MESIANISME DALAM ISLAM DAN
PERMASALAHANNYA
Oleh : Nurcholish Madjid
Event Artikel : KKA-89 (Jakarta, Agustus 1994)
Diupdated
pada: Kamis 5 April 2001
Mukaddimah
Mesianisme adalah suatu faham menantikan datangnya
seorang "messiah" yang bakal menyelamatkan umat
manusia dan mewujudkan keadilan bagi penduduk bumi.
Perkataan "messiah" sendiri berasal dari bahasa
Ibrani, "messiah" yang merupakan padanan atau
cognate perkataan Arab al-masih. Dari sudut tinjauan
kesejarahan, mesianisme sebagai unsur faham keagamaan
yang kuat muncul pertama-tama di kalangan bangsa Yahudi
ketika mereka mengalami masa perbudakan ("era of
captivity") di Babilonia pada sekitar tujuh abad
sebelum Masehi. Perbudakan itu sendiri adalah akibat
kekalahan mereka menghadapi serbuan tentera Nebukadnezar
yang menghancurkan negeri mereka, Samaria dan Judea, di
Kanaan (Palestina Selatan) dan Yerusalam hal-Quds, Bait
al-Maqdis), ibukota mereka. Kaum Yahudi yang kalah itu
kemudian diboyong ke lembah Mesopotamia untuk kerja
paksa.
Dalam keadaan tak mampu menolong diri sendiri itu, kaum
Yahudi secara putus asa menengadah ke langit, memohon
pembebasan oleh Tuhan. Karena merasa sebagai
"manusia pilihan" (the chosen people), mereka
pun yakin bahwa Tuhan pasti mengabulkan do'a mereka, dan
dari langit akan diturunkan seseorang yang diutus sebagai
juru selamat. Utusan itu akan tampil sebagai seorang
messiah, seorang pemimpin agama. Jadi lama kelamaan sikap
jiwa menantikan juru selamat dari langit itu tumbuh
menjadi permanen dalam bentuk kepercayaan keagamaan.
Sebetulnya perkataan "mesiah" atau, seperti
jelas sekali dari padanannya dalam bahasa Arab,
"al-masih" mengandung arti yang cukup
sederhana. Secara harfiah, al-masih berarti "orang
yang diusapi" (Inggris, "the annointed
one"), seperti kaum Muslim dalam wu-'
"mengusap kepala (mash al-ra's-perhatikan perkataan
Arab "mash" itu seperti tercantum dalam
al-Qur'an pada ayat tentang wu-').1 Pengusapan
kepala ini di kalangan kaum Yahudi hatau Bani Isra'il)
merupakan bagian penting dari upacara pengangkatan
seseorang menjadi pemimpin agama. Maka setiap pemimpin
atau pemuka agama, yang pada kaum Yahudi juga sekaligus
penguasa duniawi atau raja (seperti Nabi Dawud, misalnya)
adalah seorang "messiah".2 Karena itu, sebagai
seorang yang berasal dari kalangan Bani Israil,
Nabi Isa putera Maryam bergelar al-Masih, yang menandakan
pengakuan masyarakat kepadanya sebagai seorang pemimpin
agama terkemuka. Jadi gelar al-Masih itu, dalam sistem
keagamaan yang berakar dalam kebiasaan kalangan Yahudi,
sesungguhnya tidaklah secara khas hanya untuk Nabi Isa
putera Maryam, melainkan juga untuk para pemimpin agama
di kalangan kaum Yahudi saat itu; hanya saja Nabi Isa,
seperti juga disebutkan dalam al-Qur'an, adalah al-Masih
"par excellence" yang kemudian berkembang
dengan maknanya yang khas Kristen.
Kembali ke bangsa Yahudi dalam masa
pengasingan di Babilonia, yang sesungguhnya mereka
nanti-nantikan dahulu itu ialah tampilnya seorang
pemimpin keagamaan yang kuat dan mampu membebaskan mereka
dari belenggu perbudakan yang mereka derita. Mereka
kemudian memang dibebaskan, bukan oleh seorang
"messiah", melainkan oleh bangsa Persia yang
berperang melawan Babilonia, dan kaum Yahudi berjasa ikut
mengalahkan Babilonia itu. Mengingatkan kita kepada
bangsa Inggris yang setelah memang Perang Dunia Kedua
membalas "jasa" kaum Zionis Yahudi dengan
memberi kemudahan kepada mereka untuk kembali ke
Palestina (dan mendirikan "Israel"), bangsa
Persia masa dinasti Achaemenid juga mengizinkan kaum
Yahudi kembali dari Babilonia ke Palestina. Maka tidak
heran bahwa ada kalangan kaum Yahudi saat itu yang
menganggap bahwa bangsa Persia itulah "juru
selamat" atau Messiah mereka. Tapi karena yang
memimpin kaum Yahudi kembali ke Palestina itu adalah
seorang nabi mereka yang bernama 'Uzayr, maka dari
kalangan mereka ada juga yang memandang bahwa 'Uzayr
itulah "juru selamat" mereka. Al-Qur'an
menyebutkan tokoh 'Uzayr ini telah secara keliru
dipandang oleh sekelompok kaum Yahudi sebagai "anak
Allah"-"ibn al-Lah"-dibaca, "ibn-u
'l-Lah".3
Mesianisme dalam Islam
Meskipun tidak terlalu merata, faham yang mesianistik
juga ada dalam kalangan kaum Muslim. Tentang asal-usul
faham ini para 'ulama' sejarah mengemukakan beberapa
pandangan yang berbeda. Tapi umumnya berpendapat bahwa
mesianisme dalam Islam berasal dari faham sekitar bakal
turunnya Nabi Isa al-Masih dan Imam Mahdi hal-Imam
al-Mahdi, artinya, pemimpin yang mendapat hidayah atau
petunjuk Ilahi). Mengenai bakal turunnya Isa al-Masih
(yang dari proses pengalihannya ke bahasa Yunani kita
mendengar nama Yesus Kristus dalam bahasa kita), memang
banyak kaum Muslim yang percaya, baik Sunni maupun
Syii. Tetapi mengenai bakal turunnya Imam Mahdi,
kepercayaan di kalangan kaum Syii lebih kuat dan
merata daripada di kalangan kaum Sunni. Dan menurut para
ahli, seperti seorang sarjana Syi'ah dari Amerika,
Abdulaziz Sachedina, mesianisme Islam memang mewujud
nyata dalam faham tentang bakal turunnya Imam Mahdi atau,
singkatanya, dalam "Mahdisme".4
Sebutan seseorang sebagai al-mahdi (orang yang mendapat
hidayah Ilahi) agaknya mula-mula muncul sebagai sebutan
kehormatan, khususnya untuk para anggota Ahl al-Bayt
(Keluarga Nabi) dari garis keturunan 'Ali ibn Abi Thalib
dan Fathimah. Ada indikasi bahwa kedua putera 'Ali dan
Fahimah, yaitu Hasan dan Husein hal-Hasan dan al-Husayn)
sejak dari semula sudah digelari sebagai al-Mahdi. Ini
cukup logis, baik dari sudut pandang kaum Sunni maupun,
lebih-lebih lagi, kaum Syii, mengingat kedua
cucunda Nabi itu dihormati sebagai tokoh-tokoh yang telah
menempuh hidup di bawah bimbingan Allah.
Di kalangan kaum Syii, Mahdisme merupakan salah
satu pandangan keagamaan yang sangat kuat, jauh lebih
kuat daripada di kalangan kaum Sunni. Bahkan dapat
dikatakan bahwa Mahdisme hampir-hampir identik dengan
Syi'isme, baik kalangan Syi'ah Istna 'Asyariyah (juga
disebut Syi'ah Ja'fariyah atau Msawiyah) maupun
kalangan Syi'ah Sabiyah (lebih umum dikenal dengan
sebutan Syi'ah Ismailiyah). Namun ada yang melacak
bahwa faham tentang Imam Mahdi itu asal mulanya timbul di
kalangan kaum Kaysaniyah, yaitu para pengikut Muhammad
ibn al-Hanafiyah, seorang keturunan 'Ali dari isterinya
yang berasal dari wanita suku Bani Hanifah. (Maka cukup
menarik untuk diperhatikan bahwa tokoh putera 'Ali ibn
Abi halib yang bernama Muhammad ini tidak disebut
"ibn 'Ali", melainkan "ibn
al-Hanafiyah" yang merujuk kepada ibunya; dengan
begitu ia ditegaskan sebagai bukan keturunan Nabi s.a.w.,
karena keturunan beliau hanya ada dari kerturunan puteri
beliau, Fahimah). Setelah Muhammad ibn al-Hanafiyah
meninggal, para pengikutnya percaya bahwa ia menghilang
dalam persembunyian di Gunung Raw-ah di Arabia baratlaut,
kawasan antara Yanb' dan Madinah. Mereka percaya
bahwa tokoh itu kelak akan muncul kembali untuk
menegakkan keadilan di bumi, sebagai Imam Mahdi. Saat
sekarang ini, dalam kepercayaan para pengikutnya,
Muhammad ibn al-Hanafiyah adalah seorang Imam yang masih
dalam persembunyian hal-Imam al-Gha'ib), sekaligus Imam
yang dinantikan hal-Imam al-Muntahar).
Jika kita perhatikan lebih lanjut, sama dengan mesianisme
kaum Yahudi dalam masa perbudakan dahulu, mesianisme
dalam Islam seperti dianut oleh kaum Kaysaniyah tersebut
adalah akibat situasi diri kelompok yang tertindas atau
terzalimi. Pada kaum Kaysaniyah, kezaliman itu datang
dari rezim Bani Umayyah di Damaskus yang memang secara
tidak masuk akal menindas para keturunan 'Ali ibn Abi
halib dan kelompok pengikutnya (disebut Syi'at Ali,
artinya, "Partai Ali", sebagai bandingan bagi
syi'at-syi'at yang lain, yang saat itu bermunculan).
Muhammad ibn al-Hanafiyah mencoba menentang kezaliman
kaum Umawi, namun gagal. Tetapi perjuangan itu
dilanjutkan oleh para pengikutnya, kaum Kaysani, yang
kemudian diteladani oleh kalangan para pendukung Syi'at
'Ali yang lain.
Yang patut diperhatikan di sini ialah bahwa kegigihan dan
ketabahan mereka berjuang melawan kezaliman kaum Umawi
itu ditopang oleh kepercayaan dan penantian yang mendalam
kepada Imam Mahdi tadi. Pola perjuangan ini kelak
memperoleh refleksi dan replikanya dalam banyak
pergerakan politik dengan pimpinan seorang tokoh yang
mengaku sebagai Imam Mahdi. Kegigihan dan keuletan kaum
Mahdi di zaman dini Islam itu, khususnya sebagaimana hal
itu berkembang di kalangan kaum Syii, telah
membuahkan hasil, berupa tumbangnya rezim Bani Umayyah di
Damaskus, melalui Revolusi 'Abbasiyah. (Hanya saja cukup
ironis bagi kaum Syii, karena rezim 'Abbasiyah di
Baghdad-seakan-akan membenarkan adagium bahwa revolusi
sering memakan anaknya sendiri-akhirnya juga menindas
para pengikut 'Ali itu dan menerapkan ideologi keagamaan
yang kurang lebih sama dengan ideologi rezim Umawiyah).
Dari proses pertumbuhannya itu kita dapat melihat
hubungan antara mesianisme dengan suatu bentuk tertentu
gerakan politik. Mesianisme menjadi sumber kekuatan dan
semangat perjuangan bagi kaum tertindas, karena dengan
mesianisme itu mereka tidak pernah kehilangan harapan
kepada suatu bentuk pertolongan dari langit. Oleh karena
itu, dari suatu sudut tinjauan tertentu, mesianisme
berkembang dan tumbuh kuat terutama di kalangan massa
yang tertindas. Ia menjadi tumpuan harapan bagi mereka
yang dengan amat sangat mendambakan kebebasan dan
keadilan.
Di kalangan masyarakat Islam, segi itu membantu
menjelaskan mengapa mesianisme muncul dan tumbuh dengan
kuat pada kaum Syii. Pada mulanya, faham Syi'ah
memiliki ciri khas kearaban, sebab memang para pendukung
'Ali terdiri dari orang-orang Muslim Arab sendiri,
sementara kaum Muslim non-Arab, khususnya orang-orang
Persi, belum banyak berarti baik dari segi jumlah maupun
dari segi peran. Maka kecenderungan berorientasi kepada
Ahl al-Bayt melawan kaum Umawi adalah terutama kuat di
kalangan orang-orang Arab sendiri. Dan karena peran kaum
Muslim non-Arab belum berarti, maka kecenderungan
tersebut sebenarnya merupakan bagian dari konflik politik
intern orang-orang Muslim Arab.
Tetapi ketika rezim Bani Umayyah makin kuat tampil dengan
sistem kekuasaan politik yang banyak berwarnakan kearaban
atau nasionalisme Arab antara lain dicerminkan dalam
politik Arabisasi yang menghasilkan kenyataan sekarang
bahwa hampir seluruh Timur Tengah menjadi Arab), maka
sedikit demi sedikit kaum Muslim non-Arab yang mulai
tumbuh dan berkembang mulai merasakan kezaliman
pemerintahan Damaskus itu. Dalam usaha menggalang
kekuatan untuk melawan dan kalau dapat menghancurkan Bani
Umayyah, kaum Muslim non-Arab mencari dukungan
kepemimpinan dari kalangan kaum Muslim Arab sendiri yang
menjadi lawan rezim Arab Damaskus. Dan pilihan itu secara
amat logis jatuh kepada kaum Syii yang dengan kuat
berpusar sekitar wibawa dan ketokohan para keturunan Nabi
s.a.w., yaitu Ahl al-Bayt.
Salah seorang tokoh besar Ahl al-Bayt itu ialah Ja'far
al-hadiq yang tampil pada penghujung masa rezim Bani
Umayyah dan permulaan rezim 'Abbasiyah (lahir 80 H./699 M
dan wafat 148 H / 756 M). Masyarakat Islam non-Arab
menokohkan Ja'far dalam perjuangan mereka melawan
nasionalisme Arab rezim Damaskus, namun Ja'far tampil
lebih sebagai seorang sarjana besar daripada lainnya, dan
tidak tertarik kepada politik. Ia memusatkan perhatiannya
kepada ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang agama,
dan membaktikan hidupnya sebagai seorang imam atau
pemimpin yang besar di bidang keilmuan dan keruhanian
yang sangat berwibawa, baik di kalangan kaum Syii
maupun kalangan kaum Sunni. Kaum Syii memandang
Ja'far sebagai Imam yang keenam (setelah 'Ali ibn Abi
halib, al-Husayn, al-Hasan, 'Ali ibn al-Husayn dan
Muhammad al-Baqir), namun ia juga menjadi guru besar bagi
banyak tokoh Islam bukan Syii yang pemikiran mereka
berpengaruh secara mendalam pada umat Islam di seluruh
dunia sampai hari ini. Salah seorang dari mereka ialah
Ahmad al-Syaibani, guru Imam Syafi'i (yang mazdhabnya
merupakan anutan masyarakat Muslim Indonesia).
Karena Ja'far al-hadiq tidak tertarik kepada politik,
maka usaha mencari kepemimpinan perjuangan melawan rezim
Damaskus dialihkan kepada putera pertamanya,
Ismail, yang tentunya akan menggantikan ayahandanya
kalau saja dia tidak meninggal terlalu cepat (145 H/762
M), tiga tahun sebelum ayahandanya sendiri wafat.
Segolongan penganut madzhab Syi'ah yang amat kuat
berpegang kepada pandangan bahwa seorang Imam bukanlah
manusia biasa melainkan memiliki kualitas Ilahi percaya
bahwa Ismail putera Ja'far itu adalah pemegang
garis wasiat keimaman yang sah, dan imam selanjutnya
harus diangkat dari keturunannya. Putera Ismail
yang mereka angkat sebagai imam (yang ketujuh) ialah
Muhammad (ibn Ismail). Setelah imam ini meningal,
para pengikutnya terpecah. Sebagian berkepercayaan bahwa
Muhammad ibn Ismail itu adalah imam yang terakhir,
tidak ada lagi imam sesudahnya. Imam ketujuh ini tidaklah
mati, melainkan tetap hidup dan kelak di Hari Kiamat akan
kembali ke dunia, sebagai jurus selamat. Jadi mereka juga
menganut suatu jenis messianisme. Mereka inilah yang
kemudian disebut golongan Syi'ah Ismailiyah atau
Syi'ah Tujuh. Menjelang akhir abad III Hijri (IX Masehi),
mereka ini dipimpin oleh seorang tokoh yang bernama
Hamdan Qarmah, karena mereka juga disebut kaum Qaramihah.
Salah satu "reputasi" kaum Qaramihah ialah
keberhasilan mereka menguasasi Arabia sebelah timur pada
Teluk Persia, dan pernah menaklukkan Makkah,
menghancurkan Ka'bah dan membawa lari batu hitam (hajar
aswad) ke negeri mereka, dan dapat dikembalikan ke tempat
asalnya di Ka'bah hanya setelah bertahuan-tahun mereka
sembunyikan!
Pecahan lainnya dari cabang golongan Syi'ah ini ialah
mereka yang menganggap bahwa Muhammad ibn Ismail
bukanlah imam terakhir, dan mereka mengangkat salah
seorang puteranya sebagai pengganti dan penerus keimaman.
Tapi karena para imam itu hidup dalam suasana kerahasiaan
yang hampir sempurna, bahkan nama-nama mereka pun tidak
diungkapkan, maka perbedaan antara kedua sub cabang
Syi'ah ini tidaklah nampak nyata, sampai saatnya seorang
Imam yang ada itu nampak ingin merealisasikan dan
melembagakan keimamannya secara terbuka. Konflik terjadi,
dan mereka saling menghancurkan. Kaum Qaramihah lama
kelamaan sirna, namun lawannya dalam kelompok, yang kelak
disebut kaum Fahimi hagaknya juga dimaksudkan sebagai
nisbat kepada Fahimah puteri Nabi), berhasil menguasai
Mesir dan memerintah dengan gemilang, dengan peninggalan
yang monumental sampai sekarang, yaitu kota Kairo
("Kemenangan") dan Masjid-Universitas Al-Azhar
(perkataan Arab "al-azhar" adalah bentuk
maskulin dari kata sifat feminin "al-zahra'"
[artinya, "yang besinar terang"], yaitu gelar
kehormatan untuk Fahimah puteri Nabi; jadi
masjid-universitas itu dinamakan demikian sebagai monumen
untuk memperingati dan menghormati Fahimah selaku leluhur
Ahl al-Bayt). Mesianisme sebagai gerakan politik juga
efektif pada kaum Fahimi, dan tokoh pendiri Dinasti
Fahimiyah di Mesir, 'Ubayd-al-Lah, juga bergelar sebagai
al-Mahdi. Dan dari kalangan kaum Syii Fahimi ini
kelak muncul kaum Druz (yang kini banyak tinggal di
daerah pegunungan Libanon). Kelompok ini terbentuk pada
masa kekuasaan seorang Khalifah Dinasti Fahimiyah yang
bernama Hakim (386-411 H/996-1021 M). Karena suatu sebab
yang tidak seluruhnya jelas-antara lain diduga karena
sebagian kaum Ismaili percaya bahwa Tuhan menitis
pada manusia-kaum Druz ini mengembangkan faham yang
akhirnya menuhankan Khalifah Hakim.
Kembali ke arus utama faham Syi'ah, kelompok pecahan yang
lain, yang lebih besar dan lebih berpengaruh daripada
kaum Ismaili atau Syi'ah Tujuh, ialah kaum Ja'fari,
atau Msawi, atau Syi'ah Duabelas, yaitu mereka yang
sekarang ini antara lain memerintah di Iran. Berbeda dari
kaum Ismaili, mereka ini tidak menganggap bahwa
seorang iman harus dari garis keturunan Ismail ibn
Ja'far itu. Maka sesudah Ja'far selaku imam keenam dan
karena kematian Ismail selaku anak pertama, mereka
mengangkat saudara seayah Ismail, yaitu Msa
al-Kahim selaku Imam ketujuh (wafat 183 H/799-800 M).
Dari situ mereka kemudian juga dikenal sebagai kaum
Musawi atau Syi'ah Msawiyah (seperti nisbat
pemimpin revolusi Iran, al-Imam al-Khumayni
al-Msawi). Setelah Msa, imam kedelapan ialah
'Ali al-Ri-a (wafat 202 H/817-18 M), kemudian digantikan
oleh Muhammad al-Jawad sebagai imam kesembilan (wafat 220
H/835 M), disusul oleh 'Ali al-Hadi sebagai imam
kesepuluh (wafat 254 H/868 M), lalu Hasan al-'Askari
sebagai imam kesebelas (wafat 260 H/873-74 M), dan,
sebagai imam keduabelas dan terakhir ialah Muhammad yang
bergelar al-Mahdi (menghilang 260 H/873-74 M, hanya
selang beberapa waktu setelah wafat ayahandanya, imam
kesebelas tadi). Nama golongan ini sebagai Syi'ah
Duabelas adalah karena kepercayaan mereka bahwa imam
terakhir ialah imam yang keduabelas itu.
Menghilangnya imam yang keduabelas itu, menurut kaum
Syi'ah ini, adalah masa kegaiban (ghaybah). Unsur
doktrinal tentang ghaybah ini merupakan hal yang amat
penting dalam sistem mesianisme kaum Syii.5
Penutup
Sebenarnya masih banyak sekali hal-hal penting yang harus
dibicarakan tentang mesianisme atau Mahdisme dalam Islam.
Mengingat pengaruhnya yang cukup besar mesianisme itu
dalam masyarakat, maka patut sekali pembahasan dan
pengetahuan yang lebih luas diusahakan. Namun semoga yang
dapat digarap dalam makalah terbatas ini akan sedikit
memadai sebagai pengantar kepada kajian yang lebih
mendalam.
Yang jelas ialah bahwa Mahdisme merupakan suatu bentuk
ekspresi keagamaan yang mengandung makna banyak segi.
Berkali-kali dalam sejarah Islam (dan non Islam) muncul
gerakan mesianisme dengan motif-motif dan tujuan-tujuan
politik. Paling menonjol di antaranya dalam sejarah
Islam-juga yang amat sukses-ialah gerakan politik dan
pembaharuan keagamaan pimpinan Ibn Tmart (470-525
H/1077-1130 M) dari Dinasti Muwah(idin di Maghrib. Ibn
Tmart mengaku dan menyatakan dirinya sebagai
seorang al-Mahdi. Kemudian di Sudan pernah tampil seorang
tokoh pahlawan bangsa yang juga mengaku sebagai al-Mahdi,
yaitu Muhammad AHmad ibn 'Abd-al-Lah (1259-1303
H/1843-1885 M). Gerakan Mahdisme Sudan ini pun cukup
berhasil, sekurang-kurangnya dikenang dan diakui oleh
rakyat Sudan sebagai gerakan heorik dan patriotik.
Maka mengakhiri makalah pendek ini, kutipan dari sarjana
modern Islam Syi'ah dari Amerika menyimpulkan Mahdisme
atau mesianisme Islam demikian:
The idea of al-Mahdi has, as a result, enabled the
Imamites to give full rein to their hagiographical
imagination. In many cases, some of the traditions
concerning the birth of the Imamite Mahdi and his
reappearance reflect Shi'i piety, its hopes,
disappointments, and aspirations for a prosperous future.
For the believers in the Imamate of the twelfth Imam,
neither his ghayba nor the delay in his reappearance as
the only true Mahdi seemed unusual.6
(Id tentang al-Mahdi, sebagai akibatnya,
memungkinkan kaum Syi'ah Imamiyah untuk memberi kekuasaan
penuh kepada imajinasi mereka tentang riwayat hidup
orang-orang suci [hagiography]. Dalam banyak kasus,
sebagian dari tradisi mengenai lahirnya Mahdi dari Syi'ah
Imamiyah dan kemunculannya kembali merefleksikan
kesalehan, harapan, kekecewaan, dan aspirasi golognan
Syi'ah untuk suatu masa depan yang makmur. Bagi mereka
yang berkepercayaan tentang keimaman dari imam yang
keduabelas, tidaklah kegaibannya ataupun kemunculannya
yang tertunda sebagai satu-satunya Mahdi yang sejati itu
dipandang aneh).
Melihat itu semua, sama halnya dengan faham-faham yang
lain, faham tentang Mahdi itu, apapun bentuknya,
mempunyai fungsi tersendiri dalam masyarakat. Maka tidak
heran bahwa kaum Muslim, diambil secara keseluruhan,
banyak yang menganut Mahdisme, dan sebagian lagi yang
juga sangat banyak tidak menganut ataupun mempercayainya.
Masing-masing dengan argumennya sendiri, termasuk argumen
dari sumber-sumber suci, sepeerti Hadits atau ayat suci
al-Qur'an melalui suatu penafsiran atau interpretasi.
Jadi Mahdisme adalah sesuatu yang diperselisihkan, alias
khilafiyah. Karena itu sebaiknya, atau malah seharusnya,
tidak perlu menjadi bahan pertentangan yang mengganggu
Ukhuwwah Islamiyah.
Wallahu a'lam.
|