KITAB SUCI AL-QUR'AN: KEASLIANNYA DAN
RIWAYAT PEMBUKUANNYA
Oleh : Nurcholish Madjid
Event Artikel : KKA-72 (Jakarta, Maret 1993)
Diupdated
pada: Kamis 5 April 2001
Muqaddimah
Di seluruh dunia tidak seorang Muslim pun meragukan
keaslian dan keabsahan kitab sucinya. Menurut keyakinan
Islam, Al-Qur'an adalah pegangan hidup terakhir dari yang
diwahyukan Allah kepada umat manusia melalui dengan
perantaraan Nabi Muhammad s.a.w. sebagai penutup para
Nabi dan Rasul itu. Konsekwensi logisnyanya, Allah
sendiri yang akan memelihara keutuhan dan keabsahan kitab
suci-Nya itu. Sebab jika tidak demikian, dan kemudian
kitab suci itu dibiarkan mengalami kemungkinan perubahan,
maka klaimnya sebagai wahyu penutup menjadi rapuh, dan
fungsinya sebagai pegangan hidup umat manusia sampai
akhir zaman menjadi goyah. Allah menjanjikan hal itu
semua dalam firmannya: "Sungguh Kami telah
menurunkan peringatan (Al-Qur'an), dan Kamilah yang
menjaganya." (Q., s. al-Hijr/15:9).
Secara kenyataan lahiriah, Al-Qur'an memang tampil kepada
umat manusia sedemikian rupa sehingga benar-benar
memenuhi janji Tuhan bahwa kitab suci itu akan
terpelihara dari kemungkinan perubahan. Di seluruh dunia
Islam tidak satu pun kitab suci Al-Qur'an yang
diterbitkan berbeda dari yang lain, biarpun hanya sekedar
satu kata-kata. Dan setiap kali ada kejadian penulisan
Al-Qur'an yang menyalahi pedoman yang benar, tentu akan
segera diketahui dan dikoreksi.
Secara resminya, di negeri kita tanggung jawab itu
dilakukan oleh badan yang disebut Lajnah Pentashhi?
Al-Qur'an, di bawah Departemen Agama. Negeri-negeri Islam
yang lain pun mempunyai badan yang serupa, dengan
tanggung jawab yang kurang lebih sama.
Karena keseragaman yang mutlak pada semua mushhaf atau
penerbitan Al-Qur'an itu, maka kaum Muslim juga memiliki
ketenteraman batin yang tinggi berhadapan dengan kitab
sucinya. Mereka membacanya dengan keyakinan penuh bahwa
mereka melafalkan kalam Ilahi yang otentik dan sejati.
Ini memberi mereka pengalaman keagamaan yang tinggi,
sehingga membaca Al-Qur'an merupakan cara pendekatan diri
kepada Allah yang sangat baik, sebagai salah satu bentuk
dzikir. Dan rasa keagamaan yang dihasilkan akan semakin
tinggi jika disertai usaha memahami kandungan kalam Ilahi
itu dan ajaran-ajarannya.
Riwayat Pembukuan Al-Qur'an
Ada pandangan bahwa Al-Qur'an seperti yang ada sekarang
ini sesungguhnya sudah dikumpulkan oleh Nabi sendiri
dalam lembaran-lembaran tulisan tangan (manuskrip), dan
tidak semata-mata dipertaruhkan kepada hafalan para
Sahabat belaka. Berbagai riwayat menunjukkan bahwa Nabi
selalu memerintahkan Sahabat-sahabat tertentu untuk
menulis dan mencatat wahyu yang baru beliau terima. Maka
sejak di zaman Nabi itu pun sudah ada lembaran-lembaran
(shuhuf dari kitab suci yang dapat dibaca. Ini juga
diisyaratkan dalam Al-Qur'an sendiri, dengan firman
Allah: "Rasul dari Allah yang membaca
lembaran-lembaran suci, di dalamnya terdapat
perintah-perintah yang lurus (tegas kebenarannya)."
(Q., 98:2-3). Jadi digambarkan bahwa Nabi s.a.w.
"membacakan" perintah-perintah Allah dari
lembaran-lembaran suci (shuhuf-un muthahharahhhhhalam
pengertian apapun kata-kata "membacakan" di
situ (karena Nabi s.a.w. adalah seorang ummi yang tidak
pandai membaca dan menulis), namun firman itu menunjukkan
bahwa penulisan atau pencatatan wahyu Ilahi kepada Nabi
telah terjadi dan terwujud di zaman beliau sendiri, dan
tentunya penulisan atau pencatatan itu juga dibuat dengan
lengkap. Tinggal satu-satunya kemungkinan ialah bahwa
meskipun di zaman Nabi itu sudah ada tulisan atau catatan
Al-Qur'an, namun ia tidak disusun dan dibuat sehingga
membentuk sebuah buku terjilid atau mushhaf (rangkuman
catatan yang dibuat "antara dua kulit
[ghilaf])".
Sementara ada pandangan seperti di atas, dan umat Islam
di seluruh dunia meyakini bahwa Al-Qur'an seperti yang
ada pada kita sekarang ini adalah otentik dari Allah
s.w.t. melalui Rasulullah s.a.w., namun, cukup menarik,
semua riwayat mengatakan bahwa pembukuan kitab suci itu
tidak dimulai oleh Rasulullah s.a.w. sendiri, melainkan
oleh para Sahabat beliau, dalam hal ini khususnya Abu
Bakr, 'Umar dan 'Utsman, dengan 'Umar sebagai pemegang
peran yang paling menonjol. Sebuah riwayat melukiskan
demikian:
'Umar ibn al-Khaththab menanyakan tentang sebuah ayat
dari Kitab Allah. Setelah diberitahu bahwa ayat itu
pernah ada pada seseorang yang telah terbunuh dalam
perang Yamamah, 'Umar teriak dalam nada penyesalan:
"Inna li 'l-Lah-i wa inna ilaihi raji'un!"
'Umar pun memerintahkan agar semua (catatan) Al-Qur'an
dikumpulkan. Dialah yang pertamakali mengumpulkan
Al-Qur'an.1
Jika dalam riwayat itu disebutkan bahwa 'Umar adalah yang
pertamakali mengumpulkan Al-Qur'an ke dalam sebuah
mushhaf, yang dimaksud mungkin bukanlah ia yang pertama
kali melakukannya, baik sebagai pribadi maupun sebagai
khalifah, melainkan yang pertama punya gagasan atau
id mengenai hal itu dan mengusulkannya kepada Abu
Bakr sewaktu dia ini menjabat sebagai khalifah. Sebab
yang umum tercatat dalam riwayat pembukuan Al-Qur'an
ialah bahwa Abu Bakr merupakan tokoh yang dalam kekuasaan
politiknya (sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang
khalifah) pertamakali memerintahkan pengumpulan Al-Qur'an
menjadi sebuah mushhaf, berdasarkan usul dan pendapat
yang datang dari 'Umar tersebut.
Salah satu penuturan berkenaan dengan usaha pertama
membukukan Al-Qur'an ialah yang menyangkut tiga tokoh:
Abu Bakr, 'Umar dan Zaid ibn Tsabit. Seorang ulama
terkemuka, Ibn Hajar al-'Asqlani, menuturkan sebuah kisah
tentang hal itu sebagai berikut:
Zaid menceritakan, "Abu Bakr mengutus orang
memanggil aku pada saat ketika banyak orang terbunuh
dalam peperangan Yamamah. Lalu kudapati 'Umar ibn
al-Khaththab ada bersamanya. Kata Abu Bakr, ''Umar ini
baru saja datang kepadaku, dan mengatakan demikian:
"Dalam perang Yamamah kematian telah menimpa lebih
banyak pada qurra' (para pembaca Al-Qur'an), dan aku
kuatir kematian serupa juga akan menimpa pada mereka
dalam kejadian peperangan yang lain, dengan akibat banyak
bagian dari Al-Qur'an akan hilang. Karena itu aku
berpendapat bahwa Anda (Abu Bakr, selaku khalifah) harus
memerintahkan untuk mengumpulkan Al-Qur'an.'" Tambah
Abu Bakr, "Aku katakan kepada 'Umar, 'Bagaimana
mungkin kita melakukan sesuatu yang Nabi sendiri tidak
melakukannya?!' Dan 'Umar ini menjawab bahwa pekerjaan
itu bagaimanapun juga adalah baik. Dia ('Umar) tidak
henti-hentinya menolak keberatan saya sehingga Allah
membimbing saya ke arah usaha ini.'" Abu Bakr
melanjutkan lagi, "Zaid, engkau adalah orang muda
dan cerdas, dan kami tidak melihat cacad padamu. Engkau
pernah bertugas mencatat wahyu untuk Nabi, karena itu
carilah catatan-catatan Al-Qur'an itu semua, dan
kumpulkanlah." (Kata Zaid), Demi Allah, kalau
seandainya mereka itu memintaku memindahkan gunung tentu
tidak akan terasa lebih berat daripada yang mereka tuntut
dariku untuk mengumpulkan Al-Qur'an. Karena itu
kutanyakan bagaimana mungkin mereka melakukan sesuatu
yang Nabi sendiri tidak melakukannya, tapi Abu Bakr
menegaskan bahwa hal itu diperbolehkan. Dia tidak
henti-hentinya menolak keberatanku sampai akhirnya Allah
membimbingku ke arah usaha itu sebagaimana Dia telah
membimbing Abu Bakr dan 'Umar. Karena itu aku pun
mulailah mencari semua catatan-catatan Al-Qur'an dan
mengumpulkannya dari pelepah kurma, tulang pipih, dan
hafalan manusia. Aku temukan (catatan) ayat terakhir dari
surat al-Tawbah dimiliki oleh Abu Khuzaimah al-Anshari,
dan tidak kutemukan pada orang lain siapapun juga, (yaitu
ayat) "Sungguh telah datang kepadamu sekalian
seorang Rasul dari kalanganmu sendiri, yang merasakan
beratnya penderitaan yang menimpamu, sangat memperhatikan
keadaanmu, dan yang cinta kasih kepada kaum beriman. Maka
jika mereka berpaling, katakanlah kepada mereka,
'Cukuplah bagiku Allah (saja), yang tiada Tuhan selain
Dia, yang kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Tuhan
pemilik 'arasy (singgasana) yang agung.'"
Lembaran-lembaran kitab suci (shuhuf) yang dikerjakan
oleh Zaid demikian itu tetap tersimpan pada Abu Bakr.
Setelah ia meninggal, lembaran-lembaran itu dipindahkan
ke 'Umar yang kemudian setelah ia meninggal diserahkan
kepada anak perempuannya, hafshah (janda Nabi s.a.w.).2
Kisah tentang dua ayat terakhir dari surat al-Tawbah
(juga dikenal sebagai surat al-Bara'ah) yang menurut Zaid
"hilang" dan kemudian diketemukan pada seorang
sahabat Nabi bernama Abu Khuzaimah al-Anshari itu cukup
menarik. Sebab hal itu menggambarkan suatu contoh
peristiwa usaha sungguh-sungguh dari Zaid untuk mencari
verifikasi dari setiap ayat yang hendak ditulis dalam
mushhaf atau kodifikasinya. Sebab sesungguhnya Zaid
sendiri mengetahui adanya ayat itu secara hafalan, namun
ia tidak menemukan bukti tertulisnya. Sesuai dengan
metodologi yang ia gunakan untuk mengecek keabsahan dan
keotentikan ayat-ayat Al-Qur'an yang ia kumpulkan, ia
tidak mau menuliskan sesuatu kecuali jika tidak ada saksi
baginya, paling tidak dari dua orang. Metodologi ini
telah lebih dahulu ditetapkan oleh 'Umar, sebagaimana di
katakan oleh Ibn Hajar:
Berita bahwa 'Umar tidak akan menerima sesuatu untuk
dimasukkan kedalam mushhaf sampai adanya dua orang saksi
bersedia memberi kesaksian menunjukkan bahwa Zaid tidak
terima hanya karena sesuatu didapatinya telah tertulis.
Lebih jauh, dalam metodologi pendekatannya yang sangat
berhati-hati, dia menuntut agar orang yang mengaku
menerima (ayat) Al-Qur'an langsung dari lisan Nabi juga
memberi kesaksian mereka, meskipun Zaid sendiri
mengetahui bahwa ayat bersangkutan adalah bagian yang
otentik dari Al-Qur'an.3
Munculnya "Mushhaf 'Utsmani"
Teks dan pembukuan kitab suci Al-Qur'an yang kini ada di
tangan kita dikenal sebagai "Mushhaf 'Utsmani"
(untuk mudahnya kita terjemahkan menjadi "Kodifikasi
'Utsmani"). Proses terwujudnya Mushhaf 'Utsmani ini
adalah seperti yang dituturkan dalam Kitab al-Mashahif
demikian:
Hudzaifah ibn al-Yaman datang kepada (Khalifah) 'Utsman
langsung dari perbatasan Azerbaijan dan Armenia dimana,
setelah mempersatukan tentera dari Irak dan Syria, ia
mempunyai kesempatan untuk menyaksikan perbedaan setempat
berkenaan dengan Al-Qur'an. "Wahai Amir
al-Mu'minin," ia memberi saran, "tanganilah
umat ini sebelum mereka berselisih tentang Kitab Suci
seperti kaum Kristen dan Yahudi." 'Utsman mengirim
utusan ke hafshah meminta dipinjami shuhuf
lembaran-lembaran catatan Kitab Suci yang ia warisi dari
ayahandanya, 'Umar, berasal dari Ab Bakr, dan
sekarang ada di tangannya) "sehingga kami dapat
membuat salinannya ke dalam buku lain dan kemudian
dikembalikan." Dia (hafshah) mengirimkan shuhufnya
kepada 'Utsman yang memanggil Zaid, Sa'id ibn al-'Ash,
'Abd-al-Rahman ibn Harits ibn Hisyam dan 'Abd-Allah ibn
al-Zubair dan memerintahkan mereka untuk menyalin shuhuf?
itu ke beberapa naskah. Dan berbicara kepada sekelompok
orang (Islam dari suku) Quraisy, dia ('Utsman) berkata,
"Jika kalian berbeda pendapat dengan Zaid, maka
tulislah kata-kata (dari Al-Qur'an) itu menurut dialek
Quraisy karena ia diturunkan dalam lisan (dialek)
itu."
Setelah mereka selesai membuat salinan tersebut, 'Utsman
mengirim satu naskah ke masing-masing pusat terpenting
wilayah kekhalifahan dengan perintah bahwa semua bahan
tertulis tentang Al-Qur'an yang ada, baik yang berupa
lembaran-lembaran terpisah maupun yang berbentuk buku,
harus dibakar.
Al-Zuhri menambahkan, "Kharijah ibn Zaid mengatakan
kepada saya bahwa Zaid menceritakan, 'Saya menyadari
bahwa sebuah ayat dari surat al-Ahzab, yang pernah
kudengar Nabi membacanya, hilang. Saya menemukannya
dimiliki oleh Khuzaimah ibn Tsabit dan saya masukkan ayat
itu pada tempatnya yang wajar.'"4
Kemudian ada riwayat lain yang pada dasarnya sama dengan
yang di atas itu dengan beberapa informasi tambahan yang
menguatkannya, demikian:
Kami sedang duduk-dukuk di masjid dan 'Abd-Allah membaca
Al-Qur'an ketika hudzaifah datang dan berkata, "Ini
adalah bacaan menurut Ibn Umm 'Abd! (maksudnya,
'Abd-Allah). Dan ini bacaan menurut Abu Musa! Demi Allah,
kalau saya berhasil datang ke Amir al-Mu'minin ('Utsman,
di Madinah), saya akan usulkan agar ia menetapkan satu
cara bacaan Al-Qur'an!" 'Abd-Allah menjadi sangat
marah dan berkata keras kepada hudzaifah yang jatuh
terdiam.5
Yazid ibn Mu'awiyah sedang berada dalam masjid pada zaman
al-Walid ibn 'Uqbah, duduk dalam sebuah kelompok yang di
situ juga ada hudzaifah. Seorang pejabat berseru:
"Mereka yang mengikuti bacaan (Al-Qur'an) versi Abu
Musa hendaknya berkumpul di sudut dekat pintu Kindah! Dan
mereka yang mengikuti bacaan versi 'Abd-Allah, hendaknya
berkumpul dekat rumah 'Abd-Allah!" Bacaan mereka
terhadap ayat 196 surat al-Baqarah tidak sama...
hudzaifah menjadi sangat marah, matanya merah, dia pun
bangkit, menyingsingkan gamisnya sampai pinggang,
meskipun ia sedang berada dalam masjid. Ini terjadi pada
zaman 'Utsman. hudzaifah berteriak: "Apakah ada
orang yang mau pergi menemui Amir al-Mu'minin, atau aku
sendiri yang akan pergi?! Inilah yang telah terjadi pada
peristiwa sebelumnya!" Dia kemudian mendatangi
(kelompok-kelompok tersebut) dan duduk, lalu berkata,
"Allah telah mengutus Muhammad yang bersama para
pendukungnya berperang melawan mereka yang menentangnya
sampai akhirnya Allah memberi kemenangan kepada
agama-Nya. Allah memanggil Muhammad dan Islam berkembang.
Untuk menggantinya, Allah memilih Abu Bakr yang
memerintah selama Allah mengehendaki. Kemudian Allah
memanggilnya dan Islam berkembang cepat. Allah menunjuk
'Umar yang berdiri ditengah Islam. Kemudian Allah
memanggilnya. Islam berkembang sangat pesat. Selanjutnya
Allah memilih 'Utsman. Demi Allah! Islam berada dalam
puncak perkembangannya sehingga kamu sekalian segera akan
mengalahkan semua agama yang lain!"6
Rupanya perbedaan dalam bacaan Al-Qur'an itu tidak hanya
terjadi di tempat-tempat yang jauh dari Madinah, ibukota.
Di Madinah sendiri pun terjadi perbedaan itu, seperti
dituturkan dalam sebuah riwayat, demikian:
Pada waktu pemerintahan 'Utsman, para guru mengajarkan
(Al-Qur'an) menurut bacaan ini atau bacaan itu kepada
para muridnya. Kalau seorang murid menjumpai sebuah versi
bacaan dan dia tidak menemukan kesepakatan, mereka
melaporkan perbedaan itu kepada guru mereka. Mereka
kemudian membela versi bacaan mereka, sambil menyalahkan
versi yang lain sebagai bid'ah. Berita itu sampai ke
telinga 'Utsman yang kemudian bicara kepada orang banyak:
"Kalian ada di sini dekat aku, dan berselisih
tentang Al-Qur'an, dengan membacanya secara berbeda-beda.
Akibatnya, mereka yang berada jauh di pusat
wilayah-wilayah Islam akan lebih-lebih lagi berbeda satu
sama lain. Wahai para Sahabat Nabi! Bertindaklah dalam
kesatuan! Marilah berkumpul dan membuat sebuah imam
(naskah induk) untuk semua kaum Muslim!"7
Maka 'Utsman pun bertindak tegas. Seperti telah
dikemukakan, ia perintahkan semua jenis naskah pribadi
Al-Qur'an supaya dimusnahkan, dan semua orang harus
menyalin kitab suci menurut kitab induk yang telah
dibagi-bagikan ke beberapa pusat terpenting wilayah
Islam. Inilah asal mula adanya sebutan Mushhaf 'Utsmani
yang kini merupakan mushhaf bagi seluruh kaum Muslim,
tanpa kecuali. Bahkan, sangat menarik bahwa kaum
Syi'ahpun, yaitu kaum yang sebagian besar tidak begitu
suka kepada 'Utsman, juga mengakui keabsahan Mushhaf
'Utsmani ini, sehingga Al-Qur'an yang ada pada seluruh
umat Islam sejagad, sebagaimana telah dikemukakan, adalah
praktis sama dan tanpa perbedaan sedikitpun juga antara
satu dengan lainnya. Ini dinyatakan dengan jelas sekali
tidak saja dalam wujud kesamaan mushhaf kaum Syi'ah
dengan kaum Sunnah, juga dalam penjelasan yang termuat
dalam beberapa cetakan mushhaf terbitan Iran, sebagai
berikut:
(Ini adalah Al-Qur'an) dengan penulisan yang sangat bagus
dan jelas, yang diambil berasal dari cara penulisan (rasm
al-khathth) Al-Qur'an yang asli dan tua yang dikenal
dengan sebutan rasm al-mushhaf atau rasm 'Utsmani. Dan
cara baca (qira'at)-nya berasal dari yang paling mu'tabar
(absah), dari riwayat hafsh dan 'Ashim, yang dari jurusan
lain juga berasal dari Amir al-Mu'minin 'Ali (a.s.) dan
dari jalan ini berasal dari pribadi Nabi yang mulia
(s.a.w.). Dalam memberi nomor ayat diambil berasal dari
riwayat 'Abd-Allah ibn Habib al-Sullami, dari Imam 'Ali
ibn Abi Thalib (a.s.), sehingga jumlah ayat itu ialah
6236 ayat.8
Memang ada versi keterangan lain tentang bagaimana umat
Islam sampai kepada keadaan sekarang, yaitu memiliki
kitab suci yang mutlak sama di seluruh muka bumi. Salah
satu versi itu, seperti telah disinggung, mengatakan
bahwa hal itu terjadi karena sesungguhnya pengumpulan
Al-Qur'an dalam satu mushhaf sudah terjadi di masa
Rasulullah s.a.w. sendiri, atas perintah dan pengawasan
beliau, kemudian para Sahabat menyalin dan mencontohnya.
Penutup
Kesimpulan dari semua ini ialah hal yang sesungguhnya
sudah kita terima semua, yaitu bahwa kitab suci Islam,
Al-Qur'an, memiliki tingkat keotentikan dan keaslian yang
tidak dapat diragukan samasekali. Inilah keuntungan yang
luar biasa, yang kini dinikmati kaum Muslim di seluruh
muka bumi, berkat kebijakan yang berwawasan ke depan yang
amat jauh dari para tokoh Sahabat Nabi. Dan kenyataan
ini, bagi kita kaum Muslim, membuktikan kebenaran janji
Allah bahwa kitab suci-Nya itu akan selalu terpelihara
dari kemungkinan pengubahan oleh manusia.
Wa 'l-Lah-u a'lam-u bi al-shawab
Catatan:
1. Abu Bakr 'Abd-Allah ibn Abi Dawud, Kitab al-Mashahif,
ed. A. Jefferey (Kairo, 1936/1355), p. 10.
2. Ibn Hajar al-'Asqlani , Fathhal-Bari (13 jilid),
(Kairo, 1939/1348), jil. 9, h. 9.
3. Ibid., h. 11.
4. Kitab al-Mashahif, h. 10.
5. Ibid., h. 13
6. Ibid., h. 11
8. Keterangan itu, aslinya dalam bahasa Persia, termuat
dalam keterangan tambahan pada mushhaf Al-Qur'an
(Teheran: Mu'assasah Intisyarat Shabirin, 1405 H), h. 983
|