PANDANGAN KEAGAMAAN TERHADAP TEORI EVOLUSI: Tinjauan dari Sudut Semiotika Islam
Oleh : Nurcholish Madjid
Event Artikel : Seminar LIPI-IAIN-ICMI, Jakarta, 18 Desember 1996
Diupdated pada: Senin 9 April 2001

Mukadimah

Hentakan terakhir untuk membicarakan teori evolusi dari sudut pandangan agama muncul karena pernyataan Paus Yohannes Paulus II baru-baru ini bahwa gereja Katolik dapat menerima dan membenarkan teori evolusi yang telah dirintis oleh Charles Darwin. Pernyataan Paus itu serentak mengejutkan dan melegakan. Mengejutkan, karena selama ini gereja Katolik dikenal menentang teori evolusi karena dipandang tidak sejalan dengan ajaran Alkitab. Melegakan, karena dampak dari pernyataan itu tentu membebaskan banyak ilmuwan dari stigma sebagai anti agama, padahal banyak dari mereka yang cukup saleh. Di Amerika Serikat, misalnya, mungkin dampak positif bagi para ilmuwan itu lebih-lebih lagi terasa, karena kaum ilmuwan “evolusionis” sekarang punya “amunisi” menghadapi kaum agamawan “kreasionis”.

Konon di dunia Kristen Barat ada empat buku yang dinilai paling banyak menggoncangkan iman. Selain buku Charles Darwin, The Origin of Species and the Survival of the Fittest by Means of Natural Selection, tiga lainnya ialah, berturut-turut buku Adams Smith, The Wealth of Nations, buku Karel Marx, Das Kapital, dan buku Sigmund Freud (?). Adams Smith dikatakan telah mendorong umat manusia menuju kapitalisme yang zalim dan tidak berperikemanusiaan. Karel Marx melahirkan komunisme yang anti Tuhan. Sigmund Freud merendahkan martabat manusia sehingga menjadi tidak lebih daripada binatang yang dikuasai nafsu-nafsu rendah. Dan Charles Darwin meniadakan peran Tuhan selaku Pencipta manusia (sebagaimana dituturkan dalam Kitab Kejadian). Kesemuanya itu, di mata Julian Huxley (seorang humanis sekular), merupakan dukungan bagi ide tentang “agama tanpa wahyu” seperti ia coba kembangkan.

Bagi mereka yang mendukung, teori evolusi adalah suatu jenis ilmu pengetahuan yang “obyektif” dan “bebas nilai”. Tapi bagi mereka yang menentang, teori itu adalah ideologi yang subyektif dan tertutup, paling-paling hanyalah sebuah “ilmu palsu” (pseudo science, ersatz science). Karena itu penolakan mereka juga bersifat tertutup, dengan pelaknatannya sebagai anti agama. Tapi dengan adanya pernyataan Paus tersebut, maka kini menjadi jelas bahwa teori evolusi bagi gereja Katolik adalah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu teori evolusi dapat bermanfaat untuk iman, sama dengan cabang-cabang ilmu pengetahuan lainnya yang sekarang sudah dianggap biasa-biasa saja.


Sikap Agama-agama terhadap Ilmu Pengetahuan
Meskipun kenyataannya teori evolusi itu memang ilmu pengetahuan yang relatif saja kebenarannya, namun sejarah mencatat adanya perlawanan kaum agamawan kepadanya, sama dengan catatan sejarah tentang perlawanan agama kepada jenis-jenis ilmu pengetahuan yang lain. Tapi sebenarnya tidak semua agama menentang ilmu pengetahuan. Menurut Karen Armstrong, sebenarnya ilmu pengetahuan dipandang mengganggu iman hanya di kalangan tertentu Kristen Barat saja. Ini tentu mengesankan keanehan, karena ilmu pengetahuan moderen justru berkembang pesat di sana, kemudian menyebar ke seluruh dunia. Mereka sering merasa terancam oleh ilmu pengetahuan, karena mereka punya kecenderungan kuat untuk menafsirkan kitab suci secara harfiah. Tapi sebagian besar kaum Kristen juga mampu menyesuaikan diri dengan ilmu pengetahuan dan memberi rensponsi yang baik.

Di kalangan Kristen Timur (Ortodoks Yunani), Yahudi dan Islam, yang kesemuanya tidak menafsirkan bunyi kitab suci mereka secara harfiah melainkan memberi tafsiran metaforis atau alegoris, ilmu pengetahuan dan falsafah lebih dapat diakomodasi, sekalipun akhirnya banyak yang ditinggalkan juga. Karena itu di kalangan mereka ilmu pengetahuan sedikit saja dipandang sebagai ancaman terhadap iman. Kata Armstrong,

Ilmu-pengetahuan telah dirasakan mengancam hanya oleh mereka dari kalangan kaum Kristen Barat yang telah terbiasa membaca kitab suci secara harfiah dan menafsirkan doktrin-doktrin seolah-olah semuanya itu merupakan fakta obyektif. Para ilmuwan dan failasuf yang tidak menemukan ruang untuk Tuhan dalam sistem mereka biasanya merujuk kepada ide tentang Tuhan sebagai Penyebab Pertama, suatu faham yang nantinya ditinggalkan oleh kaum Yahudi, Muslim dan Kristen Ortodoks Yunani di waktu Abad Tengah.

Walaupun begitu, ada sejumlah penting orang-orang Kristen yang segera melihat bahwa temuan-temuan Darwin samasekali tidak fatal kepada ide tentang Tuhan. Pada dasarnya, agama Kristen telah mampu menyesuaikan diri kepada teori evolusi dan kaum Yahudi dan Muslim tidak pernah secara serius terganggu oleh temuan-temuan ilmiah tentang asal usul kehidupan....

.....doktrin penciptaan dari tiada (“ex nihilo”) sudah lama mengandung masalah dan masuk ke dalam agama Yahudi dan Kristen agak baru; dalam Islam penciptaan alam raya oleh Allah dianggap wajar saja tetapi tidak ada pembahasan rinci tentang bagaimana hal itu berlangsung. Seperti halnya dengan semua pembicaraan al-Qur’ān tentang Tuhan, ajaran penciptaan hanyalah suatu “tamsil ibarat”, sebuah perlambang atau simbul. Kaum monotheis dari tiga agama semuanya menganggap penciptaan adalah sebuah mitos, dalam arti kata yang paling positif: ia merupakan penuturan simbolik yang membantu manusia lelaki dan perempuan untuk menanamkan suatu sikap keagamaan tertentu.

Saat sekarang, kita biasanya memandang ilmu-pengetahuan dan falsafah sebagai bersifat menentang agama tetapi para Failasuf (Islam) biasanya adalah orang-orang yang taat (agama) dan memandang diri mereka sebagai penganut-penganut Nabi yang setia.

Tradisi Islam menekankan pentingnya imaginasi: failasuf Sufi yang besar Muhy al-Dīn al-‘Arabī (w. 1240) bicara tentang imaginasi sebagai kemampuan anugerah Tuhan untuk mewujudkan penyingkapan Ketuhanan secara pribadi, atau manifestasi dari Tuhan, dalam dunia sekeliling kita. Kemampuan manusia yang luar biasa ini membuat orang mampu bertahan terhadap kejutan dan tragedi yang jasmani rawan kepadanya. Tetapi al-Qur’ān tidak menuntut kaum Muslim untuk meninggalkan akal mereka. Pertanda (ayat) adalah “untuk orang yang memiliki pengertian”, “untuk orang yang tahu”: kaum Muslim didorong untuk “menelaah” pertanda-pertanda dalam dunia alam dan menelitinya dengan penuh perhatian. Sikap ini juga membantu menumbuhkan kebiasaan rasa ingin tahu yang cerdas yang membuat kaum Muslim mampu mengembangkan tradisi yang cemerlang dalam ilmu alam dan matematika. Tidak ada pertentangan antara penyelidikan ilmiah rasional dan agama dalam tradisi Islam, seperti halnya menjadi tampak dalam abad kesembilanbelas ketika kaum Kristen merasa bahwa temuan-temuan Lyell dan Darwin telah merongrong iman tanpa dapat ditolak.

Demikian itu tinjauan seorang yang banyak meneliti dan mendalami agama-agama. Kita coba sekarang lihat bagaimana sikap orang Islam terhadap ilmu pengetahuan, khususnya teori evolusi. Sebab sikap mereka inipun tidak dapat dipukul rata sebagai sama semua.

Karena kenyataan-kenyataan itu, maka sebetulnya sikap kaum Muslim terhadap ilmu pengetahuan tidaklah sepenuhnya sama dan tunggal. Sekalipun memang benar bahwa umat Islam secara keseluruhan, seperti diperhatikan oleh Karen Armstrong, tidak anti ilmu pengetahuan, bahkan menggunakannya untuk menguatkan iman kepada Tuhan, namun terdapat juga kelompok-kelompok Islam eksentrik yang menentangnya. Lebih-lebih di zaman mutakhir ini, saat ketika umat Islam banyak dinilai telah mengalami “polusi” dalam memahami agamanya dan menyimpang jauh dari sumbernya (maka ada seruan kembali kepada Kitab Suci dan Sunnah Nabi), banyak terdengar suara aneh yang menentang suatu temuan atau perkembangan ilmu pengetahuan. Misalnya, ada yang menghukum sebagai kafir mereka yang percaya bahwa manusia telah menjejakkan kakinya di rembulan. Dan cerita anekdotal dari Arab Saudi menuturkan bagaimana dahulu para ulama mengharamkan telepon karena bagi mereka merupakan pekerjaan syetan (ada suara tetapi tidak tampak yang berbicara, seperti makhluk halus)! Sekalipun mereka sedikit sekali (dalam bahasa Arab diledek sebagai syirdzimah qalīlah - golongan eksentrik yang kecil), namun karena satu-dua orang dari mereka dianggap berwenang dalam pengetahuan agama - disebut “ulama”, “syeikh” atau “kiyahi”—maka suara mereka bergaung nyaring dalam masyarakat Muslim. Jadi tidak dapat diabaikan begitu saja.

Sebetulnya di zaman moderen inipun sikap menentang ilmu pengetahuan tidak pernah menjadi pandangan, apalagi gerakan keagamaan, yang serius, seserius dalam kalangan tertentu dari gereja Kristen Barat. Termasuk teori evolusi Darwin, para ulama Islam boleh dikata tidak pernah mempersoalkannya. Ini disebabkan, seperti dikatakan Armstrong di atas, bahwa sekalipun al-Qur’ān dengan jelas menyebutkan alam raya ini sebagai ciptaan Tuhan, namun tidak ada keterangan detail, sedetail keterangan dalam Kitab Kejadian (Genesis), tentang bagaimana terjadinya penciptaan itu. Keterangan-keterangan dalam al-Qur’ān selalu bersifat garis besar, sehingga selalu membuka kemungkinan tafsiran yang beraneka ragam. Maka ilmu tafsir lambang-lambang atau semiotika menjadi sangat relevan. Bahkan al-Qur’ān sendiri memuat beberapa keterangan tentang nilai semiotik pernyataan-pernyataannya. Misalnya, disebutkan dalam al-Qur’ān bahwa Tuhan telah menciptakan alam raya (langit dan bumi) dalam enam hari, sama dengan yang disebutkan dalam Genesis. Tapi juga ada keterangan bahwa yang dimaksudkan dengan “hari” di situ bukanlah hari manusia seperti yang kita alami dalam hidup di dunia ini, melainkan “hari” yang menurut perhitungan manusia sama dengan seribu tahun, atau malah ada keterangan sama dengan limapuluh ribu tahun. Jadi jelas sekali bahwa penggunaan perkataan “hari” untuk menggambarkan “masa” penciptaan langit dan bumi tidaklah dimaksudkan dalam makna harfiahnya seperti dikenal manusia, melainkan sebagai lambang, alegori atau metafor (majāz). Perkataan “hari” juga digunakan sebagai “pendekatan kultural” kepada manusia, karena manusia mengenal “hari” sebagai kesatuan waktu yang paling penting. Lebih jauh lagi, “pendekatan kultural” ini juga sejalan dengan keterangan dalam al-Qur’ān sendiri bahwa Tuhan tidak pernah mengutus seorang utusanpun kecuali dengan bahasa kaumnya. Dan “bahasa” di situ tidak dimaksudkan hanya sebagai pola penuturan dalam arti abjad, kata-kata dan kalimat saja, tetapi juga pola berfikir umum menurut zaman dan tempat. Maka termasuk “bahasa kaumnya” itu ialah kosmologi bahwa Tuhan telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, kemudian, menurut al-Qur’ān, pada hari ketujuh Tuhan “bertahta di atas Singgasana” dan menetapkan aturan seluruh jagad raya:

Sesungguhnya Pangeran kamu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari lalu Ia bertahta di atas Singgasana; Ia menutup malam dengan siang yang terus-menerus mengiringinya, dan matahari, rembulan serta bintang-bintang semuanya tunduk kepada perintahNya. Ingatlah, hanya ada pada Allah urusan penciptaan dan perintah. Maha Tinggi Allah, Pemangku sekalian alam.

Keterangan al-Qur’ān itu berbeda dengan keterangan dalam Perjanjian Lama yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, dan hari ketujuh adalah hari sabat (istirahat) bagi Tuhan, sehingga manusiapun harus istirahat pula. (Al-Qur’ān menyebutkan bahwa hari sabat - diindonesiakan melalui Bahasa Arab menjadi “sabtu” - ditetapkan bagi kaum Israil hanya sebagai ujian kepada mereka yang selalu berselisih). Keterangan dalam Kitab Kejadian atau Genesis yang difahami secara harfiah itu, salah satu akibatnya ialah, kaum Yahudi menganut kalender yang perhitungan tahunnya tidak dimulai dari suatu kejadian historis seperti kalender Masehi dan Hijri, melainkan dari saat penciptaan alam oleh Tuhan, dan itu terjadi sekitar enam ribu tahun yang lalu saja! Jadi keterangan dalam Genesis, jika difahami secara harfiah, memang langsung bertentangan dengan ilmu pengetahuan (yang antara lain mengatakan bahwa alam raya sudah ada sejak milyaran tahun yang lalu).

Bagi kalangan Islam yang menolak teori evolusi, dasarnya ialah keterangan dalam Kitab Suci bahwa jika Allah menghendaki sesuatu Ia hanya berfirman, “Jadilah!”, maka sesuatu itupun menjadi. Berarti tidak ada evolusi atau proses menjadi yang lama, melainkan semuanya terjadi secara “mendadak-sontak”. Tetapi seorang ulama Indonesia yang terkenal, yaitu Ustadz Said Hilabi (tokoh Al-Irsyad, tinggal di Jakarta), berpendapat bahwa hal itu tidaklah demikian. Tinjauan beliau adalah dari sudut kebahasaan (Arab). Ungkapan al-Qur’ān yang bersangkutan terbaca “kun fa-yakūn?u” sehingga terjemah harfiahnya yang lebih tepat ialah, “‘Jadilah,’ maka sesuatu itupun akan menjadi,” sehingga tersimpulkan adanya tenggang waktu, yaitu proses. Seandainya yang dimaksud ialah seperti yang banyak difahami orang, yaitu sesuatu terjadi saat difirmankan Allah “Jadilah!” itu juga, maka lafalnya seharusnya berbunyi “kun yakun”. Berdasarkan argumen ketatabahasaan Arab itu Ustadz Hilabi membenarkan teori evolusi, atau, dari sudut sebaliknya, teori evolusi membenarkan agama seperti termuat dalam al-Qur’ān. Apalagi jika ungkapan “enam hari” tersebut di atas difahami sebagai majāz atau perumpamaan (parable), kemudian keterangan al-Qur’ān sendiri bahwa “sehari” di sisi Allah sama dengan “seribu tahun” di sisi manusia atau malah “limapuluh ribu tahun” juga difahami sebagai perumpamaan, maka tafsiran ilmu pengetahuan menjadi tetap terbuka. Sebab ilmu-pengetahuan itu sendiri, dari sudut pandangan al-Qur’ān, tidak lain ialah hasil pemahaman manusia dan penyimpulannya dari kegiatan memperhatikan alam raya dan lingkungan sekitarnya sebagaimana diperintahkan.


Penutup

Dari semua yang telah dicoba uraikan di atas itu, kiranya dapat disimpulkan bahwa ilmu pengetahuan - sepanjang ia memang benar-benar ilmu pengetahuan dan tidak seperti, misalnya, Marxisme yang diklaim sebagai “sosialisme ilmiah” namun sebenarnya adalah sebuah ideologi - tidak bertentangan dengan agama, sepanjang doktrin-doktrin agama tidak diartikan secara harfiah, melainkan didekati secara semiotik sebagai ayat, pertanda atau sistem perlambangan (symbolic system). Sebagaimana dibuktikan oleh sikap para penafsir agama sendiri - seperti yang terakhir kali diwakili oleh pernyataan Paus Yohanes Paulus II tentang teori evolusi - sikap iman terhadap ilmu pengetahuan tidak akan berhenti pada satu titik.