MASALAH PENDIDIKAN DAN TANTANGAN UMAT
DI MASA DEPAN*
Oleh : Nurcholish Madjid
Event Artikel : Seminar Lembaga Pendidikan Islam,
Al-Hikmah, Surabaya, 13 Oktober 1996
Diupdated
pada: Senin 9 April 2001
Pendidikan Akhlak dan
Keahlian
Islam adalah agama yang sangat memperhatikan masalah
pendidikan. Petunjuk Kitab Suci maupun Sunnah Nabi dengan
jelas menganjurkan para pemeluk Islam untuk meningkatkan
kecakapan dan akhlak generasi muda. Sebab pendidikan
adalah sebuah penanaman modal manusia untuk masa depan,
dengan membekali generasi muda dengan budi pekerti yang
luhur dan kecakapan yang tinggi.
Tentang pendidikan budi pekerti luhur, al-Qurān
mengingatkan agar semua orang memelihara diri sendiri dan
keluarga dari azab neraka, yakni, dengan menanamkan taqwa
kepada Allah dan budi pekerti luhur. Sebab, menurut sabda
Nabi, tidak ada sesuatu yang lebih banyak memasukkan
manusia ke dalam surga daripada taqwa kepada Allah dan
budi pekerti luhur. Beliau bersabda,
(Yang terbanyak memasukkan ke surga ialah taqwa kepada
Allah dan budi pekerti luhurHadīts, dikutip
dalam kitab Bulūgh al-Marām).
Dan Kitab Suci al-Qurān mengingatkan kaum Muslim
agar waspada untuk tidak meninggalkan keturunan yang
lemah, yang akan menimbulkan kekuatiran. Allah berfirman:
(Hendaklah mereka waspada kalau sampai meninggalkan di
belakang mereka anak turun yang lemah, yang mereka
kuatirkan. Bertaqwalah mereka itu kepada Allah, dan
hendaklah berkata dengan perkataan yang
benar.Al-Qurān, s. al-Nisā/4:9).
Terhadap firman itu Ibn Katsīr dalam kitabnya memberi
ulasan dengan antara lain mengutip sebuah Hadīts,
(Engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya
adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam
keadaan papa dan meminta-minta kepada manusia. Engkau
tidak memberi derma yang dengan itu kau kehendaki ridla
Allah kecuali pasti diberi pahala, biarpun berupa makanan
yang kau suapkan kepada mulut isterimu.Hadīts
Bukhārī).
Usaha mencegah jangan sampai kita mewariskan keturunan
yang lemah (yang dalam Hadīts itu terutama
lemah dalam arti ekonomi, yakni, miskin)
tidak hanya dengan mewariskan harta kekayaan, halmana
adalah wajar saja. Tetapi, khususnya di zaman modern
dengan pola ekonomi industri seperti sekarang, usaha itu
dilakukan dengan membekali generasi muda dengan
kecakapan-kecakapan yang diperlukan, sehingga mereka
mampu tampil sebagai sumber daya manusia yang berkualitas
tinggi.
Untuk perkara kecakapan inipun Nabi s.a.w. memberi
tauladan bagaimana menghargai para ahlinya. Sesuai dengan
konteks zaman beliau (Timur Tengah limabelas abad yang
lalu), suatu bentuk kecakapan yang amat berharga ialah
kepandaian memanah (menembak dengan panah), karena
kecakapan itu sangat diperlukan untuk perang dan besar
sekali peranannya untuk memperoleh kemenangan. Sebuah
Hadīts menggambarkan betapa Nabi s.a.w. amat menghargai
para ahli panah, dengan sabda beliau,
(Rasulullah s.a.w. bersabda, dan beliau berada di atas
mimbar, [Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka
kekuatan sedapat-dapatmuQ., 8:60], ketahuilah bahwa
kekuatan ialah panahan, ketahuilah bahwa kekuatan ialah
panahan, ketahuilah bahwa kekuatan ialah
panahan.Hadīts Muslim).
(Rasulullah s.a.w. bersabda, Sesungguhnya Allah
bakal memasukkan surga tiga orang berkat satu batang anak
panah, pembuatnya yang dengan membuat anak panah itu
menghendaki kebaikan, orang yang menyediakan bahannya,
dan orang yang melemparkan (menembakkan) anak panah
itu. Beliau juga bersabda, Memanahlah kamu
dan menungganglah [kuda]. Dan kamu memanah adalah lebih
aku sukai daripada kamu menunggang kuda. Apapun yang
dilakukan seseorang untuk bersantai adalah palsu kecuali
menembakkan anak panah dengan busurnya, melatih kudanya,
dan bergaul mesra dengan isterinya. Semuanya itu termasuk
kebenaran. Dan barangsiapa melupakan keahlian memanah
setelah diajari maka ia telah kufur [tidak bersyukur]
atas apa yang diajarkan kepadanya
ituHadīts Ahmad).
Kutipan-kutipan dari Kitab Suci dan Sunnah Nabi itu dapat
disimpulkan bahwa tujuan utama pendidikan ialah
pendidikan moral atau akhlak dan pengembangan kecakapan
atau keahlian. Mengenai akhlak, prinsip dan
pemasalahannya adalah sama untuk seluruh umat manusia
sepanjang masa. Tetapi mengenai keahlian, terdapat
perbedaan keperluan manusia dari tempat ke tempat yang
lain, dan dari zaman ke zaman yang lain. Maka sudah tentu
jenis keahlian yang diperlukan di zaman modern ini
berbeda dengan yang diperlukan di zaman sebelumnya. Dan
adanya keahlian modern memerlukan usaha pendidikan
modern.
Tantangan Mengatasi Warisan Kolonial
Tantangan pertama dan utama terhadap usaha mengembalikan
pendidikan Islam ke pangkuan umat ialah masalah warisan
kolonial. Dan jika disebut warisan kolonial
tidaklah berarti hanya hal-hal yang sengaja diperbuat
oleh kaum kolonial untuk melemahkan umat Islam, tapi juga
responsi umat Islam sendiri terhadap kolonialisme itu
yang meskipun patriotik namun agaknya harus dibayar
dengan ongkos yang mahal.
Islam mungkin telah dikenal oleh beberapa wilayah
tertentu Nusantara, seperti Aceh dan Ternate-Tidore,
sejak masa-masa sangat awal sejarahnya. Tetapi kita
mengetahui dari buku-buku sejarah bahwa Islam menyebar
secara luas baru setelah runtuhnya Majapahit (1478: sirna
ilang kertaning bhumi), yang kemudian disusul oleh
jatuhnya Malaka ke tangan Portugis (1511, atau persis 400
tahun setelah wafat al-Ghazālī). Kedatangan Portugis ke
wilayah ini kemudian disusul oleh bangsa-bangsa Eropa
yang lain, yaitu Spanyol, Belanda, Inggris dan Perancis.
Akibatnya ialah bahwa umat Islam tercurahkan perhatiannya
kepada perjuangan melawan para penjajah. Suasana kejiwaan
atau mind set berjuang melawan (fight
against) yang heroik dan patriotik itu berlangsung sampai
dengan kurang lebih masa kemerdekaan (selama sekitar 4
abad). Maka umat Islam Indonesia khususnya dan Asia
Tenggara umumnya belum pernah dengan leluasa
berkesempatan membangun budaya dan ilmu, sehingga dalam
kedua bidang itu umat Islam Indonesia lebih banyak
sebagai konsumen, dan kurang sekali sebagai produsen. Ini
berbeda sekali dengan kondisi umat Islam di
kawasan-kawasan lain, seperti di kawasan Anakbenua
(India), Timur Tengah, Turki, dan lain-lain.
Berkaitan dengan ini, patut diingat bahwa Dunia Islam
mulai menunjukkan kemandekannya pada abad XII, meskipun
saat itu masih unggul atas bangsa-bangsa lain manapun.
Tapi saat kemandekan Islam adalah juga saat mulainya
peradaban Islam, khususnya ilmu pengetahuan, mulai
mengalir ke Eropa. Peradaban Islam itu memang menemukan
perlawanan sengit di sana (dipimpin oleh gereja), namun
setelah berjalan dua abad, mulai abad XIV, sikap orang
Eropa mulai berubah dan bersedia menerima ilmu
pengetahuan Islam. Perkembangan itu tumbuh terus,
sehingga pada abad XVI orang Eropa telah mengungguli
Dunia Islam, dan tidak terkejar sampai sekarang.
Jadi sesungguhnya saat-saat runtuhnya Majapahit dan
jatuhnya Malaka pada akhir abad XV dan awal abad XVI itu
adalah juga saat-saat turunnya peradaban Islam secara
tajam. Menyebar luasnya Islam di Nusantara dalam suasana
kemunduran umum Dunia Islam itu merupakan sumber sebagian
keterangan tentang sebab-sebab mengapa dalam pendidikan
pun umat Islam sangat ketinggalan. Keadaan menyedihkan
itu menjadi semakin parah karena politik pendidikan
kolonial Belanda. Ketika pemerintah kolonial melancarkan
Politik Etis dan memulai usaha pendidikan
modern untuk penduduk tanah jajahan, diskriminasi dan
pengingkaran hak pendidikan umat Islam merupakan salah
satu bagian utama kebijakan mereka. Sebab justru salah
satu tujuan pendidikan modern kolonial itu ialah untuk
memojokkan dan menyingkirkan apa yang mereka namakan
fanatisme Islam. Penduduk tanah jajahan
mereka golongkan menjadi empat tingkat: Eropa, timur
asing, priyayi, dan rakyat. Umat Islam secara keseluruhan
termasuk tingkat rakyat, yaitu golongan paling rendah,
karena juga merupakan golongan yang paling teringkari di
bidang pendidikan.
Reaksi umat Islam terhadap politik pendidikan kolonial
itu sangat wajar. Di bawah pimpinan para ulama, umat
Islam mendirikan pesantren-pesantren sebagai benteng
pertahanan agama dan budaya Islam. Tetapi dengan sikap
menolak in toto unsur-unsur pendidikan modern, pesantren
tidak mampu bersaing dengan sekolah modern, dan
lulusannya juga tidak memadai untuk berhadapan dengan
lulusan sekolah modern. Terobosan dilakukan oleh
pergerakan Muhammadiyah setelah Poltik Etis
di bidang pendidikan telah berlangsung belasan tahun
dengan akibat muncul elite baru di kalangan masyarakat.
Maka Muhammadiyah tidak mendirikan pesantren-pesantren,
melainkan sekolah-sekolah. Wawasan Muhammadiyah yang
modernis telah menciptakan suasana keagamaan Islam yang
dapat diterima oleh elite baru hasil pendidikan
Politik Etis. Jasa rintisan Muhammadiyah itu
amat terasa pada saat-saat awal kemerdekaan ketika umat
Islam memerlukan tenaga ahli modern. Namun jumlah mereka
belum mencukupi, dan mutu mereka belum memadai.
Tantangan Masa Depan
Dengan latar belakang tersebut di atas, kita dapat
memperkirakan tantangan dan kendala utama pendidikan
Islam di masa depan. Tantangan dan kendala itu berkiksar
pada kurangnya SDM yang berkualitas pada umat Islam.
Dalam hal ini umat Islam tidak saja kalah
dahulu oleh umat-umat yang lain. Umat Islam juga
kalah dalam bidang linkage internasional,
karena belum satupun negara Islam tampil sebagai negara
modern sebanding dengan, misalnya, Jepang yang
Shinto/Buddhis. Lemahnya linkage ini
berdampak kepada kesulitan relatif umat Islam
mengembangkan pendidikan modern di Indonesia, sebuah
negeri dengan penduduk mayoritas Muslim.
Sesungguhnya umat Islam Indonesia mulai sedikit dapat
beranjak dari belenggu warisan kolonial sejak Kabinet
Natsir pada tahun 1950. Melalui kabinet itu Menteri Agama
A. Wahid Hasyim dan Menteri Pendidikan Bahder Johan
membuat terobosan di bidang pendidikan, dengan keputusan
hendak mengadakan kuirikulum pengetahuan umum untuk
madrasah-madrasah dan pengetahuan agama untuk
sekolah-sekolah. Dua dasawarsa terakhir ini
memperlihatkan dampak kebijakan pendidikan itu dengan
adanya gerak konvergensi antara pendidikan
umum dan pendidikan agama.
Tetapi usaha umat Islam mengejar ketertinggalannya oleh
umat-umat lain sesama warga negara dapat diibaratkan
mengejar bayangan: semakin cepat dikejar, semakin cepat
pula menjauh. Keadaan itu dapat diatasi hanya jika
dilakukan usaha-usaha ekstra keras. Salah satunya ialah
dengan pancingan peningkatan mutu secara cepat melalui
usaha-usaha pendidikan unggulan. Dengan risiko
kemungkinan dinilai, atau dituduh, elitis atau kurang
populis, keadaan umat Islam sekarang ini membuat usaha
pendidikan unggulan menjadi semacam fardlu
kifāyah: tidak seluruh umat diharuskan
melakukannya, cukup sebagian saja. Tetapi jika tidak ada
semasekali yang melakukannya maka seluruh umat terbebani
pertanggungjawaban.
Karena retorika-retorika politiknya sendiri, umat Islam
Indonesia sering terbuaikan oleh bayangan sebagai
golongan mayoritas. Tapi ilmu-ilmu sosial membuktikan
bahwa perjalanan sejarah umat manusia tidak terutama
ditentukan oleh jumlah orang (mayoritas), melainkan oleh
kualitas sumber daya manusianya. Nabi s.a.w. bersabda,
(Manusia adalah barang tambang dalam kebaikan dan
keburukan: mereka yang baik dalam Jahiliyah adalah yang
baik dalam Islam jika mereka mengerti.Hadīts Ahmad
dan lain-lain).
Sabda Nabi s.a.w. itu adalah gambaran yang jelas tentang
pentingnya memperhatikan kualitas bahan manusia,
khususnya dalam usaha pendidikan. Dilihat sebagai proses
input-output, hasil suatu usaha pendidikan
akan tergantung kepada siapa yang masuk untuk diolah.
Jika bahan manusianya (calon anak didiknya) unggul,
keluarannya pun akan unggul, insya Allah. Meskipun
mendidik manusia tidak serupa dengan proses mekanis,
namun analogi itu dapat dipertimbangkan.
Wa l-Lāh-u alam.
*Masalah Mengembalikan Bingkai Pendidikan Islam ke
Pangkuan Umat, dengan Antisipasi Kendali dan Strategi
Penerapannya
|