MEMASYARAKATKAN BUDAYA DISIPLIN DI DKI
JAKARTA *Ditinjau dari Aspek Agama
Oleh : Nurcholish Madjid
Event Artikel : Seminar Sehari Memasyarakatkan Budaya
Disiplin
Diupdated
pada: Senin 9 April 2001
1. Secara mendasar,
ditinjau dari sudut ajaran keagamaan, disiplin adalah
sejenis perilaku taat atau patuh yang sangat terpuji.
Tetapi agama juga mengajarkan bahwa ketaatan dan
kepatuhan boleh dilakukan hanya terhadap hal-hal yang
jelas-jelas tidak melanggar larangan Tuhan. Sebuah dalil
keagamaan (Islam) mengatakan: "Tidak ada kewajiban
taat kepada sesama makhluk dalam hal yang bersifat
durhaka (ma'siat) kepada Tuhan."
2. Karena itu, sesungguhnya disiplin, taat dan patuh
menyangkut hal yang amat penting tapi cukup pelik, yaitu
keabsahan pimpinan masyarakat dan peraturan-peraturan
yang dibuatnya. Anggota masyarakat cenderung untuk tidak
taat kepada pimpinan atau aturan-aturan yang mereka
anggap tidak sah. Oleh karena setiap kepemimpinan dalam
arti luas (yakni, dalam hal pengaruhnya kepada
masyarakat) ialah kepemimpinan politik, maka sesungguhnya
disiplin dan taat juga tersangkut dengan masalah
legitimasi politik.
3. Selanjutnya, hal itu berarti bahwa disiplin juga
menyangkut masalah tingkat rasa ikut punya (sense of
belonging) dan rasa ikut serta (sense of participation)
masyarakat. Ketika suatu tatanan dirasakan oleh
masyarakat sebagai tidak adil-yang berarti tidak
absah-maka sulit sekali diharapkan adanya rasa ikut punya
dan ikut serta tersebut, sehingga dengan sendirinya juga
sulit terjadinya disipilin. Situasi revolusioner, dimana
masalah ketaatan dan kepatuhan kepada susunan mapan
terjungkir balikkan, adalah situasi akibat perasaan dan
pendapat umum bahwa tatanan yang ada itu tidak adil dan
tidak absah.
4. Dalam keadaan pimpinan diterima sebagai absah oleh
masyarakat, maka kewajiban untuk menaatinya dan untuk
mematuhi segala perintah dan larangannya menjadi
kewajiban keagamaan. Kewajiban taat kepada pimpinan yang
sah berada pada peringkat ketiga setelah kewajiban taat
kepada Tuhan dan kepada Rasul-Nya. (Lihat Al-Qur'an, s.
al-Nisa'/4:59). Sebab asumsinya ialah bahwa
"pemegang wewenang" (wali al-amr) yang sah
tentu menjalankan kepemimpinan dan kekuasaan untuk
kebaikan semua anggota masyarakat, sesuai dengan tuntutan
ajaran yang benar.
5. Oleh karena itu dasar bagi semuanya, baik bagi
pemimpin maupun yang dipimpin, ialah taqwa kepada Allah
atau keinsafan yang mendalam akan makna Ketuhanan Yang
Maha Esa. Al-Qur'an menyebutkan bahwa dasar hidup yang
benar ialah "taqwa kepada Allah dan
keridlaan-Nya" (Q., 9:101), yang wujudnya ialah
sikap menempuh dan menjalani hidup dengan kesadaran bahwa
Allah menyertainya di setiap saat dan tempat. Kesadaran
itu akan membimbingnya kepada perilaku yang baik, yaitu
budi luhur atau akhlaq karimah, karena menginsafi
sedalam-dalamnya bahwa Allah rela hanya kepada kebaikan,
dan tidak rela kepada sikap membangkang dan durhaka.
6. Dasar taqwa itu diperlukan, karena disiplin yang
sejati tidak tergantung kepada adanya pengawasan
lahiriah. Ketulusan dalam perilaku, termasuk disiplin,
mengharuskan adanya keyakinan bahwa semua perbuatan orang
bersangkutan itu ada yang mengawasi secara gaib dan
mutlak, yaitu Tuhan. Karena itu Rasulullah s.a.w.
bersabda bahwa seseorang yang berbuat kejahatan, pada
waktu sedang menjalankan kejahatannya itu tidaklah
beriman, karena pada waktu itu dia menolak (kufur) kepada
adanya pengawasan Tuhan.
7. Oleh karena itu, dalam rangka menanamkan budaya
disiplin, memang penting sekali ditanamkan keimanan
kepada Allah yang mendalam, khususnya keimanan dalam arti
keinsafan akan adanya Dia Yang Maha Hadir (Omnipresent),
yang selalu menyertai manusia dan tidak pernah
"absen" barang sedetikpun dalam mengawasi
tingkah laku manusia itu.
".... Maka kemanapun kamu menghadap, di sanalah
Wajah Allah." (Al-Qur'an, s. al-Baqarah/2:115).
".... Dan Dia (Tuhan) itu beserta kamu dimanapun
kamu berada, dan Allah Maha Tahu segala sesuatu yang kamu
kerjakan." (Al-Qur'an, s. al-Hadid/57:4).
"Tidakkah engkau tahu bahwa Allah mengetahui segala
yang ada di seluruh langit dan segala yang ada di bumi.
Tidak akan terjadi bisikan antara tiga orang kecuali Dia
adalah yang keempat, dan tidak akan terjadi bisikan
antara lima orang kecuali Dia adalah yang keenam, tidak
juga lebih sedikit dari itu atau lebih banyak kecuali Dia
mesti bersama mereka dimanapun mereka berada. Kemudian
Dia akan membeberkan kepada mereka segala sesuatu yang
telah mereka kerjakan, nanti di Hari Kiamat. Sesungguhnya
Allah Maha Tahu atas segala sesuatu." (Al-Qur'an, s.
al-Mujadalah/58:7).
".... Maka barangsiapa memperbuat seberat atom
kebaikan, ia akan melihatnya; dan barangsiapa memperbuat
seberat atom kejahatan, ia pun akan melihatnya."
(Al-Qur'an, s. al-Zalzalah/99:7-8).
8. Semua yang di atas itu bersifat dasar, dan dimensinya
lebih pribadi. Jika setiap pribadi memiliki rasa tanggung
jawab yang mendalam berdasarkan keinsafan Ketuhanan itu,
maka dapat diharap ia akan tampil dengan penuh ketulusan,
termasuk dalam menaati dan mematuhi pimpinan dan
peraturan-peraturannya, karena keyakinan bahwa semuanya
itu akan membawa kebaikan umum (mashlahat) masyarakat
yang luas. Perilaku seperti itu tentunya akan mendapat
ridla Allah.
9. Tetapi agama juga mengajarkan bahwa suatu perilaku
yang baik, setelah tumbuh sebagai iktikad pribadi
berdasarkan iman dan taqwa, harus dikukuhkan melalui
suatu tatanan sosial tertentu. Dalam masyarakat
senantiasa diperlukan adanya mekanisme saling
mengingatkan dan menguatkan tentang apa yang baik dan
benar. Dengan perkataan lain, untuk tegaknya perilaku
yang baik, yang akan menguntungkan pribadi bersangkutan
sendiri dan masyarakat, perlu adanya "social
control" dan "law enforcement." Dalam
Al-Qur'an, s. al-'Ashr/103:1-3 kita diingatkan bahwa
untuk kesentosaan kita, baik sebagai individu maupun
komunitas, diperlukan (1) iman, yaitu komitmen pribadi
kepada nilai luhur berdasarkan wawasan tentang ridla
Allah, (2) berbuat baik, sebagai perwujudan sosial
komitmen pribadi itu, (3) saling mengingatkan sesama
anggota masyarakat tentang yang benar dan baik, dalam
mekanisme pemantauan dan pengimbangan yang efektif, dan
(4) saling mengingatkan tentang perlunya sikap tabah,
yaitu, antara lain, tahan mengorbakan kepentingan pribadi
untuk kepentingan umum, jadi tidak egois.
10. Berkaitan erat dengan segi sosial masalah disiplin
ini penting sekali penampilan yang berwibawa dari para
pemegang peran "law enforcement". Dan yang
dimaksud dengan para pemegang peran "law
enforcement" itu tidaklah terbatas hanya kepada
tenaga kepolisian (sekalipun mereka ini yang secara nyata
terlibat langsung dalam usaha "law
enforcement") tetapi meliputi seluruh aparat yang
langsung atau tidak langsung berkaitan dan berkepentingan
dengan masalah disiplin, khususnya aparat pemerintahan
secara keseluruhan.
11. Salah satu unsur kewibawaan adalah keteladanan. Tidak
akan ada wibawa tanpa yang bersangkutan memberi teladan
tentang apa yang dikehendaki dan diperintahkan. Ungkapan
terkenal "Ing ngarsa sung tulada" adalah
kata-kata hikmah yang sangat relevan dengan usaha
penegakkan disiplin ini, sebagaimana juga relevan untuk
peran kepemimpinan manapun. Sedangkan agama, dalam Kitab
Suci Al-Qur'an, dengan keras memperingatkan janganlah
sampai kita menganjurkan sesuatu namun diri kita sendiri
tidak menjalankannya:
"Wahai sekalian orang beriman! Mengapa kamu
mengatakan sesuatu yang kamu sendiri tidak
menjalankannya? Sungguh besar dosanya di sisi Allah bahwa
kamu mengatakan sesuatu yang kamu sendiri tidak
menjalankannya." (Al-Qur'an, s. al-Shaff/61:3).
12. Dalam hal ini patut sekali dipikirkan kebenaran
ungkapan bahwa: "Bahasa perbuatan adalah lebih fasih
daripada bahasa ucapan"Lisan-u 'l-hal-i afshah-u min
lisan-i 'l-maqal-i). Sesuatu yang mungkin memerlukan
seribu kata untuk menerangkannya kadang-kadang cukup dan
lebih baik diterangkan dengan satu tindakan nyata saja.
Karena itu ada ungkapan hendaknya kita mengajak
masyarakat ke arah kebaikan, termasuk disiplin,
"dengan bahasa perbuatan (al-da'wah bi lisan-i
'l-hal) , dan tidak hanya "dengan bahasa
ucapan" (bi lisan-i 'l-maqal) saja.
13. Unsur lainnya guna menegakkan wibawa dan ketauladanan
ialah konsistensi atau istiqamah. Sesuatu, apalagi yang
berupa aturan umum, yang dijalankan tidak secara
konsisten akan dengan sendirinya merusak wibawa sesuatu
atau aturan itu. Akibatnya, tumbuhnya disiplin juga tidak
mungkin dapat diharap. Dalam amalan keagamaan,
konsistensi atau istiqamah merupakan syarat agar amalan
itu dapat mencapai hasil yang dihendaki secara optimal.
Misalnya, dalam Al-Qur'an disebutkan bahwa "Mereka
yang berkata, 'Pangeran kami ialah Allah,' kemudian
mereka ber-istiqamah, maka para malaikat akan turun
kepada mereka...." (Al-Qur'an, Fushshilat/41:30).
Jadi mereka yang konsisten dalam iman kepada Allah itu
akan mendapatkan kebaikan yang optimal. Juga difirmankan,
"Kalau saja mereka itu ber-istiqamah di atas jalan
kebenaran, maka pastilah Kami (Tuhan) siramkan
(anugerahkan) kepada mereka air (kehidupan yang bahagia)
yang melimpah." (Al-Qur'an, s. al-Jinn/72:16).
14. Itu semua menunjukkan faedah yang menjadi segi
kebaikan (merit) konsistensi. Maka karena diperlukan
adanya konsistensi atau istiqamah ini, suatu ketentuan
tidak akan mengundang ketaatan, kepatuhan dan disiplin
jika dapat diubah atau berubah dengan mudah.
Id-id tentang "tertib hukum" dan
"kepastian hukum" sangat erat terkait dengan
masalah ini. Jadi tuntutan untuk berdisiplin tidak cukup
hanya dengan menekankan kewajiban "pihak bawah"
untuk selalu tunduk kepada "pihak atas",
melainkan memerlukan pendekatan yang cukup menyeluruh
seperti dicoba kemukakan di atas.
15. Selanjutnya, jika disebut "budaya
disiplin", maka pengertiannya ialah suatu perilaku
tertentu, yaitu disiplin, yang berakar dalam budaya, atau
ditopang oleh budaya. Dalam kaitannya dengan agama,
budaya adalah wujud nilai-nilai keagamaan yang diserap
oleh peribadi-pribadi (internalisasi), dimasyarakatkan
dalam sistem pergaulan hidup bersama (sosialisasi), dan
dilembagakan dalam pranata-pranata tradisi
(institusionalisasi). Dengan begitu, dalam kaitannya
dengan agama, budaya adalah "penentu" nilai
baik-buruk serta benar-salah dalam masyarakat secara
umum.
16. Dalam pengertian itu, budaya adalah hasil akumulasi
pengalaman dan pengamalan suatu nilai dalam masyarakat,
dalam kurun waktu yang panjang, maka budaya selalu ada
bersama tradisi dan terkait dengan tradisi. Karena
"tradisi" adalah sesuatu yang terjadi
berulang-ulang (dalam bahasa Arab disebut 'adat-un,-
"adat" - artinya, sesuatu yang terjadi secara
berulang-ulang), maka budaya pun adalah hasil pengulangan
yang lumintu, lestari dan konsisten. Karena itu faktor
pembiasaan (habitualization) menjadi amat penting dalam
penanaman budaya disiplin. Karena pentingnya pembiasaan
ini, maka Nabi s.a.w., misalnya, memberi petunjuk agar
kita membiasakan diri berbuat baik, meskipun sekedar
menyingkirkan sepucuk duri dari jalanan, dan meskipun
sekedar tersenyum kepada kawan. Jika pembiasaan berhasil,
dan kebiasaan pun tumbuh, maka akan menjadi budaya, dan
tidak terasa lagi sebagai beban. Dalam bahasa Inggris
terkenal pepatah, "Habit is second nature"
(Kebiasaan adalah watak kedua).
17. Usaha pembiasaan akan berjalan dengan baik kalau
tidak ada faktor-faktor yang memutus atau
mengintrupsinya. Jadi memerlukan nilai konsistensi dan
istiqamah di atas tadi. Pemutusan atau interupsi kepada
proses pembiasaan dapat terjadi dari berbagai penjuru.
Umpamanya, jika kita ambil contoh yang paling kongkret
saja, pembiasaan dan kebiasaan mematuhi ketentuan harus
berhenti pada lampu merah di jalanan akan dengan
sendirinya buyar, dan jiwa kebiasaan baik yang mulai
tumbuh itu runtuh, kalau lampu merah itu sering mati,
atau menyala secara tak terduga (unpredictable) akibat
mekanismenya yang rusak, misalnya. Jadi, dalam skema
besarnya, ketidakpastian lampu lalu lintas itu menyala
atau tidak mengandung makna "ketidak pastian aturan
atau hukum" yang lebih mendalam, dan ini jelas
merusak proses penumbuhan taat, patuh dan disiplin lalu
lintas.
18. Masalah lain yang bersangkutan dengan persoalan
disiplin ialah masalah kelangkaan (scarcity). Sesuatu
yang diperlukan orang banyak namun terjadi kelangkaan
padanya (tidak mudah diperoleh) akan dengan sendirinya
mendorong orang untuk mengabaikan disiplin atau patuh
kepada aturan. Sama dengan hukum ekonomi tentang
pengadaan dan permintaan (supply and demand), yaitu bahwa
jika terjadi pengadaan yang kurang maka tentu laju
permintaan akan relatif menaik dan mendorong kenaikan
harga, maka demikian pula dengan hal-hal lain yang
menyangkut masalah disiplin. Seseorang berdisiplin karena
ia yakin bahwa ia akan memperoleh sesuatu yang
dikehendakinya, tanpa berebut dan merusak aturan. Tetapi
ketika ia tidak lagi yakin bahwa ia akan memperoleh yang
dikehendakinya itu, maka mulailah ia "mencari jalan
pintas", dan itu berarti tidak lagi mengindahkan
tatanan wajar, kemudian disiplin pun dengan sendirinya
rusak. Fenomena semrawutnya lalu lintas kita sehari-hari
ada kaitannya dengan masalah ini.
19. Kaedah hukum agama mengatakan bahwa "Keadaan
darurat membolehkan hal-hal terlarang"
(Al-dlarrat-u tubih-u 'l-mahzhrat). Meskipun
ketentuan apakah suatu keadaan itu darurat atau tidak
bisa sangat subyektif (tergantung kepentingan dan
pandangan pribadi bersangkutan), namun ketentuan
keagamaan ini perlu diperhatikan dalam rangka memahami
persoalan kelangkaan di atas itu. Lebih-lebih karena
sesungguhnya ketentuan bahwa keadaan darurat membuat
aturan tidak lagi berlaku-berarti tidak perlu
disiplin-secara psikologis adalah umum sekali di kalangan
umat manusia. Karena itu memberlakukan sesuatu sebagai
"darurat", seperti menunda (sementara) suatu
aturan yang sedang berlaku dengan alasan ada
"kepentingan yang lebih besar", hendaknya
dilakukan dengan penuh pertimbangan, termasuk, mestinya,
dengan terlebih dahulu dikaji apa dampaknya dalam jangka
panjang, dan dikonsultasikan dengan para pemimpin rakyat.
20. Sudah tersirat dalam pembahasan di atas, bahwa
akhirnya satu lagi hal yang tidak boleh diremehkan dalam
usaha membudayakan disiplin ini, yaitu rasa keadilan.
Disiplin akan terwujud dengan baik jika dalam masyarakat
ada keadilan yang dirasakan secara umum. Perasaan
teringkari dan diperlakukan secara tidak adil akan dengan
sendirinya membuka pintu bagi adanya "wawasan
revolusioner", yakni, suatu wawasan yang karena
terpusat kepada usaha mengubah yang tidak adil menjadi
adil, yang akan berdampak kepada memudarnya disiplin,
karena setiap aturan akan dipandang hanya menguntungkan
mereka yang sedang beruntung. Maka dengan perkara
disiplin ini tersangkut pula perwujudan cita-cita dasar
kita bernegara, yaitu "dengan mewujudkan keadilan
sosial" bagi seluruh rakyat. Dari sudut agama,
masalah ini terkait dengan "Hukum Allah"
(Sunnatullah) bahwa kehancuran suatu masyarakat biasanya
dimulai oleh tidak adanya keadilan sosial dalam
masyarakat itu, akibat tingkah laku orang-orang kaya yang
tidak lagi peduli kepada kewajiban moral mereka untuk
memperhatikan nasib orang miskin, dan sikap mereka yang
tidak menjaga perasaan umum kalangan yang kurang
beruntung:
"Dan jika Kami (Tuhan) berkehendak untuk
menghancurkan suatu negeri, maka Kami perintahkan (untuk
berbuat baik) kepada golongan yang hidup mewah (kaya)
dalam masyarakat itu, namun mereka durhaka juga. Maka
keputusan (vonis) pun pasti jatuh kepada negeri itu, dan
Kami pun menghancurkan-luluhkannya." (Al-Qur'an, s.
al-Isra'/17:16).
Wallahu a'lam.
|