PENGALAMAN KETUHANAN MELALUI AMALAN KEAGAMAAN SEHARI-HARI: ISTIGHFAR, SYUKUR DAN DO'A
Oleh : Nurcholish Madjid
Event Artikel : KKA-87 (Jakarta, Juni 1994)
Diupdated pada: Kamis 5 April 2001

Muqaddimah

Jika kita renungkan lebih mendalam, dapat dikatakan bahwa tujuan paling penting amalan-amalan keagamaan adalah untuk mendidik kita agar memiliki pengalaman Ketuhanan dan menanamkan kesadaran Ketuhanan yang sedalam-dalamnya. Sebab dari kesadaran Ketuhanan itulah berpangkal, bersumber dan memancar seluruh sikap hidup yang benar, dan dengan kesadaran Ketuhanan itu pula manusia akan dibimbing ke arah kebajikan atau amal saleh yang membawa kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena itu disebutkan dalam Kitab Suci bahwa taqwa, yang salah satu maknanya ialah kesadaran Ketuhanan yang mendalam, merupakan asas bangunan kehidupan yang benar. Asas bangunan kehidupan selain taqwa adalah bagaikan fondasi gedung di tepi jurang yang goyah, yang kemudian runtuh "kedalam neraka Jahannam".1 Karena itu pula Nabi s.a.w. menegaskan bahwa "Yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam surga ialah taqwa kepada Allah dan budi pekerti luhur."2

Secara lebih khusus, perkataan "kesadaran Ketuhanan" kita maksudkan sebagai pengindonesiaan istilah "rabbaniyah" dan "ribbiyah" dalam al-Qur'an. Kedua-duanya dari akar kata "r-b-b" seperti yang menjadi akar kata "Rabb" (Tuhan, Pemelihara, Pangeran). Kata-kata "rabbaniyah" dalam tasrif atau derivasinya kita dapati dalam firman yang menegaskan bahwa misi para Utusan Allah ialah mendidik masyarakat agar menjadi kaum "rabbaniy–n", kaum yang berkesadaran Ketuhanan.3 Dan kata-kata "ribbiyah" kita dapati, juga dalam tasrif atau derivasinya, dalam sebuah firman yang menegaskan bahwa banyak dari kalangan para pengikut Utusan Allah yang terdiri dari kaum "ribbiy–n" (kaum yang berkesadaran Ketuhanan) bersedia berjuang di jalan Allah tanpa merasa putus asa karena kesulitan yang mereka hadapi, juga tanpa merasa lemah ataupun kehilangan semangat dan menjadi pasif.4 Kata-kata "rabbaniyah" dan "ribbiyah" adalah sama maksudnya dengan kata-kata Inggris "godly" yang juga diartikan sebagai ilahi . taqiy dan wara' .5

Jadi kesadaran Ketuhanan merupakan wujud terpenting dari nilai keagamaan yang amat sentral, yaitu taqwa. Dan mengingat bahwa al-Qur'an sendiri disebutkan sebagai petunjuk bagi mereka yang bertaqwa,6 maka dapat disimpulkan bahwa taqwa adalah "hasil akhir" seluruh amalan keagamaan. Dalam beberapa hal, taqwa sebagai tujuan akhir ibadat disebut langsung secara jelas dan tegas. Misalnya, bahwa tujuan perintah berpuasa ialah agar manusia menjadi bertaqwa,7 dan bahwa dalam ibadat berkurban binatang yang sampai kepada Allah bukanlah daging ataupun darah hewan kurban itu, melainkan taqwa dari orang yang mengurbankannya.8

Termasuk juga dalam rangka usaha menumbuhkan dan menanamkan kesadaran Ketuhanan ialah dzikir (dzikr), yaitu sikap selalu ingat kepada Allah. Dzikir disebutkan sebagai amalan keagamaan yang paling agung.9 Juga digambarkan bahwa kaum beriman yang berfikiran mendalam (ul– al-albab) ialah mereka yang senantiasa dzikir, bersikap selalu ingat kepada Allah, "pada saat berdiri, duduk atau terbaring, serta merenungkan kejadian langit dan bumi."10


Makna Pengalaman Ketuhanan

Pengalaman dan kesadaran Ketuhanan adalah juga pengalaman dan kesadaran keruhanian yang sangat tinggi. Dalam wujudnya yang sempurna, pengalaman Ketuhanan adalah yang dimaksud dengan "kasyf" dan "tajalli" sebagaimana terdapat dalam peristilahan kaum Sufi. Secara harfiah, "kasyf" dapat diterjemahkan sebagai "penyingkapan", yaitu pengalaman tersingkapnya tabir (hijab) pancaran Ilahi. Dalam keadaan seperti itu pancaran Ilahi menyatakan diri pada seseorang (tajalli, "teofani"-theophany),11 suatu pengalaman yang hanya diperoleh seseorang yang telah mencapai tingkat yang sangat tinggi dalam perkembangan kehidupan ruhaninya melalui proses olah ruhani (riyadlah r–haniyah) dalam ibadat-ibadat.

Pengalaman Ketuhanan menghendaki penghayatan kepada wujud Ilahi sebagai Yang Serba Dekat atau Maha Hadir. Ini adalah sisi lain dari pandangan Ketuhanan dalam agama, khususnya Islam, selain sisi Tuhan sebagai Yang Maha Tinggi (Ta'ala). Bahwa Allah adalah Wujud Yang Maha Dekat, dijelaskan dalam Kitab Suci: "Dan bila para hamba-Ku bertanya kepada engkau (Muhammad) tentang Aku, maka (jawablah) bahwa Aku adalah Maha Dekat. Aku menjawab seruan orang berseru, jika ia memang berseru kepada-Ku."12 Dan Allah sebagai Yang Maha Hadir, tanpa terikat oleh ruang dan waktu, dapat difahami dari penegasan-penegasan dalam Kitab Suci seperti, "Dia beserta kamu sekalian di manapun kamu berada, dan Allah Maha Melihat segala sesuatu yang kamu kerjakan,"13 "Milik Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadapkan wajahmu, di sanalah Wajah Allah,"14 "Kami (Allah) lebih dekat kepadanya (manusia) daripada urat lehernya,"15 "Ketahuilah olehmu sekalian bahwa Allah menjadi sekat antara seseorang dengan hatinya sendiri,"16 dan seterusnya.

Berbagai gambaran tentang dekatnya Tuhan kepada manusia itu juga menunjukkan bahwa sesungguhnya manusia tidak dapat menghindar dari Hadirat-Nya. Kesadaran akan Hadirat Ilahi itulah pokok perkara yang kita bicarakan di sini. Kesadaran akan Hadirat Ilahi itu sesungguhnya merupakan inti hakikat kemanusiaan. Sebab kesadaran itu merupakan kelanjutan hakikat primordial manusia, yaitu manusia sebagai makhluk dalam alam ruhani (yang tanpa ruang dan waktu) sebelum dilahirkan ke dunia. Yaitu hakikat kemanusiaan yang telah mengikat perjanjian primordial dengan Tuhan, berujud persaksian bahwa Allah (al-Lah, "al-Ilah")-yaitu Satu-satunya Dzat yang boleh dan wajib disembah-adalah Rabb, Pelindung, Pemilik dan Penguasanya.17

Karena itu manusia adalah makhluk Ketuhanan, dalam arti bahwa ia adalah makhluk yang menurut tabiat dan alam hakikatnya sendiri sejak masa primordialnya selalu mencari dan merindukan Tuhan. Inilah fitrah atau kejadian asal sucinya, dan dorongan alaminya untuk senantisa merindukan, mencari dan menemukan Tuhan itu disebut hanif. Karena itu seruan kepada manusia untuk menerima Agama Kebenaran disangkutkan dengan sifat dasar manusia yang hanif itu, sejalan dengan fitrahnya menurut "design" Tuhan yang tidak akan berubah-ubah. Juga ditegaskan bahwa sikap hanif sesuai dengan fitrah itulah agama yang benar, namun kebanyakan manusia tidak memahami.18 Karena dinyatakan oleh Sang Maha Penciptanya bahwa "design"-nya untuk manusia tidak akan berubah-ubah, maka fitrah manusia yang hanif itulah hakikat abadi manusia, kenyataannya yang "perennial." Dan Kebenaran yang mengajarkan sikap tunduk (din) kepada Tuhan dan pasrah (islam) kepada-Nya, yang merupakan kelanjutan fitrah yang hanif itu merupakan ajaran bijaksana atau kearifan yang abadi (hikmah khalidah).

Semuanya itu adalah demi kebahagiaan manusia, yaitu kebahagiaan karena "bertemu" dengan Tuhannya.19 Maka persoalan manusia ialah mencari jalan bagaimana ia menghubungkan kembali dirinya kepada Tuhan. Dan dengan menghubungkan kembali dirinya dengan Tuhan itulah ia akan dibimbingnya ke arah perilaku yang baik, termasuk dalam ucapan, dan dibimbingnya ke arah jalan hidup yang terpuji.20


Pengalaman Ketuhanan melalui Istighfar

Sikap tunduk (arti harfiah "din") dan pasrah (arti harfiah "islam") secara benar kepada Tuhan itu pada dasarnya adalah sikap keruhanian. Karena itu niat (al-niyah) adalah sentral sekali untuk nilai amalan seseorang, yang menentukan tidak saja tinggi-rendah nilai amalan itu, namun juga diterima atau ditolaknya oleh Tuhan (yaitu berhasil atau tidaknya menemukan pengalaman Ketuhanan dalam amalan itu). Perkara ini ditegaskan oleh Nabi s.a.w., dalam sebuah hadits yang amat terkenal.21 Tetapi semua itu juga menuntut pelembagaan nyata, dalam bentuk upacara-upacara ibadat, wirid-wirid dan ritus-ritus. Sikap tunduk dan pasrah (din dan islam) memerlukan institusionalisasi berupa amalan-amalan keagamaan. Rasanya tidak terbayang adanya sebuah agama yang tanpa ajaran tentang amalan-amalan itu. Maka demikian pula Agama Islam: ia mengajarkan berbagai amalan, yang semestinya seorang Muslim akan melakukannya. Dalam sistematisasinya oleh para 'ulama' (sarjana) Muslim sejak sekitar abad ketiga, amalan-amalan dikenali sebagai ada yang wajib, sunnah, mubah (muba?, "netral"), makruh dan haram. Karena itu sikap pasrah kepada Allah atau islam, seperti ditegaskan oleh Ibn Taymiyah, merangkum sekaligus sikap lahir dan batin. Kata Ibn Taymiyah:

Adapun pendapat orang bahwa pangkal sikap berserah diri sepenuhnya (kepada Allah, al-istislam) ialah al-islam secara lahir, maka sesungguhnya al-islam ialah sikap penuh pasrah (al-istislam) kepada Allah dan tunduk patuh (al-inqiyad) kepada-Nya, lahir dan batin. Inilah agama Islam (din al-islam) yang diridlai Allah sebagaimana dibuktikan dalam berbagai nas Kitab Suci dan Sunnah Nabi. Orang yang pasrah (aslama) secara lahirnya tanpa batinnya adalah munafik, yang hanya diterima lahirnya saja. Sebab dia (Nabi s.a.w.) tidaklah diperintahkan untuk membelah hati manusia.22

Di antara berbagai amalan yang diharapkan seorang Muslim melakukannya sehari-hari ialah istighfar, memohon ampun kepada Allah atas segala dosa. Perkataan "istighfar" sendiri tidak lain adalah kata benda-kerja (verbal noun, mashdar) dari karta kerja "astaghfiru" (saya mohon ampunan), yang merupakan permulaan formula permohonan ampun kepada Tuhan. Dalam al-Qur'an perintah memohon ampun tidak ditujukan hanya kepada kaum beriman pada umumnya, tetapi juga kepada Nabi s.a.w. sendiri. Ini sungguh sangat menarik, mengingat Nabi s.a.w. adalah seorang Utusan Allah yang terpelihara (ma'sh–m) dari dosa. Namun justru kepada beliau Allah banyak memerintahkan untuk mohon ampun atau istighfar. Salah satu perintah itu ialah yang diberikan sesudah keberhasilan Nabi s.a.w. membebaskan Makkah, seolah-olah perintah mohon ampun itu merupakan salah satu "follow up" pembebasan kota suci tempat kelahiran Nabi itu. Perintah itu termuat dalam surat al-Nashr ("Idza Ja'a"), yang terjemahnya kurang lebih adalah demikian:

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang,
1. Jika telah tiba kepada engkau (Muhammad) kemenangan Allah dan pembebasan-Nya,
2. Dan engkau lihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,
3. Maka ber-tasbih-lah engkau dengan memuji Tuhanmu, dan ber-istighfar-lah engkau kepada-Nya!
4. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima Taubat.

Maka jika pembebasan Makkah merupakan puncak keberhasilan Nabi melembagakan din dan islam dalam bentuk kekuasaan politik, kiranya dapat dibenarkan jika dikatakan bahwa ber-tasbih dan memuji Allah serta ber-istighfar memohon ampun kepada-Nya merupakan puncak pesan Tuhan untuk melembagakan ajaran din dan islam dalam bentuk amalan keagamaan sehari-hari. Mengingat bahwa perintah ber-tasbih dan ber-istighfar itu ditujukan mula-mula secara khusus kepada pribadi Nabi sendiri (kata pengganti nama "engkau" dalam firman tersebut), sementara Nabi adalah seorang yang ma'sh–m, maka dapat disimpulkan bahwa perintah itu lebih-lebih lagi berlaku untuk seluruh kaum beriman. Ini, tentu saja, di samping adanya perintah-perintah dalam Kitab Suci agar kaum beriman banyak melakukan istighfar, atau adanya gambaran-gambaran tentang kaum beriman sebagai sekelompok orang yang senantisa memohon ampun kepada Allah.23

Pengalaman Ketuhanan yang diperoleh seseorang melalui istighfar ialah, pertama, menanamkan kerendahan hati yang tulus, karena kesadaran bahwa tidak seorang pun yang bebas dari dosa. Kedua, sebagai konsekwensi langsung dari kerendahan hati itu, dengan banyak istighfar kita dididik dan dituntun untuk tidak mengklaim kesucian diri atau bersikap semuci-suci ("sok suci"), yang sikap itu sendiri merupakan suatu bentuk kesombongan. Kita harus senantiasa ingat akan asal-usul kita sebagai makhluk yang hina, yang diciptakan oleh Allah dari tanah, kemudian dari cairan sperma dan ovum yang menjijikkan, lalu menjadi janin-janin yang tidak berdaya dalam perut ibu kita, sesuai dengan peringatan Allah:

Kepunyaan Allah-lah segala sesuatu yang ada di seluruh langit maupun segala sesuatu yang ada di bumi, agar Dia membalas mereka yang berbuat jahat sesuai dengan yang diperbuatnya, dan agar Dia membalas kepada mereka yang berbuat baik sesuai dengan kebaikannya. Yaitu mereka yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, selain kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu adalah maha luas ampunan-Nya. Dia (Tuhan) lebih mengetahui tentang kamu sekalian (manusia), ketika Dia jadikan kamu dari tanah, dan ketika kamu berupa janin-janin dalam perut ibumu. Maka janganlah memandang dirimu suci! Dia (Tuhan) lebih mengetahui siapa (manusia) yang bertaqwa.24

Dalam Kitab Suci ternyata tidak hanya kaum beriman yang diingatkan untuk bersikap rendah hati, menjauhi sikap-sikap sok suci. Bahkan Nabi sendiripun, dalam bahasa yang lain dan khas untuk beliau, juga diingatkan untuk bersikap rendah hati, sebagai teladan bagi semua kaum beriman. Allah berfirman: "Ketahuilah olehmu (wahai Muhammad), bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan mohonlah ampun kepada-Nya!"25 Dan Nabi juga diperintahkan:

Katakanlah (hai Muhammad), "Aku bukanlah orang pertama dari kalangan para Rasul [Utusan Allah], dan aku tidak tahu apa yang akan diperbuat [yang terjadi, dari Allah] padaku, juga tidak padamu sekalian. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku, dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang membawa kejelasan."26

Di muka telah dikatakan bahwa Nabi s.a.w. adalah seorang yang ma'sh–m atau terpelihara dari dosa. Namun banyak sekali hadits yang menunjukkan bahwa salah satu ibadat beliau yang tidak pernah terlupakan ialah istighfar. Salah satu istighfar Nabi s.a.w. berbunyi: "Ya Allah, ampunilah aku akan kesalahanku, kebodohanku, sikap berlebihanku dalam urusanku, dan akan apa saja (kesalahan) yang Engkau lebih tahu daripadaku...."27

Jadi melalui istighfar kita dapat merasakan kehadiran Tuhan yang Maha Besar. Kita tidak berdaya di hadapan-Nya, dan kita juga dengan rendah hati menyadari bahwa kemampuan kita berbuat baik pun, jika ada, adalah karena kasih dan sayang-Nya. Kita kemudian menghayati bahwa perbuatan baik kita, jika pun ada, tidak lain adalah wujud kasih dan sayang Ilahi kepada kita. Dialah Yang Maha Kasih kepada manusia.28 Karena itu digambarkan bahwa "Para hamba Dia Yang Maha Kasih ialah mereka yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati."29


Pengalaman Ketuhanan melalui Syukur

Dalam surat al-Nashar yang telah dikutip di atas dapat dibaca bahwa Nabi s.a.w. diperintahkan untuk bertasbih dengan memuji Tuhannya. Memuji Tuhan adalah formula kesyukuran yang paling penting, yang kalimat lengkapnya membentuk hamdalah, yaitu ucapan "alhamdu lillah" (al-hamd-u li 'l-Lah-i, "segala puji bagi Allah"), dan mengucapkan atau membaca formula itu disebut "tahmid" (tahmid). Tasbih sendiri, yang formulanya ialah "subhanallah" (Subhan Allah, "Maha Suci Allah") dapat dipandang sebagai pendahulun logis bagi tahmid. Sebab tasbih mengandung makna pembebasan diri dari buruk sangka kepada Allah, atau "pembebasan" Allah dari buruk sangka kita. Karena itu sebenarnya tasbih memiliki semangat makna yang sama dengan istighfar. Sebab, dosa apa kiranya yang lebih membahayakan kesejahteran ruhani kita daripada dosa buruk sangka kepada Allah?! Sungguh, dalam Kitab Suci, buruk sangka kepada Allah disebutkan sebagai salah satu perangai orang-orang yang ingkar kepada-Nya (kafir).30 Jadi tasbih adalah sesungguhnya permohonan ampun kepada Allah atas dosa buruk sangka kita kepada-Nya.

Dan buruk sangka kepada Allah dapat mengancam kita setiap saat. Sumber buruk sangka kepada-Nya itu antara lain ialah ketidakmampun kita "memahami" Tuhan, karena sepintas lalu kita, misalnya, menerima "nasib" (Arab: nashib, artinya "pembagian") dari Tuhan yang menurut kita "tidak seharusnya" kita terima karena, misalnya, kita merasa telah "berbuat baik" dengan menjalani perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Jika benar demikian, maka sesungguhnya kita telah terjerembab ke dalam bisikan syetan yang paling berbahaya: pertama, kita merasa telah berbuat baik; kedua, kita merasa berhak "menagih" kepada Tuhan bahwa perbuatan baik kita itu "semestinya" mendapatkan balasan kebaikan pula; ketiga, karena itu kemudian kita "protes", atau "tidak terima" bahwa kita mengalami hal-hal yang "tidak cocok" dengan semestinya. Ini semua akan berujung kepada kesombongan (istikbar, takabbur) dan tinggi hati ('inad) yang merupakan dosa pertama dan paling berbahaya pada makhluk (dilambangkan dan diteladankan pada kesombongan dan ketinggian hati Iblis ketika menolak perintah Tuhan untuk mengakui keunggulan Adam dan bersujud kepadanya, suatu penuturan dalam Kitab Suci yang amat terkenal). Itu semua, sebagai dosa buruk sangka kepada Allah, harus dihapus dengan tasbih.

Maka tasbih merupakan pendahuluan bagi tahmid. Sebab tahmid, memuji Allah, yang sebenarnya, tidak akan terwujud tanpa terlebih dahulu membebaskan diri dari buruk sangka kepada-Nya itu. Tasbih adalah proses yang kita perlukan untuk menghapus pesimisme dan pandangan negatif kita kepada Allah. Tasbih adalah proses meratakan jalan agar tidak ada halangan berupa sikap-sikap tidak berpengharapan kepada Allah. Dan hanya setelah jalan rata serta bebas dari halangan itu maka kita dapat melanjutkan dengan tahmid, memuji Allah, menghayati kebaikan Allah melalui kasih dan sayang-Nya kepada kita.

Pengalaman Ketuhanan berupa penghayatan akan Tuhan sebagai Yang Maha Terpuji, Maha Baik, Maha Pengasih dan Maha Penyayang adalah bentuk religiositas yang amat berpengaruh kepada perolehan kebahagiaan seseorang. Di sini ada segi yang sangat halus dan mungkin sulit difahami, yaitu bahwa, menurut sebuah hadits qudsi (firman Allah lewat pengkalimatan oleh Nabi s.a.w.) yang mengatakan bahwa Allah mengikuti persangkaan hamba-Nya kepada-Nya: jika seorang hamba (manusia) mempunyai prasangka baik kepada-Nya, maka Dia pun akan menganugerahkan kebaikan kepada hamba itu.31 Dan persangkaan kepada Allah yang paling baik ialah persangkaan bahwa Dia adalah kasih kepada kita. Sebab Allah sendiri dalam Kitab Suci menfirmankan bahwa sifat kasih atau rahmah adalah sifat yang "dipastikan" atau "diwajibkan" atas Diri-Nya, dan bahwa sifat kasih itu meliputi atau mencakup segala sesuatu.32

Selanjutnya, pengalaman Ketuhanan melalui syukur akan membuat kita senantiasa berpengharapan kepada Allah, tanpa batas. Allah tampil kepada kita sebagai al-Shamad, Tempat Harapan. Secara kejiwaan, adanya harapan adalah pangkal kebahagiaan yang amat penting. Dan harapan itulah yang membuat manusia merasa lapang dalam hidup dan mampu bertahan terhadap tantangan dan pancaroba. Seperti dikatakan dalam sebuah ungkapan bijak, "Alangkah sempitnya hidup jika seandainya tidak karena lapangnya harapan". Dan "harapan" yang akan melapangkan hidup itu ialah "harapan" kepada Allah, Yang Maha Tinggi, yang Transendental. Harapan selain dari kepada Tuhan adalah dangkal dan bersifat jangka pendek, atau malah bernilai semu semata, yang banyak mengecoh manusia zaman modern ini. Martin Lings (Abu Bakr Sirhj ad-Dn), seorang Muslim Inggris ahli tasauf yang saleh mengatakan:

Sebenarnya, uangkapan bahwa "manusia tidak dapat hidup tanpa harapan" terbukti seluruhnya sangat benar. Hanya setelah sebagian besar manusia tidak lagi percaya kepada kemungkinan suatu kemajuan "vertikal", yaitu kemajuan pribadi menuju Yang Abadi dan Yang Mutlak, maka manusia mulai mengarahkan harapannya kepada "kemajuan" horizontal yang samar-samar untuk seluruh kemanusiaan menuju ke negara "sejahtera" duniawi yang banyak alasan untuk meragukannya tidak saja dari segi kemungkinannya (untuk terwujud) tapi juga dari segi apakah hal itu memang diinginkan - dengan asumsi bahwa hal itu akan merupakan hasil dari kecenderungan yang sekarang berlaku - dan yang bagaimanapun juga tidak akan ada orang yang bakal pernah bebas untuk menikmatinya dalam jangka waktu lebih dari beberapa tahun, yaitu masa singkat hidup manusia.33

Sikap besyukur tentu saja ditujukan kepada Allah, sebagaimana diisyaratkan dalam lafal hamdalah. Tetapi karena begitu banyak kebaikan yang kita sendiri peroleh dari bersyukur kepada Allah itu yang justru akan memberi kita kebahagiaan, maka jika kita bersyukur sesungguhnya kita bersyukur kepada diri sendiri. Allah tidak perlu kepada sikap bersyukur kita, sebagaimana Dia juga tidak memerlukan pujian kita.34 Seperti halnya keseluruhan agama sendiri bukanlah untuk "kepentingan" Allah melainkan untuk kepentingan manusia, maka demikian pula sikap bersyukur kepada-Nya.


Pengalaman Ketuhanan melalui Do'a

Mungkin ada baiknya jika pembahasan ini dimulai dengan menelaah sejenak arti kebahasaan (etimologis) perkataan Indonesia do'a. Sudah jelas ia dipinjam dari kata-kata Arab du'a' yang sesungguhnya satu akar dengan kata-kata Arab da'wah (Indonesia: dakwah). Kata-kata itu mempunyai arti kebahasaan sekitar "menyeru" atau "mengajak". Kata-kata Indonesia "dakwah" jelas berarti "ajakan", yaitu ajakan kepada jalan Allah, jalan kebaikan. Tetapi perkataan "da'wah" juga digunakan dalam makna "seruan", sama persis dengan perkataan "du'a'". Maka, seperti telah dikutip di atas, terdapat firman bahwa Allah akan menjawab seruan atau da'wah orang yang berseru (al-da'iy) jika ia berseru (da'a) kepada-Nya. Maka dari itu hendaknya manusia menjawab (seruan) Allah dan beriman kepada-Nya agar mereka menemukan jalan hidup yang benar.35 Bahkan juga difirmankan bahwa manusia harus menjawab Tuhan dan Rasul-Nya bila Dia menyeru (da'a) kepadanya ke arah sesuatu yang akan memberinya hidup sejati.36

Oleh karena itu berdo'a sesungguhnya lebih daripada sekedar memohon atau meminta sesuatu. Berdo'a adalah terutama untuk menyeru Allah, membuka komunikasi dengan Sang Maha Pencipta dan memelihara komunikasi itu. Berdo'a adalah untuk mengorientasikan diri kepada Allah, Asal dan Tujuan hidup manusia dan seluruh alam (sangkan-paraning hurip, sangkan-paraning dumadi-Inna li 'l-Lah-i wa inna ilayhi raji'–n).

Jadi berdo'a sangat erat terkait dengan keinsafan menyeluruh akan makna dan tujuan hidup. Nabi pun bersabda bahwa do'a adalah "otak" ibadat, yaitu pusat sarafnya.37 Dikatakan demikian karena do'a dalam arti seruan kepada Tuhan itu merupakan titik sentral kesadaran pertumbuhan kesadaran Ketuhanan.

Lebih jauh lagi, pengintensifan usaha menyeru Tuhan dan berkomunikasi dengan-Nya itu dianjurkan dengan menyeru kepada-Nya melalui nama-nama atau kualitas-kualitas-Nya. Inilah yang disebut "Nama-nama yang baik" (al-asma' al-husna), yaitu sekumpulan kata sifat (disebutkan sebanyak sembilanpuluh sembilan) yang menggambarkan kualitas-kualitas Allah Yang Maha Sempurna. Letak makna penting al-asma' al-husna sebagai "jendela" komunikasi dengan Tuhan ialah bahwa semua nama atau sifat itu, secara keseluruhan, membentuk "seluruh deretan" (the whole range) kualitas Ilahi. Kepada masing-masing "jendela" itu seseorang dapat mengidentikkan diri dengan kepentingan atau keperluan pribadinya, sehingga komunikasi kepada-Nya dapat menjadi sangat pribadi dan mendalam, karena itu juga intensif dan berfrekwensi tinggi. Maka melewati "jendela" suatu sifat Tuhan dalam al-asma' al-husna itu seseorang dapat berseru dan berkomunikasi kepada-Nya melalui identifikasi keperluannya sendiri yang immediate. Seruan atau do'a kepada Allah sebagai al-Rahman-al-Rahim, misalnya, adalah pengentalan kesadaran personal seseorang yang memerlukan rahmat atau kasih Allah. Formulanya ialah bacaan: "Wahai Yang Paling Kasih dari semua yang kasih, anugerahilah kami kasih-sayang-Mu".

Begitulah masing-masing dari kualitas Tuhan dalam deretan "Nama-nama yang baik" itu merupakan medium seruan atau do'a kepada Tuhan dengan titik berat pengalaman pribadi yang intensif dan pekat. Dan dari situ pula akan terbuka pintu pengalaman Ketuhanan yang amat pribadi, karena itu juga amat mendalam. Karena itu Allah mengajarkan agar kita menggunakan "Nama-nama yang baik" itu untuk berseru dan berdo'a kepada-Nya.38 Dari sudut pandang keruhanian inilah kita harus melihat bahwa do'a dalam arti "permohonan" kepada Allah akan suatu hal nyata yang kita perlukan dalam hidup (seperti, misalnya, mohon "rizki yang lapang") merupakan formula komunikasi kepada Tuhan dengan tekanan segi personal. Maka "permohonan" itu sesungguhnya tidaklah bernilai utama pada dirinya sendiri (meskipun, tentu saja, kita diajari untuk yakin bahwa "permohonan" kita insya' Allah akan dikabulkan). Nilai utama do'a permohonan itu tetap pada terjadinya komunikasi pribadi yang intim dan intensif dengan Sang Maha Pencipta, Sang Maha Pemberi Hidup, dan ini sendiri merupakan suatu hal yang tidak terkira harganya bagi rasa bahagia dan aman-sentosa.

Sudah dikemukakan bahwa pengalaman Ketuhanan adalah bagian dari nilai inti keagamaan, yaitu taqwa. Dan jika kita faham akan apa yang telah dicoba paparkan di atas, kita akan faham pula mengapa al-Qur'an menyebutkan bahwa orang yang bertaqwa akan selalu mendapat jalan keluar dari kesulitannya, dan akan mendapat apa yang dikehendakinya dari jurusan yang tidak terduga.39 Semuanya itu karena adanya tawfiq ("dukungan" untuk berhasil) dan 'inayah atau "providence" (santunan) Ilahi karena intensitas dan keintiman komunikasi kepada-Nya melalui do'a. Dan adanya komunikasi kepada Tuhan, melalui dialog dalam formula-formula do'a itulah inti pengalaman Ketuhanan lewat amalan harian berdo'a.


Penutup

Dari apa yang dicoba uraikan itu semua, semoga kiranya kita sedikit bertambah kesadaran akan makna amalan-amalan keagamaan harian kita. Disebabkan oleh rutinitas amalan-amalan itu yang membuat kita cenderung menerima dan memperlakukannya secara taken for granted, kita sering kehilangan pengertian akan makna mendalam di balik amalan-amalan keagamaan yang nampak sederhana itu. Dan Nabi s.a.w. pun sudah memberi gambaran tentang adanya dua kalimat yang ringan pada lisan namun berat dalam timbangan, yaitu kalimat "Subhana 'l-Lah al-'Azhim", "Subhana 'l-Lah wa bi-hamdi-hi" "Maha Suci Allah Yang Maha Agung" dan "Maha Suci Allah dengan segala pujian kepada-Nya"). Yaitu dua kalimat tasbih, yang pertama dengan pernyataan pengakuan akan Maha Agungnya Tuhan, dan yang kedua dengan pengakuan akan Maha Terpujinya Tuhan.

Sama halnya dengan setiap amalan yang bersifat ritual atau wirid, amalan istighfar, syukur dan do'a hanya akan memberi makna yang menjadi tujuannya jika kita tidak terpaku kepada segi-segi formalnya saja, tetapi menangkap isi dan semangatnya. Ini dapat diperoleh jika kita menyiapkan diri untuk menjalaninya selaku seorang hamba yang ingin "bertatap muka" (tawajjuh) kepada Sang Khaliq kita, dengan penuh baik sangka, harapan dan sikap percaya (iman, trust) kepada-Nya. Maka penting sekali kebersihan hati kita dan kelurusan kita dalam "memasang" niat.

Dalam rangka niat yang benar itu, kemurnian tujuan ibadat, yaitu kepada Allah semata dengan mengharapkan ridla-Nya, harus disertai dengan kerendahan hati dan pengakuan tidak berdaya di Hadirat-Nya. Makna ungkapan suci, La hawla wa la quwwata illa bi 'l-Lah-i l-'Aliy-i 'l-'Azhim (Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung) adalah tuntunan bagi kita ke arah kerendahan hati, tawadlu', khushy–' dan khudlu' di hadapan Yang Maha Kuasa itu.

Sementara itu, kita pengalaman Ketuhanan melalui amalan keagamaan harian akan memperteguh hati kita menempuh hidup, baik di dunia ini maupun dalam mempersiapkan diri untuk Akhirat. Pangkal keteguhan itu ialah adanya trust atau sikap percaya kepada Allah karena baik sangka, harapan dan pandangan positif kepada-Nya. Tanpa itu semua nilai iman dan islam tidak akan terwujud. Maka dari itu, melalui lisan Nabi Musa a.s., kita kaum yang beriman kepada Allah diingatkan untuk selalu menempuh hidup bersandar kepada-Nya (tawakal), kalau kita benar-benar pasrah (muslim–n) kepada-Nya: "Dan berkata Musa, 'Wahai kaumku! Kalau kamu memang benar-benar beriman kepada Allah, maka bertawakallah kepada-Nya, jika kamu memang benar-benar pasrah (muslim–n) kepada-Nya."40 Dan rasa percaya, tawakal dan pasrah kepada Tuhan, dalam kehidupan sekarang ini, harus mewujud nyata dalam budi pekerti yang luhur, akhlaq karimah, sebagai buah kemanusiaan dari taqwa, sesuai dengan penegasan Nabi s.a.w.: "Sebaik-baik al-islam (sikap pasrah kepada Allah) ialah bahwa engkau memberi makan (kepada kaum miskin) dan mengucapkan salam kepada yang kau kenal dan yang tidak kau kenal."41 Jadi akhirnya pengalaman Ketuhanan harus memancar dalam apresiasi kemanusiaan.