ISLAM, ILMU-PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI
Oleh : Nurcholish Madjid
Event Artikel : Hubungan Organik Ilmu dan Iman dalam Islam, serta Pandangan Kritis Sekilas
Diupdated pada: Kamis 12 April 2001

Pendahuluan

Sudah merupakan keyakinan yang aksiomatik pada orang-orang Muslim bahwa agama Islam mendukung ilmu pengetahuan. Keyakinan itu didasarkan kepada adanya berbagai ungkapan suci dari al-Qur'an seperti berbagai perintah atau gugatan kepada manusia agar berpikir, menggunakan akal, merenungkan, dan memperhatikan alam raya dan gejala-gejala alam. Juga berbagai perintah Nabi dalam banyak hadits agar kaum beriman menuntut ilmu "sekalipun ke negeri Cina," untuk terus menerus menambah pengetahuan "sejak dari buaian sampai liang lahad," untuk "memungut wisdom) dari bejana apapun ia keluar," dan untuk "mengambil hikmah dari orang lain siapapun dengan memandangnya seperti milik sendiri yang pernah hilang,"1 dan lain sebagainya.

Sudah tentu semuanya itu benar belaka. Tetapi sesungguhnya, jika kaum Muslim tidak mau sekedar tergiring kepada sikap-sikap pengagungan diri sendiri dan apologetik yang kegunaannya sangat diragukan, keyakinan tersebut diatas memerlukan bukti penalaran yang lebih berkesungguhan, dan menuntut substansiasi pembuktiannya dari fakta-fakta sejarah masa lalu. Jika tidak, maka ungkapan-ungkapan yang menyenangkan akan hanya berdampak penghiburan diri dengan kemungkinan suatu kontra produksi karena merasa puas namun tidak terdorong untuk berbuat. Sebab jika ada urgensinya saat-saat sekarang untuk bicara tentang hubungan antara Islam dan ilmu-pnegetahuan serta teknologi, salah satunya ialah karena adanya desakan pentingnya membangkitkan kembali etos keilmuan yang telah hilang dari para pemeluk Islam, demi mengejar ketertinggalan mereka dari umat-umat lain.


Falsafah Ilmu dalam Islam

Falsafah ilmu atau epistemilogi dalam Islam dapat dimulai pembahasannya secara mudah dari pendekatan kebahasaan. Perkataan Indonesia "ilmu" berasal dari perkataan Arab "'ilm" yang satu akar kata dengan 'alam (bendera atau lambang), 'alamah (alamat atau pertanda), dan 'alam (jagad raya, universe). Ketiga perkataan ini ('alam, 'alamah dan 'alam) mewakili kenyataan atau gejala yang harus "diketahui" atau "di-ma'l–m-i," yakni, menjadi obyek pengetahuan atau 'ilm, karena di balik kenyataan atau gejala itu ada sesuatu yang berguna bagi manusia. Dan dari ketiga obyek itu, jagad raya atau 'alam adalah yang hakiki, sementera bendera dan alamat hanya mengandung makna alegoris saja.

Jagad raya mempunyai makna hakiki bagi manusia tidak hanya karena ukurannya yang besar, tetapi lebih penting lagi karena nilainya sebagai sesuatu yang diciptakan untuk menopang kebahagiaan hidup manusia. Dan jagad raya disebut 'alam karena fungsinya sebagai pertanda kebesaran Sang Maha Pencipta, yang merupakan penyingkap sebagian dari rahasia-Nya. Sebuah hadits Qudsi menyebutkan bahwa Allah adalah rahasia yang tersimpan rapat, namun Dia berkehendak untuk diketahui, maka Dia ciptakanlah jagad raya. Jadi jagad raya disebut 'alam karena ia adalah manifestasi Tuhan. Maka Tuhan adalah sumber pengetahuan manusia melalui wahyu lewat para Rasul dan Nabi yang harus diterima (dengan iman) dan dipelajari. Dia juga sumber pengetahuan manusia melalui jagad raya dan gejala-gejalanya yang harus diterima, diamati dan dipelajari. Sangat erat kaitannya dengan pandangan ini, secara a priori Tuhan menciptakan manusia sebagai sebaik-baik makhluk-Nya, dan, dengan begitu, secara logis jagad raya pun diciptakan dengan tingkat yang lebih rendah daripada manusia (konsep taskhir). Inilah yang dapat kita pahami dari firman Allah:

Dan Dia (Allah) menundukkan (sakhkhara) untuk kamu (manusia) segala sesuatu yang ada di seluruh langit dan segala sesuatu yang ada di bumi semuanya, berasal dari Dia. Dalam hal itu sungguh terdapat ayat-ayat (sumber-sumber pengetahuan) bagi kaum yang berpikir.2

Firman itu, disamping berbagai firman lain yang bertema serupa, dapat dipahami lebih baik lagi jika dikaitkan dengan firman:

Sesungguhnya dalam penciptaan seluruh langit dan bumi, dan dalam perbedaan malam dan siang, terdapat ayat-ayat bagi mereka yang berpikiran mendalam. Yaitu mereka yang senantiasa ingat kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk dan terbaring diatas punggung-punggng mereka, serta berpikir sungguh-sungguh tentang kejadian seluruh langit dan bumi. (Mereka lalu menyimpulkan): " Wahai Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan ini semua dengan sia-sia. Maha Suci Engkau! Karena itu, hindarkanlah kami dari siksa neraka."3

Jadi jelas bahwa karakteristik orang yang berpikiran mendalam ialah adanya orientasi hidup yang senantiasa tertuju kepada Tuhan (selalu ingat Tuhan kapan saja) dan berpikir sungguh-sungguh tentang jagad raya. Memahami jagad raya akan memberi manusia kemampuan untuk memanfaatkan gejala-gejala alam sehingga terpenuhi desain Sang Maha Pencipta bahwa alam memang diciptakan untuk kepentingan manusia sebagai rahmat-Nya. Lebih dari itu, memahami alam raya akan menghantarkan manusia kepada peningkatan pengalaman keruhanian yang lebih tinggi, yaitu keinsafan bahwa dalam alam raya terdapat kebenaran (haqq), bukan kepalsuan (bathil). Dan hanya dengan persepsi optimis-positif kepada alam raya sebagai benar, bukan palsu, akan dapat dihindarkan kesengsaraan hidup, dan diperoleh kebahagiaan. Ini adalah juga merupakan suatu tafsir atas keterangan dalam Kitab Suci bahwa Allah mengajari Adam "nama-nama sekaliannya" sebagai segi keluhuran Adam atas para malaikat dan bekalnya untuk menjadi Khalifah. Maka tidak heran bahwa dalam Kitab Suci terdapat penegasan bahwa diantara umat manusia ini yang benar-benar mampu menghayati secara mendalam akan kehadiran Allah dalam hidup (bertaqwa) ialah orang-orang yang berilmu-pengetahuan atau para sarjana (al-'ulama'), yang ciri utamanya ialah keberhasilan memahami akan alam sekitarnya.

Tidakkah kau perhatikan bahwa Allah menurunkan air dari langit, kemudian dengan air itu Kami (Allah) tumbuhkan berbagai buah-buahan yang bermacam-macam warnanya. Dan di pegunungan pun ada garis-garis putih dan merah dengan berbagai ragam corak warna, serta ada yang berwarna hitam kelam. Demikian pula halnya di kalangan umat manusia, binatang melata dan ternak, juga berbagai macam warnanya. Yang benar-benar takut kepada Allah, di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah mereka yang berpengetahuan (al-'ulama', para sarjana). Sesungguhnya Allah Maha Tinggi dan Maha Pengampun.4

J
adi ditegaskan bahwa dari kalangan umat manusia ini yang benar-benar takut kepada Allah, yakni, karena merasakan dan menginsafi benar kehadiran-Nya dalam berbagai gejala alam sekitarnya dan dalam hidupnya sendiri, ialah mereka yang paham akan gejala-gejala alam itu dan mengapresiasinya. Dan disitu nampak sekali apa maknanya bahwa jagad raya adalah manifestasi atau 'alam dari Allah s.w.t. Memahami alam dan mengapresiasi gejala-gejalanya merupakan sumber hikmah atau wisdom yang sangat berharga bagi hidup manusia. Karena itu alam dan gejala-gejalanya merupakan ayat-ayat Allah (sebagai ayat kawniyyah, "ayat wujud nyata"), sama halnya bahwa Kitab Suci dan bagian-bagiannya, karena fungsinya sebagai sumber pelajaran, hikmah atau wisdom, juga merupakan ayat-ayat Allah (sebagai ayat Qur'aniyyah, "ayat wujud bacaan"). Secara epistemologis, antara kedua ayat itu (ayat kawniyyah dan ayat Qur'aniyyah), samasekali tidak ada bedanya dalam nilai, karena, asalkan telah didasari oleh iman, pemahaman dan penghayatan akan kedua jenis ayat itu akan sama-sama menghantarkan seseorang kepada tingkat kemanusiaan yang lebih tinggi, yaitu taqwa kepada Allah dan keinsafan akan kehadiran-Nya. Dan jika pemahaman dan penghayatan itu melahirkan tindakan praktis yang nyata melalui pengamalan pengetahuan, maka kebahagiaan dan kelapangan hidup akan tercapai.

Dari paradigma di atas dapat diketahui dengan terang kaitan organik antara iman dan ilmu dalam Islam. Yaitu, bahwa ilmu tidak lain ialah hasil pelaksanaan perintah Tuhan untuk memperhatikan dan memahami alam raya ciptaan-Nya, sebagai manifestasi atau penyingkapan tabir akan rahasia-Nya. Garis argumen ini dibentangkan oleh Ibn Rusyd (Averroes), seorang failasuf Muslim yang karya-karyanya mempengaruhi dunia pemikiran Eropa dan mendorongnya ke zaman renaisans, dalam makalahnya yang amat penting, Fashl al-Maqal wa Taqrir Ma bayn al-hikmah wa al-Syari'ah min al-Ittishal (Makalah Penentu tentang Pembuktian adanya Hubungan antara hikmah [Falsafah] dan Syari'ah [Agama]).5 Ini berarti bahwa antara iman dan ilmu tidak terpisahkan, meskipun dapat dibedakan. Dikatakan tidak terpisahkan, karena tidak saja iman mendorong adanya ilmu dan bahkan seharusnya menghasilkan ilmu, tapi juga karena ilmu itu harus dibimbing oleh iman dalam bentuk adanya pertimbangan moral dan etis bagi penggunaannya. Tetapi ilmu berbeda dari iman, sebab, sebagaimana dengan jelas diisyaratkan dalam firman Allah yang telah dikutip diatas, ilmu bersandar kepada observasi terhadap alam dan disusun melalui proses penalaran rasional atau berpikir (maka difirmankan bahwa jagad raya ini mengandung ayat-ayat hanya bagi orang yang berpikir, tidak bagi orang lain), sedangkan iman bersandar kepada sikap membenarkan atau mendukung kebenaran berita (naba') yang dibawa oleh para pembawa berita atau mereka yang mendapat berita (nabiy) yang menyampaikan berita tersebut kepada umat manusia selaku utusan (ras–l) Allah. Memang benar dalam iman juga tersangkut penalaran rasional atau penggunaan akal, tetapi hal ini hanya menyangkut proses pertumbuhannya saja, sedangkan obyek iman itu sendiri, seperti kehidupan sesudah mati, misalnya, berada di luar jangkauan pengalaman empirik manusia sehingga tidak ada jalan untuk menerima adanya kehidupan sesudah mati itu kecuali melalui percaya kepada berita yang disampaikan para rasul.


Kosmopolitanisme Islam dan Ilmu-Pengetahuan

Karena ilmu bersandar kepada kegiatan memperhatikan alam dan gejala-gejalanya kemudian penarikan kesimpulan melalui peroses penalaran rasional, maka ilmu dapat dipelajari dari siapa saja yang dalam kenyataannya telah melakukan kegiatan tersebut dan menyimpulkannya melalui penalaran. Atau, dalam kata-kata lain, ilmu dapat dipelajari dari siapa saja yang telah mempunyai ilmu tersebut dalam bidang tertentu. Itulah sebabnya Nabi menganjurkan agar kita mencari ilmu sekalipun ke negeri Cina, hendaknya kita tidak segan-segan memungut ilmu dari bejana apapun ia keluar, dan supaya kita mengambil ilmu itu dari siapapun dengan menganggapnya sebagai milik sendiri. Ini menjadi salah satu dorongan amat kuat kaum Muslim klasik ke arah pandangan dunia atau weltanschauung yang bersemangat kosmopolitanisme dan universalisme, yaitu semangat pandangan bahwa hikmah, wisdom, serta bentuk-bentuk kebenaran tertentu lainnya sebagaimana tercakup dalam ilmu-pengetahuan, adalah kekayaan yang terdapat pada semua penduduk bumi dan berlaku untuk semuanya. Berbagai unsur ilmu-pengetahuan Islam (yang kini menjadi unsur amat penting ilmu-pengetahuan moderen), seperti ilmu bumi alam, kimia, ilmu ukur, matematika, kedokteran, ilmu bangunan, arsitektur -- disamping falsafah -- berasal dari hasil umat Islam masa lalu mengumpulkan dan mengkombinasikan secara sistematis unsur-unsur ilmu pengetahuan itu dari berbagai bangsa dan peradaban, yang terbentang sejak dari Eropa (khususnya Yunani) di barat sampai Cina di timur. Seorang ahli menjelaskan hal ini demikian:

Dalam setiap peradaban ada orang-orang tertentu yang mempelajari sabab-musabab gejala perubahan dalam alam itu sendiri, bukan dalam kehendak manusia atau kehendak manusia luar biasa. Tetapi sampai saatnya orang-orang Arab mewarisi falsafah alamiah Yunani dan alkemi Cina kemudian menyalurkannya ke Barat, belum pernah ada sosok tunggal pengetahuan alam yang berpindah dari satu peradaban ke peradaban yang lain. Sebaliknya, dalam setiap peradaban kajian tentang alam menempuh jalannya sendiri-sendiri. Para failasuf Yunani dan Cina menerangkan dunia fisik yang sangat serupa tapi dengan cara yang sangat berbeda... Sebagian besar dari hasil-hasil karya itu pertama-tama disedot oleh Islam, yang sejak 750 Masehi sampai akhir Abad Tengah terbentang sejak dari Spanyol sampai Turkestan. Orang-orang Arab menyatukan sosok ilmu yang luas ini dan menambahinya. Mereka memperbaiki aljabar, menemukan trigonometri, dan membangun peneropong-peneropong bintang. Mereka menemukan lensa dan merintis kajian optik, dengan pandangan bahwa cahaya keluar dari obyek yang dilihat dan bukannya dari mata. Di abad kesepuluh Alhazen menemukan sejumlah hukum-hukum optik, misalnya, bahwa berkas cahaya menempuh jalan yang tercepat dan termudah, pendahulu prinsip Fermat tentang "tindakan tersedikit" [least action]. Orang Arab juga mengembangkan alkemi, memperbaiki dan menciptakan banyak sekali teknik dan instrumen, seperti alembic [al-anbiq] yang digunakan untuk distilasi parfum. Pada abad kedelapan ahli kedokteran al-Razi meletakkan dasar-dasar ilmu kimia dengan menyusun ilmu alkemi dan mengingkari kegunaannya yang bukan-bukan. Sebagai penemu klasifikasi binatang-tetumbuhan-mineral, dia mengkategorikan sejumlah zat dan proses kimiawi, sebagian diantaranya, seperti distilasi dan kristalisasi, hari ini digunakan.6

Jadi umat Islam adalah yang pertama dari kalangan seluruh umat manusia yang menginternasionalkan ilmu-pengetahuan. Semula, ilmu-pengetahuan yang ada sangat bersifat nasionalistik (ada "ilmu Yunani," "ilmu Mesir," "ilmu Persi," "ilmu India," "ilmu Cina," dan lain-lain), malahan parokialistik (masing-masing "ilmu" nasional itu merasa paling benar, dan lainnya keliru). Melalui Islam, ilmu-pengetahuan itu dibebaskan dari kungkungan nasionalismenya yang palsu itu, dan diaduk serta dikombinasikan secara sistematis dan kreatif sehingga meliputi seluruh kekayaan ilmiah yang dikenal di muka bumi, dan disajikan kembali sebagai milik seluruh umat manusia. Inilah wujud historis yang nyata dari sifat terbuka umat Islam klasik, yaitu kesediaan belajar dari siapa saja dengan jalan mau mendengarkan pendapat orang lain dan mengikuti mana yang terbaik (melalui proses penalaran rasional). Sikap terbuka ini menjadi sumber kekayaan dan pengkayaan (enrichment) umat Islam secara kultural dan intelektual. Seperti kita ketahui, sikap terbuka itu dipuji sangat tinggi oleh Allah, dan dinyatakan sebagai pertanda adanya hidayah atau petunjuk-Nya bagi yang bersangkutan:

...Maka berilah kabar gembira kepada hamba-hamba-Ku. Yaitu mereka yang suka mendengarkan pendapat, kemudian mengikuti mana yang terbaik. Mereka itulah orang-orang yang diberi hidayah oleh Allah, dan mereka itulah orang-orang yang berpikiran mendalam (ul– al-albab).7

Selanjutnya, karena ada kaitan organik antara iman dan ilmu, para failasuf dan ilmuwan Muslim di masa lalu sampai sekarang, terrmasuk pada zaman kejayaan Islam, adalah orang-orang yang sangat religius. Para failasuf dan ilmuwan itu memang memandang diri mereka sebagai "golongan khusus" atau khawashsh, yang dengan sendirinya mempunyai kemampuan menangkap kebenaran lebih tinggi daripada golongan umum atau 'awamm (awam). Mereka adalah "orang-orang kebenaran demonsratif" (ahl al-burhan), sedangkan para ulama, dalam pandangan mereka hanyalah "orang-orang kebenaran dialektik" (ahl al-jadal), dan orang biasa hanyalah "orang-orang kebenaran retorik" (ahl al-khathabah) belaka. Karena itu mungkin saja persepsi keagamaan mereka mengandung beberapa perbedaan dari persepsi ulama dan kaum Muslim umumnya. Namun hal itu tidaklah mengurangi kesungguhan mereka untuk beragama, seperti, misalnya, ditunjukkan contohnya oleh failasuf Ibn SIna (Avicenna) yang bertasauf dan Ibn Rusyd (Averroes) yang ahli syari'at atau fiqh. Kata Wallis, seorang ahli sejarah falsafah:

...para failasuf Arab, meskipun dalam cara yang sedikit berbeda, adalah semuanya orang-orang agama yang tulus, meskipun pemahaman agama mereka tidak begitu sejalan dengan otodoksi Islam. Sebab berbeda dengan keadaannya dalam agama Kristen, Neoplatonisme hanya membentuk suatu komponen kecil dalam teologi Islam ortodoks sampai datangnya al-Ghazzali (1058-1111). Dan sementara failasuf Peripatetik Islam yang pertama, yaitu failasuf abad kesembilan, al-Kindi, mencoba menggabungkan falsafahnya dengan ajaran wahyu, terutama dengan meninggalkan konsep keabadian alam, diantara para penerusnya, al-Farabi yang orang Turki (w. 950), Ibn Sina (Avicenna) yang orang Persi (980-1037) dan Ibn Rusyd (Averroes) yang orang Muslim Spanyol (1126-98), sikap sebaliknya justru menonjol...8

Karena itu memang terjadi polemik yang kadang-kadang cukup sengit antara para ulama sebagai pemegang otoritas ilmu agama dengan para failasuf dan ilmuwan (seperti dapat dilihat dalam buku al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah). Tetapi dalam sejarah Islam tidak dikenal adanya lembaga pemeriksaan paham atau inkuisisi seperti yang pernah ada di Eropa yang sangat kejam itu. Jika pernah terjadi inkuisisi dalam sejarah Islam, maka yang dapat disebut ialah inkuisisi oleh Khalifah al-Ma'mun ibn Har–n al-Rasyid yang justru ditujukan kepada kaum ortodoks (seperti Ahmad ibn hanbal), tidak kepada kaum Muslim "libreral" seperti para failasuf dan ilmuwan. Khalifah al-Ma'm–n sendiri adalah justru seorang pelopor dan pelindung kegiatan pengembangan falsafah dan ilmu pengetahuan yang sangat kuat. Dan "inkuisisi" yang ia lakukan terhadap kaum ortodoks pun, jika dibandingkan dengan inkuisisi sebenarnya di Eropa, adalah sangat ringan.

Berbeda sekali dengan di dunia Islam, di Eropa para failasuf dan ilmuwannya cenderung meninggalkan agama, bahkan memusuhi hal-hal yang bersifat agama. Sebabnya ialah karena di Eropa ilmu-pengetahuan tidak dikenal memiliki hubungan organik dengan iman, bahkan bermusuhan. Karena itu para ilmuwan pun menjadi sasaran kekejaman lembaga pemeriksaan paham atau inkuisisi. Maka dalam konteks Eropa itu usaha untuk "mendamaikan" ilmu dengan agama ialah terutama dengan jalan justru memisahkan antara keduanya samasekali. Hal ini dijelaskan oleh Anne Fremantel, seorang ahli sejarah pemikiran di Eropa, demikian:

Perkembangan agama [Kristen] dan asimilasi pemikiran Yunani adalah dua gerakan yang paralel dan saling berhadapan, yang memuncak dalam usaha berulangkali untuk merekonsiliasi falsafah dan agama dengan memisahkan lingkungan masing-masing. Dan semakin sempurna pemisahan itu, semakin memuaskan dan semakin lama pula rekonsiliasinya...9

Kita mengetahui bahwa pemisahan falsafah serta ilmu-pengetahuan di satu pihak dan agama atau sistem keimanan di pihak lain adalah permulaan pandangan hidup Barat yang sekarang dominan, yaitu sekularisme, dalam maknanya sebagai ideologi tertutup.


Islam, Ilmu-Pengetahuan dan Teknologi

Kosmopolitanisme Islam yang menjadi pangkal tolak kemampuannya merangkum ilmu-pengetahuan umat manusia dan mengembangkannya secara kreatif itu juga merupakan salah satu sumber kekuatan dan kemampuannya untuk menciptakan teknik dan teknologi. Justru, menurut Bertrand Russel, keunggulan umat Islam atas umat-umat lain sebelumnya, termasuk atas bangsa Yunani kuna, ialah di bidang teknik dan teknologi ini. Para failasuf dan ilmuwan Yunani kuna, yang dari mereka para umat Islam banyak belajar dan meminjam berbagai cabang falsafah dan ilmu, hanya tertarik kepada masalah pengetahuan itu sendiri, tanpa terpikir atau merasa perlu untuk menggunakan ilmu-pengetahuan itu dalam kehidupan nyata. Adalah kaum Muslim yang mula-mula menumbuhkan ilmu-pengetahuan sehingga mencakup pula tekonologi. Kata Russel:

Ilmu-pengetahuan, sejak masa orang-orang Arab, telah mempunyai dua fungsi: (1) untuk memberi kita kemampuan untuk tahu, dan (2) untuk memberi kemampuan untuk mengerjakan sesuatu. Orang-orang Yunani, kecuali Archimedes, semuanya tertarik hanya pada bagian yang pertama. Mereka punya keinginan tahu yang banyak tentang dunia, tetapi, karena orang beradab dapat hidup dengan nyaman atas kerja budak, mereka tidak tertarik kepada teknik.10

Jadi teknik dan teknologi menjadi unsur kelebihan kaum Muslim atas orang-orang Yunani. Namun sesungguhnya dalam bidang sains atau ilmu-pengetahuan pun umat Islam jauh meninggalkan bangsa Yunani. Hal ini dengan jelas digambarkan oleh Max I. Dimont, demikian:

Dalam sains, orang-orang Arab jauh meninggalkan bangsa Yunani. Peradaban Yunani pada esensinya adalah sebuah kebun yang subur, penuh dengan bunga-bunga yang tidak banyak berbuah. Peradaban itu kaya dengan falsafah dan sastra, namun miskin dalam teknik dan teknologi. Maka merupakan usaha bersejarah orang-orang Arab dan kaum Yahudi Islam untuk menerobos jalan buntu ilmiah Yunani ini, untuk membuka jalur-jalur baru sains -- menemukan konsep nol, tanda minus, angka tak rasional, meletakkan dasar ilmu kimia baru -- ide-ide yang meratakan jalan ke dunia sains moderen lewat pemikiran para intelektual Eropa pasca Renaisans.11

Dari banyak con
toh-contoh temuan teknik dan teknologi umat Islam, selain hal-hal yang telah disebutkan dalam kutipan di atas, ialah teknik irigasi. Menurut Bertrand Russel lagi, irigasi merupakan ciri kemajuan peradaban Islam di Spanyol yang terpenting. Teknik penggunaan air ini, dalam gabungannya dengan cita rasa estetis dalam seni arsitektur, telah menjadi unsur keindahan yang luar biasa dan teknik pengairan yang sangat canggih dalam, misalnya, kompleks istana Alhambra di Granada. Dan sampai sekarang pun Spanyol masih tetap menggunakan sistem irigasi dan teknik pengairan yang mereka warisi dari zaman Islam itu, yang dari dulu sampai sekarang merupakan tulang punggung kemajuan ekonomi mereka.

Salah satu ciri terbaik ekonomi Arab ialah pertanian, khususnya penggunaan irigasi yang sangat ahli, yang mereka pelajari dari hidup di daerah langka air. Sampai hari ini pertanian Spanyol memetik manfaat dari karya-karya irigasi Arab itu.12

Lebih jauh, teknik irigasi Arab di Spanyol menjadi contoh untuk berbagai teknik dan sistem irigasi Eropa pada umumnya, lebih-lebih lagi Eropa Barat. Sebelumnya, ketika mereka tidak tahu bagaimana caranya mengolah tanah sehingga menjadi produktif, bangsa-bangsa Eropa Barat sangat miskin dan tergantung kepada negara-negara dengan iklim yang lebih hangat, dimana pertanian berkembang. Dan setelah penerapan sistem dan teknik irigasi Islam dari Spanyol di negeri-negeri Eropa Barat, bangsa-bangsa disana menjadi sangat makmur serta mandiri, dan ini, pada urutannya, memberi mereka kemampuan luar biasa untuk mengembangkan ilmu-pengetahuan yang mereka pelajari dan warisi dari Islam, dengan teknik dan teknologinya, dan dengan begitu mereka melesat menjadi pelopor umat manusia memasuki Zaman Moderen dengan karakteristik utama ilmu-pengetahuan dan teknologi.


Menengok Masa Kini

Seluruh pembahasan di atas berkisar sekitar pembuktian bahwa antara iman dan ilmu, dalam Islam, bukan saja tidak bertentangan, bahkan mempunyai kaitan organik yang langsung dan kuat. Kemudian kita kemukakan bukti-bukti sejarah dan pengakuan-pengakuan ilmiah atas adanya prestasi kaum Muslim masa lalu dalam bidang sains dan teknologi. Hal itu semua kita perlukan guna membangkitkan kembali etos keilmuan di kalangan umat Islam, sebagai pangkal dibangunnya kembali tradisi intelektual yang terbuka, kritis dan kreatif di kalangan para ilmuwannya. Sebab salah satu segi negatif yang amat terasa dalam masa-masa kemunduran Islam sekarang ini ialah melemahnya etos keilmuan dan tradisi intelektual tersebut.

Saat sekarang ini Dunia Islam praktis merupakan kawasan bumi yang paling terkebelakang di antara penganut agama-agama besar. Negeri-negeri Islam jauh tertinggal oleh Eropa Utara, Amerika Utara, Australia dan Selandia Baru yang Protestan; oleh Eropa Selatan dan Amerika Selatan yang Katolik Romawi; oleh Eropa Timur yang Katolik Ortodoks; oleh "Israel" yang Yahudi; oleh India yang Hindu; oleh Cina ("giant dragon"), Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong dan Singapura ("little dragons") yang Budhist-Konfusianis; oleh Jepang yang Budhis-Taois; dan oleh Thailand yang Budhis. Jadi praktis tidak satu pun agama besar di muka bumi ini yang lebih rendah kemajuan ilmu-pengetahuan dan tekonologinya daripada Islam. Dengan perkataan lain, diantara semua penganut agama besar di muka bumi ini, para pemeluk Islam adalah yang paling rendah dan lemah dalam hal sains dan teknologi.
Sebetulnya keadaan yang memilukan itu tidak perlu terjadi, kalau saja umat Islam, seperti diharapkan oleh para pembaharu pada peralihan abad yang lalu, khususnya Al-Afghani dan 'Abduh, mampu menangkap kembali ajaran agamanya yang lebih dinamis, sekaligus lebih otentik. Atau, dalam bahasa slogan Bung Karno, mampu menangkap api Islam, dan meninggalkan abunya, sebagaimana dicerminkan dalam sejarah klasiknya yang gemilang selama berabad-abad.

Kalau kita lihat sejarah dunia di zaman moderen ini (yaitu zaman yang sampai sekarang telah berlangsung selama baru dua abad--sekali lagi, "baru" dua abad--sejak revolusi industri di Inggris dan revolusi sosial-politik di Perancis), kita dapatkan bahwa Turki Utsmani adalah negeri bukan-Barat, sekaligus Islam, yang pertama menyadari keharusan melaksanakan modernisasi. Tetapi karena berbagai sebab yang cukup kompleks (yang tidak mungkin dibahas di sini), Turki gagal, malahan terkejar jauh sekali oleh Jepang (dan, kini, oleh negara-negara industri baru Asia Timur). Padahal dari serbagai segi, termasuk segi geografis, historis dan keagamaan (bangsa Timur Jauh bukanlah penganut agama Ibrahimi atau millat Ibrahim, Abrahamic religion seperti bangsa-bangsa Timur Tengah dan Barat) bangsa-bangsa Jepang dan sekitarnya itu berada dalam jarak yang lebih jauh dari ide-ide tentang ilmu-pengetahuan dan teknologi yang muncul di Eropa Barat Laut tersebut. Jadi ada sebuah ketidakwajaran atau anomali geografis, historis dan religio-kultural pada bangsa-bangsa Timur Jauh seperti Jepang dalam kaitannya dengan modernitas, meskipun hal ini tidak sedikit pun mengurangi kenyataan bahwa kini Timur Jauh menjadi kawasan kedua paling moderen saat ini.

Pengalaman Turki Utsmani berkenaan dengan usaha modernisasinya adalah tipikal pengalaman dunia Islam. Yaitu usaha modernisasi yang tidak mendapat dukungan dari sistem budaya keagamaan setempat, disebabkan dua hal. Pertama, tindakan kaum modernis (atau modernisator) yang terlalu cepat menghukum bahwa agama (Islam) tidak kompatibel dengan modernitas, dicerminkan oleh berbagai tindakan (ad hoc) Mustafa Kemal. Kedua, kegagalan para anggota komunitas keagamaan di bawah pimpinan para ulama (dalam arti para tokoh agama, rijal al-din) untuk melihat hubungan organik antara sains dan iman dalam Islam, disebabkan sudah sedemikian lama dan mendalamnya para tokoh komunitas keagamaan itu merasa terasing, malah memusuhi atau sekurangnya tidak menghargai, ilmu pengetahuan dan para ilmuwan. Banyak orang, seperti Prof. Takdir Alisyahbana, langsung menimpakan kesalahan ini kepada al-Ghazali yang menyerang falsafah dan mendorong ke arah runtuhnya tradisi pemikiran kefalsafahan dan ilmu pengetahuan. Meskipun tuduhan terhadap al-Ghazali itu jelas dapat diperdebatkan, namun memang terjadi koinsidensi historis berupa kenyataan bahwa pada abad 12, yaitu abad sekitar tampilnya al-Ghazali, ilmu pengetahuan Islam mulai mengalir dan pindah ke Barat. Dan setelah menggoncangkan dunia Barat selama dua atau tiga abad, ilmu pengetahuan Islam akhirnya dapat mereka akomodasi dengan cara antara lain memisahkan ilmu dari iman (Kristen) karena memang tidak ada hubungan organik antara keduanya. Dan pada abad 16 ilmu pengetahuan bangsa-bangsa Barat sudah lebih unggul daripada illmu pengetahuan kaum Muslim. Dalam keadaan terus merosot dan mundur, kaum Muslim sudah tidak mungkin lagi mengejar dan menandingi bangsa-bangsa Barat, apalagi mengunggulinya, dan kemudian terjadilah kolonisasi Barat atas dunia Islam.

Pengalaman Turki Utsmani, kemudian Republik Turki, adalah juga tipikal pengalaman dunia Islam pada umumnya, dari segi bahwa adopsi ilmu-pengetahuan dan teknologi Barat terjadi atas dasar pertimbangan praktis-pragmatis. Dalam wujudnya yang kongkret, dunia Islam menghendaki tekonologi Barat tanpa etos ilmiahnya, sekedar memenuhi kebutuhan nyata yang bersifat jangka pendek seperti kepentingan pembangunan militer dan, akhir-akhir ini, industri mereka. Karena itu adopsi tekonologi moderen oleh dunia Islam masih bersifat ad hoc dan piecemeal (sepotong-sepotong), sehingga sebenarnya kaum Muslim adalah tidak lebih daripada sekedar sebagai pihak yang berada pada ujung garis dinamika ilmu-pengetahuan dan teknologi itu semua, sebagai konsumen, bahkan sebagai pemakai terakhir (end user) produk-produknya. Tentu tidak ada salahnya menjadi konsumen dan end user. Namun jika hal itu tidak disertai dengan etos dan pandangan hidup yang lebih mendukung sikap-sikap produktif, maka kaum Muslim akan "ditakdirkan" sebagai umat yang tergantung kepada umat yang lain. Jadi semua tesis, keyakinan dan klaim bahwa "Islam adalah paling unggul dan tidak akan diungguli oleh yang lain" akan menjadi dalil kosong dan muspra belaka.

Berkenaan dengan ilmu-pengetahuan dan teknologi ini, ketidakwajaran yang terjadi pada kaum Muslim pada umumnya sungguh besar. Sebagaimana telah dibahas di depan, ajaran Islam dengan jelas menunjukkan adanya hubungan organik antara iman dan ilmu. Hubungan organik itu kemudian dibuktikan dalam sejarah Islam klasik ketika kaum Muslim memiliki jiwa kosmopolitan yang sejati. Dan atas dasar kosmopolitanisme itu umat Islam membangun peradaban dalam arti yang sebenar-benarnya, yang juga benar-benar berdimensi universal. Seperti dikatakan oleh Dominique Sourdel:

Daerah kekuasaan yang luas itu, dimana Islam berkuasa, menampilkan dirinya sebagai sangat berbeda dari daerah-daerah yang berada pada perbatasan-perbatasannya yang dengan daerah Islam itu sedikit banyak berhubungan, dan lebih khusus lagi sangat berbeda dari Bizantium dan kawasan Eropa dimana agama Kristen unggul, juga berbeda dari lingkungan Asia di India dan Turkestan yang tetap memelihara tradisi lamanya; demikian berbedanya sehingga istilah Islam juga diterapkan untuk suatu dunia yang sejarahnya ditandai oleh perkembangan progresif menuju sebuah peradaban yang sejati.13

Tetapi kenyataannya sekarang ini kaum Muslim, yakni, sebagian besar mereka, dalam masalah peradaban ini, dimana ilmu-pengetahuan dan teknologi termasuk, malah banyak yang bersikap parokialistis dan sempit, jangankan bersemangat kosmopolitan dan universal. Parokialisme itu tercermin dengan jelas sekali dalam sikap-sikap menolak sesuatu yang tidak berasal dari kalangan mereka sendiri, atas dasar anggapan bahwa apa yang dari kalangan sendiri adalah yang paling benar, dan lainnya salah. Jadi berlawanan diametral dengan semangat kosmopolitanisme dan universalisme yang diajarkan Nabi seperti dalam hadits-hadits yang telah dikutip di bagian permulaan.

Di atas telah dikemukakan pendapat R. T. Wallis bahwa para failasuf Muslim, termasuk para ilmuwannya, adalah orang-orang yang tulus dalam beragama (Islam), meskipun barangkali ada dari mereka itu yang paham keagamaannya sedikit berbeda dengan pandangan umum kaum Muslim sebagaimana diwakili oleh pandangan para ulama. Ibn Sina, misalnya, adalah seorang penganut "Kebatinan" (al-Bathiniyah) menurut ajaran kaum Syi'ah Isma'iliyah. Namun ia tetap yakin akan keimanan Islam dan menjalankan kewajiban-kewajiban keagamaannya dengan teguh, selain dia itu hafal Al-Qur'an. Demikian pula al-Kindi, al-Farabi, Ibn Rusyd, Ab– Bakr al-Razi, al-R–mi, al-Khawarizmi, al-BIr–ni, dll., yang semua mereka itu adalah para failasuf dan ilmuwan yang menjadi sasaran kritik dan polemik yang keras dari kalangan para tokoh agama (rijal al-din), khususnya para ulama fiqh. Namun, sekeras-kerasnya percekcokan intelektual di masa klasik, tidaklah hal itu membawa kepada sikap-sikap parokialistik sempit dan sikap anti ilmu seperti yang sekarang ini menggejala pada keompok-kelompok tertentu kaum Muslim. Misalnya, keseganan sementara orang Islam untuk mengakui pemenang hadiah Nobel, Dr Abdus-Salam, sebagai seorang ilmuwan Muslim, hanya karena sarjana tekermuka ini kebetulan menganut aliran Ahmadiyah. Sebab bagi mereka, dengan alasan-alasan tertentu, kaum Ahmadiyah bukanlah Muslim, dan ajarannya tidak termasuk Islam. Padahal, jika kita lihat pribadi-pribadi kaum Ahmadiyah, termasuk Dr Abdus-Salam sendiri, kita mendapatkan kesalihan dan kesungguhan beragama yang acapkali justru jauh lebih baik daripada kaum Muslim pada umumnya. Dan, lebih penting lagi, Dr Abdus-Salam adalah seorang sarjana yang dengan jelas dan tegas mampu menunjukkan hubungan organik antara iman dan ilmu, dengan kompetensi dan otoritas keilmuan bertaraf internasional.

Tidak diragukan lagi bahwa parokialisme dan fanatisme akan menghalangi kaum Muslim dari kemampuan mengejar ketertinggalannya dalam ilmu-pengetahuan dan teknologi. Tetapi masih ada harapan bahwa parokialisme dan fanatisme itu akan tersisih oleh proses-proses pragmatis dan kemanfaatan (expediency) yang nyata. Contoh proses-proses ini ialah, seperti telah disinggung di atas, keperluan memperkuat militer dengan memodernisasinya, demi pertahanan dan ketahanan negara, sebagaimana dilakukan oleh Turki Utsmani (yang akhirnya toh tidak begitu sukses) dan Mesir (oleh Muhammad Ali). Dan yang paling baru serta yang terjadi dalam dimensi besar-besaran ialah impor teknologi Barat untuk keperluan industri, khususnya industri perminyakan, seperti dilakukan oleh negara-negara Teluk. Dalam hal ini simbolik sekali kenyataan bahwa pendidikan tingkat universiter dalam arti yang sebenar-benarnya di Saudi Arabia dirintis dan dimulai oleh Petroleum College di Dhahran, yang sekarang berkembang menjadi sebuah universitas moderen. Didirikan sebagai tempat melatih tenaga-tenaga terampil dalam teknologi perminyakan, Petroleum College di Dhahran, tidak ayal lagi, telah tumbuh dan berkembang menjadi lembaga pendidikan tinggi yang paling bergengsi di Saudi Arabia, lebih bergengsi daripada lembaga-lembaga pendidikan tinggi lain manapun di negeri itu. Kenyataan ini dari satu segi merupakan suatu ironi, karena di sebuah negeri pusat Islam seperti Saudi Arabia perguruan tinggi yang paling bergengsi adalah justru sebuah institut teknologi, bukan perguruan tinggi keagamaan Islam seperti Universitas Islam Madinah atau Universitas Umm al-Qura di Mekkah. Dari segi lain, hal itu wajar dan logis belaka, karena arah perkembangan dunia tidak terelakkan lagi menuju kepada dunia yang semakin didominasi oleh teknologi, dan karena keharusan menjawab tantangan yang begitu nyata, yaitu industrialisasi dan pengembangan kemajuan kehidupan materiil.

Namun sesungguhnya jawaban terhadap tantangan zaman moderen tidak cukup hanya dengan tindakan mengimpor ilmu-pengetahuan dan teknologi dari Barat secara ad hoc dan berdasarkan expediency semata-mata. Tindakan mengimpor itu sendiri jelas tidak ada salahnya, namun jelas pula tidak cukup. Yang lebih diperlukan ialah penumbuhan dan pengembangan etos keilmuan yang kuat dan mendalam, yang menghasilkan kesadaran bahwa ilmu pengetahuan bukan saja berguna untuk memenuhi expediency dan menjawab tantangan-tantangan ad hoc, melainkan merupakan part and parcel dari sesuatu yang jauh lebih penting, luas dan mendalam, yaitu pandangan hidup. Dan pandangan hidup itu, untuk seorang Muslim dan ummat Islam, tentu tidak dapat lain kecuali mesti berdasarkan ajaran Islam. Jadi, yang amat diperlukan adalah sebuah etos yang mampu melihat hubungan organik antara ilmu dan iman, atau iman dan ilmu, sebagaimana dicoba paparkan diatas. Tetapi justru ini yang nampaknya belum tumbuh dengan mantap di kalangan kaum Muslim. Banyak orang Islam, atau masyarakat Islam, atau negeri Islam, yang karena hal-hal praktis dan pragmatis tersebut tadi, tidak segan-segan meminjam dan mengimpor teknologi Barat. Tetapi, pada saat yang sama, banyak dari mereka yang segan, bahkan langsung menolak, kemungkinan mempelajari ilmu-ilmu sosial Barat. (Sementara Barat sendiri, seperti ditunjukkan oleh gejala-gejala intelektual paling mutakhir, tidak segan-segan mengakui jasa Islam di bidang itu di masa lalu, dan, sebagai misal, mereka pun mulai mengakui Ibn Khaldun sebagai bapak sejati ilmu-ilmu sosial moderen).

Tentu saja tidak terlalu sulit mendapatkan keterangan mengapa hal itu terjadi. Teknologi, karena "hanya" berurusan dengan benda-benda (mati), mengesankan sebagai netral atau "bebas nilai", lebih netral dan lebih bebas nilai daripada ilmu-ilmu sosial. Kebiasaan untuk menamakan cabang ilmu yang berurusan dengan benda atau fisik sebagai "ilmu keras" (hard science) sehingga bersifat "pasti" atau "eksakta", sementara cabang ilmu yang berurusan dengan pola hidup kemasyarakatan manusia sebagai "ilmu lunak" (soft science) yang kurang pasti atau tidak eksakta, secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa berurusan dengan teknologi adalah lebih mudah dan lebih "tidak berbahaya" daripada berurusan dengan ilmu-ilmu sosial, karena kepastiannya dan mudahnya untuk dikendalikan dan dikuasai. Tentu saja pandangan serupa itu ada benarnya. Tetapi sesungguhnya pandangan itu mengandung kesalahan epistemologis yang mendasar.

Kajian tentang alam kebendaan menghasilkan sesuatu yang mempunyai nilai "kepastian" yang tinggi, karena variabel yang harus diperhatikan dalam kajian itu dan yang digunakan untuk penyimpulan teoretisnya cukup terbatas, sehingga memang lebih mudah dikuasai. Sedangkan kajian tentang hidup kemasyarakatan manusia, melibatkan keharusan memperhatikan variabel yang begitu banyak, yang agaknya pada saat perkembangan ilmu itu sekarang ini sebagian besar variabel itu belum mungkin dikenali dan dijadikan bahan pertimbangan membuat penyimpulan teoretisnya. Karena itu mengesankan sebagai "ilmu lunak" yang kurang pasti. Tetapi dalam kerangka pandangan Islam, kedua jenis ilmu itu, yang "keras" dan yang "lunak", adalah tidak lain dari usaha manusia untuk memahami hukum-hukum ketetapan Allah: yang pertama sebagaimana berlaku pada alam kebendaan, dan yang kedua sebagaimana berlaku dalam alam sosial-kemanusiaan. Dan usaha memahami hukum-hukum itu semua adalah perintah Ilahi, jadi termasuk sikap keagamaan. Kesan bahwa yang pertama lebih pasti daripada yang kedua pun tercermin dalam perbedaan istilah yang digunakan dalam Kitab Suci Al-Qur'an: untuk hukum-hukum yang berlaku pada alam kebendaan digunakan istilah taqdir,14 dan untuk hukum-hukum yang berlaku pada alam sosial-kemanusiaan digunakan istilah sunnat al-Lah ("Sunnatullah"), yang diperintahkan Tuhan untuk dipelajari oleh manusia.15 Namun hukum jenis kedua ini tidaklah kurang kepastiannya daripada yang pertama, karena Allah menjamin tidak akan mengalami perubahan atau pun peralihan.16 Mungkin karena variabel dalam hukum jenis kedua ini memang jauh lebih banyak daripada yang dalam hukum jenis pertama maka ia dinamakan sunnah (yang makna dasarnya ialah "kebiasaan" atau "jalan", "cara", dst., yang mengesankan adanya semacam kelenturan).

Jadi nilai keilmuan kajian kedua jenis hukum Allah itu sama, dan untuk memperoleh kesejatian dan otentisitasnya, seorang pengkaji kedua hukum itu memerlukan etos keilmuan yang sama pula. Yaitu etos yang tumbuh karena keyakinan dan kesadaran tentang adanya hubungan organik yang tulen antara iman dan ilmu, ilmu dan iman. Maka kesejatian dalam sikap menerima dan mengembangkan ilmu-pengetahuan dan teknologi akan dengan sendirinya menyangkut pula kesejatian dalam menerima dan mengembangkan ilmu-ilmu sosial, meskipun jelas diperlukan kesadaran dan kewaspadaan yang lebih tinggi pada kajian jenis kedua itu, karena ia menyangkut observasi dan pembuatan kesimpulan teoretis yang bertalian dengan sebuah sunnah, bukan sebuah taqdir, dengan berbagai implikasi ilmiahnya yang tentu saja sangat kompleks. Inilah segi yang justru lebih prinsipil, namun juga lebih sulit, dalam kita berhadapan dengan modernitas.


Menyongsong Masa Mendatang

Sungguh, keadaan umat Islam yang jauh tertinggal oleh bangsa-bangsa lain tersebut tadi memang sangat memilukan. Namun barangkali tidak perlu disesali sedemikian rupa sehingga kita kehilangan kemampuan melihat ke depan dengan penuh harapan. Pada analisa terakhir, kemunduran Dunia Islam dapat dilihat sebagai tidak lain dari beroperasinya sunnat al-Lah (Sunnatullah) tersebut di atas. Salah satu unsur amat penting Hukum itu ialah adanya prinsip perputaran (mudawalah). Yaitu prinsip bahwa nasib umat manusia, tinggi dan rendah, terjadi secara berputar dan bergilir antara mereka, sehingga suatu bangsa atau umat ada kalanya berada di atas (menang, unggul, maju, dll.) dan ada kalanya di bawah (kalah, merosot, terkebelakang, dll.), sebagaimana difirmankan Allah:

Jika luka [kesusahan] menimpa diri kamu, maka [ketahuilah] bahwa luka yang sama telah menimpa pula golongan lain. Dan begitulah hari [nasib] kami buat berputar diantara manusia, agar Allah memeriksa orang-orang yang beriman dan mengangkat mereka sebagai saksi-saksi. Allah tidak suka kepada orang-orang yang zalim. Dan juga agar Allah membersihkan mereka yang beriman, dan membinasakan orang-orang yang menentang kebenaran (kafir).17

Firman Allah ini turun berkaitan dengan peristiwa Perang Uhud, dimana kaum beriman mengalami kerugian besar, sampai-sampai Nabi pun terluka dan hampir terbunuh. Namun Allah mengajari kita bahwa penderitaan tidaklah hanya menimpa kita sendiri saja, melainkan juga menimpa golongan lain. Artinya, adanya penderitaan tidaklah mesti diartikan sebagai tindakan Allah meninggalkan kita, melainkan justru merupakan operasi Hukum Allah bahwa nasib itu beredar dan berputar antara kita umat manusia. Karena itu penderitaan juga tidak akan abadi, berarti suatu saat akan hilang. Adalah ketahanan diri dan ketabahan menanggung derita sementara itu yang bakal justru mempertinggi iman kita dan mengangkat kita sebagai saksi-saksi Allah. Juga dengan ketahanan dan ketabahan menanggung derita sementara itu kita mengalami pembersihan diri dan peningkatan nilai kemanusiaan kita berasaskan iman kepada Allah.

Atas dasar pelajaran dari peristiwa Perang Uhud itu kita yakin bahwa penderitaan karena tertinggal oleh bangsa-bangsa dan umat-umat lain ini tidak akan berlanjut terus. Ada saatnya kemunduran ini akan berakhir, dan kita akan menyusul menjadi bangsa atau umat yang maju. Lebih dari itu, kita yakin bahwa meskipun dalam segi sains dan teknologi kita kalah oleh bangsa-bangsa lain, namun dalam segi keimanan kita tetap unggul, karena keunggulan ajaran pasrah kepada Allah (al-islam), dan karena kita adalah kaum yang pasrah kepada Allah (muslim–n).

Sikap penuh harapan berdasarkan iman itu sekarang mulai dibenarkan orang, dan diberi kesaksian ilmiah. Misalnya, seorang ahli sosiologi agama, Ernest Gellner, mengatakan demikian:

Oleh berbagai kriteria yang nampak nyata -- universalisme, skripturalisme, egalitarianisme keruhanian, uluran partisipasi penuh dalam masyarkat suci tidak hanya kepada satu orang, atau sejumlah orang, melainkan kepada semuanya, dan sistematisasi rasional kehidupan sosial -- Islam, diantara tiga monotheisme Barat yang hebat itu, adalah yang paling dekat ke modernitas.18

Dan Gellner mengatakan bahwa Islam bukanlah sumber modernitas, karena sumber itu ada di Eropa Barat Laut dalam Revolusi Industri dan Revolusi Perancis, ditambah Revolusi Amerika. Tetapi ia juga mengatakan bahwa meskipun bukan sumber langsung modernitas, mungkin Islam akan ternyata sebagai pihak yang justru paling banyak mendapat manfaat dari peradaban moderen (Hence, though not the source of modernity, Islam may yet turn out to be its beneficiary).19

Itulah yang kita tunggu dan yakin bakal terjadi, insya' Allah. Telah dikemukakan bahwa yang paling diperlukan pada tahap sekarang ini ialah membangkitkan kembali etos intelektual Islam klasik yang membuat para pendahulu kaum Muslim begitu kreatif dan kuat dalam wawasan keilmuan mereka. Yang amat diperlukan lagi, sejalan dengan etos intelelktual itu ialah etos kemanusiaan, berupa sikap percaya kepada manusia dan kekuatannya. Inilah dasar kosmopolitanisme Islam masa lalu, yang melihat perbendaraan kultural ummat manusia sebagai milik sendiri dan mengambil kemudian mengembangkannya. Juga diperlukan pandangan optimis-positif kepada alam, sesuai dengan berbagai penegasandalam Al-Qur'an bahwa alam raya ini baik, berguna (tidak 'abats, sia-sia), dan benar (haqq, memiliki kenyataan atau hakikat). Kemudian juga diperlukan berbagai nilai asasi yang selain benar dan baik pada dirinya juga merupakan pendukung amat penting kreatifitas ilmiah. Yaitu nilai-nilai kebebasan berpikir, berpendapat dan berbicara, sikap demokratis yang ditandai oleh kesanggupan menghargai pandangan yang berbeda, paham kemajemukan dalam arti menerima secara optimis-positif kehadiran keragaman antara manusia, semangat keterbukaan, gairah belajar dari mana dan siapa saja, dan, akhirnya, pandangan jauh ke depan berdasarkan iman dan taqwa kepada Allah:

Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaknya setiap pribadi memperhatikan apa yang ia persiapkan untuk hari esok. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Tahu segala sesuatu yang kamu kerjakan.20

Demikianlah, dan semoga Allah memberi kita kekuatan lahir dan batin untuk mampu menyongsong hari depan dengan penuh harapan, serta membimbing kita ke arah jalan yang benar, yang membawa kebahagiaan dunia dan akhirat, dengan ridla-Nya.

Wa 'l-Lah-u a'lam-u bi al-shawab


Catatan:

1 Yaitu beberapa hadits dan hikmah terkenal:

2 Q., s. al-Jatsiyah/45:13; lihat juga s. Luqman/31:20.

3 Q., s. Alu 'Imran/3:191.

4 Q., s. Fathir/35:27.

5 Lihat terjemahan kami dalam Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang).

6 In every civilization certain men have sought the causes of phenomenal change in nature itself rather in human or superhuman volition. But until the Arabs inherited Greek natural philosophy and Chinese alchemy and transmitted them to the West, there was no single body of natural knowledge that passed from one civilization to another. On the contrary, in every civilization the study of nature took its own path. Greek and Chinese philosophers explained much the same physical world very differently ...Most of these achievements were first absorbed by Islam, which from 750 A.D. to the late Middle Ages stretched from Spain to Turkestan. The Arabs unified this vast body of knowledge and added to it. They improved algebra, invented trigonometry, and built astronomical observatories. They invented the lens and founded the study of optics, maintaining that light rays issue from the object seen rather than from the eye. In the tenth century Alhazen discovered a number of optical laws, for example, that a light ray takes the quickest and easiest path, a forerunner of Fermat's "least action" principle. The Arabs also extended alchemy, improving and inventing a wealth of techniques and instruments, such as the alembic, used to distill perfumes. In the eighth century the physician al-Razi laid the foundations of chemistry by organizing alchemical knowledge and denying its arcane significance. Inventor of animal-vegetable-mineral classification, he categorized a host of substances and chemical operations, some of which, such as distillation and crystallization, are used today. (George F. Kneller, Science as a Human Endeavor [New York: Columbia University Press, 1978], hh.3-4).

7 Q., s. al-Zumar/39:17-18.

8 ...the Arab philosophers, albeit in somewhat different ways, were all sincerely religious men, though their religion was not much as to commend istself to Moslem orthodoxy. For in contrast to its situation within Christianity, Neoplatonism formed only a minor component within orthodox Moslem theology until the time of al-Ghazali (1058-1111). And while the first of the major Moslem Peripatetics, the ninth century philosopher al-Kindi, attempted to reconcile his philosophy with revelation, notably by abandoning the world's eternity, among his successors, the Turk al-Farabi (died 950), the Persian Ibn Sina (Avicenna, 980-1037) and the Spanish Moor Ibn Rushd (Averoes, 1126-98), the opposite attitude prevailed... (R. T. Wallis, Neoplatonism [London: Gerald Duckworth & Company, 1972], h. 164).

9 The development of religion and the assimilation of Greek thought were two parallel and interactionary movements, which culminated in a repeated attempt to reconcile philosophy and religion by separating their spheres. And the more complete the separation, the more satisfactory and lasting the reconciliation... (Anne Fremantel, The Age of Belief, [New York: The New American Library, 1982], h. 75)

10 Science, ever since the time of the Arabs, has had two functions: (1) to enable us to know things, and (2) to enable us to do things. The Greeks, with the exception of Archimedes, were only interested in the first of these. They had much curiosity about the world, but, since civilized people lived comfortably on slave labour, they had no interest in technique. (Bertrand Russel, The Impact of Science on Society [London: Unwin Paperbacks, 1985], h. 29).

11 In science, the Arabs outdistanced the Greeks. Greek civilization was, in essence, a lush garden full of beautiful flowers that bore little fruit. It was a civilization rich in philosophy and literature, but poor in techniques and technology. Thus it was the historic task of the Arabs and the Islamic Jews to break through this Greek scientific cul-de-sac, to stumble upon new paths of science -- to invent the concepts of zero, the minus sign, irrational numbers, to lay foundations for the new science of chemistry -- ideas which paved the path to the moderen scientific world via the minds of post-Renaissance European intellectuals. (Max I. Dimont, The Indestructible Jews [New York: New American Library, 1973], h. 184).

12 One of the best features of the Arab economy was agriculture, particularly the skilful use of irrigation, which they learnt from living where water is scarce. To this day Spanish agriculture profits by Arab irrigation works. (Bertrand Russel, A History of Western Philosophy [New York: Simon and Schuster, 1959], hh. 422-3).

13 The vast territory, where Islam thus prevailed, established itsef as very different from those territories situated on its frontiers and with whom it was more or less in relation, and in particular very different from the Byzantine and European areas where Christianity held sway, as well as from Asian complex in India and Turkestan which kept its ancient traditons; it was so different that the term Islam also came to be applied to a world whose history was marked by progressive development toward a true civilization. (Dominique Sourdel, Medieval Islam [London: Routledge & Kegan Paul, 1983], h. vii).

14 Lihat Q., s. Y–nus/10:5 dan s. Yasin/36:39-40.

15 Lihat Q., s. Alu 'Imran/3:137

16 Lihat Q., s. al-Fat'h/48:23

17 Q., s. Alu 'Imran/3:140-141.Yaitu firman Allah s.w.t.:

18 By various obvious criteria -- universalism, scripturalism, spiritual egalitarianism, the extension of full participation in the sacred community not to one, or some, but to all, and the rational systematization of social life -- Islam is, of the three great Western monotheisms, the one closest to modernity. (Ernest Gellner, Muslim Society [Cambridge: Cambridge Univ. Press, 1981], h. 7).

19 Ibid., h. 5.

20 Q., s. al-Hasyr/59:18: