MITOS, MITOLOGI DAN ISLAM
Oleh : Nurcholish Madjid
Event Artikel : KKA-84 (Jakarta, Maret 1994)
Diupdated
pada: Kamis 5 April 2001
Muqaddimah
Dalam percakapan sehari-hari, "mitos"
mengandung makna kepalsuan. Penyebutan tentang sesuatu
sebagai mitos akan mengisyaratkan perendahan nilainya
sehingga tidak perlu dipertahankan. Dalam pengertian ini,
mitos adalah semakna dengan takhayul (dari bahasa Arab
takhayyul, yakni pengkhayalan), dongeng atau superstisi.
Perkataan Inggris myth adalah dari perkataan Latin mythus
atau Yunani mythos. Secara perkamusan, mitos ditakrifkan
sebagai
Penuturan yang khayali belaka, yang biasanya melibatkan
tokoh-tokoh, tindakan-tindakan dan kejadian-kejadian
luar-alami (supernatural), dan meliputi beberapa ide umum
mengenai gejala alam atau sejarah. Secara wajar dibedakan
dari alegori dan legenda (yang mengandung arti suatu inti
kenyataan) tetapi juga sering digunakan secara samar
untuk meliputi pula penuturan apapun yang mempunyai unsur
khayali.1
Oleh karena itu pada abad yang lalu (XIX), ketika
rasionalisme mendominasi pandangan hidup orang Barat,
"mitos" difahami sebagai apapun yang
bertentangan dengan "kenyataan." Maka
penciptaan Adam, kepercayaan kepada makhluk halus (gaib),
juga sejarah jagad raya dan umat manusia sebagaimana
dituturkan oleh hampir setiap bangsa, semuanya dipandang
sebagai tidak lebih daripada "mitos." Dalam
bahasa Yunani, mythos berarti "dongeng,"
"cerita," "percakapan,"
"pembicaraan." Dipertentangkan dengan logos dan
kelak dengan historia, mythoshistoria, mythoang masuk ke
sana. Karena unsur-unsur ilmu pengetahuan rasional
(al-'ulm al-'aqliyah) itu datang dari Dunia Islam
(yang menurut mereka adalah "dunia kafir"),
apalagi memang sulit dicarikan kaitan organiknya dengan
ajaran gereja saat itu, maka pertikaian antara ilmu dan
agama di sana tidak sepenuhnya dapat dihindarkan.
Perbenturan antara gereja dan ilmu pengetahuan dari Islam
itu digambarkan dalam sebuah novel dokumenter, The Name
of the Rose oleh penulis terkenal, Umberto Eco. Novel itu
melibatkan seorang biarawan muda, Adso, dan gurunya,
William dari Ordo Fransiscan (ordo yang banyak
dipengaruhi oleh ajaran kesufian Islam). Mereka berdua
terlibat dalam dialog tentang isi sebuah perpustakaan
besar milik Ordo Benedictine di Melk, Italia, pada tahun
1327. Di dalamnya terdapat buku-buku beraneka ragam,
antara lain buku-buku ilmu pengetahuan dari Dunia Islam,
bahkan juga ada Kitab Suci al-Qur'an. Pemimpin biara
Benedictine itu menggolongkan buku-buku ilmu-pengetahuan,
bersama dengan al-Qur'an, ke dalam kelompok buku-buku
ajaran palsu, dan diletakkan dalam bagian yang memuat
buku-buku dongeng seperti cerita tentang binatang
unicorn, seekor binatang mitologis di kalangan
bangsa-bangsa Barat. Sikap memusuhi ilmu itu disalahkan
oleh William, dan percakapan mereka dituturkan kembali
oleh Adso, yang cuplikannya demikian:
...We perceived that the library had perhaps the largest
collection of copies of the apostle's book extant in
Christendom, and an immense quantity of commentaries on
the text....
As we made these and other observations, we arrived at
the south tower, which we had already approached the
night before. The S room of Yspania - windowless - led it
to an E room, and after we gradually went around the five
rooms of the tower, we came to the last, without other
passages, which bore a red L. Again reading backward, we
found LEONES.
"Leones: south. On our map we are in Africa, hic
shunt leones. And this explains why we have found so many
texts by infidel authors."
"And there are more," I said, rummaging in the
cases. "Canon of Avicenna, and this codex with the
beautiful calligraphy I don't recognize..."
"From the decorations I would say it is a Koran, but
unfortunately I have no Arabic."
"The Koran, the Bible of the infidels, a perverse
book..."
"A book containing a wisdom different from ours. But
you understand why they put it here, where the lions, the
monsters, are. This is why we saw that book on the
monstrous animals, where you also found the unicorn. This
area called LEONES contains the books that the creators
of the library considered books of falsehood. What's over
there?"
"They're in Latin, but from the Arabic. Ayyub
al-Ruhawi, a treatise on canine hydrophobia. And this is
a book of treasures. And this is De Aspectibus of
Alhazen...."
"You see, among monsters and falsehoods they have
also placed works of science from which Christians have
much to learn. That was the way they thought in the times
when the library was built..."3
Pertentangan antara ilmu dan iman di Barat
itu akhirnya diselesaikan dengan memisahkan antara
keduanya, mengikuti anggapan bahwa memang ada kebenaran
ganda (double truth) yang tidak dapat didamaikan, yaitu
kebenaran keimanan (agama) dan kebenaran keilmuan
(falsafah). Para pemikir Eropa saat itu mengaku bahwa
pandangan tentang kebenaran ganda tersebut berasal dari
Ibn Rusyd (Averroes). Ini, menurut pembuktian para ahli
sejarah pemikiran di Barat sendiri, merupakan
kesalahfahaman terhadap failasuf Muslim pembawa faham
rasionalitas ke Eropa itu. Sebab sesungguhnya Ibn Rusyd
tidaklah mengajarkan tentang dua kebenaran yang terpisah
dan tidak dapat didamaikan. Ia hanya mengajarkan, seiring
dengan pandangan yang umum di kalangan para failasuf
Muslim, bahwa kebenaran adalah tunggal adanya, namun
kemampuan manusia memahaminya berbeda-beda setaraf dengan
kapasitas inteleknya, yaitu pemahaman rasional (falsafi,
burhani) yang ada pada kaum khawas (al-khawass) dan
pemahaman retorik yang pada kaum awam (al-'awamm),
kemudian menengahi antara keduanya ialah pemahaman
dialektis pada kalangan para teolog (mutakallimun).4 Dan
di Eropa yang terjadi kemudian ialah pemisahan antara
dunia keimanan dan dunia keilmuan, yang merupakan salah
satu pangkal faham keduniawian (sekularisme) Barat
sekarang ini.5
Agama dan Mitologi
Walaupun begitu, banyak ahli mengatakan bahwa manusia,
baik sebagai perorangan maupun sebagai kolektifa, tidak
dapat hidup tanpa mitos atau mitologi. Pengertian
"mitos' seperti dikembangkan oleh para ilmuwan
sosial, khususnya para antropolog, memandangnya sebagai
sesuatu yang diperlukan manusia untuk mencari kejelasan
tentang alam lingkungannya, juga sejarah masa lampaunya.
Dalam pengertian ini, "mitos" menjadi semacam
"pelukisan" atas kenyataan-kenyataan (yang tak
terjangkau, baik relatif demikian ataupun mutlak) dalam
format yang disederhanakan sehingga terfahami dan
tertangkap oleh orang banyak. Sebab hanya melalui suatu
keterangan yang terfahami itu maka seseorang atau
masyarakat dapat mempunyai gambaran tentang letak dirinya
dalam susunan kosmis, kemudian berdasarkan gambaran itu
ia pun menjalani hidup dan melakukan kegiatan-kegiatan.
Dalam pengertian itu terkandung pandangan kenisbian
tafsiran tentang mitos. Yaitu, bahwa setiap mitos,
betapapun ia itu salah, mempunyai faedah dan kegunaannya
sendiri. Kaum fungsionalis di kalangan para ahli ilmu
sosial menganut pendapat serupa itu. Fungsi mitos dan
mitologi ialah untuk menyediakan rasa makna hidup yang
membuat orang bersangkutan tidak akan merasa bahwa
hidupnya akan sia-sia. Perasaan bahwa hidup ini berguna
dan bertujuan lebih tinggi daripada pengalaman keseharian
merupakan unsur amat penting dari kebahagiaan, juga
merupakan tonggak ketahanan fisik dan mental. Dengan
adanya keinsafan akan suatu makna dalam hidup seseorang
akan mampu bertahan dalam kepahitan pengalaman hidup
nyata, karena ia, berdasarkan makna hidup yang
diyakininya itu, selalu berpengharapan untuk masa depan.
Karena itu makna hidup adalah juga pangkal harkat dan
martabat manusia. Seperti dikatakan orang,
Harkat manusia terletak pada pandangan bahwa hidupnya itu
bagaimanapun juga berguna. Kita bersedia menanggung
kepedihan, deprivasi, kesedihan dan segala derita, jika
semuanya itu menunjang suatu tujuan, daripada memikul
beban hidup tak berarti. Lebih baik menderita daripada
tanpa makna.6
Dalam pengertian seperti itu, mitos
menjadi sama dengan perlambang, alegori (majaz) atau
simbol (rumz, jamak dari ramz).7 Sebab, sama dengan
mitos, simbol pun (seperti bendera negara atau
panji-panji), mewakili suatu kenyataan yang jauh lebih
besar dan kompleks, yang oleh simbol itu disederhanakan
sehingga mudah ditangkap maksud dan tujuannya, mungkin
juga nilainya. (Dalam suatu peperangan yang melibatkan
masalah hidup atau mati, seseorang dapat tergugah luar
biasa semangatnya hanya karena melihat bendera negara
atau golongannya dikibar-kibarkan). Karena itu, sama
dengan simbol, mitos tidak dapat diberi makna harfiah,
sebab setiap pemberian makna harfiah akan membuat
persoalan menjadi tidak masuk akal (misalnya, adalah
tidak masuk akal bahwa seseorang bersedia mati
semata-mata untuk atau demi secarik kain yang kebetulan
berwarna atau bergambar tertentu, yaitu bendera;
sebaliknya, adalah masuk akal bahwa ia bersedia mati
"di bawah" bendera berupa secarik kain itu,
karena ia memahami bahwa "di balik" bendera
atau lambang itu terdapat kenyataan atau makna yang besar
dan sangat berarti bagi diri dan masyarakatnya, seperti
negara atau agama).
Oleh karena menyangkut segi kenisbian, maka penafsiran
atas mitologi seperti ini melibatkan kesulitan tentang
siapa yang berhak memberinya makna. Sebab tidak mustahil
terdapat mitos, lambang atau simbol yang persis sama
namun mempunyai makna yang berbeda untuk orang yang
berbeda. Contoh yang paling gampang ialah bendera
kebangsaan kita, "sang merah putih," yang juga
merupakan bendera Monaco, atau, dengan sedikit variasi
(yaitu letak atas-bawahnya dibalik), warna merah dan
putih adalah juga bendera Polandia. Kita mempunyai
tafsiran sendiri tentang apa makna warna
"merah" dan apa pula makna warna
"putih", sebagaimana orang-orang Monaco (dan
Polandia) tentu mempunyai tafsiran mereka sendiri juga.
Dalam rangka kenisbian tadi, masing-masing penafsiran
adalah benar menurut konteks atau sudut pandang
(perspektif) yang bersangkutan, dengan akibat munculnya
prinsip tidak dibenarkannya ikut-campur oleh seseorang
kepada penafsiran orang lain. Tetapi dalam kenyataan
persoalan tidaklah semudah gambaran itu. Misalnya, narasi
tentang penciptaan manusia dalam kitab-kitab suci agama,
yang dalam hal ini agama-agama Semitik (Yahudi, Kristen
dan Islam) memiliki kesamaan struktur atau morfologi
penuturan yang sangat besar (Tuhan menciptakan manusia
pertama, yaitu Adam, dari tanah, kemudian diciptakan
isterinya pula, lalu dibiarkan hidup dalam surga penuh
kebahagiaan, namun dilarang mendekati sebuah pohon
tertentu dalam surga itu. Adam dan isterinya, Hawa',
melanggar larangan itu, dengan akibat mereka diusir dari
surga, dst.). Kita mengetahui bahwa antara ketiga agama
itu terdapat perbedaan penafsiran atas narasi penciptaan
manusia tersebut. Kaum Yahudi cenderung sangat harfiah,
sehingga mereka mempercayai bahwa manusia barulah
diciptakan sekitar enam ribu tahun yang lalu saja, atau
empat ribu tahun sebelum al-Masih (karena itu kalender
Yahudi yang dihitung sejak saat penciptaan manusia
menurut tafsiran mereka itu sekarang telah mencapai tahun
5754; seperti kalender Islam, kalender Yahudi juga dibuat
berdasarkan peredaran rembulan). Karena kaum Kristen juga
membaca Kitab Kejadian (Genesis) yang memuat narasi
penciptaan itu, maka di kalangan mereka juga terdapat
penganut tafsiran harfiah seperti kaum Yahudi (kalangan
Kristen ini di Amerika biasa disebut kaum Creationists
sebagai lawan para "ilmuwan" Darwinis yang
disebut kaum Evolutionists). Persoalan menjadi rumit
karena masing-masing mereka dengan tafsiran yang
berbeda-beda itu merasa paling benar dan mencap lainnya
sebagai salah atau sesat, lalu terlibat dalam pertikaian
yang sangat gawat.
Islam dan Mitos
Dengan bertolak dari pembahasan di atas itu, kita dapat
melanjutkan pemeriksaan tentang mitos dalam agama Islam.
Mereka yang tidak menerima ajaran Nabi Muhammad s.a.w.
ini barangkali memandang bahwa ajaran Islam, sebagian
atau seluruhnya, adalah tidak lebih daripada mitos-mitos.
Bahkan itulah pula tanggapan kaum Quraisy Makkah dahulu
terhadap seruan Nabi. Mereka menilai seruan itu sebagai
sama dengan dongeng-dongeng dari masa lalu.8
Jika benar manusia tidak mungkin hidup tanpa suatu bentuk
mitologi tertentu, dan jika dari antara perbendaharaan
kultural manusia agama adalah yang paling banyak
mengandung mitos-mitos, maka barangkali Islam pun tidak
bebas dari mitologi, sekurangnya dari sistem perlambangan
atau sombolisme. Tetapombolisme. Tetapi kajian-kajian
modern oleh orang-orang Barat sendiri-yaitu orang-orang
yang karena rasionalisme abad lalu terbiasa menanggap
semua agama adalah kumpulan mitologi-banyak yang dengan
jujur menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang paling
bebas dari mitologi.
Dalam penglihatan Frithjof Schuon (Muhammad 'Isa
Nuruddin), seorang failasuf Muslim dari Swiss, tampirnya
Islam berairnya Islam beraidang sebagai
"Tuhan") menjadi lebih penting daripada
ajarannya tentang pendekatan kepada Tuhan melalui amal
dan kegiatan. Maka sakramen, terutama dalam bentuk
Ekaristi, menjadi sangat sentral bagi pemeluk Kristen,
karena bagi mereka keselamatan diperoleh melalui dan
dalam diri atau tubuh Isa al-Masih.10
Karena itu dalam sistem peribadatan Islam tidak ada
mitologi atau sakramen, dan semua ibadat ditekankan
sebagai usaha pendekatan pribadi kepada Tuhan semata.
Seperti diamati oleh Andrew Rippin, ibadat dalam Islam
tidak mengandung mitologi, amythical dan juga
non-sacramental.11 Memang ada bentuk-bentuk ibadat yang
bersifat memperingati kejadian masa lalu (commemorative)
seperti haji dan kurban, namun intinya tetap pendekatan
pribadi kepada Tuhan. Sehubungan dengan ibadat berkurban
hewan itu diperingatkan bahwa "Tidak akan sampai
kepada Allah daging kurban itu, juga tidak darahnya,
tetapi akan sampai kepada-Nya taqwa dari kamu".12
Ibadat kurban dapat difahami sebagai simbolisasi usaha
pendekatan kepada Allah dengan melakukan pendekatan
kepada sesama manusia (memberi kaum miskin daging kurban
itu). Dan sebagai simbolisasi dari makna atau pesan yang
lebih besar, mendalam dan meluas, ibadat kurban adalah
sama nilainya dengan ibadat zakat fithrah pada akhir
puasa Ramadlan dan ucapan salam (lafal Assalamu 'alaikum)
pada akhir sembahyang (ditambah dengan simbolisasi
menengok ke kanan dan ke kiri). Semuanya mengandung arti
pendekatan kepada Tuhan (asal makna kata-kata
"kurban" yang dari bahasa Arab
"qurban" yang satu akar dengan istilah
keagamaan lain, "taqarrub"), dengan cara
pendekatan kepada sesama manusia.
Dalam perkara simbol dan simbolisasi
itu Islam tidaklah jauh berbeda dengan agama lain
manapun, jika memang dimungkinkan pemahaman simbol-simbol
itu menuju makna yang sama. Tetapi, seperti dikemukakan
di atas, Islam memiliki kelebihan atas yang lainnya
karena secara inheren mengandung kelengkapan untuk
memungkinkan pemahaman simbol-simbol itu secara jauh
lebih bebas dari mitologi.
Narasi tentang penciptaan Adam dan Hawa' sebagai misal,
kaum Muslim tidak saja menunjukkan kecenderungan
penafsiran yang berbeda dari kaum Yahudi dan Kristen.
Lebih dari itu, mereka mendapati-sepanjang pertanggalan
penciptaan tersebut-bahwa dalam al-Qur'an sendiri
terdapat keterangan bahwa waktu menurut Tuhan tidaklah
sama dengan waktu menurut manusia. Dalam al-Qur'an
disebutkan bahwa "sesungguhnya satu hari di sisi
Tuhanmu adalah seperti seribu tahun dari yang kamu
perhitungkan,"13 dan bahwa,
Allah yang menciptakan langit dan bumi beserta apa yang
ada antara keduanya dalam enam hari kemudian bertahta di
atas 'Arasy ("Singgasana"). Tidak ada bagimu
sekalian Pelindung, juga tidak Penolong, selain dari Dia.
Apakah kamu tidak fikirkan? Dia yang mengatur segala
perkara dari langit sampai ke bumi, kemudian ia (segala
perkara) itu naik kepada-Nya dalam masa sehari yang
ukurannya adalah seribu tahun dari yang kamu
perhitungkan. Itulah Dia (Tuhan) Yang Maha Tahu tentang
yang tersembunyi (gaib) dan yang nampak (syahadah), Yang
Maha Mulia dan Maha Kasih-Sayang.14
Dalam firman-firman yang menyebutkan bahwa sehari di sisi
Tuhan sama dengan seribu tahun pada manusia itu masih
juga terkandung kemungkinan perlambangan atau
simbolisasi, yaitu pernyataan "seribu" tahun
itu sendiri. Para penafsir al-Qur'an mengatakan bahwa
perkataan "seribu" di situ tidaklah musti
diartikan secara harfiah-karena ia hanyalah perlambang
atau majaz yang dapat berarti penggambaran waktu yang
sangat lama. Tafsiran ini ditunjang oleh keterangan lain
dalam Kitab Suci bahwa di Hari Kiamat "Para malaikat
dan Ruh Suci naik-menghadap-kepada-Nya dalam satu hari
yang ukurannya ialah limapuluh ribu tahun."15 Dalam
bahasa kontemporer, keterangan-keterangan al-Qur'an itu
memberi kemungkinan penafsiran sebagai petunjuk tentang
kenisbian waktu. Dengan begitu al-Qur'an memberi peluang
yang besar untuk pengembangan penafsiran dan pemahaman
keagamaan yang lebih bebas dari mitos dan mitologi. Atau,
kalaupun firman-firman suci harus tetap dipandang sebagai
lambang-lambang, namun semuanya itu dapat difahami dengan
cara-cara yang lebih masuk akal, sesuai dengan seruan
Kitab Suci sendiri agar kita senantiasa meggunakan akal
dan fikiran serta tidak mengikuti sesuatu yang kita tidak
mengerti.16
Persoalan yang cukup rumit ini menjadi perhatian Martin
Lings (Ab Bakr Siraj ad-Din), seorang sastrawan
Muslim Inggris yang semakin banyak tampil sebagai
failasuf Islam kontemporer. Bagaimana Martin Lings,
sebagai seorang Muslim Barat yang dibesarkan dalam
lingkungan Eropa Kristen, menafsirkan narasi penciptaan
Adam dan Hawa' yang sudah dibahas di atas, menarik untuk
ditelaah:
Does religion claim that pre-historic events can be dated
on the basis of a literal interpretation of figures
mentioned in the Old Testament, and that the approximate
date of creation itself is 4,000 B.C.? It could hardly
make such a claim, for "a thousand years in Thy
Sight are but as yesterday" and it is by no means
always clear, when days are mentioned in sacred texts,
whether they are human days or whether they are Divine
Days each consisting of "a thousand human
years", that is, a period which bears no comparison
with a human day.
Can science allow that the earth was created about 6,000
years ago? Clearly it cannot, for evidence of various
kinds shows beyond doubt that at that date the earth and
man were already old.
If science seems here to refute the letter of the
Scriptures, it does not refute their spirit, for even
apart from archaeological and geological evidence there
are directly spiritual reasons for preferring not to
insist on the letter of Genesis chronology....
But is it necessary for religion to maintain that at some
time in the past man was created in a state of surpassing
excellence, from which he has since fallen?
Without any doubt yes, for if the story of the Garden of
Eden cannot be taken literally, it cannot, on the other
hand, be taken as meaning the opposite of what it says.
The purpose of allegory is, after all, to convey truth,
not falsehood. Besides, it is not only Judaism,
Christianity and Islam which tell of the perfection of
Primordial Man and his subsequent fall. The same truth,
clothed in many different imageries, has come down to us
out of the prehistoric past in all parts of the world.17
Dalam sistem keimanan Islam juga ditegaskan sikap-sikap
yang tidak terlampau memitoskan Nabinya, Nabi Muhammad
s.a.w. Al-Qur'an menegaskan bahwa Nabi Muhammad adalah
manusia seperti kita juga, hanya saja beliau menerima
wahyu dari Allah tentang faham Ketuhanan Yang Maha Esa.18
Para Nabi pun ditegaskan sebagai tidak lain dari
orang-orang yang "memakan penganan dan berjalan di
pasar-pasar" (untuk berdagang atau berbelanja).19
Karena penegasan-penegasan serupa itulah maka Islam
terselamatkan dari ajaran dan praktek memitoskan Nabi
atau apalagi menyembahnya. Hal ini berbeda dengan
kebanyakan agama yang akhirnya berkembang menjadi ajaran
yang mengagungkan dan menyembah tokoh yang mendirikannya.
Jika demikian sikap terhadap Rasulullah s.a.w. dan para
Nabi, maka apalagi terhadap sesama manusia biasa,
termasuk kepada para pemimpin agama. Tentu saja Nabi
adalah contoh dan teladan yang harus ditiru. Maka
demikian pula orang-orang saleh dan para ulama yang
disebutkan sebagai pewaris para Nabi itu, jika memang
mereka memenuhi syarat sebagai teladan. Namun itu semua
harus berlangsung tanpa pemitosan, dan harus disertai
kesadaran penuh tentang nilai kemanusiaan mereka yang
nisbi. Berkenaan dengan ini, patut sekali kita renungkan
penegasan yang diberikan oleh Sayyid Quthub:
Dalam Islam tidak dikenal kependetaan, dan tidak pula ada
penengah antara hamba dan Khaliknya. Setiap orang Muslim
di penjuru bumi dan di hamparan laut dapat berhubungan
sendiri dengan Tuhannya, tanpa pendeta dan tanpa orang
suci. Seorang pemimpin Muslim tidaklah menyandarkan
wewenangnya pada "hak Ilahi", juga tidak pada
peran penengah antara Allah dan manusia, melainkan
pelaksanaan kekuasaannya itu bersandar kepada masyarakat
Islam, sebagaimana kekuasaan itu sendiri bersandar kepada
kemampuan melaksanakan agama yang setiap orang mempunyai
hak yang sama dalam memahami dan melaksakannya jika
mereka memahaminya, dan semua berhukum kepadanya secara
sama.
Jadi dalam Islam tidak ada "petugas keagamaan"
menurut pengertian yang dipahami dalam berbagai agama
lain, yang pelaksanaan suatu upacara keagamaan tidak sah
jika tidak dihadiri "petugas keagamaan" itu.
Dalam Islam hanya ada 'ulama' (sarjana) agama, dan
seorang sarjana agama tidak mempunyai hak khusus atas
perilaku kaum Muslim. Seorang penguasa pun tidak berhak
atas perilaku kaum Muslim itu selain melaksanakan
syari'at yang ia sendiri tidak mengada-adakannya,
melainkan karena diwajibkan oleh Allah atas semua orang.
Sedangkan di Akhirat, maka semuanya menuju kepada Allah:
"Dan setiap orang datang kepada-Nya pada Hari Kiamat
sebagai pribadi"-(Q., 19:25).20
Berkenaan dengan masalah mitos dan mitologi ini, sekali
lagi kita hendak kemukakan perkembangan pemikiran di
Barat tentang Islam dan Nabinya. Karena sejarah
permusuhan yang cukup lama, harus diakui bahwa Barat
cenderung untuk menampilkan pandangan yang amat negatif
tentang Islam, kaum Muslim, dan Nabi Muhammad s.a.w.
Tetapi terdapat pula kalangan mereka yang cukup jujur
(atau berusaha keras untuk jujur, berhasil atau gagal)
yang memandang Islam, khususnya Nabinya, secara lebih
baik. Menurut Maxim Rodinson, banyak pemikir Barat yang
sekalipun mungkin tidak suka kepada Nabi Muhammad, namun
tidak jarang masih menunjukkan kekaguman mereka kepada
Nabi kaum Muslim itu. Comte de Boulainvilliers, pada awal
abad kedelapan belas, menyanjung Nabi Muhammad sebagai
seorang pemikir bebas (freethinker, vrijdenker [?!]),
pencipta agama rasional. Voltaire menggunakan nama Nabi
Muhammad sebagai senjata melawan agama Kristen dengan
mengatakan bahwa kalaupun Nabi itu adalah seorang
pendusta namun ia berhasil memimpin rakyatnya melakukan
penaklukan yang agung dengan bantuan cerita-cerita khayal
(?!). Menurut Rodinson, abad kedelapan belas secara
keseluruhan memandang Nabi Muhammad sebagai pengajar
agama yang alami, wajar dan masuk akal (rasional), yang
jauh terbebaskan dari "kegilaan Salib." Thomas
Carlyle menempatkan pribadi Nabi Muhammad yang agung itu
dalam deretan para pahlawan kemanusiaan yang menyinarkan
cahaya Ilahi. Hubert Grimme, pada akhir abad kesembilan
belas, memandang Nabi Muhammad sebagai seorang sosialis
yang berhasil melakukan reformasi fiskal dan sosial
dengan "mitologi" yang sangat minimal.
Sastrawan besar Jerman, Gothe, mempersembahkan
syair yang agung kepada Nabi Muhammad, dengan
menggambarkannya sebagai seorang genius yang bagaikan
sungai besar. Sungai itu dan cabang-cabangnya meminta
bimbingannya untuk mencapai lautan yang sedang menunggu.
Agung, penuh kemenangan, dan tak terkalahkan, Nabi
memimpin mereka maju terus:
Und so tragt er seine Bruder,
Seine Schatze, seine Kinder
Dem erwartenden Erzeuger
Freudebrausend an das Herz.
(Dan begitulah ia - Nabi - membawa saudara-saudaranya,
perbendaharaannya, putera-puteranya,
semua bergembira-ria dan bahagia,
menuju pangkuan ayah-bunda mereka yang sedang menanti)21
Begitulah gambaran-gambaran tentang Nabi Muhammad
s.a.w.-dan dengan begitu juga secara langsung atau tidak
langsung tentang Islam dan kaum Muslim-oleh para pemikir
Barat yang lingkungannya terkenal tidak simpatik kepada
Islam. Pandangan-pandangan tersebut masih tercampur
dengan unsur-unsur yang tidak benar, namun semuanya
menunjukkan adanya kenyataan yang tidak dapat diingkari,
yaitu bahwa Nabi s.a.w. dan Islam akhirnya harus difahami
secara benar, tanpa mitologi atau sebebas mungkin dari
mitologi.
Penutup
Mitos dan mitologi, dalam pengertian yang
"biasa", lebih banyak menunjukkan pengertian
yang negatif, karena, sesuai dengan asal katanya dari
bahasa-bahasa Yunani dan Latin, ia bermakna sekitar
dongeng, percakapan, penuturan dan lain-lain yang menjadi
lawan dari logika (logos) dan sejarah (historia). Dalam
penafsiran ilmu antropologi tentang mitos dan mitologi,
terkait kenisbian makna sesuai dengan kelompok masyarakat
yang mendukungnya. Sebagai penyederhanaan keterangan
tentang kosmos dan sejarah, mitos memiliki fungsi memasok
masyarakat dengan kesadaran makna dan tujuan hidup yang
amat penting. Karena itu dapat dikatakan bahwa manusia
tidak dapat tahan hidup tanpa sistem mitologi dalam
bentuk-bentuk tertentu.
Agama, sebagai sumber makna hidup yang terpenting dalam
sistem kultural manusia, tidak lepas dari mitos-mitos.
Namun ada agama yang dalam dirinya terkandung kelengkapan
untuk pengembangan pemahaman pokok ajaran dan
kepercayaannya dengan sesedikit mungkin-jika bukannya
bebas samasekali-dari mitos dan mitologi. Agama Islam,
dalam tinjauan dan pembahasan yang cukup jujur oleh
kalangan para ahli, termasuk mereka yang bukan Muslim,
terbukti merupakan agama yang paling terbebaskan dari
mitos dan mitologi. Sekalipun begitu, seperti dikatakan
oleh Ibn Taimiyah, keunggulan Nabi Muhammad dan agama
Islam tidak membenarkan sikap memandang rendah Nabi-nabi
yang lain beserta agama dan para pengikut mereka.22
Wa 'l-Lah-u a'lam.
|