Masalah Kontinuitas Budaya dalam Pembangunan
Oleh : Nurcholish Madjid
Event Artikel : Seminar LIPI, Jakarta 23 November 1994
Diupdated pada: Senin 9 April 2001

Sumber Daya Manusia dan Nilai-nilai Budaya

Sekarang ini sudah menjadi kesadaran yang cukup umum bahwa kemajuan suatu bangsa lebih banyak ditentukan oleh sumber daya manusianya daripada oleh sumber daya alamnya. Jika kita melihat keadaan bangsa kita sendiri, Indonesia adalah bangsa ketiga yang terkaya di dunia (sesudah Amerika Serikat dan Rusia) dalam hal sumber daya alam. Namun tidak berarti bahwa bangsa kita adalah yang ketiga di dunia dalam urutan kemakmuran. Sampai saat sekarang ini, biarpun setelah mengalami kemajuan yang amat pesat dan dapat dikatakan "exponential", namun kita masih tergolong bangsa miskin atau terkebelakang atau, seuntung-untungnya, bangsa kelas menengah bawah (yang masih cukup jauh di bawah). Sebabnya ialah bahwa kita, meskipun kaya dalam hal sumber daya alam, namun miskin dalam hal sumber daya manusia.

Salah satu unsur sumber daya manusia itu(selain unsur keahlian sebagaimana sering dibicarakan orang sekarang ini(ialah sikap kejiwaan atau mind set yang bersifat mendorong kemajuan dan menopang daya cipta atau kreatifitas. Nasib suatu bangsa atau kelompok manusia, baik dalam arti kemajuan ataupun kemundurannya, sangat ditentukan oleh sikap kejiwaan mereka. Sikap kejiwaan itu berada dalam bingkai budaya, dan tampil secara nyata melalui pribadi-pribadi anggota masyarakat dalam bentuk kepercayaan-kepercayaan (atau etos-etos) dan cara berfikir mereka.

Kelestarian budaya menjadi amat penting, karena ketulusan serta kesungguhan berkepercayaan dan berfikir memerlukan rasa keabsahan dan keotentikan. Kita tidak akan memiliki kemantapan dalam berkepercayaan, berpandangan hidup atau menganut suatu etos jika kepercayaan, pandangan hidup atau etos itu tidak kita rasakan sebagai absah dan otentik. Dan biasanya rasa keabsahan dan keotentikan itu kita peroleh antara lain karena adanya rasa kesinambungan dengan masa lalu dan kelestariannya.

Sudah tentu itu semua harus terjadi dalam kerangka sikap kritis (yang merupakan fungsi kefahaman yang tepat dan terbuka), sehingga tidak jatuh kedalam atavisme dengan menganggap bahwa apa saja yang berasal dari masa lampau tentu benar dan baik. Atavisme atau obsesi kepada masa lampau dan pengagungannya biasanya berjalan seiring dengan sikap-sikap konservatif, karena itu justru akan menghambat kemajuan dan daya inovasi. Di sinilah mulai tampak persoalan kesinambungan dan keterputusan: kesinambungan diperlukan untuk rasa keabsahan dan keotentikan yang akan berfungsi sebagai landasan kemantapan dan kreatifitas. Tetapi kreatifitas itu sendiri akan terhambat jika suatu masyarakat terjerembab kedalam pandangan-pandangan atavistik dan pemujaan masa lampau. Maka dalam keadaan tertentu diperlukan kemampuan "memutuskan" diri dari budaya masa lampau yang negatif, yang kemampuan itu sendiri dihasilkan oleh sikap-sikap kritis yang bersifat membangun. Dan sikap kritis yang membangun itu antara lain merupakan hasil adanya pengertian menyeluruh nilai-nilai budaya masa lampau tersebut (termasuk pengertian tentang dinamika interaksinya dengan tuntutan sejarah) dan keberhasilan menangkap tantangan zaman mutakhir. Jadi diperlukan kecakapan mengelola secara kreatif dinamika ketegangan antara keperluan kepada kelestarian atau kesinambungan dan kemampuan melakukan inovasi untuk memberi responsi kepada tuntutan zaman (dalam bahasa kalangan pesantren, diperlukan sikap-sikap "al-muhafahat-u 'ala al-qadim al-halih wa al-akhdz-u bi al-jadid al-ahlah"- memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik).


Masalah Kelangsungan dan Keterputusan: contoh Jepang dan Turki

Ketika Kaisar Hirohito meninggal, orang banyak membicarakan kedudukannya selaku lambang kontinuitas budaya Jepang selama ribuan tahun. Kontinuitas itu dianggap penting, karena memberi rasa keabsahan dan keontentikan kepada bangsa Jepang dalam menghadapi perkembangan zaman. Rasa keabsahan dan keotentikan itu, pada urutannya, menjadi sumber kemantapan dan kepercayaan diri yang sangat penting bagi kreatifitas dan daya cipta. Keunggulan bangsa Jepang dalam segi-segi tertentu sekarang ini atas bangsa-bangsa lain, termasuk atas bangsa-bangsa Barat, dapat diterangkan sebagai keberhasilan mereka menerjemahkan modernitas (yang meskipun dirintis oleh bangsa-bangsa Eropa Barat Laut namun sesungguhnya bersifat supra-nasional) dalam kerangka budaya mereka turun temurun. Ilustrasi tentang hal ini ialah kesuksesan bangsa Jepang mengubah dan mengembangkan temuan-temuan teknologi Barat seperti transistor dan microchips menjadi dasar bagi pembuatan berbagai komoditas yang sangat laku di dunia, seperti jam tangan, radio, televisi, dan komputer laptop dan notebook. Jika kita ambil komputer itu saja sebagai misal, kita mendapati bahwa mesin kecerdasan buatan (artificial intelligence) itu ditemukan dan dibuat orang Barat (Amerika) sebagai barang yang amat berguna namun dalam bentuk dan ukuran yang sangat canggung (komputer yang mula pertama berukuran sebesar kamar tidur). Adalah bangsa Jepang yang kemudian mengembangkan komputer itu sedemikian rupa sehingga dari segi pemakaian dan ukurannya menjadi praktis dan dapat dibawa kemana-mana (portable).

Jelas sekali bahwa kebiasaan membuat barang-barang kecil dan praktis pada bangsa Jepang telah menjadi modal bagi keberhasilan mereka mengadopsi teknologi Barat modern dan membuatnya sesuai dengan selera kejepangan, yang kemudian ternyata juga sangat laku di pasaran dunia. Jadi sikap kejiwaan (mind set) bangsa Jepang sebagai hasil garis kelanjutan budaya mereka itu telah melengkapi mereka dengan kemampuan mencerna modenitas dari Barat sehingga menyatu dengan sistem budaya mereka sendiri secara otentik dan absah. Ini membuat modernitas tidak terus-menerus dirasakan sebagai barang asing yang disodorkan dari luar (Barat)(yang tentu berakibat keengganan dan rendahnya kesungguhan dalam menerimanya. Sebaliknya, kemampuan mencerna sesuatu yang datang dari luar itu melalui kekuatan budaya mereka sendiri membuat semuanya menyatu dengan kepribadian budaya mereka dan tumbuh menjadi unsur baru dan segar budaya itu sendiri(analog dengan jasmani yang sehat yang memiliki sistem pencernaan yang kuat, yang mampu mengubah makanan (dari luar) menjadi bahan yang menyatu dengan tubuh dan menguatkan jaringan otot dan sarafnya. Pada bangsa Jepang, demikian itu berkenaan dengan perangkat-perangkat keras seperti barang-barang elektronik, demikian itu pula berkenaan dengan perangkat-perangkat lunak seperti teknik organisasi dan manajemen, sehingga pernah terkenal sekali apa yang dinamakan organisasi atau manajemen "ala Jepang".

Kasus Jepang ini sangat menarik jika kita bandingkan dengan kasus Turki. Dibanding dengan Turki, Jepang sebagai bangsa bukan Eropa Barat Laut secara nisbi lebih kemudian dalam usahanya membangun menjadi bangsa moderen. Turki, disebabkan oleh pengalamannya yang bersifat langsung menghadapi ancaman bangsa-bangsa moderen Eropa Barat Laut, dapat dikatakan sebagai yang paling dini di kalangan bangsa-bangsa bukan-Barat yang berusaha menjadi "moderen" melalui kegiatan-kegiatan pembangunan. Namun semua orang tahu bahwa sementara Jepang berhasil menjadi bangsa moderen yang bahkan dalam beberapa segi melampaui negara-negara Barat (sebagaimana disinggung di depan), Turki sampai sekarang masih menunjukkan ciri-ciri "dunia ketiga", sekalipun secara nisbi lebih maju daripada bangsa-bangsa lain di kawasan Timur Tengah.

Keadaan itu lebih-lebih lagi sangat menarik, mengingat bahwa Turki, dari berbagai segi, sesungguhnya memiliki unsur-unsur yang lebih menguntungkan daripada yang ada pada bangsa Jepang. Pertama, secara geografis Turki merupakan bagian dari kawasan yang oleh orang Yunani disebut Oikoumene (Arab: al-da'irat-u 'l-ma'm–rah, daerah berperadaban [kuna]), yang intinya ialah lingkungan antara Nil di barat dan Amudarya atau Oksus di timur. Ini berarti bahwa Turki berada dalam garis kontinuum dengan Eropa Barat Laut yang moderen, lebih daripada Jepang. Apalagi Turki bahkan menguasai daerah-daerah bekas Bizantium, malah beribukoatakan Istanbul, bekas Konstantinopel yang dahulu dapat dikatakan merupakan ibukota Eropa. Kedua, Turki melalui agama Islam adalah penganut budaya dan peradaban Irano-Semitik (seperti terwujud dalam budaya dan peradaban Islam pada puncak-puncak kejayaannya). Ini berarti bahwa Turki lagi-lagi memiliki kesinambungan yang baik sekali dengan budaya moderen, khususnya dalam artian ilmu pengetahuan dan teknologi, lebih daripada Jepang. Sebab, sekalipun budaya moderen Eropa Barat Laut memiliki akar-akar tertentu dalam budaya Yunani kuna, namun dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi lebih merupakan kelanjutan dari budaya Irano-Semitik yang diwadahi oleh peradaban Islam. Dan peradaban Irano-Semitik itu sendiri merupakan kelanjutan dari budaya Nil-Oksus dan sekitarnya, yang digabungkan secara kreatif oleh kaum Muslim.6

Tetapi nyatanya ialah bahwa Turki kalah berhasil dalam mengejar ketertinggalannya dari Eropa Barat daripada Jepang. Hal ini mungkin dapat ditemukan keterangannya dalam masalah kesinambungan dan keterputusan. Ketika Turki memulai pembangunan dirinya untuk mengejar Barat dengan melakukan modernisasi, para pemimpin Turki, khususnya Mustafa Kemal, agaknya salah memahami kemoderenan itu. Ia tidak melihatnya sebagai sesuatu yang universal dan merupakan kelanjutan logis dari warisan budaya umat manusia. Mustafa Kemal melihatnya lebih sebagai produk budaya Barat, yang cara penglihatan itu membimbingnya ke arah pandangan bahwa menjadi moderen berarti menjadi Barat dan harus menjadi Barat. Karena itu ia melancarkan beberapa program pembaratan atau westernisasi, sejak dari usaha penggantian pakaian nasional Turki (Usmani) dengan pakaian (Eropa) Barat, sampai kepada penggantian huruf Arab untuk menuliskan bahasa Turki ke huruf Latin. Terutama tindakannya menukar huruf itu mempunyai akibat yang cukup fatal bagi Turki dilihat dari segi kesinambungan dan kelestarian budayanya: berbeda dari Jepang yang tetap memelihara dan memiliki rasa kesinambungan dan kelestarian budaya yang amat kuat, Turki justru terputus samasekali dari masa lampaunya, bahkan nampaknya berusaha untuk mengingkari masa lampau itu. Karena bangsa Jepang tidak pernah terpikir menggantikan huruf Kanji dengan huruf Latin bagi penulisan bahasa mereka, maka semua khazanah budaya dan sastra klasik Jepang tetap dapat dibaca oleh generasi demi generasi, dan terus menerus mereka pupuk dan kembangkan sehingga menjadi unsur yang memperkaya peradaban modern mereka. Maka Jepang menjadi bangsa timur yang modern dan tetap otentik. Sebaliknya, karena huruf Arab Turki Usmani digantikan oleh huruf Latin, maka generasi baru Turki tidak lagi dapat membaca warisan budaya dan sastra mereka sendiri. Akibatnya, semuanya harus dimulai dari titik kosong, sementara mereka terus ditantang untuk mengejar ketertinggalan. Dan jika di Jepang kemoderenan telah berhasil dicerna menjadi kejepangan sehingga tidak dirasakan sebagai barang asing yang tertolak oleh sistem budaya asli, di Turki kemoderenan itu sampai sekarang, menurut banyak ahli, masih tetap dirasakan sebagai barang asing yang dirasakan tidak cocok dengan sistem budaya sendiri, karena itu tetap ada dorongan untuk menolaknya atau menerimanya dengan keengganan (analog dengan tubuh yang alergi dengan benda asing).

Tetapi pengalaman Turki tentu saja tidaklah bersifat satu sisi. Ada sisi lain yang membuat Turki, sejauh kenyataan yang ada sekarang, sedikit lebih beruntung daripada bangsa-bangsa yang cenderung atavistik. Meskipun tidak seluruhnya berhasil mendorong kreatifitas dan daya inovasi yang besar seperti Jepang, Turki secara nisbi lebih bebas dari tawanan masa lampaunya, dan hal itu kemudian sedikit memberi kelonggaran kepada mereka untuk lebih bebas bereksperimen dengan hal-hal baru. Inilah yang barangkali dapat menerangkan mengapa Turki secara nisbi lebih maju daripada bangsa-bangsa Timur Tengah lainnya (kemajuan Turki dapat disaksikan dari keunggulan mereka dalam seni bangunan dan arsitektur seperti yang mereka perlihatkan pada bangunan-bangunan suci di Makkah dan Madinah yang mereka kerjakan sebagai pihak pemborong).


Indonesia sebagai Bangsa Baru

Semua persoalan yang dicoba paparkan di atas itu tentu saja dimaksudkan untuk menggiring kita kepada kesadaran tentang persoalan kita sendiri, persoalan Indonesia. Kita adalah bangsa yang amat besar, bahkan terbesar kelima setelah Cina, India, Rusia dan Amerika. Wilayah tanah air kita pun sangat besar, yang bentangan barat-timurnya (Sabang-Mearuke) sama dengan bentangan London-Teheran.

Tetapi sesungguhnya harus kita sadari bahwa kita, sebagai bangsa Indonesia, adalah bangsa baru. Unsur-unsur bangsa Indonesia dengan budayanya masing-masing, seperti Malayu, Sunda dan Jawa, misalnya, adalah "bangsa-bangsa" dan budaya-budaya yang cukup tua dan mapan, tetapi tidaklah demikian halnya dengan Bangsa Indonesia. Keindonesiaan adalah gejala mutakhir di Asia Tenggara ini, yang memperoleh eksistensinya terutama karena proses-proses di India Belanda menuju kemerdekaan yang berakhir dengan berdirinya Republik Indonesia.

Karena Indonesia dan keindonesiaan adalah gejala baru, dan masih dalam taraf pertumbuhan dan perkembangannya. (Menurut Bung Karno, dalam sebuah pidato didepan resimen Mahajaya pada awal tahun 60-an, hanya kota Jakarta yang benar-benar merupakan kota Indonesia; kota lain-lain, barangkali kecuali Medan, adalah kota-kota daerah dan merupakan pusat-pusat budaya daerah atau suku setempat). Karena itu, jika kita bicara tentang kesinambngan dan keterputusan, persoalan Indonesia tidaklah sepenuhnya analog dengan persoalan Jepang atau Turki, meskipun tentu ada titik-titik persamaannya. Sama dengan bangsa lain manapun, kita memerlukan rasa kesinambungan dan kelestarian sebagai sumber rasa keabsahan dan keotentikan. Namun berbeda dari kebanyakan bangsa-bangsa yang lain, kesinambungan dan kelestarian itu harus kita cari tidak dari suatu khazanah yang dengan tegas dan jelas merupakan warisan seluruh bangsa Indonesia, melainkan dari unsur-unsur yang menjadi titik-temu dan garis kesamaan utama budaya-budaya Nusantara.

Tetapi mungkin kita akan membuat kekeliruan yang gawat jika kita hanya memperhatikan segi-segi perbedaan kultural antara (suku) bangsa kita. Kenyataan persatuan dan kesatuan negara kita sekarang ini(lebih daripada yang dicapai oleh bangsa-bangsa lain sekitar kita yang baru merdeka(dapat ditafsirkan sebagai suatu bukti tentang adanya titik-titik kesamaan potensial antara semua unsur budaya Nusantara. Tafsir yang sama juga dapat diterapkan kepada kenyataan mudahnya Bahasa Melayu diterima sebagai bahasa nasional.

Di samping pengalaman penjajahan oleh Belanda, rasanya sulit sekali diingkari bahwa salah satu faktor yang meratakan jalan menuju kesamaan budaya Indonesia ialah faktor agama Islam. Sebagai anutan rakyat yang relatif merata sejak dari Sabang sampai Merauke, khazanah peradaban Islam telah menyediakan rumus-rumus dan konsep-konsep budaya nasional yang ternyata berlaku secara efektif, seperti tercermin dalam dunia peristilahan, idiom dan fraseologi sosial-politik nasional kita (yaitu, misalnya, istilah-istilah dewan, wakil, rakyat, musyawarah, mufakat, hukum, hakim, mahkamah, aman, tertib, hak-hak asasi, wilayah, daerah, masyarakat, adil, makmur, dan seterusnya yang banyak sekali).

Dalam ramuannya dengan unsur-unsur budaya lokal yang otentik dan absah dari sudut pertimbangan nasional, unsur-unsur khazanah peradaban Islam itu tumbuh menjadi bahan yang tidak mungkin diabaikan dalam perkembangan budaya Indonesia. Contoh hal serupa itu banyak sekali, seperti, misalnya, terpantulkan dalam pepatah yang berasal dari budaya suku Minangkabau: "bulat air di pembuluh, bulat kata di mufakat". Kita mengetahui bahwa pandangan sosial-politik di balik pepatah itu sekarang sudah diterima sebagai bagian dari budaya sosial-politik nasional, yaitu id‚ dan konsep "musyawarah-mufakat."

Pada bagian permulaan sekali makalah ini dikemukakan bahwa kemajuan suatu bangsa lebih terletak pada kekayaan sumber daya manusianya daripada sumber daya alamnya. Dan pada tahap pembangunan sekarang ini yang disebutkan sebagai tahap menghadapi Era Tinggal Landas, biasa dikemukakan perlunya bangsa kita memiliki nilai-nilai kewirausahaan yang bakal mempertinggi produktifitas dan kemandirian. Dengan adanya berbagai kasus penyimpangan di bidang ekonomi akhir-akhir ini, seperti kasus Eddy Tanzil dan ekspor fiktif, serta kasus-kasus korupsi yang menjadi pembicaraan sehari-hari, orang sering menyatakan rasa kuatir dan pesemisnya bahwa bangsa kita akan benar-benar mampu mencapai tahap tinggal landas. Jika kita batasi dan pusatkan pembicaraan kita kepada masalah ini saja sebagai contoh persoalan(di samping hal-hal lain yang tentu saja banyak sekali(maka sesungguhnya kita perlu menghidupkan kembali dan menghayati nilai-nilai budaya yang relevan. Misalnya, salah satu unsur kewirausahaan ialah kesanggupan melihat masa depan, menangkap kemungkinan jangka jauh, dan menghindar dari jebakan-jebakan jangka pendek. Oleh karena itu diperlukan adanya sikap "ingkar kepada diri sendiri" (self denial), yang dalam masyarakat dapat melahirkan sikap hidup bersama yang bersemangatkan kewirausahaan, yaitu, menurut istilahnya Sartono Kartodirdjo, sikap hidup bersama dalam asketisme sosial. Dalam acuan kepada nilai budaya klasik, semangat ini dapat merupakan kelanjutan yang absah dan otentik dari makna di balik pepatah "Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian; Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian", atau makna ungkapan dalam bahasa Jawa: "Dedalan‚ guna lan sekti, kudu andap asor, wani ngalah dhuwur wekasan‚" (Jalan menuju kesuksesan ialah, orang harus rendah hati, berani mengalah namun akhirnya unggul). Sikap-sikap ekonomi harian yang cukup sederhana namun amat penting seperti kebiasaan menabung (yang dalam akumulasinya dalam masyarakat luas akan menghasilkan tersedianya modal-modal), misalnya, memerlukan sikap kejiwaan (mind set) asketisme sosial itu, yang akar-akarnya dapad ditemukan dalam khazanah budaya masa lampau. Jadi dapat dikatakan memerlukan adanya keinsafan yang tulus dan otentik akan kesinambungan dan kontinuitas budaya, di samping kemampuan menciptakan hal-hal baru dan membuat inovasi-inovasi.


Catatan:

* Dibuat sebagai pokok pikiran untuk diskusi dalam Seminar di STF Driyarkara, Jakarta, 6-Jan-98.

* Makalah untuk Seminar di LIPI, Jakarta, 7 Februari 1994.

1 Lihat pembahasan yang relevan dalam Alexis de Tocqueville, Democracy in America, 2 jilid, New York, Vitage Books, 1945, jil. 1, hh. 264-80.

2 "To say that a man cannot avoid or help doing what he does amounts to saying that he is not responsible for his actions. In dealing therefore with unavoidability in relation to freedom and determinism we have in fact been dealing with the concept of resposibility." (S.I Benn dan R.S. Peters, The Principles of Political Thought, Social Foundations of the Democratic State, New York: Collier Books, 1959, h. 240.

3 Ibid.

4 Prinsip-prinsip ini, yaitu prinsip kemauan baik pribadi, komitmen sosial, dan mekainsme pengawasan dan pengimbangan melalui kebebasan-kebebasan menyatakan pendapat, berkumpul dan berserikat, sikap tabah dan tulus untuk mendahulukan kepentingan umum dan menyisihkan kepentingan pribadi semata, dapat kita simpulkan juga dari sistem ajaran agama (Islam) yang dianut oleh bagian terbesar rakyat kita yaitu dari al-Qur'an, surat al-'Ahr (surat ke 103), yang terjemah lengkapnya adalah kurang lebih demikian:

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang,
Demi masa,
sungguh manusia pasti dalam kerugian,
kecuali mereka yang beriman,
dan yang beramal kebajikan,
lagipula saling mengingatkan sesamanya tentang kebenaran,
dan saling mengingatkan sesamanya tentang ketabahan.

5 Persons dedicated to the democratic way of life are capable of moving in the direction of that goal if they are prepared to accept and live according to the rule of partial functioning of ideals. Perfectionism and democracy are imcompatibles. (T.V. Smith dan Eduard C. Lindeman, The Democrartic Way of Life, New York: Mentor Book, 1951, h. 96.

6Sebagai bahan dukungan kepada argumen ini, berikut ini kami kutipkan pandangan para ahli Barat sendiri yang kiranya cukup relevan:

In every civilization certain men have sought the causes of phenomenal change in nature itself rather in human or superhuman volition. But until the Arabs inherited Greek natural philosophy and Chinese alchemy and transmitted them to the West, there was no single body of natural knowledge that passed from one civilization to another. On the contrary, in every civilization the study of nature took its own path. Greek and Chinese philosophers explained much the same physical world very differently ...Most of these achievements were first absorbed by Islam, which from 750 A.D. to the late Middle Ages stretched from Spain to Turkestan. The Arabs unified this vast body of knowledge and added to it. (George F. Kneller, Science as a Human Endeavor [New York: Columbia University Press, 1978], h.3 dan h.4.

Science, ever since the time of the Arabs, has had two functions: (1) to enable us to know things, and (2) to enable us to do things. The Greeks, with the exception of Archimedes, were only interested in the first of these. They had much curiosity about the world, but, since civilized people lived comfortably on slave labour, they had no interest in technique. (Bertrand Russel, The Impact of Science on Society [London: Unwin Paperbacks, 1985], h. 29).

In science, the Arabs outdistanced the Greeks. Greek civilization was, in essence, a lush garden full of beautiful flowers that bore little fruit. It was a civilization rich in philosophy and literature, but poor in techniques and technology. Thus it was the historic task of the Arabs and the Islamic Jews to break through this Greek scientific cul-de-sac, to stumble upon new paths of science -- to invent the concepts of zero, the minus sign, irrational numbers, to lay foundations for the new science of chemistry -- ideas which paved the path to the moderen scientific world via the minds of post-Renaissance European intellectuals. (Max I. Dimont, The Indestructible Jews [New York: New American Library, 1973], h. 184).

The vast territory, where Islam thus prevailed, established itsef as very different from those territories situated on its frontiers and with whom it was more or less in relation, and in particular very different from the Byzantine and European areas where Christianity held sway, as well as from Asian complex in India and Turkestan which kept its ancient traditons; it was so different that the term Islam also came to be applied to a world whose history was marked by progressive development toward a true civilization. (Dominique Sourdel, Medieval Islam [London: Routledge & Kegan Paul, 1983], h. vii).