ISLAM DI INDONESIA DAN POTENSINYA
SEBAGAI SUMBER SUBSTANSIASI IDEOLOGI dan ETOS NASIONAL
Oleh : Nurcholish Madjid
Event Artikel :
Diupdated
pada: Rabu 11 April 2001
Mukaddimah
Setiap bangsa mempunyai etos atau suasana kejiwaan yang
menjadi kerakteristik utama bangsa itu. Maka dengan
sendirinya juga Bangsa Indonesia. Etos itu kemudian
dinyatakan dalam berbagai bentuk perwujudkan seperti jati
diri, kepribadian, ideologi dan seterusnya. Perwujudannya
dalam bentuk perumusan formal yang sistematik
menghasilkan ideologi, khususnya di zaman modern ini.
Berkenaan dengan bangsa kita, Pancasila dapat dipandang
sebagai perwujudan etos nasional kita dalam bentuk
perumusan formal itu, sehingga sudah sangat lazim dan
semestinya bahwa Pancasila disebut sebagai ideologi
nasional.
Tetapi Pancasila adalah sebuah ideologi modern. Hal itu
tidak saja karena ia diwujudkan dalam zaman modern, tapi
juga lebih-lebih lagi karena ia ditampilkan oleh seorang
atau sekelompok orang dengan wawasan modern, yaitu para
bapak pendiri Republik Indonesia, dan dimaksudkan untuk
memberi landasan filosofis bersama (common philosophical
ground) sebuah masyarakat pluran yang modern, yaitu
Masyarakat Indonesia.
Sebagai produk pikiran modern, Pancasila adalah sebuah
ideologi yang dinamins, tidak statis, dan memang harus
dipandang demikian. Watak dinamis Pancasila itu
membuatnya sebagai ideologi terbuka. Presiden Soeharto
pernah menegaskan sifat Pancasila sebagai ideologi
terbuka itu pada beberapa kesempatan, secara lain pada
Kongres dan Seminar Nasional Himpunan Indonesia untuk
Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIS) di Ujungpandang, 15
Desember 1986.
Dalam hal perumusan formalnya, Pancasila tidak perlu lagi
dipersoalkan. Demikian pula kedudukan konstitusionalnya
sebagai dasar kehidupan bernegara dan bermasyarakat dalam
pluralitas Indonesia, juga merupakan hal yang final
(untuk meminjam ungkapan Kiai Haji Ahmad Shiddiq, Ra'is
Amm Nahdlat Al-'Ulama). Namun dari segi pengembangan
prinsip-prinsipnya sehingga menjadi aktual dan relevan
bagi masyarakat yang senantiasa tumbuh dan berkembang,
Pancasila tidak bisa lain kecuali mesti dipahami dan
dipandang sebagai ideologi terbuka yang dinamis. Oleh
karena itu tidak mungkin ia dibiarkan mendapat tafsiran
sekali jadi untuk selama- lamanya (once for all).
Pancasila juga tidak mengizinkan adanya badan tunggal
yang memonopoli hak untuk menafsirkannya, yang
monopolitik dalam contoh-contoh masyarakat totaliter
seperti negara komunis (yang kini sedang runtuh itu)
selalu menjadi sumber manipulasi ideologis dan menjadi
agen yang siap setiap saat memberi pembenaran kepada
prakterk kekuasaan sewenang-wenang dan zalim.
Otoriterianisme dalam sejarah selalu dimulai oleh
seseorang atau sekelompok orang yang mengaku sebagai
pemegang kewenangan tunggal di suatu bidang yang
menguasai kehidupan orang banyak, khususnya bidang
ideologi politik.
Kemestian logis akibat deretan argumen itu ialah bahwa
masyarakat dengan keanekaragamannya harus diberi
kebebasan mengambil bagian aktif dalam usaha-usaha
menjabarkan nilai-nilai ideologi nasional itu dan
mengaktualkannya dalam kehidupan masyarakat. Setiap usaha
menghalanginya akan menjadi sumber malapetaka, tidak saja
bagi negara dan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat
majemuk, tetapi juga bagi ideologi nasional itu sendiri
sebagai titik tolak pengembangan pola hidup bersama.
Islam di Indonesia
Sudah menjadi bagian dari retorka di negeri kita ini
bahwa Islam adalah agama mayoritas. Retorika itu malah
menyebutkan angka 90 sebagai persentasi kaum Muslim dari
seluruh penduduk negeri, tanpa pernah dipersoalkan dari
mana asal-usul angka itu selain perkiraan dan kesan.
Karena itu kuatnya efek retorika itu maka ketika sensus
menunjukkan angka kaum Muslim Indonesia kurang (sedikit)
dari 90 persen, timbulkah berbagai tafsiran terhadap
kehidupan keagamaan masyarakat kita, baik berdasarkan
fakta maupun fiksi.
Walaupun begitu, Islam memang merupakan agama bagian
terbesar bangsa kita, apapun makna penganutan mereka
terhadap agama itu dan betapapun beranekanya tingkat
intensitas penganutan itu dari kelompok ke kelompok dan
dari daerah ke daerah. Namun kenyataan sederhana ini saja
kiranya sudah cukup memberi alasan keabsahan bagi
pembicaraan tentang Islam di negeri kita dan perannya
dalam substansiasi ideologi nasional, tanpa
eksklusifisme, dan tidak dalam semangat kesewenangan
suatu kelompok besar.
Tetapi sebelum melangkah lebih jauh dalam pembicaraan
tentang pokok persoalan ini, dirasa ada manfaatnya
menelaah sejenak keadaan Islam di Indonesia. Telaah yang
benar-benar komprehensif tentu tidak mungkin, sehingga
yang bisa dilakukan di sini ialah sekedar mengemukakan
beberapa masalah menonjol atau highlights yang dianggap
relevan.
Di antara berbagai ekspedisi militer Islam, termasuk yang
amat gemilang ialah ekspedisi guna membebaskan (fat'h)
Semenanjung Iberia (Spanyol dan Portugis) serta Lembah
Sungai Indus (Anak Benua India sebelah Utara),
kedua-duanya terjadi pada tahun 711, di masa pemerintahan
Khalifah Umawi al-Walid ibn 'Abd al-Malik (pembangun
kembali Masjid al-Aqsha yang masih ada sampai sekarang).
Sekitar 100 tahun setelah itu Pulau Jawa menyaksikan
kesibukan luar biasa, yaitu pembangunan tempat suci dan
monumen keagamaan Budhisme yang amat megah, Borobudur.
Dan sekitar seabad lagi setelah itu kesibukan luar biasa
terjadi lagi, berhubung dengan pembangunan tempat suci
dan monumen keagamaan Hinduisme yang juga sangat
mengesankan, Lara Jonggrang (Prambanan).
Kemudian tepat empat ratus setelah pembebasan Iberia dan
Hindustan itu, yaitu pada tahun 1111, seorang pemikir
besar Islam, al- Ghazali, wafat. Lintasan sejarah ini
lebih-lebih lagi menarik, mengingat bahwa nama al-Ghazali
sering disebut-sebut dalam kaitannya dengan anti klimaks
peradaban Islam. Dan tentu lebih menarik lagi untuk
diketahui bahwa ketika al-Ghazali sibuk dengan
polemik-polemiknya tentang filsafat, boleh dikatakan
kepulauan Nusantara sebagai keseluruhan belum mengenal
Islam. Jika kita ambil Pulau Jawa sebagai misal, maka
kita dapatkan bahwa al- Ghazali hidup beberapa dasawarsa
sebelum tampilnya Raja Jayabaya dari Kediri..pa
Memang tidak adil untuk begitu saja menilai, apalagi
menuduh, seorang tokoh yang amat berjasa seperti
al-Gazali sebagai penyebab kemunduran Islam. Tetapi
kenyataannya ialah bahwa setelah abad ke-12 itu peradaban
Islam, khususnya yang berada dalam lingkungan budaya
Arab, memang menunjukkan garis menurun. (Sedangkan di
luar lingkungan Arab, khususnya dalam lingkungan budaya
Persi, peradaban Islam itu masih menunjukkan vitalitasnya
dan perkembangan lebih lanjut yang cukup menakjubkan,
terbukti kelak dalam tampilnya tiga kemaharajaan mesiu
--gunpowder kingdoms-- Mogul di India, Safawi di Persia
dan Utsmani atau Ottoman di Turki).
Lebih menarik lagi ialah bahwa ketika sedang giat-giatnya
dilakukan usaha pembebasan India Selatan oleh kekuasaan
Islam dari India Utara serta pada saat-saat permulaan
perkembangan Turki Utsmani, kawasan Nusantara masih
menyaksikan bangkitnya kekuasaan Hindu yang hebat, yaitu
Majapahit (tepatnya tahun 1293). Seperti kita ketahui,
banyak dari unsur-unsur mitologi Majapahit itu yang masih
bertahan (atau dipertahankan) dalam masyarakat Indonesia
modern.
Beberapa kenyataan historis itu dipaparkan di sini untuk
menunjukkan betapa perkenalan Nusantara secara
keseluruhan (artinya, terkecuali daerah-daerah tertentu
seperti Aceh, misalnya) kepada Agama dan Peradaban Islam
itu relatif belum lama. Di banding dengan India Utara,
perkenalan Nusantara kepada Islam adalah sekitar tujuh
atau delapan abad lebih kemudian. Ini berdasarkan
pendapat banyak ahli bahwa Islam mulai hadir secara
efektif di Nusantara, khususnya di Semenanjung Melayu
Selatan dan di kota-kota pantai pulau-pulau besar, pada
akhir abad 15, mengikuti perpindahan Raja Malaka ke agama
Islam pada awal abad itu.
Di beberapa tempat, kehadiran Islam itu mendorong
terjadinya perubahan pola kekuasaan dan melahirkan
kesatuan-kesatuan politik Islam dalam bentuk
kesultanan-kesultanan. Agama Islam juga membawa berbagai
pandangan baru yang revolusioner untuk masa itu. Dapat
disebutkan dua hal yang amat penting di sini. Pertama
ialah sifat Islam sebagai agama egaliter radikal, yang
antara lain berakibat kepada penyudahan sistem kasta
dalam masyarakat Hindu Nusantara dan penghentian praktek
sati (keharusan seorang janda untuk terjun ke dalam api
yang sedang membakar jenazah suaminya--yang akhir-akhir
ini, sungguh ironis, dicoba dihidupkan kembali oleh kaum
Hindu fundamentalis di India). Kedua, Agama Islam dengan
kesadaran hukumnya yang amat kuat (kesadaran Syari'ah
dalam makna sekundernya) telah melengkapi penduduk
Nusantara, khususnya para pedagang, dengan sistem hukum
yang berjangkauan internasional, yang mampu mendukung
kegiatan perdagangan dalam konteks ekonomi global yang
saat itu sedang berada dalam kekuasaan Islam.
Tetapi kekuasaan politik Islam di Nusantara tidak pernah
bisa mencapai kebesaran dan kehebatan kekuasaan politik
Budhisme Shriwijaya dan Hinduisme Majapahit. Apalagi
tidak lama setelah Islam mulai hadir di Nusantara ini
bangsa-bangsa Barat pun mulai juga berdatangan. Mula-mula
agaknya mereka hanya bermaksud mengembangkan perdagangan
sebagai kelanjutan dorongan Merkantilisme Eropa setelah
perkenalan mereka dengan Dunia Islam. Tetapi kemudian
ternyata mereka tidak cukup hanya dengan perdagangan, dan
mulailah praktek-praktek penjajahan dan imperialisme.
Itu semua dengan sendirinya mendapatkan perlawanan sengit
dari bangsa-bangsa Nusantara. Maka kehadiran Islam
terjadi tepat pada waktunya, karena agama itu mampu dan
dibutuhkan untuk melengkapi penduduk Nusantara dengan
ideologi yang segar dan tegar untuk menghadapi dan
melawan bangsa-bangsa Barat itu (sebanding dengan
Marxisme sebagai kelengkapan ideologis bangsa-bangsa
terjajah dalam melawan para penjajah mereka pada abad 20
ini). Oleh karena sementara ahli melihat kehadiran
bangsa-bangsa Barat di Nusantara merupakan mixed blessing
bagi Islam: di satu pihak, karena fungsinya sebagai
kelengkapan ideologis yang sedang diperlukan oleh
penduduk Nusantara menghadapi bangsa-bangsa Barat itu
sendiri, maka kehadiran kaum penjarah itu justru
mempercepat penyebaran Agama Islam ke hampir seluruh
pelosok; tapi, di pihak lain, justru kesibukan menghadapi
dan melawan kaum penjarah dari Barat itu --biarpun dengan
menggunakan bendera Islam-- membuat persepsi sebagian
besar penduduk Nusantara kepada Agama Islam menjadi
bersifat sangat politis (yaitu dalam fungsinya sebagai
ideologi politik), dan persepsi mereka kepadanya sebagai
agama an sich yang amat mendalam menjadi banyak tertunda.
Ini menyebabkan adanya kesan yang umum dipunyai para
pengamat bahwa Islam di Nusantara itu lemah dari segi
pemahaman dan penghayatan para pemeluknya terhadap ajaran
agama itu, bahkan ketimbang, misalnya, pemahaman dan
penghayatan para pemeluk agama itu di India pada
saat-saat kelemahannya.
Dalam masalah keislaman ini, India memang menyediakan
bahan perbandingan yang menarik bagi Indonesia. Sementara
di India, baik sebagai negeri merdeka sekarang ini
(dengan nama resmi Bharat) maupun sebagai Anakbenua yang
meliputi juga Pakistan dan Bangladesh (''British
India''), para pemeluk Islam selamanya merupakan golongan
minoritas, namun agama Islam telah secara amat jauh
mempengaruhi pola-pola budaya penduduk, biarpun mereka
yang Hindu.1. Kuatnya penertrasi budaya Islam di
Anakbenua tercermin dalam jumlah bangunan-bangunan Islam
yang megah, yang kini menjadi obyek turisme India modern,
sementara kuil-kuil Hindu-Budha tidak memiliki daya tarik
sekuat bangunan-bangunan Islam itu. Dan lemahnya
penyerapan budaya Islam di Indonesia tercermin dalam
masih tetap pentingnya fungsi bangunan-bangunan megah
Hindu-Budha sebagai obyek turisme Indonesia modern,
sementara bangunan-bangunan Islam sendiri hampir tidak
berarti.2.
Sudah tentu semua kenyataan tersebut itu, ditambah dengan
banyak kenyataan lain yang tidak mungkin dijabarkan
seluruhnya di sini, mempunyai akibat-akibat yang cukup
jauh. Salah satunya ialah bahwa sementara Indonesia
merupakan kesatuan bangsa Muslim terbesar di muka bumi,
namun kontribusi kultural dan, lebih-lebih lagi,
intelektualnya sangat jauh di bawah proporsinya. Dalam
bidang intelektual itu boleh dikata kaum Muslim Indonesia
hanya menjadi konsumen untuk produk-produk Anakbenua ke
barat. Ini dengana mudah dapat dilihat dalam kuantiatas
komparatif kepustakaan ilmiah Islam di Indonesia dan di
negeri-negeri lain, untuk tidak menyebut kualitas
komparatifnya (misalnya dari segi orisinalitas suatu
kontribusi intelektual).
Berdasarkan hal itu semua maka kiranya cukup beralasan
suatu pandangan bahwa Islam di Indonesia sesungguhnya
masih dalam tahap perkembangan dan pembentukannya, dan
masih sedang menyiapkan masa depannya secara sangat
menentukan. Sesungguhnya pula bahwa Ummat Islam Indonesia
sekarang ini betul-betul baru pada tahap permulaan
mengecap hasil perjuangan mereka sendiri selama
berabad-abad melawan dan menghalau penjajah. Telah
dikemukakan di atas fungsi Islam di Nusantara sebagai
kelengkapan ideologis menghadapi penjarah yang datang
dari Barat. Tradisi dan sejarah panjang semangat
perlawanan terhadap para penjarah Barat itu secara alami
membuat kaum Muslim sebagai yang paling berkepentingan
terhadap kemerdekaan. Ini dinyatakan secara simbolik
dalam sikap Kiai Mohammad Hasyim Asy'ari (sebagai Ra'is
Akbar Masyumi sebelum malapetak perpecahannya) yang atas
nama para 'ulama' seluruh Indonesia mengeluarkan fatwa
bahwa membela dan mempertahankan Republik Indonesia 17
Agustus 1945 adalah perang suci di jalan Allah dan tewas
di dalamnya adalah kesyahidan (syahadah). Fawta inilah
yang sangat membantu membuat peristiwa 10 November di
Surabaya begitu heroik, yang kemudian ditetapkan Hari
Pahlawan negara kita.
Peran Historis Warga yang Bersemangat Keislaman
Partisipasi warga Indonesia yang bersemangat Keislaman
dalam perjuangan untuk pertahanannya tentu sangat
menentukan, sehingga para pendiri Republik ini secara
arif bijaksana mengenangnya dengan mendirikan
masjid-monumen Syuhada (Pahlawan) dan Istiqlal
(Kemerdekaan). Dengan jelas kedua monumen itu
melambangkan pengakuan tentang adanya Keindonesiaan
dengan Keislaman, serta antara kemerdekaan dengan peran
besar warga negara yang bersemangat Keislaman. Hal itu
akan tetap demikian tanpa bisa diubah lagi, meskipun
mungkin peran warga negara dengan semangat Keislaman itu
dalam fase-fase yang lebih memerlukan keahlian teknis dan
pengelolaan (managerial) sangat di bawah proporsi. Tetapi
jika kita mengetahui bahwa kurangnya peran mereka di
bidang ini ialah karena rendahnya atau malah tidak adanya
pendidikan (modern, yakni, Belanda) pada mereka
dibandingkan dengan warga lain yang lebih ''beruntung'',
maka sesungguhnya adalah suatu ironi jika kita tidak
justru menunjukkan sikap penuh hormat kepada mereka.
Sebab tidak adanya pendidikan modern Belanda pada mereka
adalah justru akibat patriotisme mereka yang
berkobar-kobar, yang membuat mereka selalu menempuh jalan
tidak kenal kompromi terhadap Belanda, termasuk tidak
kenal kompromi dalam bidang pendidikan dan budaya pada
umumnya. Dan keadaan itu menjadi lebih parah lagi karena
pemerintah kolonial justru bersikap diskriminatif
terhadap mereka, yang secara sengit mengingkari hak-hak
mereka, termasuk dan terutama hak untuk memperoleh
pendidikan yang wajar. Warga negara yang bersemangat
Keislaman itu sedikit tertolong untuk suatu jangka waktu
tertentu oleh bergabungnya dengan mereka sejumlah kecil
warga yang berpendidikan Belanda --karena mereka datang
dari keluarga dengan latar belakang sosio-kultura yang
diuntungkan dan disenangi (favourable) dalam sistem
masyarakat kolonial Hindia Belanda. Tetapi karena
bagaimanapun juga proses itu kurang wajar, maka secara
tidak tertolong hal itu menimbulkan problem legitimasi
kepemimpinan intern lembaga yang menghimpun warga
bersemangat Keislaman itu, dengan akibat rongrongan atas
pertumbuhan dan pengembangan kemampuannya. Dan karena
ketidakwajaran itu ibaratkan sistem pembudidayaan tanaman
melalui okulasi, maka justru setelah pohon itu besar
kemungkinan patah batang dan tumbang semakin besar, dan
memang begitulah yang terjadi dengan keprihatinan semua
pihak. Tapi, betapapun, karena sifat dan fungsi warga
yang bersemangat Keislaman itu sebagai tulang punggung
dan inti (core) sistem kemasyarakatan (societal system)
Indonesia, maka lambat atau pun cepat mereka akan
mewujudkan peran itu di semua bidang kehidupan, sambil
untuk sementara ini dan mungkin selamanya akan tetap
berfungsi sebagai reservoir patriotisme yang
sewaktu-waktu maju ke depan memenuhi panggilan tanah air.
Hal ini barkali-kali telah terbukti (yang terakhir ialah
panggilan tanah air untuk menghancurkan kaum komunis,
yang kemudian menghantarkan bangsa kita memasuki Orde
Baru sekarang ini). Dengan partisipasi penuh dalam
pendidikan modern dan dalam semua segi kehidupan nasional
lainnya, para warga yang bersemangat Keislaman itu
sekarang sedang mengumpulkan pengetahuan, kemampuan dan
pengalaman teknis yang amat diperlukan bagi terlaksananya
peran pada tingkat yang lebih tinggi dan menentukan di
masa datang. Halangan psikologi-politik warga bersemangat
Keislaman untuk ikut serta sepenuhnya dalam pendidikan
modern mulai sangat menipis baru sejak tahun 1950 berkar
kesepakatan antara Menteri Agama, A. Wahid Hasyim, dan
Menteri P dan K, Bahder Djohan (dalam kabinet Natsir dari
Masyumi) untuk mengadakan mata pelajaran umum di
sekolah-sekolah agama dan mata pelajaran agama di
sekolah-sekolah umum. Kesepakatan kedua menteri itu telah
terbukti menjadi titik tolak proses dan perjalanan kedua
sistem pendidikan Indonesia (''madarasah'' dan
''sekolah'') menuju ke arah titik temu atau konvergensi.
Dan titik temu serta konvergensi itu saat-saat sekarang
sudah mulai dengan jelas menunjukkan wujud kongkritnya
seperti, misalnya, sangat meningkatnya kegairahan kepada
Keislaman di lembaga-lembaga pendidikan umum dan tidak
lagi terasa asingnya ilmu pengetahuan modern di
lembaga-lembaga pendidikan Keislaman. Jika kecenderungan
ini berlanjut terus dengan baik, maka tidak mustahil
Indonesia akan memiliki sistem pendidikan tunggal yang
lebih efektif akibat terjadinya konvergensi total kedua
sistem pendidikan tersebut. Dan itu berarti bahwa
sesungguhnya hari-hari ini kita sedang menyaksikan
berlangsungnya proses pertumbuhan bangsa kita --melalui
segi tertentu sistem pendidikan kita yang bersangkutan
dengan rasa keabsahan-- menuju kepada fase baru
perkembangan nasionalnya dengan identitas kultural yang
lebih sejati dan menyiapkan pangkal tolak yang kukuh
untuk ''lepas landas'' (meminjam ungkapan atau jargon
politik paling umum dewasa ini).
Islam dan Substansiasi Ideologi dan Etos Nasional Telah
dikemukakan bahwa ideologi nasional Pancasila, untuk
meminjam ungkapan Kiai Ahmad Shiddiq, adalah final
berkenaan dengan fungsinya sebagai dasar kehidupan
bernegara dan bermasyarakat dalam konteks kemajemukan
Indonesia. Kefinalan itu juga berkenaan dengan perumusan
atau pengkalimatan formalnya sebagaimana tercantum dalam
Pembukaan UUD 45.
Kita ketahui bahwa proses menuju kepada kefinalan itu
telah sempat menimbulkan polemik dan kontroversi yang
tajam dalam masyarakat. Kini dengan lega hati kita
menyaksikan bahwa banyak sekali dari kekuatiran yang ada
di balik polemik dan kontroversi itu ternyata tidak ada.
Bahkan terhadap tanda-tanda tentang adanya perkembangan
yang lebih positif daripada yang diduga semula.
Tetapi untuk memperoleh agak lebih jauh dalam garis
argumen ini dirasa perlu disinggung beberapa hal. Banyak
dari kekuatiran di balik sikap enggan mengerima kefinalan
Pancasila (dalam pengertian Kiai Ahmad Shoddoiq itu) yang
timbul dari dugaan bahwa Pancasila akan diarahkan kepada
posisi sebagai padanan (equivalent), jika bukannya malah
saingan, bagi suatu agama. Atau, lebih sederhananya,
Pancasila ''akan diagamakan,'' menggantikan suatu agama
atau agama-agama yang ada. Secara common sense memang
segera nampak oleh kebanyakan pengamat kemustahilan
gagasan serupa itu. Tetai kenyataan menujukkan bahwa
dugaan yang mustahil itu telah pernah melatarbelangi
polemik dan kontroversi yang seru. Dan, sebagaimana telah
dikatakan, ternyata kekuatiran itu samasekali tidak
terbukti, malah justru banyak timbul gejala yang lebih
positif.
Adanya kekuatiran itu, meskipun akhirnya ternyata tidak
terbukti, sebenarnya dapat dipahami, mengingat berbagai
trauma ideologis-politis masa lalu yang dialami oleh
sebagian dari masyarakat. Tetapi dari sudut pandangan
mereka yang bersemangat Keislaman, kekuatiran itu
seharusnya tidak pernah terjadi, tidak saja akhir-akhir
ini tapi juga di masa lalu yang lebih jauh, kalau saja
terdapat kesadaran yang mantap bahwa Pancasila itu dari
beberapa fungsi dan kedudukannya antara lain merupakan
titik temu (commo platfrom, kalimah sawa) antara berbagai
komunitas kemasyarakatan (societal community) dalam
bangsa kita, terutama komunitas keagamaan. Dan sistem
Keislaman, pencarian titik temu antara berbagai agama
yang berkitab suci seharusnya tidak merupakan hal baru,
karena hal itu telah menjadi perintah Allah kepada
Rasul-Nya, Muhammad s.a.w.:
Katakanlah--olehmu, Muhammad: ''Wahai para pengikut Kitab
Suci! Marilah kamu semua menuju kepada ajaran dasar
kesamaan antara kami dan kamu, yaitu bahwa kita tidak
menyembah kecuali Allah--Tuhan Yang Maha Esa, dan bahwa
sebagian dari kita--sesama manusia--tidak mengangkat
sebagian yang lain sebagai tuhan-tuhan selain
Allah--Tuhan Yang Maha Esa!'' Tapi jika mereka--para
pengikut Kitab Suci itu--menolak, maka katakanlah olehmu
sekalian--wahai kaum beriman, kepada para pengikut Kitab
Suci itu: ''Bersaksilah kamu semua bahwa kami adalah
orang-orang yang berserah diri--kaum Muslimin''.3.
Jadi dalam firman Ilahi itu dijelaskan, pertama, adanya
perintah mencari titik temu antara para penganut berbagai
agama berkitab suci; kedua, titkik temu itu ialah Tawhid
atau paham Ketuhanan Yang Maha Esa (Monotheisme); ketiga,
Tawhid itu menuntut konsekwensi tidak adanya pemitosan
sesama manusia atau sesama mahkluk; keempat, jika usaha
menemukan titik temu itu gagal atau ditolak, maka
masing-masing harus diberi hak untuk secara bebas
mempertahankan sistem keimanan yang dianutnya.
Pandangan bahwa Tawhid atau paham Ketuhanan Yang Maha Esa
merupakan prinsip paling dasar yang mempertemukan
agama-agama dalam keasliannya dengan sangat kukuh menjadi
pandangan sistem keislaman. Ini, misalnya, ditegaskan
dalam firman Allah yang menjelaskan bahwa ajaran pokok
para Nabi dan Rasul ialah bahwa mereka tidak menyembah
sesuatu apapun kecuali Allah, Tuhan Yang Maha Esa; ''Dan
Kami--Tuhan-- tidak pernah mengutus seorang Rasul pun
kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwasanya tiada Tuhan
selain Aku. Maka sembahlah olehmu semua akan Daku
saja.''4.
Sekali lagi, dalam firman itu titik temu antara
agama-agama yang diperintahkan Tuhan untuk mengajak para
pemeluk menuju kepadanya ialah paham Ketuhanan Yang Maha
Esa. Sepanjang mengenai Pancasila, adalah tepat bahwa
sila pertama itu, menurut penyumbang pikirannya yang
utama, Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Umum Muhammadiyah saat
itu, dimaksudkan sebagai Tawhid. Lebih lanjut, mengikuti
garis argumen dalam ilmu Ushul al-Figh, sesudah satu
titik temu yang paling pokok telah disetujui, kemudian
masih dapat disetujui pula titik temu lain yang dipandang
baik oleh semua, maka tentulah hal itu lebih utama
(afdlal). Sebuah qa'idah mengatakan: ''Ma kana aktsara fi
'lan kana aktsara fadl'lan.'' (Sesuatu--dari perbuatan
baik--semakin banyak dikerjakan, semakin banyak pula
keutamaannya).
Di depan telah ditandaskan sifat Pancasila sebagai
ideologi terbuka, sesuai dengan rancangannya untuk
landasan kehidupan sosial-politik Indonesia yang plural
dan modern. Suatu fase kemantapan nasional amat penting
telah terjadi di negeri kita berkenaan dengan kefinalan
Pancasila ini, yaitu diterimanya ideologi itu sebagai
satu-satunya asas bagi kehidupan bermasyarakat dan
bernegara dalam konteks pluralisme dan keterbukaan.
Tetapi Presiden Soeharto sendiri mengingatkan bahwa
kemantapan saja tidak cukup. Beliau katakan kepada para
peserta Kongres dadn Seminar HIPIS di Ujungpandang 1986:
''Landasan ideologi yang mantap saja masih belum cukup,
tetapi harus membangun dan mengisinya dengan kemajuan dan
peningkatan kesejahteraan lahir batin. Hal itu berarti
bahwa gambaran mengenai masyarakat hari esok yang
berlandaskan Pancasila masih perlu kita jabarkan dan kita
kembangkan lebih jauh'' (garis bawah dari kami).
Kutipan itu memberi kejelasan singkat tentang apa makna
pandangan bahwa Pancasila adalah sebuah ideologi terbuka.
Yaitu bahwa ia tidak memberikan penafsiran secara detail
dan nyata ''sekali untuk selamanya,'' tanpa bisa
diubah-ubah. Jadi ia tidak mengizinkan adanya
indoktrinasi (yang telah diperlihatkan contohnya dalam
negeri-negeri komunis sebagai kegagalan total). Melainkan
Pancasila sebagai nilai-nilai dasar harus senantiasa
diusahakan merinci tuntutan-tuntutan pokoknya dengan
menghadapkan setiap konsep dan gagasan tentang makna
idealnya kepada kenyataan-kenyataan masyarakat kita yang
senantiasa berubah dan berkembang secara dinamis. Dan
jika diharapkan hasil yang optimal dari proses ini, maka
dituntut adanya sistem sosial-politik yang terbuka, yang
memberi ruang bagi adanya kebebasan (yang bertanggung
jawab) untuk menyatakan pendapat dan untuk menguji atau
mengeksperimentasikan gagasan dan ide dalam masyarakat.
Digariskan dalam Q., s. al-'Ashr, tidaklah cukup bagi
manusia untuk lepas dari kehinaan dan kesengsaraan hanya
dengan adanya komitmen pribadi melalui iman dan usaha
mewujudkan komitmen pribad itu secara sosial melalui
perbuatan, melainkan ia masih perlu menempatkan dirinya
dalam tatanan masyarakat yang membuka kemungkinan adanya
kebebasan saling menyatakan tentang apa yang baik dan
saling mengingatkan tentang keharusan tabah dan ulet
dalam usaha bersama menciptakan kehidupan yang baik itu.
Di antara berbagai kenyataan sosial di Indonesia ialah,
sebagaimana telah dijabarkan, kenyataan Islam sebagai
agama rakyat terbanyak. Ini mengakibatkan adanya dua hal
yang saling terkait dengan erat. Pertama ialah keharusan
memperhatikan aspirasi mereka itu, yang tadi telah
dimukakan sebagai inti sistem kemasyarakatan kita.
Mencoba mengabaikan mereka akan merupakan tindakan
melawan arus realita, dan karenaya berbahaya. Adalah
dalam perspektif ini kita harus memahami pandangan yang
pernah dikemukakan Bapak Ismail Saleh, Menteri Kehakiman,
tentang ''Eksistensi Hukum Islam dan Sumbangannya
terhadap Hukum Nasional'' (Kompas, Jakarta, 1, 2, dan 3
Juni 1989). Juga dari sudut pandangan itu kita dapat
mengerti pendapat Dr. Bahruddin Lopa bahwa peradilan di
Indonesia di masa depan akan lebih banyak berdasarkan
ajaran- ajaran Islam (The Jakarta Post), Jakarta, 5
Oktober 1987).
Namun akibat kedua adalah jauh lebih berat. Yaitu bahwa
kaum muslim memikul tanggung jawab pembinaan yang sangat
besar, yang tidak cukup hanya dengan komitmen yang
berkobar saja, tetapi menuntut keahlian yang tinggi, baik
tentang ajaran Islam sendiri maupun tentang konteks ruang
dan waktu Indonesia modern.
Wallahu a'lam bi al-shawab
Catatan :
1. Kenyataan ini terlihat, misalnya, dalam Kerajaan Hindu
Vijayanagar yang meskipun bertahan dengan Hinuismenya
namun menyadarkan diri dari tentera Muslim dan
menggunakan tata cara Islam dalam lingkungan istana.
(Lihat Marshall Hoogson, The Venture of Islam, 3 jilid
(Chicago: The University of Chicago Press, 1974), jil. 2,
h. 532).
2. Oleh karena itu sering nampak adanya hal-hal yang
anomalous atau menyimpoang tentang India dan Indonesia
dalam kaitannya dengan Islam ini. Disebabkan oleh
perkembangan sejarahnya yang paling akhir sekitar
masa-masa pembentukan negara, Indonesia dengan mayoritas
penduduk Muslim sering menunjukkan sikap-sikap terhadap
Islam yang mengandung stigma politik. Bagi India, Islam
tidaklah mengandung serupa, selain kaitannya dengan
masa-masa partisi yang melahirkan Pakistan (kemudian
kelak juga Bangladesh), namun lambat laun India mampu
melihatnya sebagai lebih banyak masalah kebangsaan, bukan
keagamaan. Karena itu ketika pada masa permulaan
pembentukannya, OKI (Organisasi Konferensi Islam) tidak
mengikutkan India sebagai anggota (padahal mempunyai
jumlah kaum Muslim yang tidak kurang dari 80 jutaan),
Perdana Menteri Indira Gandhi waktau itu mengajukan
protes dan menuntut agar India diterima sebagai anggota.
Tapi pengalaman Indonesia samasekali lain. Menteri Luar
Negeri Adam Malik dibuat repot menerangkan bahwa
Indonesia bukanlah anggota OKI, melainkan hanya sebagai
peninjau! Ini adalah karena adanya suara-suara keberatan
atas keanggotaan Indonesia dalam OKI, sekalipun mayoritas
penduduknya penganut Islam. Tentu saja sekarang
persoalannya sudah rampung: India tetap tidak masuk OKI,
dan Indonesia menjadi anggota penuh dengan peranan
semakin penting di dalamnya.
3. Q.,S. Ali 'Imran/3:64.
4. Q., S. al-Anbiya/21:25.
|