang telah terbersihkan dari kotoran, penuh pikiran, dan sama baginya emas dan batu-batuan," dan "tasauf ialah sikap merahasiakan makna dan meniggalkan pengakuan-pengakuan (klaim-klaim)," dan seterusnya. Kemudian mereka membawa makna Sufi ke makna Shiddiq (orang yang benar), dan manusia paling utama setelah para Nabi ialah orang-orang Shiddiq, sebagaimana difirmankan Allah: "Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul maka mereka itu beserta orang-orang yang mendapatkan karunia kebahagiaan dari Allah, yang terdiri dari para Nabi, para Shiddiqin, para Syuhada' dan para orang salih, dan mereka itu sungguh baik sebagai kawan dekat." (Q., s. al-Nisa'/4:69). Karena itu bagi mereka tidak ada setelah para Nabi orang yang lebih utama daripada seorang Sufi. Tapi sebenarnya dia itu adalah satu jenis saja dari kaum Shiddiqin, sebab dia adalah seorang Shiddiq yang mengkhususkan diri pada zuhud dan ibadah mengikuti cara yang mereka berijtihad di dalamnya, sehingga dia menjadi seorang Shiddiq dalam cara ini, sebagaimana juga dikatakan tentang adanya 'ulama' Shiddiqin dan umara' Shiddiqin. Jadi seorang Sufi adalah lebih khusus daripada seorang Shiddiq mutlak dan lebih rendah daripada kaum Shiddiqin yang kebenarannya sempurna seperti kaum Sahabat dan Tabi'un serta para pengikut mereka.

Dan jika kaum zuhud dan ibadah dari orang-orang Basrah itu disebut kaum Shiddiqin maka sama halnya dengan para ahli fiqih dari kalangan orang-orang Kufah, juga merupakan kaum Shiddiqin, semuanya sesuai dengan jalan yang ditempuhnya untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya menurut ijtihad masing-masing. Dan mereka itu dapat saja merupakan orang-orang Shiddiq menurut zaman mereka, sehingga menjadi orang Shiddiq paling sempurna di zaman itu, namun seorang Shiddiq di zaman pertama adalah lebih sempurna daripada mereka.

Kaum Shiddiqin itu bertingkat-tingkat dan bermacam-macam. Karena itu dapat ditemukan pada masing-masing mereka itu jenis kelakuan dan ibadat yang benar, baik dan unggul, meskipun orang lain dalam jenis kelakuan dan ibadat yang lain adalah lebih sempurna dan lebih unggul daripada dia.

Karena pada mereka terjadi banyak ijtihad dan perselisihan, maka manusia pun berselisih pula tentang tarekat mereka. Sekelompok orang mencela kaum Sufi dan tasauf, dan berpendapat bahwa mereka ini adalah para pembuat bid'ah yang keluar dari Sunnah. Pendapat serupa itu dikutip dari sebagian imam-imam, sebagaimana telah diketahui, kemudian sekelompok ahli fiqih dan kalam mengikuti jejak mereka. Dan kelompok lain berlebihan mengenai kaum Sufi itu, dan menganggap bahwa mereka adalah manusia paling utama setelah para Nabi. Kedua kelompok yang ekstrem itu tercela. Yang benar ialah bahwa mereka kaum Sufi itu adalah orang-orang yang berijtihad dalam taat kepada Allah, sebagaimana halnya orang lain yang taat kepada Allah juga berijtihad. Di antara mereka ada yang mendahuli dalam kebenaran (sabiq), yaitu orang yang maju, yang menjadi dekat (kepada Allah) sesuai dengan ijtihadnya. Di antara mereka ada yang sedang (muqtashid), yang termasuk "golongan kanan" (ashhab al-yamin). Dan dalam masing-masing kelompok itu ada yang berijtihad kemudian membuat kekeliruan, di antaranya ada yang berdosa lalu bertaubat atau tidak bertaubat. Dan orang-orang yang mengaku tergolong kaum Sufi itu ada yang zalim kepada diri sendiri dan ingkar kepada Tuhannya. Di antara orang-orang yang mengaku diri kaum Sufi itu ada yang pembuat bid'ah dan kezindikan (penyelewengan keagamaan), yang menurut para ahli di kalangan ahli tasauf sendiri itu tidaklah termauk kaum Sufi, seperti al-hallaj, misalnya. Sebab kebanyakan para tokoh tarekat mengingkarinya dan tidak memasukkannya kedalam tarekat, seperti (pendapat) al-Junayd Muhammad dan lain-lain, menurut yang disebutkan oleh Syaikh Abu 'Abd-al-Rahman al-Sullami dalam (kitab) Thabaqat al-Shufiyah, juga disebutkan oleh al-hafizh Abu Bakr al-Khathib dalam (kitab) Tarikh Baghdad.

Begitulah asal-usul tasauf. Selanjutnya, tasauf itu bercabang-cabang dan bermacam-macam. Maka kaum Sufi ada tiga golongan: kaum Sufi hakikat, kaum Sufi rejeki dan kaum Sufi formalitas. Kaum Sufi hakikat ialah mereka yang telah kita gambarkan tadi. Sedangkan kaum Sufi rejeki ialah mereka yang menerima wakaf seperti (dalam) khanikah-khanikah (rumah-rumah pondokan Sufi). Mereka ini tidak harus dari kalangan hakikat, sebab hal ini sulit bagi mereka; dan para tokoh hakikat yang besar tidak terikat dengan ketentuan khanikah-khanikah, tetapi mereka diharuskan memenuhi tiga syarat: (pertama), kelurusan dalam syari’ah sehingga mereka itu menjalankan ibadah-ibadah wajib dan menjauhi hal-hal yang terlarang; (kedua), bertingkah laku sopan menurut ajaran kesopanan para ahli tarekat, yang dalam banyak hal kesopanan itu adalah juga kesopanan menurut syari’ah; sedangkan kesopanan bid'ah yang dibuat-buat maka tidak perlu diperhatikan; (ketiga), tidak dibenarkan seorangpun dari mereka terlalu memperhatikan kemewahan duniawi; jadi orang yang kerjanya hanya mengumpulkan harta, atau tidak berakhlak dengan akhlak yang terpuji dan tidak beradab dengan adab syari'ah, atau orang itu fasiq, maka baginya tidak ada hak untuk termasuk golongan tersebut.

Adapun kaum Sufi formalitas, mereka ialah orang-orang yang merasa cukup dengan sebutan (sebagai kaum Sufi) saja, sebab yang penting bagi mereka ialah pakaian dan sopan santun buatan saja, dan seterusnya. Mereka ini dalam Sufisme sama kedudukannya dengan orang yang merasa cukup dengan mengenakan baju uniform ahli ilmu (sarjana) atau ahli jihad, atau (merasa cukup) dengan (meniru) apapun ucapan dan tingkah laku mereka, sehingga orang yang tidak tahu tentang keadaan yang sebenarnya menyangka bahwa orang itu termasuk golongan tersebut, padahal tidak.7

Jadi, singkatnya, menurut Ibn Taymiyah, yaitu tokoh pemikir pembaharu yang disebut Fazlur Rahman sebagai pelopor neo-Sufisme, dalam tasauf ada unsur-unsur yang baik, yang merupakan hasil ijtihad yang tulus untuk taat kepada Allah dan mendekat kepada-Nya, selain juga pada sebagian kaum Sufi sendiri ada hal-hal yang merupakan hasil bid'ah. Hal ini sama saja dengan bidang kehidupan keagamaan lainnya di kalangan kaum Muslim: sebagian berasal dari Kitab dan Sunnah dengan kemungkinan terjadi ijtihad dalam pemahaman dan pengamalannya, sebagian lagi adalah hasil penambahan yang tidak sah kepada agama, yaitu bid'ah.

Masalah Dzikir

Semua bentuk Sufisme mengajarkan tentang dzikir (dzikr), yaitu ingat kepada Allah s.w.t. Dalam Al-Qur'an banyak gambaran tentang kaum beriman yang dikaitkan dengan dzikir, seperti, misalnya, bahwa mereka itu ialah "yang ingat kepada Allah baik ketika berdiri, ketika duduk dan ketika berada pada lambung-lambung mereka..." (Q., s. Alu 'Imran/3:191), dan bahwa mereka itu "menjadi tenang jiwanya karena ingat kepada Allah, dan sesungguhnya dengan ingat kepada Allah maka jiwa menjadi tenang" (Q., s. al-Ra'd/13:28). Juga diajarkan bahwa jika kita ingat kepada Allah, maka Allah pun "ingat" kepada kita. (Lihat Q., s. al-Baqarah/2:152). Lalu ada peringatan agar jangan sampai kita lupa akan Allah, sebab Allah pun akan membuat kita lupa akan diri kita sendiri, yakni, kita menjadi manusia yang tidak integral, tidak utuh. (Lihat Q., s. al-?asyr/59:19).

Sekarang, bagaimana kita mengingat Allah atau melakukan dzikir? Kaum Sufi mengajarkan berbagai "tehnik" berdzikir. Dengan sendirinya lafal "Allah" adalah yang paling banyak disebut dan digunakan. Demikian pula lafal-lafal lain, khususnya dari al-Asma' al-Husna seperti al-Gahfur, al-Wadud, al-Lathif, al-Qawciy, dan seterusnya, masing-masing dengan penghayatan mendalam akan maknanya seperti dijelaskan dalam buku-buku tentang nama-nama Allah itu.

Tetapi dalam pandangan kaum Sufi baru, sekurang-kurangnya menurut Ibn Taymiyah, dzikir dengan "nama tunggal" (ism mufrad) tidaklah dianjurkan. Menurut petunjuk Nabi s.a.w. sendiri, tegas Ibn Taymiyah, dzikir yang paling utama ialah kalimat lengkap La ilah-a illa 'l-Lah, karena di situ terkandung pernyataan lengkap, yaitu peniadaan jenis penyembahan kepada sesuatu apapun, kecuali kepada Allah sebagai satu-satunya yang boleh, berhak dan harus disembah. Tambahan lagi, menurut sebuah hadits sahih Nabi s.a.w. bersabda:

Sebaik-baik ucapan sesudah Al-Qur'an ada empat, dan semuanya juga berasal dari Al-Qur'an: Subhan-a 'l-Lah (Maha suci Allah), al-hamd-u li 'l-Lah (Segala puji bagi Allah), La ilah-a illa 'l-Lah (Tiada suatu Tuhan selain Allah - Tuhan yang sebenarnya), dan Allah-u Akbar (Allah Maha Besar), dan tidak mengapa bagimu mana saja dari kalimat-kalimat itu yang kau mulai (menyebutkannya).8

Dengan dzikir dalam kalimat lengkap dan bermakna (kalam-un tamm-un mufid-un) maka, menurut Ibn Taymiyah, seseorang lebih terjamin dari segi imannya, karena kalimat serupa itu adalah aktif, menegaskan makna dan sikap tertentu yang positif dan baik. Sedangkan dzikir dengan lafal tunggal belumlah tentu demikian. Lebih menarik lagi, Ibn Taymiyah kemudian memperluas lingkungan makna dan semangat dzikir kepada Allah itu sehingga meliputi semua aktifitas (bukan pasifitas) manusia yang membuatnya dekat kepada Allah seperti mempelajari ilmu dan mengajarkannya serta menjalankan amar ma'ruf nahiy munkar.9

Penutup

"Sufisme baru", "neo-Sufisme" atau "tasauf moderen", jika memang absah disebut demikian, adalah sebuah esoterisisme atau penghayatan keagamaan batini yang menghendaki hidup aktif dan terlibat dalam masalah-masalah kemasyarakatan. Sesekali menyingkirkan diri ('uzlah) mungkin ada baiknya, tapi jika hal itu dilakukan untuk menyegarkan kembali wawasan dan meluruskan pandangan, yang kemudian dijadikan titik tolak untuk pelibatan diri dan aktifitas segar lebih lanjut. Pengalaman metafisis pribadi seperti kasyf adalah absah, namun bersifat pribadi dan tidak berlaku untuk orang lain. Juga tidak boleh diklaim sebagai mesti benar, sebab kebenaran suatu pengalaman kasyf adalah sebanding dengan kebersihan hati yang bersangkutan. Pengalaman kasyf merupakan sumber kebahagiaan pribadi yang tidak ada taranya, namun hal itu tidak dapat disertai orang lain, atau orang lain tidak dapat disertakan di dalamnya. Sufisme baru mengharuskan praktek dan pengamalannya tetap dalam kontrol danlingkungan ajaran Kitab dan Sunnah. Tetapi Sufisme baru menganjurkan dibukanya peluang bagi penghayatan makna keagamaan dan pengalamannya yang lebih mendalam, yang tidak terbatas hanya kepada segi lahiri belaka.

Wa 'l-Lah-u a'lam-u bi al-shawab



Catatan:

1. Muhammad ibn Ibrahim al-Randi, Syarh al-hikam (Singapura & Jeddah: al-haramayn, t. t.), h. 11.

2. Fazlur Rahman, Islam (Chicago: The University of Chicago Press, 1979), h. 195.

3. Al-Syaikh Isma'il ibn 'Abd-al-Muththalib al-Asyi, penerjemah dan penafsir dalam bahasa Melayu, "Da' al-Qulub" dalam Jam' Jawami' al-Mushannafat (Singapura & Jeddah: al-haramayn, t. t.), hh. 111-112.

4. Al-Markaz al-Islami, Al-Ruhaniyyat al-Ijtimaiyah fi al-Islam, Jenewa, 1965, hh. 53-61.

5. Ibid., hh. 4-6.

6. Hadits-hadits ini dikutip dan dijelaskan oleh Jamal al-Din Ab– al-Faraj 'Abd-al-Rahman ibn al-Jawzi al-Baghdadi (wafat 597 H), Talbis Iblis (Kairo: Idarat al-Thiba'at al-Muniriyyah, 1368 H), hh. 219-220.??

7. Ibn Taymiyah, al-Shufiyah wa al-Fuqara', editing dan anotasi oleh al-Sayyid Muhammad Rasyid Ridla (Kairo: al-Manar, 1348 H), hh. 17-22.

8. Musshthafa hilmi, Ibn Taymiyah wa al-Tashawwuf (Iskandaria, Mesir: Dar al-Da'wah, 1403/1982), h. 515).

9. Ibid., hh. 515-516.