MASYARAKAT DAN KESADARAN SEJARAH
Oleh : Nurcholish Madjid
Event Artikel : Kongres Nasional Sejarah, Jakarta, 12-15 Nopember 1996
Diupdated pada: Kamis 12 April 2001

Mukadimah: Dari "Syajarah" ke "Sejarah"

Dalam percakapan sehari-hari, sering terdengar keluhan atau kritikan, bahwa masyarakat kita kurang memiliki kesadaran sejarah. Dengan sendirinya di balik keluhan kritikan itu tersirat keberatan tertentu terhadap akibat tiadanya, atau rendahnya, kesadaran sejarah. Dengan begitu juga dengan sendirinya tersirat harapan terhadap sesuatu yang baik jika ada kesadaran sejarah, apalagi jika kesadaran itu cukup tinggi.

Pertanyaannya ialah, apakah benar ada madarat dalam tiadanya kesadaran sejarah, dan ada manfaat dalam adanya kesadaran itu? Sekalipun jawabnya menyangkut suatu truisme sederhana (tentu saja "ya, ada!"), tapi untuk keperluan argumen yang hendak diajukan di sini, pertanyaan itu diajukan dengan kemungkinan melihat jawabnya secara kritis.
Jika benar ada madarat dalam tiadanya kesadaran sejarah dan ada manfaat dalam adanya kesadaran itu, dapatkah hal itu ditunjuk secara nyata? Pertanyaan ini dirasa mempunyai keabsahan karena konsep manusia tentang "sejarah" itu sendiri tidak satu, atau tidak sekaligus satu, melainkan bermacam-macam, atau berkembang dari satu konsep ke konsep lain sepanjang waktu. Misalnya, mungkin konsep kita di Indonesia tentang "sejarah" bisa ditelusuri dengan melihat kata-kata "sejarah" itu. Perkataan Indonesia "sejarah" adalah pinjaman dari perkataan Arab syajarah yang berarti "pohon". Dalam hal ini ialah "pohon keluarga" atau "family tree", yang mengacu kepada skema hubungan vertikal dan horizontal anggota-anggota keluarga yang bertalian darah atau nasab, kekerabatan dan semendo, ke atas (nenek moyang) dan ke bawah (anak cucu), serta ke samping kanan dan kiri (pertalian semendo).
Di zaman modern ini pengetahuan tentang "sejarah" dalam arti "pohon keluarga" serupa itu dipandang sebagai tidak lagi relevan. Zaman modern ditandai dengan hubungan fungsional yang lebih berdasarkan kepada pencapaian (achievement, prestasi), dan sangat kurang berdasarkan kualitas-kualitas kenisbatan (ascriptive) seperti masalah keturunan. Tapi dalam masyarakat feodal, pengetahuan tentang "sejarah" dalam artian itu amat penting, karena kehormatan dan gengsi seseorang dalam masyarakat ditentukan, atau dipengaruhi, oleh persoalan siapa keturunan siapa.
Ada juga masyarakat yang karena pertimbangan tuntutan hidup tertentu, baik natural maupun sosial, melihat pentingnya kesadaran "sejarah" dalam artian itu. Misalnya, masyarakat-masyarakat Timur Tengah, seperti Bangsa Arab dan Bani Israil, memandang amat penting kesadaran tentang rentetan (Arab: silsilah) keturunan dalam "pohon nasab" karena dua pertimbangan: pertama, pertimbangan yang diakui, tidak terlalu jauh berbeda dari pertimbangan feodal, kehormatan seseorang ditentukan oleh garis keturunannya; kedua, yang tidak sadar diakui namun muncul dalam kenyataan sosial, kesadaran tentang "sejarah" dalam arti pohon keluarga itu mencegah seseorang jatuh kedalam kemungkinan kawin dengan keluarga dekat sendiri, yang secara naluri mereka sadari bahayanya bagi kesehatan keturunan, yang dapat memperlemah daya tahan tubuh mereka dalam kehidupan kerasnya alam padang pasir. (Untuk mengetahui, dan sebagai perbandingan, akibat negatif apa yang bakal terjadi oleh banyaknya perkawinan dalam lingkungan kerabat dekat, kita dapat memperhatikan kaum Amish di berbagai tempat di Amerika Serikat).

Untuk sejumlah alasan, kaum Mormon di Amerika memandang pengetahuan tentang "pohon keluarga" itu amat penting, dan untuk itu di Salt Lake City, pusat keagamaan mereka, dibangun pusat data dan informasi silsilah dan pohon nasab atau family tree. Usaha kaum Mormon itu ternyata memberi faedah juga kepada suatu cabang ilmu kedokteran modern, karena menyediakan kemudahan untuk penelitian penyakit keturunan. Misalnya, Dr. Michael Vincent, mampu memecahkan misteri sebuah penyakit misterius (yang dapat membuat seseorang mati mendadak tanpa diketahui sebabnya). Melalui proses penelitian ilmiah yang panjang, Dr. Vincent mengetahui hakikat penyakit itu sebagai penyakit jantung "Long QT" (interval denyut jantung yang panjang secara tidak biasa dari permulaan Q ke ujung T) dan merupakan penyakit keturunan. Dengan menggunakan syajarah keturunan yang ada di pusat informasi silsilah Mormon tersebut Dr. Vincent berhasil menelusuri dan mengidentifikasi pangkal penyakit itu pada seorang tokoh nenek moyang banyak sekali orang Amerika, yang tokoh itu hidup ratusan tahun yang lalu. Berdasarkan temuannya itu ia kini berhasil memberi peringatan dini kepada banyak sekali orang, sehingga kematian misterius secara mendadak dapat dicegah. Jadi ilmu syajarah ternyata tidak hanya berfaedah untuk memuaskan ego kaum feodal dan mereka yang percaya kepada eugenics. Ilmu syajarah juga bermanfaat secara dapat dipertanggungjawabkan, paling tidak jika kita batasi persoalannya kepada bidang keahlian seperti yang ada pada Dr. Michael Vincent.


Antara "Syajarah" dan "Tarikh"

Dalam Bahasa Arab, di samping perkataan syajarah ada perkataan tarikh (atau ta'rikh). Adalah perkataan tarikh itu yang digunakan dalam Bahasa Arab untuk menunjuk kepada pengertian perkataan "sejarah" dalam bahasa kita. Menelusuri makna kebahasaan istilah tarikh inipun dirasa cukup bermanfaat, karena dari situ juga dapat tersingkap rentetan konsep tentang sejarah, yang relevan bagi kita.

Secara e
timologis, perkataan "tarikh" mempunyai makna "penentuan tanggal atau titi mangsa" suatu kejadian. Sejarah disebut tarikh karena suatu kejadian, apalagi kejadian besar, tidaklah berlangsung dalam suatu kekosongan ruang dan waktu. Penuturan tentang suatu kejadian tanpa dapat menyebut zharaf atau dimensi ruang dan waktunya akan hanya menghasilkan suatu dongeng atau mitologi, sesuatu yang barangkali masih berguna namun "tidak ilmiah". Maka kalau dalam konsep syajarah segi ruang dan waktu hidup dan tampilnya seorang tokoh atau kejadian yang menyangkut tokoh itu tidak begitu penting (karena yang penting ialah "kemurnian" dan "keluhuran" darah keturunan), dalam konsep tarikh justru masalah dimensi ruang dan waktu sangat penting, dalam banyak hal lebih penting daripada kualitas darah seorang tokoh. Kalau konsep syajarah masih amat dekat dengan dongeng dan mitologi (perhatikan betapa banyaknya orang yang mengaku atau dianggap keturunan Nabi Muhammad s.a.w. di seluruh Dunia Islam!), maka konsep tarikh adalah lebih ilmiah, yang melibatkan pembuktian atau sekurangnya penafsiran obyektif.

Bahkan suatu kejadian yang dari bukti-bukti lain diketahui benar-benar pernah berlangsung dalam ruang dan waktu tertentu pun dapat berubah menjadi sebuah dongeng atau mitologi, jika penuturannya tidak disertai dengan kesadaran yang tegas tentang dimensi ruang dan waktunya itu. Misalnya, dalam masyarakat banyak sekali disebut tokoh-tokoh panutan yang dianggap amat penting, kebanyakan penuturannya terdengar menjadi lebih merupakan dongeng dan mitologi, karena penutur bersangkutan tidak memiliki pengetahuan, apalagi kesadaran, tentang dimensi ruang dan waktu tokoh tersebut.

Merosotnya suatu kenyataan sejarah menjadi penuturan dongeng dan mitologi diperkuat oleh ramuan cerita menakjubkan yang tidak historis, karena jelas tidak masuk akal. Cerita tentang Syeikh 'Abd-u 'l-Qadir al-Jailani, misalnya, di kalangan tertentu masyarakat kita menjadi tidak lebih daripada dongeng dan mitologi, karena penceritaannya dilakukan tanpa disertai kesadaran tentang dimensi ruang dan waktu tokoh besar kesufian itu. Padahal Syeikh 'Abd-u 'l-Qadir al-Jailani benar-benar pernah hidup dalam sejarah, yakni, dalam ruang dan waktu yang dapat ditentukan dengan cukup pasti (di Baghdad, tahun 1077-1166), dan dengan pengalaman - pengalaman hidup seperti layaknya orang yang hidup nyata dalam ruang dan waktu. Demikian juga halnya dengan Imam Syafi'i. Dia adalah seorang tokoh pembangun madzhab atau aliran fikiran keagamaan (khususnya bidang hukum atau fiqih) yang membawa namanya, dan yang menjadi anutan praktis semua orang Islam Indonesia. Namun di banyak kalangan, penuturan tentang tokoh itu menjadi tidak lebih daripada dongeng dan mitologi, karena tanpa kesadaran dimensi ruang dan waktu hidup tokoh itu.


Kesadaran Sejarah

Kecuali kalau kita menganggap penting faedah dongeng dan mitologi sebagai penglipur lara, maka persepsi kepada seorang tokoh atau suatu kejadian masa lalu tanpa kesadaran tentang fakta-fakta kehidupan atau rentetan peristiwa dalam dimensi ruang dan waktunya harus dipandang sebagai suatu bentuk tiadanya kesadaran sejarah. Kita akan mengerti apa akibat buruk tiadanya kesadaran sejarah itu jika kita telaah banyak kesulitan sosial-politik di suatu negara, termasuk di negeri kita, karena orang tidak menyadari tampilnya seorang tokoh atau berlangsungnya kejadian masa lalu dalam dimensi ruang dan waktunya dengan dampak-dampak penisbiannya. Misalnya, ada beberapa permasalahan sosial-politik, yang dapat menimbulkan kesulitan umum, yang menyangkut persepsi orang atau kalangan tertentu tentang Bung Karno. Pengetahuan yang tidak memadai tentang segi-segi historis tampilnya Bung Karno dalam konteks ruang dan waktu tertentu membuat persepsi mitologis tentang tokoh proklamator itu, begitu rupa seakan dia adalah seorang manusia yang datang entah dari mana. Kesulitan sosial-politik yang menyangkut persepsi mitologis, tidak historis, tentang Bung Karno dicerminkan dalam teriakan anti "kultus individu", maksudnya, kultus terhadap Bung Karno. Dan pengultusan tidak lain pendongengan dan pemitologisan.

Tokoh-tokoh besar suatu masyarakat, apalagi jika masyarakat itu belum cukup maju, sering diperlakukan dalam rangka persepsi kedongengan dan mitologis kepadanya. Karena itu sering terjadi sikap-sikap memutlakkan dan menyakralkan sesuatu yang dianggap sebagai berasal dari tokoh tersebut, biasanya dalam bentuk wawasan atau fikiran. Yang bersifat kebendaan pun dapat mengalami penyakralan, seperti benda-benda kuna warisan tokoh besar masa lalu di keraton-keraton. Karena telah terjadi pemutalakan dan penyakralan, maka obyek-obyek bersangkutan, baik wawasan atau benda, menjadi tertutup dari pemersoalan. Seperti terlihat dari sikap-sikap pengagungan (veneration) yang berlebihan, sangat dekat dengan penyembahan, kepada benda-benda warisan kuna di keraton-keraton, banyak orang dan kalangan masyarakat yang menunjukkan gejala sikap pengagungan berlebihan kepada wawasan, fikiran dan ajaran tokoh besar masa lalu. Pemutlakan adalah sisi lain dari sikap yang tidak mampu melakukan penisbian, semuanya akibat ketidakmampuan menyadari dimensi ruang dan waktu obyek bersangkutan. Persoalan sosial-politik yang timbul adalah konsekwensi dari sikap-sikap fanatik, tidak kritis, kepada warisan masa lalu itu. Banyak orang yang pengertiannya tentang benar dan salah hanya sebatas apa yang mereka anggap sebagai berasal dari, atau diwariskan oleh, para pendahulu mereka saja. Logika dari pandangan itu ialah ketertutupan, yaitu sikap menolak dan menjauhi hal-hal baru atau yang berasal dari kalangan lain, betapapun hal-hal itu memiliki tingkat kebenaran dan keabsahan yang lebih tinggi.

Karena itu kesadaran sejarah tidaklah sama dengan kemampuan mengingat dan menghafal kejadian-kejadian dan tokoh-tokoh masa lalu saja. Juga tidak sama dengan sekedar kemampuan mengingat dan menceritakan kejadian atau tampilnya tokoh lengkap dengan keterangan tentang kapannya dan di mananya. Kesadaran sejarah ialah kesadaran bahwa suatu peristiwa atau tampilnya tokoh masa lalu selalu terwujud dalam hubungan dinamik dengan faktor ruang dan waktu, karena itu tidak dapat dipandang dan dinilai sebagai hal yang berdiri sendiri. Akibat logis dari kesadaran itu ialah sikap penisbian terhadap kejadian dan tokoh masa lalu, dengan selalu memandangnya secara kritis dan dinamis, serta membukanya untuk dapat dipersoalkan, dan terus-menerus dipersoalkan kembali.


Hukum Sejarah sebagai "Hukum Alam"?

Hanya dengan kesadaran semacam di atas itu sejarah dapat menjadi sumber pelajaran berharga bagi suatu masyarakat. Kemampuan melihat adanya hubungan dinamis antara kejadian-kejadian atau tokoh-tokoh masa lalu dengan dimensi ruang dan waktu yang mempunyai tuntutan-tuntutan tersendiri akan menyajikan suatu kerangka acuan yang subur dan absah untuk mencari pemecahan masalah sekarang dan menghadapi tantangan masa depan. Sebaliknya, setiap pemutlakan akan membawa ke jalan buntu dalam mencari pemecahan masalah sekarang dan menghadapi masa depan, karena hilangnya daya kritis dan kemampuan untuk belajar dan menarik pelajaran.

Tapi itu semua mengasumsikan adanya suatu hukum sejarah yang obyektif dan tetap, tidak berubah. Sebab penarikan pelajaran dari kejadian masa lalu dengan sendirinya mengasumsikan adanya suatu pola yang dapat diulang dan dipergunakan untuk ruang dan waktu lain, jika faktor-faktor pembentuknya sama. Dengan kata lain, penarikan pelajaran dari sejarah mengisyaratkan adanya keperluan mengembangkan generalisasi yang bebas titi mangsa (dateless generalizations). Misalnya, tentang apa yang dapat terjadi dalam perubahan budaya, generalisasi serupa itu tidak dapat begitu saja diambil dari disiplin lain an sich manapun, tetapi generalisasi itu perlu untuk meneliti apa yang secara bebas titi mangsa penting tentang kejadian-kejadian budaya manusia yang berlangsung dalam ruang dan waktu. Sama dengan tuntutan riset ilmiah manapun, generalisasi serupa itu mengharuskan adanya pandangan perbandingan (comparative perspectives) secukupnya. Pandangan perbandingan itu sendiri mengasumsikan kemampuan menarik nuktah-nuktah persamaan dan perbedaan dari berbagai peristiwa dalam berbagai ruang dan waktu yang berbeda dalam hubungan timbal-balik dinamisnya dengan zharaf (ruang dan waktu) itu. Tanpa adanya pandangan perbandingan itu suatu penarikan pelajaran dari sejarah menjadi mustahil, karena suatu peristiwa sejarah akan harus dipandang sebagai unik untuk ruang dan waktunya sendiri, tanpa kemungkinan adanya persamaan, apalagi pengulangan, untuk ruang dan waktu lain. Itu berarti bahwa sejarah akan menjadi disiplin mati, yang mungkin masih tetap punya segi-segi menarik namun dalam pengertian eksotik seperti segi menariknya tarian kuda kepang bagi turis Jepang.

Walaupun begitu, seperti telah dikemukakan berkenaan dengan konsep tarikh tadi, suatu peristiwa justru disebut peristiwa sejarah karena diketahui ruang dan waktunya. Dengan demikian maka generalisasi bebas titi mangsa, juga penarikan persamaan dan perbedaan di atas, tidak dapat dilakukan secara mutlak. Generalisasi itu masih tetap mengandung segi-segi kenisbian, sehingga juga tidak mungkin menghasilkan pengetahuan eksakta seperti generalisasi dalam disiplin ilmu kebendaan (fisika, kimia, dll.). Karena itu kajian sejarah tetap bersifat idiografik, karena suatu peristiwa sejarah yang bersifat "khas" itu juga berarti merupakan suatu "idiom" atau bersifat idiomatik, sehingga harus difahami dan dipelajari pada dirinya sendiri. (Untuk memahami apa makna idiom Indonesia "besar kepala" atau "ringan tangan", kita tidak dapat memulai dengan meneliti kepala atau tangan sebagai kelengkapan biologis badan manusia, tapi harus bertanya langsung, secara unik, kepada ahli bahasa).

Sifat idiomatik peristiwa sejarah adalah karena mustahilnya peristiwa itu difahami lepas dari konteks ruang dan waktu. Maka suatu peristiwa kesejarahan tidak semata-mata merupakan sebuah "contoh" (dalam pengertian kata-kata Inggris sample), juga bukan semata-mata merupakan bahan mentah untuk generalisasi bebas titi mangsa (dateless generalization). Maka seseorang yang mengetahui sejarah masyarakat atau daerah tertentu tidak dengan sendirinya tahu sejarah masyarakat atau daerah lain, kecuali dengan lebih dahulu secara khusus mempelajari masyarakat atau daerah lain itu.

Dengan begitu, suatu generalisasi kesejarahan adalah generalisasi yang masih tetap harus memperhatikan masalah ruang dan waktu. Karena itu, tidak seperti generalisasi dari penelitian dalam dunia benda-benda, generalisasi kesejarahan yang dengan sendirinya selalu oleh seseorang, harus selalu diterima dengan sebuah catatan subyektif. Akibatnya, meskipun generalisasi itu tetap diperlukan sebagai syarat kemungkinan menarik pelajaran dari sejarah, namun tetap tidak dapat diulang atau diterapkan secara mutlak. Jadi tetap mengandung kenisbian.

Jika
segi kenisbian genralisasi atau kesimpulan "hukum sejarah" itu tidak diakui dan disadari, maka yang dikuatirkan dari persepsi mitologis kepada sejarah seperti diuraikan di atas akan terjadi juga. Yaitu timbulnya sikap-sikap dogmatis, absolutistik. Jadi sekalipun ada "hukum sejarah", namun tidak sepenuhnya sebanding dengan "hukum alam". Mungkin saja "hukum sejarah" itu bersifat pasti, tidak mengenal perubahan, namun karena menyangkut variabel yang begitu luas dan banyak, maka pengetahuan manusia tentang hukum itu akan sebanding dengan batas penguasaannya kepada sejumlah variabel yang sedemikian banyak itu. Maka pengetahuan yang dihasilkannya akan mengandung kelunakan (soft science), meskipun bukan kelemahan. Karena itu hukum sejarah dalam Qur'an, misalnya, disebut "Sunnat-u 'l-Lah" yang secara harfiah berarti "Tradisi Allah", yang sekalipun dijamin tidak akan berubah namun pemahamannya oleh manusia mungkin tidak akan pernah mencapai kepastian. (Sedangkan untuk hukum obyek-obyek fisik, Qur'an menyebutnya "Taqdir" atau "Taqdir-u 'l-Lah"-"Kepastian Allah", sebagaimana sedikit banyak terbukti dalam ilmu-ilmu eksakta). Karena itu meng-eksak-kan masalah kesejarahan, baik yang lalu, kini dan nanti, akan menyalahi keterangan Tuhan itu.


Penutup dan Kesimpulan

Kesimpulannya sudah jelas, yaitu kita memang perlu menanamkan kesadaran sejarah dalam masyarakat. Suatu bangsa akan sulit berkembang jika kesadaran itu tidak ada atau lemah. Sebab melalui kesadaran sejarah kita dapat melalukan akumulasi pengalaman kemanusiaan, suatu pendekatan yang "ekonomis" atau hemat untuk menumbuhkan kebudayaan dan peradaban.

Tapi masalah kemutlakan dan kenisbian yang menyangkut pengalaman hidup manusia dalam sejarah harus tetap diingat. Bahaya kemandekan perkembangan karena tidak adanya kemampuan mengambil pelajaran dari sejarah tidaklah lebih besar daripada bahaya pemutlakan pengambilan pelajaran itu dan penerapannya. Kesadaran sejarah menuntut adanya konsistensi pemikiran tersendiri yang, misalnya, berbeda dengan konsistensi pemikiran dalam ilmu-ilmu kebendaan atau alam seperti fisika, kimia, dll., sehingga juga berarti memerlukan jenis keahlian khusus. Sama dengan bahaya generalisasi yang berubah menjadi absolutisasi, penerapan konsistensi pemikiran dari disiplin lain ke disiplin ilmu sejarah akan mengakibatkan suatu bahaya yang besar kepada masyarakat.

Masalah lebih lanjut tentang bagaimana menanamkan dan mengembangkan kesadaran sejarah itu dalam masyarakat luas adalah masalah teknikalitas pengajaran, pendidikan dan penerangan. Itu semua bukan kompetensi makalah ini, dan harus diserahkan kepada para ahlinya, sejalan dengan prinsip kenisbian manusia. Seperti dikatakan dalam sebuah ungkapan bijak, "kalau suatu perkara diserahkan kepada bukan ahlinya maka tunggulah saat kehancurannya."

Wallahu a'lam.