Masalah Kontinuitas Budaya dalam
Pembangunan
Oleh : Nurcholish Madjid
Event Artikel : Seminar LIPI, Jakarta 23 November 1994
Diupdated
pada: Senin 9 April 2001
Sumber Daya
Manusia dan Nilai-nilai Budaya
Sekarang ini sudah menjadi kesadaran yang cukup umum
bahwa kemajuan suatu bangsa lebih banyak ditentukan oleh
sumber daya manusianya daripada oleh sumber daya alamnya.
Jika kita melihat keadaan bangsa kita sendiri, Indonesia
adalah bangsa ketiga yang terkaya di dunia (sesudah
Amerika Serikat dan Rusia) dalam hal sumber daya alam.
Namun tidak berarti bahwa bangsa kita adalah yang ketiga
di dunia dalam urutan kemakmuran. Sampai saat sekarang
ini, biarpun setelah mengalami kemajuan yang amat pesat
dan dapat dikatakan "exponential", namun kita
masih tergolong bangsa miskin atau terkebelakang atau,
seuntung-untungnya, bangsa kelas menengah bawah (yang
masih cukup jauh di bawah). Sebabnya ialah bahwa kita,
meskipun kaya dalam hal sumber daya alam, namun miskin
dalam hal sumber daya manusia.
Salah satu unsur sumber daya manusia itu(selain unsur
keahlian sebagaimana sering dibicarakan orang sekarang
ini(ialah sikap kejiwaan atau mind set yang bersifat
mendorong kemajuan dan menopang daya cipta atau
kreatifitas. Nasib suatu bangsa atau kelompok manusia,
baik dalam arti kemajuan ataupun kemundurannya, sangat
ditentukan oleh sikap kejiwaan mereka. Sikap kejiwaan itu
berada dalam bingkai budaya, dan tampil secara nyata
melalui pribadi-pribadi anggota masyarakat dalam bentuk
kepercayaan-kepercayaan (atau etos-etos) dan cara
berfikir mereka.
Kelestarian budaya menjadi amat penting, karena ketulusan
serta kesungguhan berkepercayaan dan berfikir memerlukan
rasa keabsahan dan keotentikan. Kita tidak akan memiliki
kemantapan dalam berkepercayaan, berpandangan hidup atau
menganut suatu etos jika kepercayaan, pandangan hidup
atau etos itu tidak kita rasakan sebagai absah dan
otentik. Dan biasanya rasa keabsahan dan keotentikan itu
kita peroleh antara lain karena adanya rasa kesinambungan
dengan masa lalu dan kelestariannya.
Sudah tentu itu semua harus terjadi dalam kerangka sikap
kritis (yang merupakan fungsi kefahaman yang tepat dan
terbuka), sehingga tidak jatuh kedalam atavisme dengan
menganggap bahwa apa saja yang berasal dari masa lampau
tentu benar dan baik. Atavisme atau obsesi kepada masa
lampau dan pengagungannya biasanya berjalan seiring
dengan sikap-sikap konservatif, karena itu justru akan
menghambat kemajuan dan daya inovasi. Di sinilah mulai
tampak persoalan kesinambungan dan keterputusan:
kesinambungan diperlukan untuk rasa keabsahan dan
keotentikan yang akan berfungsi sebagai landasan
kemantapan dan kreatifitas. Tetapi kreatifitas itu
sendiri akan terhambat jika suatu masyarakat terjerembab
kedalam pandangan-pandangan atavistik dan pemujaan masa
lampau. Maka dalam keadaan tertentu diperlukan kemampuan
"memutuskan" diri dari budaya masa lampau yang
negatif, yang kemampuan itu sendiri dihasilkan oleh
sikap-sikap kritis yang bersifat membangun. Dan sikap
kritis yang membangun itu antara lain merupakan hasil
adanya pengertian menyeluruh nilai-nilai budaya masa
lampau tersebut (termasuk pengertian tentang dinamika
interaksinya dengan tuntutan sejarah) dan keberhasilan
menangkap tantangan zaman mutakhir. Jadi diperlukan
kecakapan mengelola secara kreatif dinamika ketegangan
antara keperluan kepada kelestarian atau kesinambungan
dan kemampuan melakukan inovasi untuk memberi responsi
kepada tuntutan zaman (dalam bahasa kalangan pesantren,
diperlukan sikap-sikap "al-muhafahat-u 'ala al-qadim
al-halih wa al-akhdz-u bi al-jadid al-ahlah"-
memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru
yang lebih baik).
Masalah Kelangsungan dan Keterputusan: contoh
Jepang dan Turki
Ketika Kaisar Hirohito meninggal, orang banyak
membicarakan kedudukannya selaku lambang kontinuitas
budaya Jepang selama ribuan tahun. Kontinuitas itu
dianggap penting, karena memberi rasa keabsahan dan
keontentikan kepada bangsa Jepang dalam menghadapi
perkembangan zaman. Rasa keabsahan dan keotentikan itu,
pada urutannya, menjadi sumber kemantapan dan kepercayaan
diri yang sangat penting bagi kreatifitas dan daya cipta.
Keunggulan bangsa Jepang dalam segi-segi tertentu
sekarang ini atas bangsa-bangsa lain, termasuk atas
bangsa-bangsa Barat, dapat diterangkan sebagai
keberhasilan mereka menerjemahkan modernitas (yang
meskipun dirintis oleh bangsa-bangsa Eropa Barat Laut
namun sesungguhnya bersifat supra-nasional) dalam
kerangka budaya mereka turun temurun. Ilustrasi tentang
hal ini ialah kesuksesan bangsa Jepang mengubah dan
mengembangkan temuan-temuan teknologi Barat seperti
transistor dan microchips menjadi dasar bagi pembuatan
berbagai komoditas yang sangat laku di dunia, seperti jam
tangan, radio, televisi, dan komputer laptop dan
notebook. Jika kita ambil komputer itu saja sebagai
misal, kita mendapati bahwa mesin kecerdasan buatan
(artificial intelligence) itu ditemukan dan dibuat orang
Barat (Amerika) sebagai barang yang amat berguna namun
dalam bentuk dan ukuran yang sangat canggung (komputer
yang mula pertama berukuran sebesar kamar tidur). Adalah
bangsa Jepang yang kemudian mengembangkan komputer itu
sedemikian rupa sehingga dari segi pemakaian dan
ukurannya menjadi praktis dan dapat dibawa kemana-mana
(portable).
Jelas sekali bahwa kebiasaan membuat barang-barang kecil
dan praktis pada bangsa Jepang telah menjadi modal bagi
keberhasilan mereka mengadopsi teknologi Barat modern dan
membuatnya sesuai dengan selera kejepangan, yang kemudian
ternyata juga sangat laku di pasaran dunia. Jadi sikap
kejiwaan (mind set) bangsa Jepang sebagai hasil garis
kelanjutan budaya mereka itu telah melengkapi mereka
dengan kemampuan mencerna modenitas dari Barat sehingga
menyatu dengan sistem budaya mereka sendiri secara
otentik dan absah. Ini membuat modernitas tidak
terus-menerus dirasakan sebagai barang asing yang
disodorkan dari luar (Barat)(yang tentu berakibat
keengganan dan rendahnya kesungguhan dalam menerimanya.
Sebaliknya, kemampuan mencerna sesuatu yang datang dari
luar itu melalui kekuatan budaya mereka sendiri membuat
semuanya menyatu dengan kepribadian budaya mereka dan
tumbuh menjadi unsur baru dan segar budaya itu
sendiri(analog dengan jasmani yang sehat yang memiliki
sistem pencernaan yang kuat, yang mampu mengubah makanan
(dari luar) menjadi bahan yang menyatu dengan tubuh dan
menguatkan jaringan otot dan sarafnya. Pada bangsa
Jepang, demikian itu berkenaan dengan perangkat-perangkat
keras seperti barang-barang elektronik, demikian itu pula
berkenaan dengan perangkat-perangkat lunak seperti teknik
organisasi dan manajemen, sehingga pernah terkenal sekali
apa yang dinamakan organisasi atau manajemen "ala
Jepang".
Kasus Jepang ini sangat menarik jika kita bandingkan
dengan kasus Turki. Dibanding dengan Turki, Jepang
sebagai bangsa bukan Eropa Barat Laut secara nisbi lebih
kemudian dalam usahanya membangun menjadi bangsa moderen.
Turki, disebabkan oleh pengalamannya yang bersifat
langsung menghadapi ancaman bangsa-bangsa moderen Eropa
Barat Laut, dapat dikatakan sebagai yang paling dini di
kalangan bangsa-bangsa bukan-Barat yang berusaha menjadi
"moderen" melalui kegiatan-kegiatan
pembangunan. Namun semua orang tahu bahwa sementara
Jepang berhasil menjadi bangsa moderen yang bahkan dalam
beberapa segi melampaui negara-negara Barat (sebagaimana
disinggung di depan), Turki sampai sekarang masih
menunjukkan ciri-ciri "dunia ketiga", sekalipun
secara nisbi lebih maju daripada bangsa-bangsa lain di
kawasan Timur Tengah.
Keadaan itu lebih-lebih lagi sangat menarik, mengingat
bahwa Turki, dari berbagai segi, sesungguhnya memiliki
unsur-unsur yang lebih menguntungkan daripada yang ada
pada bangsa Jepang. Pertama, secara geografis Turki
merupakan bagian dari kawasan yang oleh orang Yunani
disebut Oikoumene (Arab: al-da'irat-u 'l-ma'mrah,
daerah berperadaban [kuna]), yang intinya ialah
lingkungan antara Nil di barat dan Amudarya atau Oksus di
timur. Ini berarti bahwa Turki berada dalam garis
kontinuum dengan Eropa Barat Laut yang moderen, lebih
daripada Jepang. Apalagi Turki bahkan menguasai
daerah-daerah bekas Bizantium, malah beribukoatakan
Istanbul, bekas Konstantinopel yang dahulu dapat
dikatakan merupakan ibukota Eropa. Kedua, Turki melalui
agama Islam adalah penganut budaya dan peradaban
Irano-Semitik (seperti terwujud dalam budaya dan
peradaban Islam pada puncak-puncak kejayaannya). Ini
berarti bahwa Turki lagi-lagi memiliki kesinambungan yang
baik sekali dengan budaya moderen, khususnya dalam artian
ilmu pengetahuan dan teknologi, lebih daripada Jepang.
Sebab, sekalipun budaya moderen Eropa Barat Laut memiliki
akar-akar tertentu dalam budaya Yunani kuna, namun dalam
hal ilmu pengetahuan dan teknologi lebih merupakan
kelanjutan dari budaya Irano-Semitik yang diwadahi oleh
peradaban Islam. Dan peradaban Irano-Semitik itu sendiri
merupakan kelanjutan dari budaya Nil-Oksus dan
sekitarnya, yang digabungkan secara kreatif oleh kaum
Muslim.6
Tetapi nyatanya ialah bahwa Turki kalah berhasil dalam
mengejar ketertinggalannya dari Eropa Barat daripada
Jepang. Hal ini mungkin dapat ditemukan keterangannya
dalam masalah kesinambungan dan keterputusan. Ketika
Turki memulai pembangunan dirinya untuk mengejar Barat
dengan melakukan modernisasi, para pemimpin Turki,
khususnya Mustafa Kemal, agaknya salah memahami
kemoderenan itu. Ia tidak melihatnya sebagai sesuatu yang
universal dan merupakan kelanjutan logis dari warisan
budaya umat manusia. Mustafa Kemal melihatnya lebih
sebagai produk budaya Barat, yang cara penglihatan itu
membimbingnya ke arah pandangan bahwa menjadi moderen
berarti menjadi Barat dan harus menjadi Barat. Karena itu
ia melancarkan beberapa program pembaratan atau
westernisasi, sejak dari usaha penggantian pakaian
nasional Turki (Usmani) dengan pakaian (Eropa) Barat,
sampai kepada penggantian huruf Arab untuk menuliskan
bahasa Turki ke huruf Latin. Terutama tindakannya menukar
huruf itu mempunyai akibat yang cukup fatal bagi Turki
dilihat dari segi kesinambungan dan kelestarian
budayanya: berbeda dari Jepang yang tetap memelihara dan
memiliki rasa kesinambungan dan kelestarian budaya yang
amat kuat, Turki justru terputus samasekali dari masa
lampaunya, bahkan nampaknya berusaha untuk mengingkari
masa lampau itu. Karena bangsa Jepang tidak pernah
terpikir menggantikan huruf Kanji dengan huruf Latin bagi
penulisan bahasa mereka, maka semua khazanah budaya dan
sastra klasik Jepang tetap dapat dibaca oleh generasi
demi generasi, dan terus menerus mereka pupuk dan
kembangkan sehingga menjadi unsur yang memperkaya
peradaban modern mereka. Maka Jepang menjadi bangsa timur
yang modern dan tetap otentik. Sebaliknya, karena huruf
Arab Turki Usmani digantikan oleh huruf Latin, maka
generasi baru Turki tidak lagi dapat membaca warisan
budaya dan sastra mereka sendiri. Akibatnya, semuanya
harus dimulai dari titik kosong, sementara mereka terus
ditantang untuk mengejar ketertinggalan. Dan jika di
Jepang kemoderenan telah berhasil dicerna menjadi
kejepangan sehingga tidak dirasakan sebagai barang asing
yang tertolak oleh sistem budaya asli, di Turki
kemoderenan itu sampai sekarang, menurut banyak ahli,
masih tetap dirasakan sebagai barang asing yang dirasakan
tidak cocok dengan sistem budaya sendiri, karena itu
tetap ada dorongan untuk menolaknya atau menerimanya
dengan keengganan (analog dengan tubuh yang alergi dengan
benda asing).
Tetapi pengalaman Turki tentu saja tidaklah bersifat satu
sisi. Ada sisi lain yang membuat Turki, sejauh kenyataan
yang ada sekarang, sedikit lebih beruntung daripada
bangsa-bangsa yang cenderung atavistik. Meskipun tidak
seluruhnya berhasil mendorong kreatifitas dan daya
inovasi yang besar seperti Jepang, Turki secara nisbi
lebih bebas dari tawanan masa lampaunya, dan hal itu
kemudian sedikit memberi kelonggaran kepada mereka untuk
lebih bebas bereksperimen dengan hal-hal baru. Inilah
yang barangkali dapat menerangkan mengapa Turki secara
nisbi lebih maju daripada bangsa-bangsa Timur Tengah
lainnya (kemajuan Turki dapat disaksikan dari keunggulan
mereka dalam seni bangunan dan arsitektur seperti yang
mereka perlihatkan pada bangunan-bangunan suci di Makkah
dan Madinah yang mereka kerjakan sebagai pihak
pemborong).
Indonesia sebagai Bangsa Baru
Semua persoalan yang dicoba paparkan di atas itu tentu
saja dimaksudkan untuk menggiring kita kepada kesadaran
tentang persoalan kita sendiri, persoalan Indonesia. Kita
adalah bangsa yang amat besar, bahkan terbesar kelima
setelah Cina, India, Rusia dan Amerika. Wilayah tanah air
kita pun sangat besar, yang bentangan barat-timurnya
(Sabang-Mearuke) sama dengan bentangan London-Teheran.
Tetapi sesungguhnya harus kita sadari bahwa kita, sebagai
bangsa Indonesia, adalah bangsa baru. Unsur-unsur bangsa
Indonesia dengan budayanya masing-masing, seperti Malayu,
Sunda dan Jawa, misalnya, adalah
"bangsa-bangsa" dan budaya-budaya yang cukup
tua dan mapan, tetapi tidaklah demikian halnya dengan
Bangsa Indonesia. Keindonesiaan adalah gejala mutakhir di
Asia Tenggara ini, yang memperoleh eksistensinya terutama
karena proses-proses di India Belanda menuju kemerdekaan
yang berakhir dengan berdirinya Republik Indonesia.
Karena Indonesia dan keindonesiaan adalah gejala baru,
dan masih dalam taraf pertumbuhan dan perkembangannya.
(Menurut Bung Karno, dalam sebuah pidato didepan resimen
Mahajaya pada awal tahun 60-an, hanya kota Jakarta yang
benar-benar merupakan kota Indonesia; kota lain-lain,
barangkali kecuali Medan, adalah kota-kota daerah dan
merupakan pusat-pusat budaya daerah atau suku setempat).
Karena itu, jika kita bicara tentang kesinambngan dan
keterputusan, persoalan Indonesia tidaklah sepenuhnya
analog dengan persoalan Jepang atau Turki, meskipun tentu
ada titik-titik persamaannya. Sama dengan bangsa lain
manapun, kita memerlukan rasa kesinambungan dan
kelestarian sebagai sumber rasa keabsahan dan
keotentikan. Namun berbeda dari kebanyakan bangsa-bangsa
yang lain, kesinambungan dan kelestarian itu harus kita
cari tidak dari suatu khazanah yang dengan tegas dan
jelas merupakan warisan seluruh bangsa Indonesia,
melainkan dari unsur-unsur yang menjadi titik-temu dan
garis kesamaan utama budaya-budaya Nusantara.
Tetapi mungkin kita akan membuat kekeliruan yang gawat
jika kita hanya memperhatikan segi-segi perbedaan
kultural antara (suku) bangsa kita. Kenyataan persatuan
dan kesatuan negara kita sekarang ini(lebih daripada yang
dicapai oleh bangsa-bangsa lain sekitar kita yang baru
merdeka(dapat ditafsirkan sebagai suatu bukti tentang
adanya titik-titik kesamaan potensial antara semua unsur
budaya Nusantara. Tafsir yang sama juga dapat diterapkan
kepada kenyataan mudahnya Bahasa Melayu diterima sebagai
bahasa nasional.
Di samping pengalaman penjajahan oleh Belanda, rasanya
sulit sekali diingkari bahwa salah satu faktor yang
meratakan jalan menuju kesamaan budaya Indonesia ialah
faktor agama Islam. Sebagai anutan rakyat yang relatif
merata sejak dari Sabang sampai Merauke, khazanah
peradaban Islam telah menyediakan rumus-rumus dan
konsep-konsep budaya nasional yang ternyata berlaku
secara efektif, seperti tercermin dalam dunia
peristilahan, idiom dan fraseologi sosial-politik
nasional kita (yaitu, misalnya, istilah-istilah dewan,
wakil, rakyat, musyawarah, mufakat, hukum, hakim,
mahkamah, aman, tertib, hak-hak asasi, wilayah, daerah,
masyarakat, adil, makmur, dan seterusnya yang banyak
sekali).
Dalam ramuannya dengan unsur-unsur budaya lokal yang
otentik dan absah dari sudut pertimbangan nasional,
unsur-unsur khazanah peradaban Islam itu tumbuh menjadi
bahan yang tidak mungkin diabaikan dalam perkembangan
budaya Indonesia. Contoh hal serupa itu banyak sekali,
seperti, misalnya, terpantulkan dalam pepatah yang
berasal dari budaya suku Minangkabau: "bulat air di
pembuluh, bulat kata di mufakat". Kita mengetahui
bahwa pandangan sosial-politik di balik pepatah itu
sekarang sudah diterima sebagai bagian dari budaya
sosial-politik nasional, yaitu id dan konsep
"musyawarah-mufakat."
Pada bagian permulaan sekali makalah ini dikemukakan
bahwa kemajuan suatu bangsa lebih terletak pada kekayaan
sumber daya manusianya daripada sumber daya alamnya. Dan
pada tahap pembangunan sekarang ini yang disebutkan
sebagai tahap menghadapi Era Tinggal Landas, biasa
dikemukakan perlunya bangsa kita memiliki nilai-nilai
kewirausahaan yang bakal mempertinggi produktifitas dan
kemandirian. Dengan adanya berbagai kasus penyimpangan di
bidang ekonomi akhir-akhir ini, seperti kasus Eddy Tanzil
dan ekspor fiktif, serta kasus-kasus korupsi yang menjadi
pembicaraan sehari-hari, orang sering menyatakan rasa
kuatir dan pesemisnya bahwa bangsa kita akan benar-benar
mampu mencapai tahap tinggal landas. Jika kita batasi dan
pusatkan pembicaraan kita kepada masalah ini saja sebagai
contoh persoalan(di samping hal-hal lain yang tentu saja
banyak sekali(maka sesungguhnya kita perlu menghidupkan
kembali dan menghayati nilai-nilai budaya yang relevan.
Misalnya, salah satu unsur kewirausahaan ialah
kesanggupan melihat masa depan, menangkap kemungkinan
jangka jauh, dan menghindar dari jebakan-jebakan jangka
pendek. Oleh karena itu diperlukan adanya sikap
"ingkar kepada diri sendiri" (self denial),
yang dalam masyarakat dapat melahirkan sikap hidup
bersama yang bersemangatkan kewirausahaan, yaitu, menurut
istilahnya Sartono Kartodirdjo, sikap hidup bersama dalam
asketisme sosial. Dalam acuan kepada nilai budaya klasik,
semangat ini dapat merupakan kelanjutan yang absah dan
otentik dari makna di balik pepatah "Berakit-rakit
ke hulu, berenang-renang ke tepian; Bersakit-sakit
dahulu, bersenang-senang kemudian", atau makna
ungkapan dalam bahasa Jawa: "Dedalan guna lan
sekti, kudu andap asor, wani ngalah dhuwur
wekasan" (Jalan menuju kesuksesan ialah, orang
harus rendah hati, berani mengalah namun akhirnya
unggul). Sikap-sikap ekonomi harian yang cukup sederhana
namun amat penting seperti kebiasaan menabung (yang dalam
akumulasinya dalam masyarakat luas akan menghasilkan
tersedianya modal-modal), misalnya, memerlukan sikap
kejiwaan (mind set) asketisme sosial itu, yang
akar-akarnya dapad ditemukan dalam khazanah budaya masa
lampau. Jadi dapat dikatakan memerlukan adanya keinsafan
yang tulus dan otentik akan kesinambungan dan kontinuitas
budaya, di samping kemampuan menciptakan hal-hal baru dan
membuat inovasi-inovasi.
Catatan:
* Dibuat sebagai pokok pikiran untuk diskusi dalam
Seminar di STF Driyarkara, Jakarta, 6-Jan-98.
* Makalah untuk Seminar di LIPI, Jakarta, 7 Februari
1994.
1 Lihat pembahasan yang relevan dalam Alexis de
Tocqueville, Democracy in America, 2 jilid, New York,
Vitage Books, 1945, jil. 1, hh. 264-80.
2 "To say that a man cannot avoid or help doing what
he does amounts to saying that he is not responsible for
his actions. In dealing therefore with unavoidability in
relation to freedom and determinism we have in fact been
dealing with the concept of resposibility." (S.I
Benn dan R.S. Peters, The Principles of Political
Thought, Social Foundations of the Democratic State, New
York: Collier Books, 1959, h. 240.
3 Ibid.
4 Prinsip-prinsip ini, yaitu prinsip kemauan baik
pribadi, komitmen sosial, dan mekainsme pengawasan dan
pengimbangan melalui kebebasan-kebebasan menyatakan
pendapat, berkumpul dan berserikat, sikap tabah dan tulus
untuk mendahulukan kepentingan umum dan menyisihkan
kepentingan pribadi semata, dapat kita simpulkan juga
dari sistem ajaran agama (Islam) yang dianut oleh bagian
terbesar rakyat kita yaitu dari al-Qur'an, surat al-'Ahr
(surat ke 103), yang terjemah lengkapnya adalah kurang
lebih demikian:
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang,
Demi masa,
sungguh manusia pasti dalam kerugian,
kecuali mereka yang beriman,
dan yang beramal kebajikan,
lagipula saling mengingatkan sesamanya tentang kebenaran,
dan saling mengingatkan sesamanya tentang ketabahan.
5 Persons dedicated to the democratic way of life are
capable of moving in the direction of that goal if they
are prepared to accept and live according to the rule of
partial functioning of ideals. Perfectionism and
democracy are imcompatibles. (T.V. Smith dan Eduard C.
Lindeman, The Democrartic Way of Life, New York: Mentor
Book, 1951, h. 96.
6Sebagai bahan dukungan kepada argumen ini, berikut ini
kami kutipkan pandangan para ahli Barat sendiri yang
kiranya cukup relevan:
In every civilization certain men have sought the causes
of phenomenal change in nature itself rather in human or
superhuman volition. But until the Arabs inherited Greek
natural philosophy and Chinese alchemy and transmitted
them to the West, there was no single body of natural
knowledge that passed from one civilization to another.
On the contrary, in every civilization the study of
nature took its own path. Greek and Chinese philosophers
explained much the same physical world very differently
...Most of these achievements were first absorbed by
Islam, which from 750 A.D. to the late Middle Ages
stretched from Spain to Turkestan. The Arabs unified this
vast body of knowledge and added to it. (George F.
Kneller, Science as a Human Endeavor [New York: Columbia
University Press, 1978], h.3 dan h.4.
Science, ever since the time of the Arabs, has had two
functions: (1) to enable us to know things, and (2) to
enable us to do things. The Greeks, with the exception of
Archimedes, were only interested in the first of these.
They had much curiosity about the world, but, since
civilized people lived comfortably on slave labour, they
had no interest in technique. (Bertrand Russel, The
Impact of Science on Society [London: Unwin Paperbacks,
1985], h. 29).
In science, the Arabs outdistanced the Greeks. Greek
civilization was, in essence, a lush garden full of
beautiful flowers that bore little fruit. It was a
civilization rich in philosophy and literature, but poor
in techniques and technology. Thus it was the historic
task of the Arabs and the Islamic Jews to break through
this Greek scientific cul-de-sac, to stumble upon new
paths of science -- to invent the concepts of zero, the
minus sign, irrational numbers, to lay foundations for
the new science of chemistry -- ideas which paved the
path to the moderen scientific world via the minds of
post-Renaissance European intellectuals. (Max I. Dimont,
The Indestructible Jews [New York: New American Library,
1973], h. 184).
The vast territory, where Islam thus prevailed,
established itsef as very different from those
territories situated on its frontiers and with whom it
was more or less in relation, and in particular very
different from the Byzantine and European areas where
Christianity held sway, as well as from Asian complex in
India and Turkestan which kept its ancient traditons; it
was so different that the term Islam also came to be
applied to a world whose history was marked by
progressive development toward a true civilization.
(Dominique Sourdel, Medieval Islam [London: Routledge
& Kegan Paul, 1983], h. vii).
|