Pembinaan Nilai-nilai Kejuangan sesuai dengan Jati Diri Bangsa guna Menyukseskan PJP-II
Oleh : Nurcholish Madjid
Event Artikel : Seminar Nasional
Diupdated pada: Senin 9 April 2001

1. Kejuangan mengandung makna kesadaran tentang adanya makna dan tujuan hidup yang lebih tinggi daripada kepentingan pribadi atau kelompok dalam arti sempit, disusul dengan kesediaan untuk berkorban guna mewujudkan makna dan tujuan hidup itu. Karena itu nilai kejuangan dengan sendirinya terkait dengan masalah makna dan tujuan hidup tersebut yang bersifat tidak terbatas hanya kepada kehidupan terestrial (duniawi), tetapi selestial atau transendental (ukhrawi). Dengan kata lain, nilai kejuangan terkait erat dengan "persoalan pungkasan" (the problem of ultimacy), yaitu persoalan yang menjadi jawaban atas pertanyaan: hidup ini apa? Darimana? Untuk apa? Dan mau kemana? Atau persoalan "alfa-omega"-nya hidup, dan persoalan sangkan-paran.

2. Dampak nyata nilai kejuangan selalu bersifat sosial, dalam arti menyangkut orang banyak. Tetapi titik tolak yang amat mendalam bagi kejuangan adalah hal-hal yang amat personal, yang tersimpan dalam diri manusia yang paling mendalam, tanpa kemungkinan bagi orang lain untuk mengintervensinya. Hal-hal yang amat personal ini, berupa sistem keyakinan atau keimanan yang memberi seseorang makna dan tujuan hidupnya, merupakan pangkal motivasi dan gerak jiwa dan ruhaninya untuk menempuh hidup kejuangan. Jadi kejuangan memang menyangkut jati diri manusia yang paling mendalam, dan berhubungan dengan rasa bahagia yang paling mendalam pula.

3. Dengan adanya kesadaran akan makna dan tujuan hidup yang ultimate itu maka orang akan mempunyai kesanggupan untuk menderita sementara, dengan keyakinan bahwa di belakang hari akan diketemukan kebahagiaan abadi yang sejati. Kesediaan menderita sementara ini menjadi dasar dari sifat-sifat paling asasi bagi semangat kejuangan, seperti kesediaan berkorban, mendahulukan kepentingan orang banyak, kepahlawanan, dan sikap-sikap hidup altruistik lainnya yang dilandasi keyakinan bahwa mendahulukan orang banyak baik dalam lembaga kenegaraan dan komunitas adalah terpuji secara intrinsik dan dapat menjadi tujuan dalam dirinya sendiri (the end in itself).

4. Maka pangkal sikap hidup kejuangan ialah kesanggupan melakukan pengingkaran kepada diri sendiri (self denial ), yaitu kesediaan menunda kesenangan sementara yang sempit dan egoistis. Semua sikap hidup yang membawa sukses dan kebahagiaan sejati dan besar memerlukan kesanggupan menunda kesenangan sementara ini, sebagaimana diungkapkan dalam adagium-adagium:

Jˆr basuki mawa b‚a
(Setiap keberhasilan memerlukan pengorbanan)

Dedalan‚ guna kalawan sekti,
kudu andap asor,
wani ngalah dhuwur wekasan‚
(Jalan menuju kebahagiaan dan keunggulan,
orang harus rendah hati,
berani mengalah namun akkhirnya unggul)

Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ketepian,
bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.

There is no such thing as a free lunch
(Tidak ada makan siang gratis)

No pains no gains
(Tanpa penderitaan, tidak akan ada pencapaian)

Wa la-l-akhirat-u khayr-un laka min al-–la
(Pastilah yang akhir itu lebih baik bagimu daripada yang awal)

Peringatan pujangga Raden Burhan Ranggawarsita agar kita selalu eling lan waspada mengandung semangat yang sama dengan ungkapan-ungkapan bijak itu. Adagium "You may lose the battle but you should win the war" pada hakikatnya juga mengandung makna dan semangat yang sama, apalagi jika battle ditafsirkan sebagai segi hidup jangka pendek atau sementara, dan war segi hidup jangka panjang atau abadi.

5. Oleh karena itu sikap hidup berjuang tidak mungkin tanpa landasan kepercayaan yang kuat. Sebab dalam sistem kepercayaan atau keimanan itulah terjawab persoalan-persoalan pungkasan atau ultimate tersebut tadi, dan kepercayaan atau keimanan itu pula yang memasok manusia dengan rasa makna dan tujuan hidup yang tertinggi. Seperti dikatakan John Gardner ("aktor intelektual" di balik kepresidenan mendiang John F. Kennedy dari Amerika Serikat):

No nation can achieve greatness unless it believes in something, and unless that something has moral dimensions to sustain a great civilization.
(Tidak ada bangsa yang mencapai kebesaran kecuali kalau bangsa itu mempunyai kepercayaan, dan kecuali kalau kepercayaannya itu memiliki dimensi moral untuk menopang peradaban yang besar)

6. Maka dari itu, dalam dimensinya yang lebih luas, yaitu dimensi sosial, sikap hidup kejuangan melahirkan harus asketisme sosial, yaitu sikap hidup yang mampu menunda kesenangan sementara tersebut tadi dalam ruang lingkup yang meliputi sebanyak mungkin orang, jika tidak seluruh anggota masyarakat. Adalah asketisme sosial ini yang membuat suatu bangsa memiliki ketahanan yang tinggi. Suatu masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang hanya bertujuan mencari kesenangan lahiriah (materiil) semata tidak akan memiliki jiwa kejuangan yang tangguh. Sebab nilai-nilai kejuangan seperti tersebutkan di atas tadi bagi anggota masyarakat serupa itu akan dipandang sebagai tidak relevan, karena tidak akan membawa kesenangan segera dan cepat.

7. Nilai kejuangan ini tidak hanya diperlukan pada saat-saat kritis bagi bangsa atau masyarakat, melainkan merupakan keharusan sepanjang masa. Sebab korelasi nilai kejuangan ialah sikap hidup penuh tanggung jawab dan bermoral. Dalam masa pembangunan bangsa yang lebih lanjut (advanced ), moral dan etika umum atau sosial adalah fondasi yang tidak-bisa-tidak. Bangsa-bangsa yang maju memiliki ciri moral atau etika sosial yang tegar (tough), sedangkan negara-negara terkebelakang, sebagaimana diamati oleh Gunnar Myrdal (seorang pemenang hadiah Nobel dalam ilmu sosial-ekonomi), kebanyakan mempunyai ciri moral yang lunak (soft).

8. Karena PJP-II, sebagaimana kita mengerti bersama, adalah fase pembangunan yang lebih lanjut (advanced ), maka keperluan kepada nilai kejuangan yang melahirkan ikatan batin atau komitmen kepada nilai-nilai budi pekerti luhur kemasyarakatan (jadi tidak hanya sebatas perorangan) adalah mutlak diperlukan. Untuk tegaknya etika sosial itu mutlak diperlukan kesanggupan setiap pribadi anggota masyarakat untuk mampu mengingkari diri sendiri (self denial) dan untuk hidup dengan kesenangan yang tertunda (deferred gratification), dengan tidak memperturutkan keinginan diri sendiri yang egoistis dan individualistis. Moral dan etika yang tinggi tidak akan terwujud dalam masyarakat yang para anggotanya selalu menuruti kemauan dan selalu memenuhi keinginan-keinginan pribadi.

9. Korelasi antara teguhnya etika sosial dengan kemajuan bangsa, khususnya kemajuan dalam arti kemampuan untuk "tinggal landas", ialah terciptanya kehandalan (reliability) dalam masyarakat, kualitas dapat dipercaya (amanah, trustworthiness), dan keterdugaan (predictability). Nilai-nilai ini merupakan faktor yang amat penting bagi tingginya produktifitas, karena orang dapat bekerja dengan penuh kepercayaan bahwa ia akan mendapat balasan (reward ) bagi pekerjaannya sebagaimana mestinya, tanpa takut dicurangi. Sebaliknya, jika dalam masyarakat tidak terdapat kehandalan, amanah dan keterdugaan, maka perasaan tidak aman dalam bekerja akan selalu membayang, yang pada urutannya akan mengurangi motivasi kerja dan menurunkan produktifitas.

10. Berkenaan dengan ini semua, faktor keteladanan adalah penting sekali. Dan kalau disebut "keteladanan" , maka dengan sendirinya menyangkut hubungan "atas-bawah", dalam arti bahwa orang atas memberi teladan kepada orang bawah, dan bukan sebaliknya. Hal ini disebabkan adanya unsur otoritas atau wewenang dalam hubungan sosial, biar dalam format sekecil apapun seperti unit keluarga. Seseorang dapat memberi keteladanan secara efektif apabila ia mempunyai otoritas atau wewenang, dan otoritas atau wewenang itu menyangkut pula masalah legitimasi, khususnya legitimasi politik (yaitu suatu perangkat hubungan yang memberi pembenaran bagi dijalankannya kekuasaan, khususnya kekuasaan memerintah dan melarang, yaitu kekuasaan politik). Karena itu faktor "kemauan politik" dari para pemimpin amat menentukan, lebih-lebih bagi masyarakat yang masih paternalistik seperti masyarakat kita.

11. Namun untuk lebih menjamin keutuhan wujud nilai kejuangan itu, suatu masyarakat tidak dibenarkan hanya mengandalkan "kemauan baik" pribadi para pemimpin. Kemauan baik memang merupakan syarat utama keabsahan seorang pemimpin. Tetapi karena manusia bagaimanapun tetap rawan terhadap desakan dan dikte kepentingan pribadi yang acapkali tidak berdaya untuk menolaknya, maka masyarakat selamanya perlu melakukan pengawasan kepada para pemimpin, dan sesama komponen masyarakat itu sendiri harus merupakan wujud mekanisme pengawasan dan pengimbangan. Moralitas yang tinggi dimulai dengan ketulusan niat masing-masing pribadi anggota masyarakat, dan dikukuhkan oleh lembaga pengawasan dan pengimbangan masyarakat itu juga. Ini semua dilembagakan antara lain dalam pemenuhan hak-hak asasi, khususnya hak asasi untuk bebas menyatakan pendapat, berkumpul dan berserikat, serta kebebasan akademis dan pers, dalam semangat kepentingan umum dan rasa tanggungjawab. Dengan begitu akan terjadi paduan yang kukuh antara moralitas pribadi dan moralitas yang terlembagakan (institutionalized morality) sebagai hasil mekanisme pengawasan dan pengimbangan. Ini harus menjadi salah satu arah pengembangan nilai kejuangan dalam masyarakat, demi fase pembangunan yang lebih lanjut (advanced). Itulah agaknya salah satu tantangan kita di masa depan yang tidak terlalu jauh ini.