AGAMA DAN KEBUDAYAAN:
Ikhtiar Membangun Masyarakat Modern yang Islami
Oleh : Nurcholish Madjid
Event Artikel : Seminar sehari Institut Agama Islam
Cipasung,
Tasikmalaya, 23 September 1995
Diupdated
pada: Senin 9 April 2001
Mukaddimah:
Manusia dan Naluri Keagamaan
Manusia menurut fitrahnya adalah makhluk agama. Sifat itu
berpangkal dari naluri alamiahnya untuk menyembah atau
mengabdi kepada suatu obyek atau wujud yang dipandangnya
lebih tinggi daripada dirinya sendiri atau menguasai
dirinya. Dan naluri ini sesungguhnya merupakan penyaluran
dari dorongan yang jauh ada di bawah sadarnya yang
mendalam, yaitu dorongan gerak kembali kepada Tuhan
akibat adanya perjanjian primordial dengan Panciptanya
itu dalam alam ruhani. Perjanjian primordial itu
dilukiskan dalam al-Qur'an, demikian:
(Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengambil dari anak turun
Adam-yaitu dari punggung-punggung mereka-keturunan
mereka, kemudian Dia memintakan saksi atas diri mereka:
"Bukankah Aku ini Pangeranmu?!" Mereka
menjawab: "Benar, kami bersaksi!" Maka
janganlah kamu nanti di hari Kiamat mengatakan:
"Sebenarnya kami lali dari kesaksian
itu."-Al-Qur'an, s. al-A'Raf/7:172).
Karena perjanjian dan persaksian primordial (sebelum
lahir) itu mengendap jauh sekali di bawah sadar
masing-masing pribadi manusia, maka praktis tidak
seorangpun menyadarinya. Namun sama halnya dengan semua
pengalaman psikologis manusia, apalagi pengalaman
spiritualnya, meski telah mengendap di bawah sadar,
selamanya perjanjian dengan Tuhan itu akan mempengaruhi
hidup kita. Karena itu ia juga akan selamanya ikut
menentukan bahagia atau sengsaranya hidup kita. Seperti
kita ketahui, perkara ini menjadi bidang kajian ilmu jiwa
modern.
Wujud nyata pengaruh pengalaman spiritual manusia yang
amat jauh di bawah sadar itu ialah dorongan batin yang
amat kuat untuk menyembah. Dalam diri manusia ada
kerinduan yang besar sekali untuk kembali kepada Tuhan,
memenuhi janjinya dalam kalimat persaksian tersebut tadi.
Inilah dorongan untuk beragama, sehingga sesungguhnya
membendung dorongan itu adalah pekerjaan melawan alam
atau natur manusia, maka tidak akan berhasil. Contohnya
ialah komunisme yang kini terbukti gagal.
Karena dorongan itu tidak dapat dibendung, maka ia akan
mencari saluran mana saja. Jika tidak tersalurkan dengan
baik, dorongan itu akan muncul dalam bentuk-bentuk amalan
dan praktek penyembahan yang merugikan diri manusia
sendiri. Menurut rancangan Ilahi, manusia adalah puncak
ciptaan Tuhan, makhluk yang paling mulia. Maka manusia
janganlah sampai melakukan sesuatu yang mengurangi harkat
dan martabatnya sendiri sebagai makhluk yang paling mulia
itu, dengan tidak tunduk atau menyembah kepada apapun
selain Allah, Tuhan Yang Maha Esa, saja.
Godaan untuk menyembah sesuatu yang
dirasakan (secara palsu) lebih tinggi dari manusia telah
menjerumuskan orang kepada syirik, yaitu menundukkan diri
kepada sesuatu sesama makhluk. Karena sesuatu yang
dijadikan sasaran sikap penyembahan itu dengan sendirinya
akan menundukkan orang yang menyembahnya, kemudian
membelenggunya dan merendahkan martabatnya, maka
al-Qur'an menyebutnya sebagai thaght, yang protipenya
ialah tokoh Fir'aun. Oleh karena itu, Allah Yang Maha
Kasih kepada umat manusia mengirim Utusan-Nya kepada
setiap umat, agar umat itu dapat menyalurkan dorongan
ruhaninya secara benar, yaitu menyembah hanya kepada
Allah saja, dan membebaskan diri dari thaght. Ini dapat
kita ketahui dari berbagai penegasan dalam al-Qur'an,
antara lain demikian:
(Sungguh Kami telah bangkitkan dalam setiap umat seorang
Rasul (dengan perintah): "Sembahlah oleh kamu semua
akan Allah saja, dan jauhilah thaght!" Di
antara mereka umat itu ada yang mendapat hidayah Allah,
namun di antara mereka ada pula yang jelas mengalami
kesesatan. Maka mengembaralah kamu semua di bumi,
kemudian perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang
mendustakan kebenaran itu.-Al-Qur'an, s. al-Nahl/16:36).
Agama dan Kebudayaan
Karena setiap umat telah pernah didatangi seorang Utusan
Tuhan, maka tidak ada umat yang tidak memiliki pandangan,
konsep, pengertian atau kepercayaan kepada jalan hidup
yang benar. Sudah tentu karena perkataan Rasl itu
dari bahasa Arab, maka kita tidak dapat berharap
perkataan itu juga digunakan di kalangan umat yang tidak
berbahasa Arab. Demikian juga perkataan Nabi (atau
Nabi'-un, "orang yang mendapatkan naba' atau
berita") adalah bahasa Arab, jadi tidak digunakan di
umat dari lain bahasa. Karena itu Rasl yang
dimaksudkan dalam firman Allah itu bukanlah nama atau
istilah harfiahnya, tetapi fungsinya, yaitu tokoh pembawa
dan pengajar kebenaran, boleh juga disebut orang
bijaksana, guru atau saga.
Para orang bijaksana itu menjadi panutan masyarakat luas,
dan pertumbuhan masyarakat yang demikian itu lalu
menghasilkan kebudayaan. Maka kebudayaan adalah
konsekwensi dari agama, atau agama adalah sumber
kebudayaan. Oleh karena agama adalah ajaran kebenaran
yang dibawa para Utusan Tuhan yang intinya ialah
penyembahan kepada Tuhan itu sendiri dan perlawanan
kepada thaght, maka asas yang benar bagi kebudayaan
manusia ialah kesadaran Ketuhanan (disebut dengan istilah
taqwa) yang disertai dengan dorongan batin untuk mencapai
perkenan (ridla) Tuhan itu. Inilah yang ditegaskan dalam
"ayat asas" (deretan ayat dalam al-Qur'an yang
menyebut perkataan "asas"), demikian:
(Apakah orang yang mengasaskan bangunannya di atas taqwa
kepada Allah dan ridla-Nya itu lebih baik, ataukah orang
yang mengasaskan bangunannya di atas tepi jurang yang
menganga, kemudian bangunannya itu runtuh ke dalam neraka
Jahanam?! Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang zalim.-Al-Qur'an, s. al-Bara'ah/9:109).
Jadi digambarkan bahwa untuk sebuah "bangunan",
termasuk bangunan fisik seperti masjid (sesuai dengan
asbab al-nuzl firman itu), tapi juga bangunan
non-fisik seperti kebudayaan, ada dua asas. Pertama ialah
asas yang benar, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, dan kedua
ialah asas yang keliru, yaitu asas manapun selain
Ketuhanan Yang Maha Esa, yang dilukiskan sebagai fondasi
bangunan di atas jurang yang hendak runtuh. Semangat
Ketuhanan Yang Maha Esa itu juga disebut kualitas
rabbaniyah (??????) dan ribbiyah (????). Semangat inilah
yang menjadi tujuan pendidikan dan pengembangan spiritual
agama.
Hakikat Masyarakat Modern
Karena setiap ajaran yang diberikan Allah kepada umat
manusia itu ada yang menerimanya dan ada pula yang
menolaknya, maka pengalaman manusia dalam sejarah pun ada
yang benar, sesuai dengan garis fitrah kemanusiaan
sebagai kelanjutan perjanjian dengan Sang Maha Pencipta
tadi, dan ada pula yang menyimpang. Yang benar membawa
kejayaan, dan yang salah membawa kehancuran. Karena
itulah kita umat manusia diperintahkan untuk mempelajari
pengalaman hidup manusia dalam sejarah yang telah lalu,
dengan mengembara di bumi, kemudian menarik pelajaran
dari nasib mereka yang hancur.
Ajaran Islam pun telah diterima atau ditolak umat
manusia. Kita harus memperhatikan mereka itu semua: dari
yang menerima kebenaran, kita dapat menarik pelajaran
untuk menirunya, dan dari yang menolak untuk
menghindarinya. Karena Islam yang dibawa Nabi Muhammad
s.a.w. ini telah berlalu selama 15 abad, maka pengalaman
umat Islam juga naik dan turun. Umat Islam pernah jaya
selama 8 abad, dan memimpin umat manusia di segala
bidang. Tetapi setelah itu, yang gejalanya dimulai sejak
abad 12 Masehi, umat Islam mulai tidak berkembang lagi,
alias mandek. Dan pada pertengahan abad 13 Masehi, jadi
setelah 7 abad Islam mengalami kejayaan, Baghdad jatuh ke
tangan bangsa Mongol. Seluruh bangunan yang megah-megah
itu dihancurkan rata dengan tanah, kitab-kitab dibakar
atau dibuang ke sungai, dan penduduk Baghdad yang ratus
ribu jiwa itu dibunuhi kemudian tengkorak mereka
ditumpuk-tumpuk membentuk piramida-piramida. Tidak ada
tragedi yang lebih menyedihkan dan mengerikan daripada
jatuhnya ibu kota kejayaan Islam itu ke tangan bangsa
Mongol.
Pada awal-awal abad 12 orang Barat yang selama ini
menjadi saingan umat Islam dan kalah, mulai berkenalan
dengan kebudayaan Islam. Mula-mula mereka menolak
kebudayaan Islam. Tapi sejak abad 14, mereka mulai
belajar menerima kebudayaan Islam, dan setelah dua abad,
yaitu sejak abad 16, orang Barat sudah mulai meninggalkan
umat Islam. Inilah abad-abad kebangkitan kembali Eropa,
yang disebut Zaman Renaissance.
Dengan pangkal Zaman Ranaissance yang merupakan akibat
perkenalannya dengan kebudayaan Islam itu, bangsa Eropa,
setelah dua abad lagi, yaitu mulai abad 18, masuk zaman
modern. Dan di zaman modern inilah umat Islam mengalami
penjajahan oleh bangsa-bangsa lain, khususnya oleh
bangsa-bangsa Barat. Dengan keunggulan ilmu pengetahuan
yang mula-mula mereka pinjam dari Islam kemudian mereka
kembangkan sejauh-jauhnya itu, bangsa-bangsa Barat mampu
dengan mudah sekali menaklukkan bangsa-bangsa Islam.
Zaman modern ini, dengan ciri masyarakat industriil
akibat ilme-pengetahuan dan teknologi, sebetulnya baru
berlangsung selama 2 abad (dua ratus tahun) saja. Inilah
yang oleh futurolog Elvin Toffler disebut gelombang
kedua. Sedangkan gelombang pertama, yaitu abad pertanian
atau agraria, telah berjalan sekitar 50 abad (lima ribu
tahun), yaitu sejak bangsa-bangsa di Irak (Mesopotamia)
mempelopori umat manusia memasuki sejarah dengan budaya
pertaniannya. Puncak pekembangan kebudayaan pertanian itu
ialah kebudayaan Islam. Yaitu kebudayaan yang berbasiskan
pola ekonomi pertanian, namun disertai dengan kegiatan
perdagangan yang sangat maju. Marshall Hodgson, seorang
ahli sejarah dunia sekaligus ahli sejarah Islam,
menamakan masyarakat berkebudayaan Islam itu
"agrariante citied society" (masyarakat
pertanian berkota).
Tinjauan itu dapat kita hubungkan dengan istilah-istilah
madinah, adlarah dan tsaqafah dalam perbendaharaan Islam.
Madinah artinya kota, tetapi secara etmologis sebenarnya
berarti "hidup berperadaban", yaitu hidup
secara teratur, dengan pemerintahan yang efektif dan
hukum yang dijunjung tinggi bersama. Pengertiannya mirip
sekali dengan perkataan Yunani polis, yaitu kota, yang
dari situ diambil perkataan politik. Istilah lain untuk
peradaban ialah adlarah. Tetapi secara etimologis,
adlarah berarti "pola hidup hadir di suatu tempat
tertentu, yaki, menetap." Maka lawan adlarah ialah
badawah, yaitu pola hidup mengembara atau nomad
("baduwi"). Ini mempunyai arti yang persis sama
dengan tsaqafah. Tapi kalau secara semantik adlarah
berarti peradaban, secara semantik tsaqafah berarti
kebudayaan. Dan kedua-duanya mengacu kepada pengertian
pola hidup menetap, tidak nomad. Karena itu dalam
perbendaharaan kultural Islam, istilah ahl al-adlar
mempunyai konotasi yang lebih positif daripada istilah
ahl al-badawah, yang sering disebut juga dengan al-A'rab.
Dalam pengertian inilah kita harus memahami firman Allah
yang agaknya sering diterjemahkan secara salah:
(Orang-orang A'rabi [Badui] itu lebih kafir dan lebih
munafik, serta lebih pantas tidak memahami batas-batas
[aturan-aturan] yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya.
Allah Maha Tahu dan Maha Bijak.-Al-Qur'an, s.
al-Bara'ah/9:97).
Mafhm al-mukhalafah dari firman itu ialah bahwa
orang yang berperadaban tentunya lebih mudah menerima
kebenaran dengan tulus, dan lebih mungkin pula untuk
mengikuti tata cara dan pola kehidupan masyarakat yang
teratur, yang mengenal hukum. Hidup dengan ada hukum dan
peraturan adalah ciri masyarakat berperadaban
(ber-adlarah) dan berkebudayaan (ber-tsaqafah), bukan
masyarakat yang karena berpindah-pindah maka hidupnya
liar karena berpindah-pindah di padang pasir (badawah).
Masyarakat Modern yang Islami
Dari uraian singkat di atas kiranya menjadi jelas bahwa
masyarakat modern ini tidak lain adalah kelanjutan
masyarakat sebelumnya, yaitu masyarakat agraris. Lebih
dari itu, semua ahli sejarah mengakui bahwa zaman modern
ini adalah kelanjutan dari peradaban Islam. Hal ini jelas
sekali dapat dilihat di bidang ilmu pengetahuan. Banyak
sekali peristilahan baku dalam ilmu pengetahuan itu yang
berasal dari peradaban Islam.
Sekarang ini banyak sekali dilontarkan orang kritikan
kepada kebudayaan modern Barat. Kritik yang paling
penting ialah bahwa kebudayaan modern itu telah
terjerumus menjadi kebudayaan materialis, yang mengukur
kemanusiaan hanya dari sudut materi belaka. Jadi bahagia
dan sengsara pun diukur dalam semangat serba benda.
Kritik itu tidak hanya datang dari orang-orang bukan
Barat seperti kaum Muslim. Justru yang paling gawat
datang dari kalangan orang Barat sendiri, khususnya yang
sekarang dikenal sebagai kaum pasca-modernis.
Sudah tentu banyak dari kritik itu yang benar. Apalagi
kalau ditinjau dari sudut pandangan Islam. Sebab meskipun
zaman modern itu dikatakan sebagai kelanjutan peradaban
Islam, namun ada bagian dari peradaban Islam itu yang
tidak terbawa ke Barat, malahan ditolak, yaitu ajaran
keruhaniannya yang fitri dan anif, serta seimbang sesuai
dengan hukum alam semesta yang diatur Tuhan atas dasar
keseimbangan atau mizan.
Berkenaan dengan itu, umat Islam sesungguhnya mempunyai
tugas untuk menyelamatkan umat manusia dengan
mengembalikan prinsip keseimbangan itu. Pertama, umat
Islam harus mengambil kembali "mutiaranya yang
hilang" dari Barat, khususnya ilmu pengetahuan (dan
teknologi sebagai pola penerapan dan penggunaannya);
kemudian "iptek" itu harus diletakkan kembali
di bawah bimbingan fithrah yang anif, mengikuti hukum dan
prinsip keseimbangan. Sebab keseimbangan itulah hukum
Allah untuk seluruh jagad raya, dengan sendirinya untuk
manusia juga. Maka barangsiapa melanggar hukum itu
berarti melanggar hukum jagad raya, karena itu akan
hancur. Allah berfirman demikian:
(Dan langitpun di tinggikan oleh-Nya, serta diletakkan
[hukum] keseimbangan. Maka janganlah kamu melanggar dalam
[hukum] keseimbangan itu. Dan tegakkanlah timbangan
dengan jujur, dan janganlah kamu curang terhadap [hukum]
keseimbangan.-Al-Qur'an, s. al-Raman/55:7-9).
Memenuhi dan menjalankan prinsip keseimbangan itu
merupakan kelanjutan dari keharusan manusia memenuhi
janjinya sendiri kepada Tuhan, yaitu perjanjian
primordial untuk hanya menyembah Dia saja di atas tadi.
Karena hal ini sudah menjadi rancangan Sang Maha
Pencipta, maka ia tidak akan mengalami perubahan
sepanjang masa. Karena itu manusia akan tetap memerlukan
keseimbangan itu, kapanpun dan dimanapun. Jadi zaman
modern samasekali bukan perkecualian.
Perjanjian primordial manusia dengan Tuhan yang telah
mengendap jauh dalam bawah sadarnya itu melahirkan
kenyataan manusiawi yang abadi, yang perennial. Inilah
yang oleh failasuf Islam, Ibn Maskawaih, disebut al-ikmah
al-Khalidah yang menjadi judul sebuah bukunya, yang
kemudian diterjemahkan ke bahasa Latin menjadi Sophia
Perennis. Dan yang disebut "Kebijakan Abadi"
itu tidak lain ialah fithrah Allah untuk manusia, yang
fithrah itu tidak akan berubah, dan merupakan pangkal
keagamaan yang benar. Dengan kata lain, untuk membuat
suatu peradaban atau kebudayaan, termasuk peradaban dan
kebudayaan modern, menjadi Islami, tidak lain ialah
bagaimana peradaban itu dijiwai oleh fithrah manusia yang
utuh, yang anif, sesuai dengan firman:
(Maka hadapkanlah wajahmu untuk [menerima] agama [yang
benar] ini secara anif [mengikuti dorongan untuk mencari
kebenaran], sesuai dengan fithrah Allah yang telah
menciptakan manusia atasnya. Tidak ada perubahan dalam
ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi sebagian
besar manusia tidak mengetahui.-Al-Qur'an, s.
al-Rm/30:30).
Dengan begitu maka umat Islam dapat melaksanakan tugas
yang diamanatkan Allah kepada mereka selaku khayr ummah
dan ummat wasath, yaitu tugas membawa dan membimbing
manusia kembali ke jalan yang benar, jalan fithrah
kemanusiaan yang abadi. Mampukah umat Islam melaksanakan
tugas suci itu? Inilah pertanyaan yang paling penting
untuk dapat dijawab. Jika tidak mampu, apalagi umat Islam
sendiri menyimpang dari jalan kemanusiaan fithri yang
abadi itu, maka mungkin Allah untuk kesekian kalinya akan
menghancurkan peradaban dan kebudayaannya, seperti
dahulu, 7 abad yang lalu, Allah menghancurkan Baghdad
dengan perantaraan bangsa Mongol dari Asia Tengah.
|