Demokrasi, Demokratisasi dan Oposisi
Oleh : Nurcholish Madjid
Event Artikel :
Diupdated
pada: Rabu 11 April 2001
Kiranya harus dipandang
dan diterima sebagai hal yang wajar saja bahwa
akhir-akhir ini negeri kita ditandai oleh arus deras
tuntutan mewujudkan demokrasi dan demokratisasi. Wajar,
karena arus itu merupakan salah satu dari banyak
konsekwensi alami tingkat perkembangan negara kita, baik
yang materiil maupun yang non-materiil. Yang materiil
ialah taraf hidup yang makin baik dari masyarakat pada
umumnya, dan yang non-materiil ialah taraf kemampuan
kognitif yang lebih tinggi daripada sebelumnya, sebagai
hasil kesempatan berpendidikan yang bertambah luas.
Sebagai hal yang wajar, kita harus menilai arah
perkembangan itu secara positif. Jika dapat dilakukan
pembedaan analitis yang tegas dan jelas antara segi makro
dan segi mikro arah perkembangan itu, maka barangkali
penilaian kita ialah bahwa keseluruhan perkembangan
tersebut akan membawa kebaikan bersama dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, sekalipun segi-segi mikronya
mungkin ada hal-hal yang tidak sepadan.
Dengan titik tolak pandangan dasar itu kita ingin bicara
tentang demokrasi, demokratisasi dan oposisi. Oleh karena
perkataan demokrasi sudah menjadi kata-kata harian, ada
kesan seolah-olah pembicaraan tentang hal itu tidak perlu
lagi. Tetapi ketika orang menyadari adanya tarik-menarik
antara, di satu pihak, pengertian demokrasi sebagai
sesuatu yang universal dan, di pihak lain, perwujudan
demokrasi itu dalam konteks ruang, seperti faktor
geografis yang acapkali berdampak kultural, dan konteks
waktu seperti pengalaman kesejarahan suatu bangsa yang
menjadi unsur kuat identifikasi diri bangsa itu, maka
kita dapati bahwa demokrasi--seperti halnya dengan
konsep-konsep besar lainnya, termasuk agama--tidak pernah
sederhana. Diskusi, bahkan kontroversi, di negeri kita
sekitar masalah itu sudah lama dikenal, sejak dari
masa-masa para bapak republik meletakkan dasar pemikiran
kenegaraan kita (yang antara lain menghasilkan Pancasila)
sampai kepada isyu tidak lama yang lalu seperti ide
reaktualisasi Islam oleh Munawir Syadzali dan
mempribumikan Islam oleh Abdurrahman Wahid. Reaksi-reaksi
yang sengit terhadap ide-ide itu menunjukkan kompleksitas
permasalahan bersangkutan.
Kompleksitas demokrasi yang berada dalam dinamika
tarik-menarik antara universalitasnya dan kenisbian
kultural dalam perwujudannya tercermin dalam kenyataan
tentang banyaknya ragam atau versi demokrasi, dari satu
negara ke negara lain. Keragaman itu sedemikian rupa
sehingga penilaian terhadap versi yang berbeda-beda itu
mendorong penilaian yang berbeda-beda pula, dalam
kategori penolakan dan penerimaan, pendukungan dan
penentangan. Alexis de Toqueville, misalnya, dalam
bukunya yang sudah menjadi klasik, Democracy in America,
mendapati bahwa demokrasi ala Amerika Serikat adalah pada
hakikatnya sebuah sistem yang memberi peluang kepada
mayoritas untuk bertindak semaunya. Demokrasi Amerika,
kata sarjana Perancis kenamaan itu, adalah semacam sistem
diktator mayoritas.1 Jika Anda termasuk minoritas, kata
de Tocqueville, Anda tidak akan mendapatkan apa-apa,
karena semuanya telah ditentukan oleh mayoritas yang
memenangkan pemilihan umum. Dan melalui kemenangan dalam
pemilihan umum itu sebuah partai mayoritas menyisihkan
untuk dirinya semua hak menentukan kebijakan politik,
melalui institusi kepresidenan yang amat kuat. Presiden
yang memangku jabatan dalam jangka waktu yang telah
ditetapkan, yaitu empat tahun, adalah seorang kepala
eksekutif yang sangat berkuasa, dan yang tidak dapat
dijatuhkan di tengah masa jabatan. Tentu ada
perkecualian, seperti Richard Noixon yang dikenakan
tuntutan Kongres (impeachment) karena skandal Watergate.
Di luar itu, demokrasi ala Amerika adalah sistem politik
yang melandasi pemerintahan yang sangat kuat, jauh lebih
kuat daripada banyak pemerintahan demokratis di Eropa
Barat. Maka jika pengamatan dan penilaian de Tocqueville
benar--sebagaimana banyak orang menerima dan meyakini
demikian--bahwa demokrasi Amerika adalah
"kedikatoran" atau "tirani
mayoritas", maka demokrasi Amerika sesungguhnya
boleh dikata bukanklah demokrasi, sebab sebuah
kediktatoran atau tirani, betapapun kualifikasinya
seperti pelaksanaannya yang oleh mayoritas, samasekali
bukanlah demokrasi.
Namun sudah pasti bahwa mereka yang bersangkutan sendiri,
yaitu orang-orang Amerika, akan dengan keras menolak
penilaian serupa itu. Demokrasi dalam pengertian yang
lebih menyeluruh tidak dapat direduksikan hanya kepada
mekanisme-mekanisme pelaksanaan kekuasaan yang antara
lain melahirkan kekuasaan mayoritas yang mungkin saja
berlangsung atas kerugian minoritas.
Demokrasi adalah lebih banyak daripada sekedar tatanan
pemerintahan. Meskipun hal itu amat penting, namun ia
harus dipandang sebagai salah satu hasil akhir yang
bersifat formal dan struktural. Dan segi-segi kekurangan
sudut formal dan struktural demokrasi itu dapat diimbangi
dengan usaha perbaikan sambil berjalan, melalui
improvisasi berdasarkan pengalaman-pengalaman nyata.
Justru kekuatan demokrasi ialah bahwa ia merupakan sebuah
sistem yang mampu, melalui dinamika internnya sendiri,
untuk mengadakan kritik kedalam dan
perbaikan-perbaikannya, berdasarkan prinsip keterbukaan
dan kesempatan untuk bereksperimen. Dan prinsip
keterbukaan serta kesempatan bereksperimen itulah salah
satu dari ruh demokrasi yang paling sentral.
Keterbukaan itu dengan sendirinya mengandung pengertian
kebebasan. Dan logika dari kebebasan ialah tanggung
jawab. Seseorang disebut bebas apabila ia dapat melakukan
sesuatu seperti dikehendakinya sendiri atas pilihan serta
pertimbangannya sendiri, sehingga orang itu secara logis
dapat dimintai pertanggungjawaban atas apa yang ia
lakukan. Seseorang yang melakukan sesuatu karena terpaksa
dengan sendirinya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban
atas apa yang dilakukannya itu. Seperti dikatakan oleh
S.I. Benn dan R.S. Peters,
Mengatakan bahwa seseorang tidak dapat menghindar atau
terpaksa melakukan sesuatu yang ia kerjakan adalah sama
dengan mengatakan bahwa dia tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban atas tindakannya itu. Karenanya dalam
pembicaraan tentang keadaan tak mampu menghindar dalam
kaitannya dengan kebebasan dan determinisme kita
sesungguhnya juga berbicara tentang konsep
pertanggungjawaban.2
Oleh karena itu, menurut Bradley, sebagaimana dikutip
oleh Benn dan Peters, tanggung jawab dalam kaitannya
dengan kebebasan melibatkan beberapa persyaratan:
Pertama, kelangsungan identitas perorangan. Artinya,
tindakan yang bebas ialah tindakan yang tetap
mencerminkan kepribadian orang bersangkutan. Justru
seseorang bebas melakukan sesuatu karena sesuatu itu
mencocoki dirinya, sehingga menjadi pilihannya. Maka
tidak dapat dinamakan sebagai kebebasan jika seseorang
melakukan sesuatu yang tidak merupakan kelanjutan yang
konsisten dari kepribadiannya. Dan hanya dengan dasar
kontinuitas dan konsistensi itu maka seseorang dapat
dipandang sebagai bertanggung jawab atas tindakannya. Dan
ini merupakan dasar bagi keharusan adanya freedom of
conscience, kebebasan nurani.
Kedua, seseorang disebut bebas dan bertanggung jawab
kalau pekerjaan yang dilakukannya benar-benar keluar dari
dirinya sendiri, jadi tidak dipaksakan dari luar.
Pemaksaan didefinisikan oleh Bradley sebagai
"dihasilkannya suatu akibat, dalam jasmani atau
ruhani suatu makhluk hidup, dari sesuatu yang tidak
terkait sebagai konsekwensi kemauan makhluk itu."
("...the production, in the body or mind of an
animate being, of a result which is not related as a
consequence to its will.") Dengan perkataan lain,
pemaksaan adalah dihasilkannya suatu tindakan yang
bertentangan dengan kemauan yang bersangkutan. Karena itu
dia tidak dapat disebut sebagai bertanggung jawab atas
tindakan yang dilakukannya.
Ketiga, orang disebut bebas dan bertanggung jawab jika ia
berakal, yakni, ia mengetahui keadaan khusus perkara yang
dihadapi. Jika ia melakukannya karena tidak mengerti,
maka ia tidak dapat dipandang sebagai bertanggung jawab.
Keempat, orang bersangkutan haruslah seorang pelaku moral
(moral agent), yaitu orang yang mengetahui aturan umum
yang dituntut oleh masyarakatnya. Tanpa pengetahuan itu,
seseorang tidak mungkin diperlakukan sebagai bertanggung
jawab atas tindakannya.3
Demokrasi adalah suatu kategori dinamis, bukan statis.
Tidak seperti kategori-kategori statis yang stasioner
(diam di suatu tempat), suatu kategori dinamis selalu
berada dalam keadaan terus bergerak, baik secara negatif
(mundur) atau positif (maju). Dalam masalah sosial, suatu
nilai yang berkategori dinamis, seperti demokrasi dan
keadilan, gerak itu juga mengimplikasikan perubahan dan
perkembangan. Karena adanya sifat gerak itu, maka
demokrasi dan keadilan tidak dapat didefinisikan
"sekali untuk selamanya" (once and for all).
Karena itu "demokrasi" adalah sama dan
"proses demokratisasi" terus-menerus. Cukup
untuk dikatakan bahwa suatu masyarakat tidak lagi
demokratis kalau ia berhenti berproses menuju kepada yang
lebih baik, dan terus yang lebih baik lagi. Oleh karena
itu faktor eksperimentasi, dengan coba dan salahnya,
tiral and error-nya, adalah bagian yang integral dari ide
tentang demokrasi. Suatu sistem disebut demokratis jika
ia membuka kemungkinan eksperimentasi terus-menerus,
dalam kerangka dinamika pengawasan dan pengimbangan
(check and balance) masyarakat. Demokrasi yang dirumuskan
"sekali untuk selamanya", sehingga tidak
memberi ruang bagi adanya perkembangan dan perubahan,
adalah sesungguhnya bukan demokrasi, melainkan
kediktatoran. Contoh yang paling mudah untuk hal ini
ialah apa yang disebut "Demokrasi Rakyat" model
negara-negara komunis. Itulah demokrasi yang dirumuskan
"sekali untuk selamanya." Dan pengalaman
menunjukkan bahwa begitu orang mencoba merumuskan
demokrasi "sekali untuk selamanya" maka ia
berubah menjadi ideologi tertutup, padahal mengatakan
demokrasi sebagai ideologi tertutup adalah suatu
kontradiksi dalam terminologi.
Itulah sebabnya maka demokrasi memerlukan ideologi
terbuka. Atau, demokrasi adalah ideologi terbuka. Yaitu,
sekali lagi, ideologi yang membuka lebar pintu bagi
adanya perubahan dan perkembangan, melalui eksperimentasi
bersama. Karena itu demokrasi adalah satu-satunya sistem
yang mampu mengoreksi dirinya sendiri dan membuat
perbaikan dan perubahan ke arah kemajuan bagi dirinya
sendiri.
Eksperimentasi itu, sebagaimana telah disinggung,
dipertaruhkan kepada dinamika masyarakat, dalam wujudnya
sebagai dinamika pengawasan dan pengimbangan (check and
balance). Mengapa pengawasan, karena, sebagai ideologi
terbuka, demokrasi adalah sistem yang terbuka untuk semua
pemeran-serta (partisipan), dan tidak dibernarkan untuk
diserahkan kepada keinginan pribadi atau
kebijaksanaannya, betapapun wasesa-nya (wise-nya) orang
itu. Dan mengapa pengimbangan, karena sistem masyarakat
dapat dikatakan sebagai demokratis hanya jika terbuka
kesempatan bagi setiap kelompok dalam masyarakat untuk
berpartisipasi, apapun dan bagaimanapun caranya, dan
tidak boleh dibiarkan adanya unsur sebagian yang
mendominasi keseluruhan. Adalah mekanisme ini yang
membuat demokrasi di Amerika, misalnya, tidak sepenuhnya
merupakan "tirani mayoritas" seperti dikatakan
oleh Alexis de Tocqueville.
Dengan begitu terciptalah sistem yang dalam dirinya
terkandung mekanisme untuk mampu mengoreksi dan
meluruskan dirinya sendiri, serta mendorong pertumbuhan
dan perkembangannya ke arah yang lebih baik, dan terus
lebih baik. Karena dalam analisa terakhir masyarakat
terdiri dari pribadi-pribadi atau, dalam perkataan lain,
masyarakat adalah jumlah keseluruhan pribadi-pribadi,
maka demokrasi pun sesungguhnya berpangkal kepada
pribadi-pribadi yang "berkemauan baik". Akan
tetapi karena sifatnya yang pribadi itu, kemauan atau
iktikad, baik dan buruk, dapat dipandang sebagai
"rahasia" yang menjadi urusan pribadi orang
bersangkutan. Maka ia akan mempunyai fungsi sosial hanya
jika diwujudkan dalam tindakan bermasyarakat, yang
bedimenasi sosial.
Karena tindakan berdimensi sosial itu menyangkut para
anggota masyarakat yang menjadi lingkungannya, jauh atau
dekat, maka ia tidak dapat dipertaruhkan hanya kepada
keinginan atau aspirasi pribadi. Tidak boleh diremehkan
adanya kemungkinan seorang pribadi dikuasai oleh
kepentingan dirinya sendiri dan didikte oleh vested
interest-nya, menuju kepada tirani. Maka dari itu dalam
masyarakat selalu diperlukan adanya mekanisme yang
efektif untuk terjadinya proses saling mengingatkan
tentang apa yang benar dan yang menjadi kebaikan bersama.
Dan pada urutannya, proses serupa itu memerlukan
kebebasan menyatakan pendapat, berkumpul, dan berserikat.
Oleh karena itu setiap pengekangan kebebasan-kebebasan
tersebut dan pencekalan atau pelarangan berbicara dan
mengemukakan pikiran adalah pelanggaran yang amat
prinsipil terhadap tuntutan falsafah kenegaraan kita. Di
sinilah relevannya pembicaraan tentang perlunya partai
oposisi. Yaitu partai atau kelompok masyarakat yang
senantiasa mengawasi dan mengimbangi kekuasaan yang ada,
sehingga terpelihara dari kemungkinan jatuh kepada
tirani.
Harus diakui bahwa ide tentang oposisi adalah sebuah
temuan modern. Artinya, sebelum zaman modern ini ide
tentang oposisi sebagai kelembagaan yang dibuat secara
deliberate belum ada. Yang ada pada zaman itu ialah
oposisi de facto yang lahirnya dan penerimaannya dalam
masyarakat bersifat kebetulan, tidak sengaja, alias
accidental. Padahal sesuatu yang terjadi hanya secara
"kebetulan" (apalagi jika wujud de facto-nya
ada tetapi pengakuan de jure-nya tidak ada), tidak akan
berjalan efektif, malah kemungkinan justru mudah
mengundang anarki dan kekacauan karena usaha-usaha check
and balance berlangsung sekenanya dan tidak dengan penuh
tanggung jawab.
Dengan hasil pembangunan yang membuat rakyat kita semakin
cerdas dan semakin mampu mengambil peran dalam kehidupan
bersama sekarang ini, setiap pengekangan dan pembatasan
kebebasan menyatakan pendapat harus diakhiri dengan
tegas, dan kita harus menumbuhkan dalam diri kita sendiri
kepercayaan yang lebih besar kepada rakyat. Janganlah
kita menjadi korban dari keberhasilan pembangunan
nasional kita sendiri, karena kita tidak menyadari
dinamika masyarakat yang menjadi konsekwensi logisnya,
kemudian kita digulung oleh gelombang dinamika
perkembangan masyarakat itu.
Namun sesungguhnya prinsip-prinsip kemauan baik pribadi,
komitmen sosial, dan mekainsme pengawasan dan
pengimbangan melalui kebebasan-kebebasan menyatakan
pendapat, berkumpul dan berserikat, belumlah lengkap dan
sempurna. Kembali kepada pribadi, juga kepada kelompok,
masih diperlukan adanya sikap tabah dan tulus untuk
mendahulukan kepentingan umum dan menyisihkan kepentingan
pribadi semata. Ini dapat merupakan hal yang amat berat
atas individu-individu, mengingat kecenderungan setiao
orang kepada egoisme dan mendahulukan vested interest-nya
sendiri. Demokrasi tidak akan terwujud jika tidak ada
ketabahan pribadi untuk kemungkinan melihat dirinya salah
dan orang lain benar.4 Dan ini hanya dapat diatasi jika
setiap orang memahami dan menerima demokrasi sebagai
pandangan hidup, atau way of life. Seperti dikatakan oleh
T.V. Smith dan Eduard C. Lindeman,
Orang-orang yang berdedikasi kepada pandangan hidup
demokratis mampu bergerak ke arah tujuan itu jika mereka
bersedia menerima dan hidup menurut aturan tentang
terlaksananya (hanya) sebagian dari keinginan-keinginan.
Perfeksionisme (pikiran tentang yang serba sempurna) dan
demokrasi adalah dua hal yang saling tidak cocok.5
Barangkali terlalu banyak kalau dikatakan bahwa demokrasi
menuntut adanya tingkat tanggung jawab pribadi yang
tinggi. Tetapi memang keterbukaan dan kebebasan yang
sejati selalu memerlukan sikap-sikap bertanggung jawab,
sikap-sikap yang bebas dari egoisme dan vested interest.
Seperti ternyata dari kutipan di atas, kita mampu
mendukung pandangan hidup demokratis kalau kita mampu
meninggalkan sikap "mau menang sendiri", dan
menerima ketentuan bahwa demokrasi akan menghasilkan
diterimanya dan dilaksakannya hanya sebagian dari
keinginan dan pikiran kita. Oleh karena itu harus selalu
ada kesediaan untuk membuat kompromi-kompromi. Apalagi
selalu ada kemungkinan bahwa keinginan dan pikiran kita
sendiri itu adalah hasil perpanjangan dari vested
interest kita, jadi egois, setidaknya subyektif. Maka
prinsip "partial functioning of ideals" harus
benar-benar dimengerti, dihayati dan dipegang teguh.
Sudah tentu demikian pula halnya dalam kita melakukan
oposisi yang merupakan bagian amat penting dari mekanisme
check and balance, sebagai kekuatan amar ma'ruf nahi
munkar (mendorong kebaikan dan mencegah kejahatan).
|