MASALAH PENDIDIKAN AGAMA DI PERGURUAN TINGGI UMUM
Oleh : Nurcholish Madjid
Event Artikel : Seminar Depag, di IPB, Bogor, 12 Mei 1998
Diupdated pada: Kamis 12 April 2001

Mukaddimah

Keluhan dan kritik tentang pendidikan/pengajaran agama di sekolah-sekolah kita dari semua tingkat, negeri maupun swasta, "umum" maupun "agama" (madrasah) telah menjadi kesadaran luas dalam masyarakat. Sudah tentu sebabnya banyak sekali. Salah satunya ialah kurangnya tanaga pengajar yang memadai. Semenjak Menteri Agama Wahid Hasyim dan Menteri Pendidikan Bahder Djohan dalam Kabinet Natsir (1950) menetapkan diberikannya pelajaran umum di madrasah-madrasah dan pelajaran agama di sekolah-sekolah, kekurangan tenaga pengajar itu dirasakan sampai hari ini. Untuk memenuhinya dibuat program mendesak pendidikan guru agama (PGA). Tetapi dengan membludaknya tuntutan untuk adanya pendidikan agama segera setelah lahir Orde Baru, jumlah lulusan PGA itu sangat jauh dari mencukupi, kemudian diusahakan menutup kekurangan itu dengan mengadakan "ujian guru agama" (UGA) dengan segala segi positif dan negatifnya.

Ternyata setelah lewat tiga dasawarsa keluhan tentang pendidikan agama itu masih santer sekali. Tidak lagi berkenaan dengan langkanya tenaga sebagai masalah utama (meskipun jelas belum juga sepenuhnya teratasi), keluhan itu semakin mengarah kepada mutu pendidikan agama itu sendiri dan isinya. Semakin banyak penilaian bahwa mutu dan isi itu tidak memadai. Ini dapat dilihat secara positif sebagai tanda peningkatan tuntutan sesuai dengan peningkatan kemajuan masyarakat, tapi juga dapat dipandang secara negatif sebagai tanda ketidakmampuan kita melakukan perbaikan mutu dan isi tersebut.

Mengenai mutu, rendahnya tingkat kemampuan tenaga pengajar dan tidak mengenanya metodologi pengajarannya merupakan masalah pokok. Dengan sendirinya termasuk tingkat penguasaannya kepada bahan atau isi pengajaran itu. Dan isi itu, lebih jauh lagi, menyangkut tema-tema yang dipilih sebagai bahan pengajaran dan tujuannya. Tema-tema itu dalam pandangan banyak orang dianggap tidak lagi memadai, dan tidak relevan.


Dua Jenis penyelenggaraan Pendidikan Agama

Penyelenggaraan pendidikan agama harus dibedakan antara dua program dan tujuan:

Pertama, pendidikan agama dengan tujuan mencetak para ahli agama (ulama) dalam semua tingkat (desa, lokal, sampai nasional). Pendidikan ini mendorong munculnya para "produsen" (melalui kepemimpinan keagamaannya). Karena itu, idealnya, pendidikan itu harus mendalam dan meluas (misalnya dengan pendekatan perbandingan, baik intra agama seperti perbandingan madzhab, maupun antar agama seperti perbandingan agama). Sebab kesempitan faham keagamaan seorang tokoh "produsen" tidak saja menyalahi asas keagamaan itu sendiri (jika dia tahu), tapi juga dapat menjerumuskan para "konsumen", yaitu masyarakat. Karena itu pendidikan agama untuk kelompok ini harus disertai kemampuan melakukan kajian kritis dalam kemestian kebebasan akademik, mengikuti falsafah ijtihad seperti diajarkan Nabi s.a.w. (jika benar dapat pahala ganda dan jika salah masih dapat satu pahala). Pendidikan agama jenis pertama ini adalah suatu bentuk spesialisasi dan "profesionalisme", memenuhi ajaran al-Qur'an bahwa tidak sepatutnya semua pemeluk ikut serta dalam kegiatan hidup "umum", melainkan hendaknya dalam setiap golongan masyarakat ada suatu kelompok yang mendalami pemahaman agama (tafaqquh fi al-din).1

Kedua, pendidikan agama dengan maksud memenuhi kewajiban setiap orang mengetahui dasar-dasar ajaran agamanya sebagai seorang pemeluk. Berkenaan dengan ini, pertanyaan paling penting yang harus dijawab ialah, "apa yang membuat seseorang menjadi pemeluk yang baik, sehingga mampu mewujudkan tuntutan ajaran agamanya dalam hidup nyata di dunia dan memberinya kebahagiaan di dunia itu sendiri dan di akhirat kelak?" Dalam bahasa logo-sentrik yang lebih absah, "apa yang membuat orang itu beriman dan beramal saleh?" Karena pertanyaan serupa itu biasa diajukan orang sehari-hari, ada bahaya kita menghadapinya sebagai pertanyaan "jamak-lumrah" dengan perasaan seolah-olah kita semua tahu jawabnya secara "taken for granted". Padahal dalam telaah lebih mendalam dan meluas sebetulnya pertanyaan itu amat asasi, dan persoalan bagaimana menjawabnya pun amat asasi, sehingga salah dan benar dengan sendirinya juga asasi.


Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Keagamaan

Dari sekian banyak kemusykilan pendidikan agama jenis pertama (untuk mencetak "produsen") ialah masalah rekrutmen. Dalam suasana kehidupan materialistik akibat pandangan hidup "modern" saat ini, gengsi keahlian khusus keagamaan ("profesional", dalam arti pilihan primer bidang keahlian) merosot cukup tajam, karena dianggap tidak mampu memberi "janji kerja" (promise of job) yang memadai (dalam arti menghasilkan ganjaran material yang sebanding dengan bidang keahlian yang lain). Gejala ini mulai dapat dilihat pada banyak kenyataan, salah satunya ialah semakin sulitnya lembaga-lembaga studi keagamaan (seperti IAIN dan fakultas keagamaan dalam perguruan tinggi umum) untuk memperoleh bahan manusia (human material) yang baik, apalagi yang pilihan. Bidang studi keagamaan umumnya berada dalam skala prioritas yang sangat rendah, dan seringkali merupakan alternatif terakhir seorang calon mahasiswa. Maka mudah difahami bahwa "bahan manusia" bidang studi keagamaan adalah "bahan manusia sisa", padahal kualitas bahan manusia itu sangat menentukan bagi kualitas kinerja, di bidang apa saja, dan lebih menentukan daripada peranan kelembagaan seperti sekolah atau perguruan tinggi itu sendiri. Menarik sekali dalam hal ini renungan tentang makna sabda Nabi, bahwa "Manusia adalah bagaikan bahan mineral, yang terbaik dalam Jahiliah adalah yang terbaik dalam Islam".2 Jika masalah ini berlangsung terus-menerus tanpa dapat diatasi, maka dikuatirkan bahwa kelak para ahli (formal) bidang keagamaan tidak lagi dapat disebut 'ulama' melainkan harus disebut juhala' berdasarkan kemampuan riil (bukan formal) mereka. Kepemimpinan atas umat oleh para ahli yang sebenarnya tidak ada keahlian itu dapat dibayangkan apa akibatnya. Karena itu tantangan yang dihadapkan kepada pendidikan agama jenis pertama ini ialah bagaimana membuat bidang studi keagamaan menjadi suatu jenis keahlian yang bergengsi tinggi dan penuh prestise, sehingga mampu menarik bahan manusia yang terbaik.


Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum

Mengenai pendidikan keagamaan jenis kedua, topik utama pembahasan kita di sini, masalah yang sering timbul ialah sulitnya mendapatkan tenaga pengajar yang dapat memenuhi tuntutan intelektual peserta didik (murid, siswa, mahasiswa). Hal itu sangat terasa di tingkat perguruan tinggi, lebih-lebih perguruan tinggi "centers of excellence". Ejekan diam-diam kepada guru (dosen) agama kadang-kadang tidak lagi dapat disembunyikan. Sudah tentu hal ini amat mengurangi efektifitas pelaksanaan pendidikan keagamaan itu dan menghalangi pencapaian tujuannya. Masalah ini tidak jarang dicoba atasi dengan mengangkat kalangan perguruan tinggi bersangkutan sendiri sebagai tenaga pengajar agama. Keuntungannya ialah, tenaga itu dapat tampil menurut tingkat tuntutan intelektual peserta didik (mahasiswa). Akan tetapi dengan kemungkinan adanya segi kekurangan, berupa penguasaan isi pendidikan keagamaan itu yang sering tidak memadai. Juga ada segi kekurangan lain, yaitu kemungkinan tenaga itu menyelenggarakan pengajaran agama menurut paradigma tertentu yang biasanya sangat kuat terpengaruh oleh disiplin khusus bidang kajiannya sendiri.

Tentu tidak selamanya salah dengan cara itu, asalkan pendidikan keagamaan tidak menjadi korban mind set tenaga pengajar yang berasal dari bidang keahlian yang menurut naturnya berfokus menajam sedemikian rupa sehingga melahirkan cara berfikir single track dan monolinear yang acapkali simplistik. Sebab bidang kajian keagamaan dan masalah-masalah keagamaan meliputi variabel sedemikan luas dan panjang, dan tidak mungkin direduksi menjadi sesuatu yang dapat dinyatakan dalam angka dan bersifat eksakta. Dalam hal ini penting sekali memperhatikan dua istilah yang digunakan dalam al-Qur'an tentang pola-pola perjalanan atau hukum seluruh ciptaan, yang meliputi dua kenyataan: hukum hidup sosial manusia dan hukum alam benda mati. Untuk kenyataan pertama al-Qur'an menggunakan istilah Sunnat-u 'l-Lah, dan untuk kenyataan kedua digunakan istilah Taqdir atau, lengkapnya, Taqdir-u 'l-Lah. Hukum Allah yang menguasai pola hidup manusia sebagai makhluk sosial disebut Sunnah karena melibatkan variabel yang sedemikian luas sehingga hukum itu mengesankan seperti "lunak" (soft, fluid). Sedangkan yang menguasai alam kebendaan mati disebut Taqdir karena kesan kadar kepastiannya yang tinggi akibat variabelnya yang cukup terbatas (sehingga mudah dinyatakan dalam angka, termasuk rumus matematis yang elegan seperti rumus e=mc2), dan menghasilkan "ilmu eksakta". Implikasi dari kedua istilah dalam Kitab Suci itu harus benar-benar diinsafi jika tidak mau terjerembab ke dalam jebakan mind set yang menyesatkan.

Berkenaan dengan isi pendidikan agama di perguruan tinggi umum ini, tantangan terbesar ialah bagaimana menjawab tuntutan ruang dan waktu (di sini dan sekarang) yang ditandai dengan berbagai kemestian modernitas dan diliputi oleh suasana membingungkan karena perubahan sosial yang amat cepat (negeri kita belum pernah mengalami perubahan sosial secepat dan sebesar sekarang ini). Dalam sosiologi perubahan sosial, gejala-gejala negatif akibat suatu perubahan yang cepat ialah dislokasi, disorientasi dan deprivasi relatif. Kekecewaan dan perasaan tak tertolong (helplessness) akan menimbulkan depresi yang mendalam dengan segala akibatnya. Dalam situasi serupa itu, ajaran-ajaran kultus tampil dengan subur sebagai solusi cepat gejala keguncangan jiwa. Ajaran kultus itu banyak sekali yang tampil lewat simbul-simbul keagamaan formal dan penampilan-penampilan keagamaan lahiriah, sehingga mudah sekali mengecoh orang banyak. Sebagai solusi jangka pendek untuk mengatasi derita keguncangan jiwa, ajaran-ajaran kultus seringkali nampak efektif dan memuaskan bagi yang bersangkutan. Akan tetapi, dalam jangka panjang dan skala besar, ajaran-ajaran kultus menyesatkan, sangat menyesatkan, kira-kira sebanding dengan peranan dajjal (pembohong) seperti dimaksudkan dalam Kitab Suci dan Sunnah Nabi. Hal ini dengan mudah dapat dilihat pada kasus-kasus tindakan anti sosial dan anti kemanusiaan para guru dan murid berbagai ajaran kultus di Amerika, Eropa, Jepang, India, dan lain-lain.


Masalah Metode dan Isi

Jelas sekali metode pengajaran agama di perguruan tinggi umum harus sesuai dengan tuntutan intelektual para peserta didik yang relatif sangat tinggi. Maka biarpun agenda pengajaran itu tidak seluruhnya sama dengan yang ada di perguruan tinggi khusus keagamaan, tapi karena tuntutan intelektual yang tinggi itu pembahasan yang kritis dan kaya dengan bahan perbandingan akan tidak saja menarik, bahkan akan lebih menjamin tercapainya tujuan pendidikan.

Dalam wacana umum, sering dipertanyakan orang mengapa Indonesia sebagai negeri Muslim terbesar di dunia dan yang sering dinyatakan mengalami "kebangkitan agama" justru terkenal sebagai negeri yang paling korup. Hal ini dapat diterangkan dengan membedakan segi keagamaan yang "formal-simbolik" dan yang "esensial-substantif". Dalam al-Qur'an diperingatkan agar manusia tidak bersikap "sok suci" (semuci suci),3 dan dalam Hadits ditegaskan bahwa Tuhan tidaklah melihat lahir manusia, malainkan batinnya.4 Maka kiranya cukup mendesak untuk menjadikan masalah penanaman kesalehan yang lebih maknawi sebagai kelanjutan (semacam "naik kelas") dari kesalehan lahiri yang sekarang cukup semarak. Berbagai bahan dalam teks-teks suci, juga dari sejarah masa lalu, menyajikan pandangan tentang kesalehan maknawi itu. Sekedar bahan renungan tentang hal ini, patut sekali kita camkan makna dua dialog besar yang terjadi di masa Nabi s.a.w., yang dengan jelas mencerminkan makna esensial apa dari kehadiran Rasulullah s.a.w. di tengah masyarakat Jahiliah kota Makkah saat itu. Yang pertama ialah dialog antara Raja Habasyah (Etiopia) Najasyi (Negus) dengan Ja'far ibn Abi Thalib, dan yang kedua ialah dialog antara Raja Roma (Bizantium) Kaisar Heraklius (Hirqal) dengan Ab– Sufyan (pemimpin Quraisy Makkah, musuh utama Nabi saat itu).

Kesalehan maknawi ini dengan sendirinya pertama-tama didasarkan kepada makna dan semangat kalimat syahadat yang terdiri dari negasi dan konfirmasi (al-nafy wa 'l-itsbat), "Tidak ada Tuhan selain Allah, Tuhan Yang Sebenarnya)" dengan segala implikasinya, khususnya implikasi pembebasannya yang amat fundamental. Juga dengan norma bahwa Muhammad adalah Utusan Allah yang Penghabisan, sehingga tidak ada seorangpun yang dibenarkan memiliki wewenang suci keagamaan sesudah beliau. Sejak Muhammad s.a.w., manusia adalah sama hak dan kewajibannya dalam memahami dan melaksanakan agama (dalam Islam tidak ada pendeta, atau setiap orang Muslim adalah pendeta untuk dirinya sendiri seperti dilambangkan dalam upacara mengusapan kepala dalam wudlu').

Kesalehan maknawi, yang juga merupakan akhlak mulia juga, dalam dimensinya yang lebih menyeluruh, berkaitan dengan prinsip-prinsip inklusivisme keagamaan (wajib beriman kepada semua Nabi dan kitab suci), kosmologi (pandangan yang optimis-positif kepada alam, yang langsung juga berkaitan dengan teori ilmu yang benar), antropologi (pandangan manusia sebagai makhluk tertinggi dengan hak-hak asasinya, yang dilahirkan dalam fitrah dan bersifat hanief, dan seterusnya).

Dengan sendirinya kesalehan maknawi itu juga terkait dengan seluruh ajaran agama. Namun nuktah-nuktah tersebut itu barangkali dapat dijadikan titik tolak pengembangan lebih jauh dan luas untuk pendidikann agama tingkat univesiter.

1. Lihat al-Qur'an, s. al-Tawbah/9:122.
2. Hadits dalam makna ini diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Ahmad.
3. Lihat al-Qur'an, s. al-Najm/53:32 dan s. al-Nisa'/4:49.
4. Lihat antara lain Hadits riwayat Muslim