MESIANISME DALAM ISLAM DAN PERMASALAHANNYA
Oleh : Nurcholish Madjid
Event Artikel : KKA-89 (Jakarta, Agustus 1994)
Diupdated pada: Kamis 5 April 2001

Mukaddimah

Mesianisme adalah suatu faham menantikan datangnya seorang "messiah" yang bakal menyelamatkan umat manusia dan mewujudkan keadilan bagi penduduk bumi. Perkataan "messiah" sendiri berasal dari bahasa Ibrani, "messiah" yang merupakan padanan atau cognate perkataan Arab al-masih. Dari sudut tinjauan kesejarahan, mesianisme sebagai unsur faham keagamaan yang kuat muncul pertama-tama di kalangan bangsa Yahudi ketika mereka mengalami masa perbudakan ("era of captivity") di Babilonia pada sekitar tujuh abad sebelum Masehi. Perbudakan itu sendiri adalah akibat kekalahan mereka menghadapi serbuan tentera Nebukadnezar yang menghancurkan negeri mereka, Samaria dan Judea, di Kanaan (Palestina Selatan) dan Yerusalam hal-Quds, Bait al-Maqdis), ibukota mereka. Kaum Yahudi yang kalah itu kemudian diboyong ke lembah Mesopotamia untuk kerja paksa.

Dalam keadaan tak mampu menolong diri sendiri itu, kaum Yahudi secara putus asa menengadah ke langit, memohon pembebasan oleh Tuhan. Karena merasa sebagai "manusia pilihan" (the chosen people), mereka pun yakin bahwa Tuhan pasti mengabulkan do'a mereka, dan dari langit akan diturunkan seseorang yang diutus sebagai juru selamat. Utusan itu akan tampil sebagai seorang messiah, seorang pemimpin agama. Jadi lama kelamaan sikap jiwa menantikan juru selamat dari langit itu tumbuh menjadi permanen dalam bentuk kepercayaan keagamaan.

Sebetulnya perkataan "mesiah" atau, seperti jelas sekali dari padanannya dalam bahasa Arab, "al-masih" mengandung arti yang cukup sederhana. Secara harfiah, al-masih berarti "orang yang diusapi" (Inggris, "the annointed one"), seperti kaum Muslim dalam wu-–' "mengusap kepala (mash al-ra's-perhatikan perkataan Arab "mash" itu seperti tercantum dalam al-Qur'an pada ayat tentang wu-–').1 Pengusapan kepala ini di kalangan kaum Yahudi hatau Bani Isra'il) merupakan bagian penting dari upacara pengangkatan seseorang menjadi pemimpin agama. Maka setiap pemimpin atau pemuka agama, yang pada kaum Yahudi juga sekaligus penguasa duniawi atau raja (seperti Nabi Dawud, misalnya) adalah seorang "messiah".2 Karena itu, sebagai seorang yang berasal dari kalangan Bani Isra’il, Nabi Isa putera Maryam bergelar al-Masih, yang menandakan pengakuan masyarakat kepadanya sebagai seorang pemimpin agama terkemuka. Jadi gelar al-Masih itu, dalam sistem keagamaan yang berakar dalam kebiasaan kalangan Yahudi, sesungguhnya tidaklah secara khas hanya untuk Nabi Isa putera Maryam, melainkan juga untuk para pemimpin agama di kalangan kaum Yahudi saat itu; hanya saja Nabi Isa, seperti juga disebutkan dalam al-Qur'an, adalah al-Masih "par excellence" yang kemudian berkembang dengan maknanya yang khas Kristen.

Kembali ke bangsa Yahudi dalam masa pengasingan di Babilonia, yang sesungguhnya mereka nanti-nantikan dahulu itu ialah tampilnya seorang pemimpin keagamaan yang kuat dan mampu membebaskan mereka dari belenggu perbudakan yang mereka derita. Mereka kemudian memang dibebaskan, bukan oleh seorang "messiah", melainkan oleh bangsa Persia yang berperang melawan Babilonia, dan kaum Yahudi berjasa ikut mengalahkan Babilonia itu. Mengingatkan kita kepada bangsa Inggris yang setelah memang Perang Dunia Kedua membalas "jasa" kaum Zionis Yahudi dengan memberi kemudahan kepada mereka untuk kembali ke Palestina (dan mendirikan "Israel"), bangsa Persia masa dinasti Achaemenid juga mengizinkan kaum Yahudi kembali dari Babilonia ke Palestina. Maka tidak heran bahwa ada kalangan kaum Yahudi saat itu yang menganggap bahwa bangsa Persia itulah "juru selamat" atau Messiah mereka. Tapi karena yang memimpin kaum Yahudi kembali ke Palestina itu adalah seorang nabi mereka yang bernama 'Uzayr, maka dari kalangan mereka ada juga yang memandang bahwa 'Uzayr itulah "juru selamat" mereka. Al-Qur'an menyebutkan tokoh 'Uzayr ini telah secara keliru dipandang oleh sekelompok kaum Yahudi sebagai "anak Allah"-"ibn al-Lah"-dibaca, "ibn-u 'l-Lah".3


Mesianisme dalam Islam

Meskipun tidak terlalu merata, faham yang mesianistik juga ada dalam kalangan kaum Muslim. Tentang asal-usul faham ini para 'ulama' sejarah mengemukakan beberapa pandangan yang berbeda. Tapi umumnya berpendapat bahwa mesianisme dalam Islam berasal dari faham sekitar bakal turunnya Nabi Isa al-Masih dan Imam Mahdi hal-Imam al-Mahdi, artinya, pemimpin yang mendapat hidayah atau petunjuk Ilahi). Mengenai bakal turunnya Isa al-Masih (yang dari proses pengalihannya ke bahasa Yunani kita mendengar nama Yesus Kristus dalam bahasa kita), memang banyak kaum Muslim yang percaya, baik Sunni maupun Syi’i. Tetapi mengenai bakal turunnya Imam Mahdi, kepercayaan di kalangan kaum Syi’i lebih kuat dan merata daripada di kalangan kaum Sunni. Dan menurut para ahli, seperti seorang sarjana Syi'ah dari Amerika, Abdulaziz Sachedina, mesianisme Islam memang mewujud nyata dalam faham tentang bakal turunnya Imam Mahdi atau, singkatanya, dalam "Mahdisme".4

Sebutan seseorang sebagai al-mahdi (orang yang mendapat hidayah Ilahi) agaknya mula-mula muncul sebagai sebutan kehormatan, khususnya untuk para anggota Ahl al-Bayt (Keluarga Nabi) dari garis keturunan 'Ali ibn Abi Thalib dan Fathimah. Ada indikasi bahwa kedua putera 'Ali dan Fahimah, yaitu Hasan dan Husein hal-Hasan dan al-Husayn) sejak dari semula sudah digelari sebagai al-Mahdi. Ini cukup logis, baik dari sudut pandang kaum Sunni maupun, lebih-lebih lagi, kaum Syi’i, mengingat kedua cucunda Nabi itu dihormati sebagai tokoh-tokoh yang telah menempuh hidup di bawah bimbingan Allah.

Di kalangan kaum Syi’i, Mahdisme merupakan salah satu pandangan keagamaan yang sangat kuat, jauh lebih kuat daripada di kalangan kaum Sunni. Bahkan dapat dikatakan bahwa Mahdisme hampir-hampir identik dengan Syi'isme, baik kalangan Syi'ah Istna 'Asyariyah (juga disebut Syi'ah Ja'fariyah atau M–sawiyah) maupun kalangan Syi'ah Sab’iyah (lebih umum dikenal dengan sebutan Syi'ah Isma’iliyah). Namun ada yang melacak bahwa faham tentang Imam Mahdi itu asal mulanya timbul di kalangan kaum Kaysaniyah, yaitu para pengikut Muhammad ibn al-Hanafiyah, seorang keturunan 'Ali dari isterinya yang berasal dari wanita suku Bani Hanifah. (Maka cukup menarik untuk diperhatikan bahwa tokoh putera 'Ali ibn Abi halib yang bernama Muhammad ini tidak disebut "ibn 'Ali", melainkan "ibn al-Hanafiyah" yang merujuk kepada ibunya; dengan begitu ia ditegaskan sebagai bukan keturunan Nabi s.a.w., karena keturunan beliau hanya ada dari kerturunan puteri beliau, Fahimah). Setelah Muhammad ibn al-Hanafiyah meninggal, para pengikutnya percaya bahwa ia menghilang dalam persembunyian di Gunung Raw-ah di Arabia baratlaut, kawasan antara Yanb–' dan Madinah. Mereka percaya bahwa tokoh itu kelak akan muncul kembali untuk menegakkan keadilan di bumi, sebagai Imam Mahdi. Saat sekarang ini, dalam kepercayaan para pengikutnya, Muhammad ibn al-Hanafiyah adalah seorang Imam yang masih dalam persembunyian hal-Imam al-Gha'ib), sekaligus Imam yang dinantikan hal-Imam al-Muntahar).

Jika kita perhatikan lebih lanjut, sama dengan mesianisme kaum Yahudi dalam masa perbudakan dahulu, mesianisme dalam Islam seperti dianut oleh kaum Kaysaniyah tersebut adalah akibat situasi diri kelompok yang tertindas atau terzalimi. Pada kaum Kaysaniyah, kezaliman itu datang dari rezim Bani Umayyah di Damaskus yang memang secara tidak masuk akal menindas para keturunan 'Ali ibn Abi halib dan kelompok pengikutnya (disebut Syi'at Ali, artinya, "Partai Ali", sebagai bandingan bagi syi'at-syi'at yang lain, yang saat itu bermunculan). Muhammad ibn al-Hanafiyah mencoba menentang kezaliman kaum Umawi, namun gagal. Tetapi perjuangan itu dilanjutkan oleh para pengikutnya, kaum Kaysani, yang kemudian diteladani oleh kalangan para pendukung Syi'at 'Ali yang lain.

Yang patut diperhatikan di sini ialah bahwa kegigihan dan ketabahan mereka berjuang melawan kezaliman kaum Umawi itu ditopang oleh kepercayaan dan penantian yang mendalam kepada Imam Mahdi tadi. Pola perjuangan ini kelak memperoleh refleksi dan replikanya dalam banyak pergerakan politik dengan pimpinan seorang tokoh yang mengaku sebagai Imam Mahdi. Kegigihan dan keuletan kaum Mahdi di zaman dini Islam itu, khususnya sebagaimana hal itu berkembang di kalangan kaum Syi’i, telah membuahkan hasil, berupa tumbangnya rezim Bani Umayyah di Damaskus, melalui Revolusi 'Abbasiyah. (Hanya saja cukup ironis bagi kaum Syi’i, karena rezim 'Abbasiyah di Baghdad-seakan-akan membenarkan adagium bahwa revolusi sering memakan anaknya sendiri-akhirnya juga menindas para pengikut 'Ali itu dan menerapkan ideologi keagamaan yang kurang lebih sama dengan ideologi rezim Umawiyah).

Dari proses pertumbuhannya itu kita dapat melihat hubungan antara mesianisme dengan suatu bentuk tertentu gerakan politik. Mesianisme menjadi sumber kekuatan dan semangat perjuangan bagi kaum tertindas, karena dengan mesianisme itu mereka tidak pernah kehilangan harapan kepada suatu bentuk pertolongan dari langit. Oleh karena itu, dari suatu sudut tinjauan tertentu, mesianisme berkembang dan tumbuh kuat terutama di kalangan massa yang tertindas. Ia menjadi tumpuan harapan bagi mereka yang dengan amat sangat mendambakan kebebasan dan keadilan.

Di kalangan masyarakat Islam, segi itu membantu menjelaskan mengapa mesianisme muncul dan tumbuh dengan kuat pada kaum Syi’i. Pada mulanya, faham Syi'ah memiliki ciri khas kearaban, sebab memang para pendukung 'Ali terdiri dari orang-orang Muslim Arab sendiri, sementara kaum Muslim non-Arab, khususnya orang-orang Persi, belum banyak berarti baik dari segi jumlah maupun dari segi peran. Maka kecenderungan berorientasi kepada Ahl al-Bayt melawan kaum Umawi adalah terutama kuat di kalangan orang-orang Arab sendiri. Dan karena peran kaum Muslim non-Arab belum berarti, maka kecenderungan tersebut sebenarnya merupakan bagian dari konflik politik intern orang-orang Muslim Arab.

Tetapi ketika rezim Bani Umayyah makin kuat tampil dengan sistem kekuasaan politik yang banyak berwarnakan kearaban atau nasionalisme Arab antara lain dicerminkan dalam politik Arabisasi yang menghasilkan kenyataan sekarang bahwa hampir seluruh Timur Tengah menjadi Arab), maka sedikit demi sedikit kaum Muslim non-Arab yang mulai tumbuh dan berkembang mulai merasakan kezaliman pemerintahan Damaskus itu. Dalam usaha menggalang kekuatan untuk melawan dan kalau dapat menghancurkan Bani Umayyah, kaum Muslim non-Arab mencari dukungan kepemimpinan dari kalangan kaum Muslim Arab sendiri yang menjadi lawan rezim Arab Damaskus. Dan pilihan itu secara amat logis jatuh kepada kaum Syi’i yang dengan kuat berpusar sekitar wibawa dan ketokohan para keturunan Nabi s.a.w., yaitu Ahl al-Bayt.

Salah seorang tokoh besar Ahl al-Bayt itu ialah Ja'far al-hadiq yang tampil pada penghujung masa rezim Bani Umayyah dan permulaan rezim 'Abbasiyah (lahir 80 H./699 M dan wafat 148 H / 756 M). Masyarakat Islam non-Arab menokohkan Ja'far dalam perjuangan mereka melawan nasionalisme Arab rezim Damaskus, namun Ja'far tampil lebih sebagai seorang sarjana besar daripada lainnya, dan tidak tertarik kepada politik. Ia memusatkan perhatiannya kepada ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang agama, dan membaktikan hidupnya sebagai seorang imam atau pemimpin yang besar di bidang keilmuan dan keruhanian yang sangat berwibawa, baik di kalangan kaum Syi’i maupun kalangan kaum Sunni. Kaum Syi’i memandang Ja'far sebagai Imam yang keenam (setelah 'Ali ibn Abi halib, al-Husayn, al-Hasan, 'Ali ibn al-Husayn dan Muhammad al-Baqir), namun ia juga menjadi guru besar bagi banyak tokoh Islam bukan Syi’i yang pemikiran mereka berpengaruh secara mendalam pada umat Islam di seluruh dunia sampai hari ini. Salah seorang dari mereka ialah Ahmad al-Syaibani, guru Imam Syafi'i (yang mazdhabnya merupakan anutan masyarakat Muslim Indonesia).

Karena Ja'far al-hadiq tidak tertarik kepada politik, maka usaha mencari kepemimpinan perjuangan melawan rezim Damaskus dialihkan kepada putera pertamanya, Isma’il, yang tentunya akan menggantikan ayahandanya kalau saja dia tidak meninggal terlalu cepat (145 H/762 M), tiga tahun sebelum ayahandanya sendiri wafat. Segolongan penganut madzhab Syi'ah yang amat kuat berpegang kepada pandangan bahwa seorang Imam bukanlah manusia biasa melainkan memiliki kualitas Ilahi percaya bahwa Isma’il putera Ja'far itu adalah pemegang garis wasiat keimaman yang sah, dan imam selanjutnya harus diangkat dari keturunannya. Putera Isma’il yang mereka angkat sebagai imam (yang ketujuh) ialah Muhammad (ibn Isma’il). Setelah imam ini meningal, para pengikutnya terpecah. Sebagian berkepercayaan bahwa Muhammad ibn Isma’il itu adalah imam yang terakhir, tidak ada lagi imam sesudahnya. Imam ketujuh ini tidaklah mati, melainkan tetap hidup dan kelak di Hari Kiamat akan kembali ke dunia, sebagai jurus selamat. Jadi mereka juga menganut suatu jenis messianisme. Mereka inilah yang kemudian disebut golongan Syi'ah Isma’iliyah atau Syi'ah Tujuh. Menjelang akhir abad III Hijri (IX Masehi), mereka ini dipimpin oleh seorang tokoh yang bernama Hamdan Qarmah, karena mereka juga disebut kaum Qaramihah. Salah satu "reputasi" kaum Qaramihah ialah keberhasilan mereka menguasasi Arabia sebelah timur pada Teluk Persia, dan pernah menaklukkan Makkah, menghancurkan Ka'bah dan membawa lari batu hitam (hajar aswad) ke negeri mereka, dan dapat dikembalikan ke tempat asalnya di Ka'bah hanya setelah bertahuan-tahun mereka sembunyikan!

Pecahan lainnya dari cabang golongan Syi'ah ini ialah mereka yang menganggap bahwa Muhammad ibn Isma’il bukanlah imam terakhir, dan mereka mengangkat salah seorang puteranya sebagai pengganti dan penerus keimaman. Tapi karena para imam itu hidup dalam suasana kerahasiaan yang hampir sempurna, bahkan nama-nama mereka pun tidak diungkapkan, maka perbedaan antara kedua sub cabang Syi'ah ini tidaklah nampak nyata, sampai saatnya seorang Imam yang ada itu nampak ingin merealisasikan dan melembagakan keimamannya secara terbuka. Konflik terjadi, dan mereka saling menghancurkan. Kaum Qaramihah lama kelamaan sirna, namun lawannya dalam kelompok, yang kelak disebut kaum Fahimi hagaknya juga dimaksudkan sebagai nisbat kepada Fahimah puteri Nabi), berhasil menguasai Mesir dan memerintah dengan gemilang, dengan peninggalan yang monumental sampai sekarang, yaitu kota Kairo ("Kemenangan") dan Masjid-Universitas Al-Azhar (perkataan Arab "al-azhar" adalah bentuk maskulin dari kata sifat feminin "al-zahra'" [artinya, "yang besinar terang"], yaitu gelar kehormatan untuk Fahimah puteri Nabi; jadi masjid-universitas itu dinamakan demikian sebagai monumen untuk memperingati dan menghormati Fahimah selaku leluhur Ahl al-Bayt). Mesianisme sebagai gerakan politik juga efektif pada kaum Fahimi, dan tokoh pendiri Dinasti Fahimiyah di Mesir, 'Ubayd-al-Lah, juga bergelar sebagai al-Mahdi. Dan dari kalangan kaum Syi’i Fahimi ini kelak muncul kaum Druz (yang kini banyak tinggal di daerah pegunungan Libanon). Kelompok ini terbentuk pada masa kekuasaan seorang Khalifah Dinasti Fahimiyah yang bernama Hakim (386-411 H/996-1021 M). Karena suatu sebab yang tidak seluruhnya jelas-antara lain diduga karena sebagian kaum Isma’ili percaya bahwa Tuhan menitis pada manusia-kaum Druz ini mengembangkan faham yang akhirnya menuhankan Khalifah Hakim.

Kembali ke arus utama faham Syi'ah, kelompok pecahan yang lain, yang lebih besar dan lebih berpengaruh daripada kaum Isma’ili atau Syi'ah Tujuh, ialah kaum Ja'fari, atau M–sawi, atau Syi'ah Duabelas, yaitu mereka yang sekarang ini antara lain memerintah di Iran. Berbeda dari kaum Isma’ili, mereka ini tidak menganggap bahwa seorang iman harus dari garis keturunan Isma’il ibn Ja'far itu. Maka sesudah Ja'far selaku imam keenam dan karena kematian Isma’il selaku anak pertama, mereka mengangkat saudara seayah Isma’il, yaitu M–sa al-Kahim selaku Imam ketujuh (wafat 183 H/799-800 M). Dari situ mereka kemudian juga dikenal sebagai kaum Musawi atau Syi'ah M–sawiyah (seperti nisbat pemimpin revolusi Iran, al-Imam al-Khumayni al-M–sawi). Setelah M–sa, imam kedelapan ialah 'Ali al-Ri-a (wafat 202 H/817-18 M), kemudian digantikan oleh Muhammad al-Jawad sebagai imam kesembilan (wafat 220 H/835 M), disusul oleh 'Ali al-Hadi sebagai imam kesepuluh (wafat 254 H/868 M), lalu Hasan al-'Askari sebagai imam kesebelas (wafat 260 H/873-74 M), dan, sebagai imam keduabelas dan terakhir ialah Muhammad yang bergelar al-Mahdi (menghilang 260 H/873-74 M, hanya selang beberapa waktu setelah wafat ayahandanya, imam kesebelas tadi). Nama golongan ini sebagai Syi'ah Duabelas adalah karena kepercayaan mereka bahwa imam terakhir ialah imam yang keduabelas itu.

Menghilangnya imam yang keduabelas itu, menurut kaum Syi'ah ini, adalah masa kegaiban (ghaybah). Unsur doktrinal tentang ghaybah ini merupakan hal yang amat penting dalam sistem mesianisme kaum Syi’i.5


Penutup

Sebenarnya masih banyak sekali hal-hal penting yang harus dibicarakan tentang mesianisme atau Mahdisme dalam Islam. Mengingat pengaruhnya yang cukup besar mesianisme itu dalam masyarakat, maka patut sekali pembahasan dan pengetahuan yang lebih luas diusahakan. Namun semoga yang dapat digarap dalam makalah terbatas ini akan sedikit memadai sebagai pengantar kepada kajian yang lebih mendalam.

Yang jelas ialah bahwa Mahdisme merupakan suatu bentuk ekspresi keagamaan yang mengandung makna banyak segi. Berkali-kali dalam sejarah Islam (dan non Islam) muncul gerakan mesianisme dengan motif-motif dan tujuan-tujuan politik. Paling menonjol di antaranya dalam sejarah Islam-juga yang amat sukses-ialah gerakan politik dan pembaharuan keagamaan pimpinan Ibn T–mart (470-525 H/1077-1130 M) dari Dinasti Muwah(idin di Maghrib. Ibn T–mart mengaku dan menyatakan dirinya sebagai seorang al-Mahdi. Kemudian di Sudan pernah tampil seorang tokoh pahlawan bangsa yang juga mengaku sebagai al-Mahdi, yaitu Muhammad AHmad ibn 'Abd-al-Lah (1259-1303 H/1843-1885 M). Gerakan Mahdisme Sudan ini pun cukup berhasil, sekurang-kurangnya dikenang dan diakui oleh rakyat Sudan sebagai gerakan heorik dan patriotik.

Maka mengakhiri makalah pendek ini, kutipan dari sarjana modern Islam Syi'ah dari Amerika menyimpulkan Mahdisme atau mesianisme Islam demikian:

The idea of al-Mahdi has, as a result, enabled the Imamites to give full rein to their hagiographical imagination. In many cases, some of the traditions concerning the birth of the Imamite Mahdi and his reappearance reflect Shi'i piety, its hopes, disappointments, and aspirations for a prosperous future. For the believers in the Imamate of the twelfth Imam, neither his ghayba nor the delay in his reappearance as the only true Mahdi seemed unusual.6

(Id‚ tentang al-Mahdi, sebagai akibatnya, memungkinkan kaum Syi'ah Imamiyah untuk memberi kekuasaan penuh kepada imajinasi mereka tentang riwayat hidup orang-orang suci [hagiography]. Dalam banyak kasus, sebagian dari tradisi mengenai lahirnya Mahdi dari Syi'ah Imamiyah dan kemunculannya kembali merefleksikan kesalehan, harapan, kekecewaan, dan aspirasi golognan Syi'ah untuk suatu masa depan yang makmur. Bagi mereka yang berkepercayaan tentang keimaman dari imam yang keduabelas, tidaklah kegaibannya ataupun kemunculannya yang tertunda sebagai satu-satunya Mahdi yang sejati itu dipandang aneh).

Melihat itu semua, sama halnya dengan faham-faham yang lain, faham tentang Mahdi itu, apapun bentuknya, mempunyai fungsi tersendiri dalam masyarakat. Maka tidak heran bahwa kaum Muslim, diambil secara keseluruhan, banyak yang menganut Mahdisme, dan sebagian lagi yang juga sangat banyak tidak menganut ataupun mempercayainya. Masing-masing dengan argumennya sendiri, termasuk argumen dari sumber-sumber suci, sepeerti Hadits atau ayat suci al-Qur'an melalui suatu penafsiran atau interpretasi. Jadi Mahdisme adalah sesuatu yang diperselisihkan, alias khilafiyah. Karena itu sebaiknya, atau malah seharusnya, tidak perlu menjadi bahan pertentangan yang mengganggu Ukhuwwah Islamiyah.

Wallahu a'lam.