CINTA
ILAHI DALAM TASAWUF MENURUT FARIDUDDIN `ATTAR DALAM
MANTIQ AL-TAYR
Oleh : Dr Abdul Hadi W. M.
Event Artikel : KKA-150
Diupdated pada:
Senin 16 April 2001
Tasawuf ialah bentuk kebajikan
spiritual dalam Islam yang dikemas dengan filsafat,
pemikiran, ilmu pengetahuan dan disiplin kerohanian
tertentu berdasarkan syariat Islam. Jalan-jalan
kerohanian dalam ilmu tasawuf dikembangkan dengan tujuan
membawa seorang sufi menuju pencerahan batin atau
persatuan rahasia dengan Yang Satu. Di sini jelas bahwa
landasan tasawuf ialah tawhid. Menurut keyakinan para
sufi, apabila kalbu seseorang telah tercerahkan dan
penglihatan batinnya terang terhadap yang hakiki, maka ia
berpeluang mendapat persatuan rahasia (fana) dengan
Yang Hakiki. Apabila demikian maka dia akan dapat
merasakan pengalaman paling indah, yaitu hidupnya kembali
jiwa dalam suasana baqa` (kekal). Ia lantas tahu
cara-cara membebaskan diri dari kesementaraan alam
zawahir (fenomenal) yang melingkungi hidupnya, serta
merasakan kedamaian yang langgeng sifatnya.
Ikhtiar untuk mencapai keadaan rohani (ahwal, kata jamak
dari hal) semacam itu dimulai dengan mujahadah, yaitu
perjuangan batin melawan kecendrungan nafsu rendah yang
dapat membawa kepada pengingkaran terhadap Yang Haqq.
Ujung perjalanan melalui mujahadah disebut musyahadah,
yaitu penyaksian secara batin bahwa Tuhan benar-benar
satu, tiada kesyakan lagi terhadap-Nya. Jadi yang terbit
dari keadaan musyahadah ialah haqq al-yaqin. Jiwa yang
menerima keadaan rohani semacam itu disebut faqir, yaitu
kesadaran tidak memiliki apa pun selain cinta kepada-Nya
dan karenanya bebas dari kungkungan selain Dia.
Ini tidak berarti seorang faqir tidak mempunyai perhatian
kepada yang selain Dia , yakni alam sekitarnya, dunia dan
sesamanya, tetapi semua itu dilihat dengan mata hati yang
terpaut kepada Dia semata. Dengan demikian seseorang
tidak hanya terkungkung oleh bentuk-bentuk dan penampakan
zahir kehidupan, tanpa melihat hakekat dan hikmah yang
dikandung dalam semua peristiwa dan kejadian.
Dalam Mantiq al-Tayr karangan Fariduddin `Attar
digambarkan secara simbolik bahwa jalan kerohanian dalam
ilmu Tasawuf ditempuh melalui tujuh lembah (wadi), yaitu:
lembah pencarian (talab), cinta (`isyq), makrifat
(ma`rifah), kepuasan hati (istighna), keesaan (tawhid),
ketakjuban (hayrat), kefakiran (faqr) dan hapus (fana`).
Namun `Attar menganggap bahwa secara keseluruhan jalan
tasawuf itu sebenarnya merupakan jalan cinta, dan
keadaan-keadaan rohani yang jumlahnya tujuh itu tidak
lain adalah keadaan-keadaan yang bertalian dengan cinta.
Misalnya ketika seseorang memasuki lembah pencarian.
Cintalah sebenarnya yang mendorong seseorang melakukan
pencarian. Adapun kepuasan hati, perasaan atau keyakinan
akan keesaan Tuhan, serta ketakjuban dan persatuan mistik
merupakan tahapan keadaan berikutnya yang dicapai dalam
jalan cinta.
Banyak orang berpendapat bahwa para sufi mengingkari
pentingnya akal dan pikiran dalam menjawab soal-soal
kehidupan. Pernyataan ini tidak benar sama sekali. Syah
Nikmatullah Wali dalam menerangkan bahwa akal dan cinta
merupakan dua sayap dari burung yang sama, yaitu jiwa.
Katanya:
Akal dipakai untuk memahami
Keadaan manusia selaku hamba-Nya
Cinta untuk mencapai kesaksian
Bahwa Tuhan itu Satu
Pengakuan akan keesaan hanya teruntuk Allah s. w. t.
Makrifat untuk kita apabila mencapai hakekat. Cinta
adalah penghubung atau pengikat antara kita dengan-Nya.
Jadi cinta ialah pengikat, penghubung, laluan, tangga
naik menuju Tauhid. Di mana saja Cinta menjelaskan bahwa
tujuan hanya satu, yaitu kemutlakan dan kebenaran Yang
Haqq. Cinta di sini dapat dipandang sebagai metode.
Sebagai bentuk spiritualitas Islam, Tasawuf pada mulanya
muncul sebagai gerakan zuhud, yaitu sikap mengingkari
gejala kemewahan dan materialisme yang berlebihan dengan
memperbanyak ibadah. Gejala materialisme dan kecendrungan
akan kemewahan melanda masyarakat kelas atas dan menengah
Muslim pada masa pemerintahan Bani Umayyah. Sebagai
gerakan zuhud Tasawuf menekankan kepada sikap tawadduk
dan tawakkal. Pada akhir abad ke-8 M gerakan ini mengubah
diri menjadi Jalan Cinta, yang dipelopori oleh Rabi`ah
al-Adawiyah, Dhun Nun al-Misri, Harits al-Muhasibi dan
lain-lain. Istilah yang digunakan untuk cinta ialah
mahabbah dan penggunaan istilah ini didasarkan pada ayat
al-Qur`an 5:57, yuhibbukum wa yuhibunakum
(Dia mencintai mereka dan/sebagaimana mereka
mencintai-Nya.
Pada akhir abad ke-9 dan 10 M, dengan munculnya tokoh
terkemuka seperti Hasan al-Nuri, Bayazid al-Bisthami dan
Mansur al-Hallaj, untuk cinta dipergunakan istilah yang
lebih dalam pengertiannya, yaitu `isyq, yang berarti
cinta berahi. Kata-kata ini diambil dari Hadis
`asyiqani wa asyiqtuhu yang menurut Ibn Sina
menjelaskan bahwa puncak dari cinta sejati ialah
persatuan mistikal (rahasia) dengan Dia yang dicintai.
Bersamaan dengan itu, terutama dengan munculnya
al-Hallaj. semakin disadari bahwa pengalaman cinta
ternyata tidak hanya merupakan keadaan jiwa atau rohani
yang diliputi oleh sejenis perasaan, seperti kegairahan
dan kemabukan mistikal (wajd dan sukr). Dalam pengalaman
cinta yang bersifat transendental seseorang juga belajar
mengenal dan mengetahui lebih mendalam yang dicintai, dan
dengan demikian cinta juga mengandung unsur kognitif.
Bentuk pengetahuan yang dihasilkan oleh cinta ialah
makrifat dan kasyf, tersingkapnya penglihatan batin. Di
sini seorang ahli Tasawuf telah mencapai hakekat dan
melihat bahwa hakekat yang tersembunyi di dalam segala
sesuatu sebenarnya satu, yaitu wujud dari Pengetahuan,
Keindahan dan Cinta-Nya.
Walaupun istilah `isyq tidak terdapat dalam al-Qur`an,
namun para sufi memandang perkataan itu tidak
bertentangan artinya dengan mahabbah. Menurut Rumi, `isyq
ialah mahabbah dalam peringkat yang lebih tinggi dan
membakar kerinduan seseorang sehingga bersedia menempuh
perjalanan jauh menemui Kekasihnya. Dalam bahasa Melayu
istilah `isyq untuk pertama kalinya digunakan oleh Hamzah
Fansuri dalam sajak-sajak sufistik dan risalah tasawufnya
Syarab al-`Asyiqin. (Minuman Orang Berahi). Minuman orang
berahi itu ialah anggur atau serbat Tauhid, dan pembawa
piala anggurnya ialah Dia.
Banyak ayat al-Qur`an yang menekankan keutamaan cinta.
Misalnya Q 19:97 di mana Allah berfirman bahwa Dia akan
mengaruniakan cinta kepada orang beriman yang berbuat
kebajikan. Selain mengandung dimensi religius, ayat ini
mengandung dimensi moral/sosial.
Sebelum menguraikan penjelasan `Attar dalam Mantiq
al-Tayr, sebuah alegori sufi yang masyhur, saya akan
mengantarkannya dengan membahas pengertian cinta yang
diterima secara umum di kalangan ahli tasawuf. Ada dua
katagori cinta yang dibahas para sufi, khususnya oleh
kalangan wujudiyah, yaitu: (1) Cinta Ilahi itu sendiri,
dan (2) Cinta mistikal atau kesufian. Cinta mistikal
mengandung jalan menuju persatuan mistikal dan makrifat,
dan ia merupakan bentuk pengalaman religius yang tinggi
dengan beberapa keadaan rohani yang menyertainya.
Cinta ilahi yang dimaksud para sufi ialah Wujud-Nya
ketika turun dari alam Dzat-Nya yang tak dikenal, yaitu
alam hahut, menuju alam ketuhanan (alam lahut) di mana
Dia mulai memunculkan Diri sebagai Khaliq atau Pencipta,
dan selanjutnya dikenal sebagai Rabb al-`Alamin, Penguasa
sekalian alam. Para sufi merujukkan konsep mereka tentang
Tuhan sebagai wujud tunggal, yaitu Sifat-sifat-Nya dan
Pengetahuan-Nya yang meliputi alam semesta, kepada
beberapa ayat al-Qur`an dan Hadis qudsi.
Hadis qudsi yang dijadikan rujukan ialah, Kuntu
kanzan makhfiyyan ahbabtu an u`rafa... (Aku ialah
Harta Tersembunyi, Aku cinta supaya dikenal...). Para
sufi memandang Harta Tersembunyi (kanz makhfiyy) sebagai
lautan ilmu-Nya yang tak terhingga luasnya. Di sini
dikatakan Tuhan mencipta alam semesta dan makhluq-makhluq
yang lain didorong oleh cinta-Nya kepada pengetahuan-Nya
yang tersembunyi dan bentuk cinta yang mendorong itu
berupa kehendak agar ilmu-Nya dikenal. Dengan demikian
Cinta merupakan prinsip penciptaan dan sekaligus
penampakan Wujud Tuhan yang asali. yang termanifestasikan
dalam rahmat-Nya. Rahmat Tuhan terdiri dari dua, rahmah
dzatiyyah atau essensial, yaitu rahman, dan rahmah wujub
atau wajib, disebut rahim. Jadi cinta ilahi yang dimaksud
para sufi termaktub dalam kalimah Basmallah.
Cinta Tuhan yang pertama disebut rahmat esensial oleh
sebab dilimpahkan kepada semua makhluq-Nya dan seluruh
umat manusia tanpa mengenal ras, bangsa, kaum dan agama.
Sedang rahmat wajib, yaitu kasih atau rahim-Nya, hanya
dilimpahkan pada orang-orang tertentu yang dipilih-Nya,
yaitu mereka yang tawakkal, beriman dan berbuat kebajikan
di muka bumi
Ayat al-Qur`an yang melukiskan tentang penciptaan awal,
yaitu Kun fayakun! (Jadilah! Maka menjadi!)
dijelaskan melalui Hadis di atas. Kehendak Tuhan untuk
menjadikan atau menciptakan alam semesta dengan segala
isinya didorong oleh cinta kepada kanz makhfiyy-Nya,
yaitu hikmah atau ilmu-Nya yang tak terhingga dan belum
dikenal. Karena itu dalam metafisika sufi Tuhan sebagai
Khaliq disebut juga Wujud, Ilmu (dan karena mempunyai
`Ilmu maka Dia Maha Mengetahui atau `Alim). Sebutan lain
ialah Syuhud (Kesaksian) dan karena mempunyai kesaksian
terhadap Wujud dan Ilmu-Nya, maka Dia Maha Melihat.
Dengan Ilmu-Nya penciptaan muncul dari alam ketiadaan dan
kegelapan, dan diterangi. Karena itu Tuhan disebut
sebagai Cahaya (Nur) di atas cahaya, sebagaimana .disebut
dalam Surah al-Nur.
Dengan demikian Cinta ilahi ialah wujud-Nya, dan
Wujud-Nya ialah Sifat-sifat-Nya yang diringkas dalam
al-rahman dan al-rahim, juga Pengetahuan-Nya dan Nur-Nya,
yang meliputi alam semesta. Cinta ilahi juga merupakan
rahasia penciptaan (sirr al-khalq) atau sebab penciptaan
(illah al-khalq). Ayat lain yang dijadikan rujukan ialah
al-Qur`an 65:12, yang maksudnya, Allah lah yang
mencipta tujuh langit dan bumi. Perintah Allah berlaku
kepada mereka agar kamu mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya
benar-benar meliputi segala sesuatu.
Mengenai cinta pada manusia ada dua macam, yaitu cinta
mistikal/rohani dan cinta alami/kodrati. Cinta mistikal
tertuju kepada Tuhan, cinta kodrati tertuju kepada sesama
manusia dan lingkungan sekitar. Cinta jenis kedua ini
dapat dijadikan tangga naik menuju cinta mistikal, dan
sebaliknya cinta mistikal dapat mengubah bentuk-bentuk
cinta yang kedua menjadi lebih tinggi. Pelaksanaan cinta
kedua ini dirumuskan oleh al-Qur`an dengan istilah amar
makruf nahi mungkar atau solidarits sosial yang bertujuan
membentuk lingkungan masyarakat yang diridhai Tuhan,
berkeadilan, beradab dan berperikemanusiaan.
Cinta mistikal merupakan kecendrungan yang tumbuh dalam
jiwa manusia terhadap sesuatu yang lebih tinggi dan lebih
sempurna dari dirinya, baik keindahan, kebenaran maupun
kebaikan yang dikandungnya. Ada beberapa ayat al-Qur`an
yang dijadikan rujukan terhadap cinta semacam ini.
Pertama ayat yang mengemukakan tentang wajibnya manusia
mencintai Tuhan supaya manusia mengenal kedudukannya
sebagai khalifah-Nya di muka bumi dan sekaligus sebagai
hamba-Nya, atau supaya manusia mengenal dirinya yang
hakiki sebagai mahluk spiritual dan asal-usul
kerohaniannya, serta kewajiban-kewajibannya dalam
memenuhi cintanya tersebut. Memenuhi kewajibannya dalam
cinta berarti melakukan perjalanan naik atau
transendensi, menembus yang formal menuju yang hakiki.
Para sufi menyebut perjalanan mendaki dari bentuk formal
atau syariat kepada yang hakiki atau makrifat sebagai
taraqqi. Istilah ini ada kaitannya dengan sebutan
tariqat. Perjalanan mendaki tersebut oleh Rumi disebut
sebagai perjalanan dari diri ke diri, yakni
dari diri dalam kedudukan rendah menuju diri dalam
kedudukan mulia/tinggi. Dalam sastra fusi perjalanan
tersebut sering digambarkan secara simbolik sebagai
penerbangan burung (jiwa) ke puncak gunung, atau
perjalanan ke puncak bukit yang tinggi seperti dialami
Nabi Musa a. s. di Thursina, atau penyelaman ke lubuk
lautan (wujud) untuk mencari air hayat (makrifat)
sebagaimana dilakukan Iskandar Zulkarnaen atau Bima dalam
cerita Dewa Ruci, atau pelayaran kapal menuju bandar
Tauhid. Perjalanan ke puncak bukit tertinggi
kadang-kadang dilukiskan sebagai perjalanan mencari
Kekasih, sebagaimana tampak dalam syair-syair Hamzah
Fansuri.
Ayat al-Quran yang dirujuk dalam melukiskan
perlunya jalan cinta dalam tasawuf antara lain ialah,
Aku mencipta jin dan manusia tiada lain supaya
mereka mengabdi/beribadah kepada-Ku (Q 51:56) Di
dalam ayat ini tersirat pengertian bahwa dalam jalan
cinta terdapat pengabdian kepada Yang Dicintai. Selain
itu para sufi juga menghubungkan pencapaian di jalan
cinta dan peroleh pengetahuan yang mendalam tentang Yang
Hakiki. Ibnu Abbas misalnya menafsir perkataan
supaya beribadah kepada-Ku dalam ayat di atas
sebagai supaya mencapai pengetahuan-Ku (melalui
jalan cinta)
Jenis cinta mistikal yang lain ialah berupa cinta yang
terbit dari kerinduan manusia kampung halamannya yang
sejati yang didiaminya pada Hari Alastu dulu, yakni
sebelum dia diturunkan ke dunia dan masih berupa roh yang
bersujud di hadapan Tuhan. Pada hari itu manusia masih
dekat dan bersatu dengan Tuhannya, dan berikrar tidak
mengakui Rabb yang lain kecuali Kekasihnya Yang Haqq,
sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur`an 7: Alastu bi
rabbikum? Qawlu bala syahidna! (Bukankah Aku ini
Tuhanmu? Ya, aku bersaksi!) Perkataan Alastu
diambil dari perkataan pertama dalam kalimah pengakuan
tersebut. Ia disebut juga sebagai Hari Mitaq atau Hari
Perjanjian, dan merupakan pengalaman asali manusia paling
indah karena masih bersatu dengan-Nya, belum terbuang dan
berpisah dari-Nya.
Sesudah manusia diturunkan ke dunia, rohnya disatukan
dengan tubuhnya, gema suara yang didengarnya di Hari
Alastu itu terekam di lubuk kesadaran atau kalbu manusia.
Gema itu dapat didengar kembali pada saat manusia
mengalami krisis batin yang hebat, yang menyebabkan
kerinduannya kepada Yang Satu timbul kembali..Di antara
krisis batin hebat itu ialah apabila manusia menyadari
bahwa ia sebatang kara di dunia, merasa sunyi sebagai
anak dagang yang berada di perantauan yang jauh, merasa
terbuang dan terasing. Kerinduan manusia kepada kampung
halamannya di Hari Alastu itu, menurut Rumi, dapat
melahirkan seni musik dan puisi bermutu tinggi. Kerinduan
mempunyai wajah ganda, riang dan sedih, atau campuran
antara keduanya, dan ini merupakan asas semua seni. Seni
yang lahir dari keadaan rohani semacam itu dapat
dijadikan sarana transendensi. Hal ini digambarkan oleh
Rumi dalam mukadimah karya agungnya Mathnawi. Rumi
mengibaratkan kerinduan manusia pada pengalaman mistikal
primordial di Hari Alastu sebagai kerinduan seruling
untuk bersatu kembali dengan rumpun bambu, yang merupakan
asal usulnya, dan kerinduannya itulah yang merupakan
sumber suaranya yang merdu:
Dengar lagu sendu seruling bambu
menyampaikan kisah perpisahan yang pilu
Tuturnya, Sejak daku tercerai dari indukku
rumpun bambu naung dan rimbun
Ratapku membuat lelaki dan wanita mengaduh --
Kuingin sebuah dada koyak disebabkan rindu
Agar dapat kupaparkan kepiluan berahi cinta
Setiap orang yang berada jauh dari kampung halamannya
Akan rindu untuk merasakan kembali
Saat-saat ketika dia masih bersatu dengan-Nya
Dalam setiap pertemuan kunyanyikan nada-nada senduku
Bersama yang riang dan sedih aku berkumpul
Rahasia laguku tak jauh dari ratapku
Namun tiada telinga mendengar dan mata melihat
Tubuh tidak terdinding dari roh, pun roh
Namun tak seorang diperkenankan melihat roh.
Riuhnya suara seruling adalah kobaran api
Bukan suara hembusan angin
Tanpa api hidup kita akan sia-sia
Inilah api cinta yang bermukim dalam seruling
Inilah bara api dan kobaran Cinta
Yang masak dalam arak anggur
Seruling adalah sahabat orang-orang yang terpisah
Dari sahabat tercinta dan kekasihnya
Lagunya menusuk kalbu kami.
Siapa melihat racun dan obat penawarnya sekaligus
Seperti seruling? Siapa pernah melihat
Orang berkabung dan pencinta rindu seperti seruling?
Seruling mengisahkan jalan bersimbah darah
Dan menyingkap rindu dendam Majenun
Hanya untuk yang tak paham, pemahaman dialamatkan
Lidah tak punya pelanggan lain kecuali telinga
Cinta semacam itu menurut Imam al-Ghazali timbul karena
adanya munasabah, yaitu daya saling tarik antara
seseorang yang mencintai dan dia yang dicintai. Sadrudin
al-Qunyawi, yang hidup sezaman dengan Rumi di kota yang
sama, Konya Turki, menjelaskan bahwa munasabah membawa
seseorang berjalan jauh tanpa memperhatikan bahaya dan
rintangan menuju tempat yang dicintai, dengan maksud
mencapai persatuan rahasia (mistikal). Cinta manusia
kepada Tuhan tumbuh dari kesadaran bahwa manusia tidak
sempurna dan berhasrat mengurangi ketaksempurnaan, dan
kesempurnaan hanya milik Tuhan. Tuhan mencintai manusia
karena manusia merupakan ciptaan-Nya yang paling sempurna
dan indah, dan apabila manusia menyempurnakan potensi
kerohanian dan moral yang ada dalam dirinya, maka ia
menjadi alamat daripada tanda-tanda keindahan-Nya. Karena
Tuhan Maha Indah dan mencintai keindahan (Inna Allah
al-jamil wa yuhibbu al-jamal), maka manusia yang mencapai
keadaan semacam itu dikatakan akan dilimpahi cinta.
Munasabah berakar dalam wujud asali ketuhanan, yaitu
cintanya agar Harta Tersembunyi-Nya dikenal, dan juga
berakar dalam pesona Hari Alastu, di mana manusia
berikrar hanya akan mentaati dan mencintai Yang Satu. La
ilaha ill Allah.
Sekarang marilah kita bahas jalan cinta yang dikemukakan
`Attar, bersama contoh-contoh keadaan rohani yang
ditimbulkannya, sebagaimana digambarkan dalam Mantiq
al-Tayr. Namun sebelum itu kami hendak memaparkan sedikit
riwayat hidup `Attar dan karya-karyanya.
`Attar (1130-1220 M) ialah seorang sufi dan sastrawan
Persia terkemuka. Di Nisyapur, kota kelahirannya, dia
juga dikenal sebagai seorang ahli farmasi dan saudagar
minyak wangi yang kaya raya. Perjalanan hidupnya berubah
pada suatu hari ketika di toko minyak wanginya yang besar
datang seorang fakir tua renta yang tak berduit satu sen
pun. Melihat fakir yang dikiranya akan mengemis itu
`Attar segera bangkit dari tempat duduknya, menghardik
dan mengusirnya agar pergi meninggalkan tokonya. Dengan
tenang fakir itu menjawab, Jangankan meninggalkan
tokomu, meninggalkan dunia dan kemegahannya ini bagiku
tidak sukar! Tetapi bagaimana dengan kau? Dapatkah kau
meninggalkan kekayaanmu, tokomu dan dunia ini?
`Attar tersentak, lalu menjawab spontan, Bagiku
juga tidak sukar meninggalkan duniaku yang penuh
kemewahan ini!
Sebelum `Attar selesai menjawab, fakir tua renta itu
rebah dan meninggal seketika. `Attar terperanjat. Sehari
kemudian, setelah menguburkan fakir itu selayaknya,
`Attar menyerahkan penjagaan toko-tokonya yang banyak di
Nisyapur kepada sanak-saudaranya dan dia sendiri
mengembara ke seluruh negeri untuk menemui para guru
tasawuf yang kesohor, tanpa membawa uang satu peser pun.
Beberapa tahun kemudian, dalam usia 35 tahun, dia kembali
ke tanah kelahirannya sebagai guru kerohanian yang
masyhur. Dia melanjutkan lagi profesinya sebagai ahli
farmasi dan saudagar minyak wangi, di samping memberikan
latihan-latihan kerohanian dan membuka sejumlah sekolah.
Kekayaannya semakin bertambah-tambah, demikian pula
kemasyhurannya sebagai seorang sufi.
Salah satu kepandaian `Attar yang telah lama dikenal
penduduk Nisyapur ialah kemahirannya bercerita. Ia sering
melayani pasien-pasien dan pelanggannya dengan bercerita
sehingga memikat perhatian mereka. Apabila sedang tidak
ada pelanggan datang, dia pun menulis cerita. Di antara
karya `Attar yang terkenal ialah Thadkira al-`Awlya
(Anekdote Para Wali), Ilahi-namah (Kitab Ketuhanan),
Musibat-namah (Kitab Kemalangan) dan Mantiq al-Tayr
(Musyawarah Burung). Semua karyanya itu ditulis dalam
bentuk prosa-puisi yang indah, kaya dengan hikmah dan
kisah-kisah perumpamaan yang menarik.
Mantiq al-Tayr menceritakan.penerbangan burung-burung
mencari raja diraja mereka Simurgh yang berada di puncak
gunung Qaf yang sangat jauh dari tempat mereka berada.
Perjalanan itu dipimpin oleh Hudhud, burung kesayangan
Nabi Sulaiman a.s. yang melambangkan guru sufi yang telah
mencapai tingkat makrifat yang tinggi. Sedangkan
burung-burung melambangkan jiwa atau roh manusia yang
gelisah disebabkan kerinduannya kepada Hakekat Ketuhanan.
Simurgh sendiri merupakan lambang diri hakiki mereka dan
sekaligus lambang hakekat ketuhanan. Perjalanan itu
melalui tujuh lembah, yang mrrupakan lambang tahap-tahap
perjalanan sufi menuju cinta ilahi. Dalam tiap tahapan
(maqam) seorang penempuh jalan akan mengalami
keadaan-keadaan jiwa/rohani (ahwal, kata jamak dari hal).
Uraian keadaan rohani yang disajikan `Attar menarik
karena menggunakan kisah-kisah perumpamaan. Pada akhir
cerita `Attar menyatakan bahwa ternyata hanya tiga puluh
ekor burung (si-murgh) yang mencapai tujuan, dan Simurgh
tidak lain ialah hakekat diri mereka sendiri.
Lembah-lembah yang dilalui para burung itu ialah:
Pertama, lembah talab atau pencarian. Di lembah ini
banyak kesukaran, rintangan dan godaan dijumpai oleh
seorang salik (penempuh jalan) . Untuk mengatasinya
seorang salik harus melakukan berbagai ikhtiar besar dan
harus mengubah diri sepenuhnya, dengan membalikkan
nilai-nilai yang dipegangnya selama ini. Kecintaan pada
dunia harus dilepaskan, baru kemudian ia dapat
terselamatkan dari bahaya kehancuran diri dan sebagai
labanya dapat menyaksikan cahaya kudus Keagungan Ilahi.
Hasrat-hasrat murni kita dengan demikian juga akan
berlipat ganda. Seseorang yang berhasil mengatasi diri
jasmani dan dunia akan dipenuhi kerinduan kepada yang
dicintai dan benar-benar mengabdikan diri kepada
Kekasihnya. Tidak ada masalah lain baginya kecuali
mengejar tujuan murni hidupnya dan dia pun tidak takut
kepada naga-naga kehidupan, yaitu hawa nafsunya. Ia tidak
mempermasalahkan lagi keimanan dan kekufuran, sebab dia
telah berada dalam Cinta. Kata `Attar, Apabila kau
gemar memilih di antara segala sesuatu yang datang dari
Tuhan, maka kau bukan penempuh jalan yang baik. Apabila
kau suka memandang dirimu sendiri dimuliakan karena
memiliki intan dan emas segudang, dan merasa dihinakan
karena hanya memiliki setumpuk batu, maka Tuhan tidak
akan menyertaimu. Ingatlah, jangan kau sanjung intan dan
kau tolak batu, karena keduanya berasal dari Tuhan. Batu
yang dilemparkan oleh kekasih yang setia lebih baik
daripada intan yang dijatuhkan oleh seorang wanita
perusak rumah tangga.
Di lembah pencarian seseorang harus memiliki cinta dan
harapan. Dengan cinta dan harapan orang dapat bersabar.
Kata `Attar, Bersabarlah dan berusahalah terus
dengan harapan memperoleh petunjuk jalan (hidayah).
Kuasailah dirimu dan jangan biarkan kehidupan lahiriah
dan jasmaniah menawan serta menyesatkanmu!
Kedua, lembah Cinta (`isyq). `Attar melambangkan cinta
sebagai api yang bernyala terang, sedangkan pikiran
sebagai asap yang mengaburkannya. Tetapi cinta sejati
dapat menyingkirkan asap. Di sini `Attar mengartikan
cinta sebagai penglihatan batin yang terang, sehingga
tembus pandang, artinya dapat menembus bentuk-bentuk
formal kemudian menyingkap rahasia-rahasia terdalam dari
ciptaan. Orang yang cinta tidak memandang segala sesuatu
dengan mata pikiran biasa, melainkan dengan mata batin.
Hanya dia yang telah teruji dan bebas dari dunia serta
kungkungan benda-benda, berpeluang memiliki penglihatan
terang. Caranya ialah dengan penyucian diri, sebagaimana
dikatakan Rumi:
Indra tubuh adalah tangga menuju dunia
Indra keagamaan tangga menuju langit
Mintalah kesehatan tubuh kepada dokter
Namun kesehatan jiwa dan rohani
Hanya didapat dari kekasih Allah
Jalan rohani meruntuhkan (hasrat) tubuh
Sesudah itu rumah yang lebih megah dibangunnya
Lebih baik merubuhkan rumah demi harta karun
Dan dengan harta itu membangun rumah baru
Dibanding mempertahankan rumah usang
Bendunglah air dan bersihkan dasar sungai
Baru kau alirkan air minum dari dalamnya
Belahlah kulit dan cabutlah bulunya
Lalu segarkan kulit menutupi luka
Ratakan benteng dengan tanah, rebutlah ia
Dari tangan orang mungkar dan kafir
Lalu dirikan ratusan menara
Dan tempat berlindung di atasnya
Siapakah orang mungkar dan kafir itu
Dia tak lain ialah hawa nafsumu sendiri
`Attar sendiri mengatakan, Dia yang menempuh jalan
tasawuf hendaknya memiliki seribu hati, sehingga setiap
saat ia dapat mengurbankan yang satu tanpa kehilangan
yang lain. Di sini Cinta dikaitkan dengan
pengurbanan. Para sufi merujuk kepada kepatuhan Nabi
Ismail a.s. kepada perintah Tuhan. yang bersedia
dijadikan qurban oleh ayahnya Nabi Ibrahhim. a.s.
Peristiwa inilah yang dijadikan landasan upacara Idul
Qurban. Kata-kata qurban berasal dari qurb yang berarti
hampir atau dekat. Jadi berkurban dalam cinta berarti
berusaha memperdekat langkah kita untuk mencapai tujuan,
yaitu Cinta Ilahi.
Salah satu ciri cinta sejati dalam arti penglihatan batin
terang ialah penembusan terhadap hakekat segala sesatu.
Dalam Mantiq al-Tayr `Attar memberi contoh kisah Syekh
San`an dan Gadis Yunani beragama Kristen. Ketika menjadi
pencinta Syekh San`an menuruti perintah kekasihnya, dia
memeluk agama Kristen dan ketika Putri Yunani itu menjadi
pencinta dia mengikuti jejak kekasihnya, mencari Syekh
San`an di Mekkah dan memeluk agama Islam di sana.
Kembalinya Syekh San`an ke agama Islam ialah berkat doa
para pengikutnya yang tak kenal lelah memohon kepada
Tuhan agar guru mereka diberi petunjuk. Tampaknya usaha
itu tidak membuahkan hasil, bahkan Syekh San`an semakin
larut dalam agama yang baru dipeluknya. Namun sekali lagi
Tuhan turun tangan. Syekh San`an bermimpi berjumpa Nabi
Muhammad s. a. w. yang menyuruhnya datang ke Mekkah.
Setibanya di Mekkah Syekh San`an dan ratusan pengikutnya
disambut oleh ratusan orang Islam termasuk
sahabat-sahabat dekatnya. Di hadapan Ka`bah Syekh pun
bertobat dan berikrar untuk kembali ke jalan benar. Putri
Yunani yang ditinggalkan menjadi sangat rindu, dan
kemudian menyusul ke Mekkah, di mana dia memeluk agama
Islam dengan disaksikan Syekh San`an dan para
pengikutnya.
Kisah di atas juga memberi tahu kita bahwa di lembah
Cinta begitu banyak cobaan dan ujian, yang dapat
menyesatkan seorang penuntut tasawuf. Hanya petunjuk
Tuhan yang dapat menyelamatkan seseorang yang berada
dalam bahaya, dan petunjuk itu datang sesuai dengan
ikhtiar dan doa yang dipanjatnya sendiri di masa lalu dan
doa yang dipanjatkan orang-orang terdekat. Di lain hal
kisah ini memberi isyarat bahwa cinta sejati dapat
mengatasi perbedaan keyakinan, sebab cinta mengutamakan
yang hakiki dan persatuan dengan jiwa kekasih, bukan
untuk memperdebatkan perbedaan-perbedaan lahir. Hikmah
lain dari kisah ini bahwa cinta sejati dapat mendorong
orang melakukan perubahan atau transformasi diri
sebagaimana terlihat pada Syekh San`an atau pun gadis
Yunani.
Ketiga, ialah lembah kearifan atau makrifat. Kearifan
berbeda dengan pengetahuan biasa. Pengetahuan biasa
bersifat sementara, kearifan ialah pengetahuan yang
abadi, sebab isinya ialah tentang Yang Abadi. Kearifan
merupakan laba yang diperoleh seseorang setelah
memperoleh penglihatan batin terang, di mana ia mengenal
dengan pasti hakekat tunggal segala sesuatu. Kearifan
menyebabkan seseorang selalu terjaga kesadarannya akan
Yang Satu, dan waspada terhadap kelemahan, kekurangan dan
keabaian dirinya disebabkan godaan dan tipu muslihat
yang banyak.
Makrifat dapat dicapai dengan berbagai cara. Di antaranya
melalui sembahyang yang khusyuk, latihan kerohanian yang
berdisiplin, penyucian diri sepenuhnya di hadapan
Kekasih, dan pengisian jiwa dengan pengetahuan yang
bermanfaat bagi pertumbuhan rohani. Seseorang yang
mencapai makrifat akan menerima nur (cahaya) sesuai amal
usahanya dan mendapat peringkat kerohanian yang
ditetapkan baginya dalam mengenal kebenaran ilahi. Orang
yang mengenal hakekat segala sesuatu akan memandang, dan
bersikap terhadap dunia melalui penglihatan hatinya yang
telah tercerahkan. Ia tidak lagi terpaku pada segala
sesuatu yang bersifat embel-embel, sebab yang menjadi
perhatiannya ialah yang hakiki. Ia tidak sibuk memikirkan
dirinya dan hasratnya yang rendah, namun senantiasa asyik
memandang wajah Sahabat atau Kekasihnya, yang Maha
Pengasih dan Penyayang itu (al-rahman al-rahim). Kearifan
menjadi rusak disebabkan dangkalnya pikiran, kesedihan
yang berlarut-larut dan kebutaan pandangan terhadap
hakekat ketuhahan. Mata orang arif terbuka kepada Yang
Satu, bagaikan bunga tulip yang kelopaknya selalu terbuka
kepada cahaya matahari.
Keempat. Lembah kebebasan atau kepuasan (istighna). Di
lembah ini tidak ada lagi nafsu memenuhi jiwa seseorang
atau keinginan mencari sesuatu yang mudah didapat dengan
ikhtiar biasa. Karena pandangan telah tercerahkan oleh
kehadiran Yang Abadi, maka seseorang tidak pernah melihat
ada yang baru atau ada yang lama di dunia ini. Lautan
tampak sebagai setitik air di tengah wujud-Nya yang tak
terhingga luasnya, dan dadanya selalu lapang sebab dia
mengetahui bahwa rahmat Tuhan tidak akan pernah menyusut
atau berkembang. Tujuan hidup tak berguna ditaggalkan dan
seseorang merasa cukup dengan rahmat yang dilimpahkan
Tuhan. Di dunia dia hanya tinggal bekerja, berikhtiar dan
berusaha sesuai kemampuan dan pengetahuannya tentang
sesuatu, dan untung rugi dia pasrahkan kepada Kekasihnya.
Untuk mencapai tingkat ini, kata `Attar, seseorang harus
melakukan kewajiban yang dipikulkan kepadanya tanpa
beban. Seseorang mesti meninggalkan sikap acuh tak acuh,
masa bodoh dan ketakpedulian terhadap masalah keagamaan,
kemanusiaan dan sosial. Lamunan kosong dan ketakpastian
terhadap sesuatu yang tak memerlukan lamunan dan keraguan
harus diganti dengan keteguhan iman atau haqq al-yaqin.
Kata Hamzah Fansuri:
Ilmu`l-yaqin nama ilmunya
Ayn`l-yaqin hasil tahunya
Haqq`l-yaqin akan katanya
Muhammad Nabi asal gurunya
Syariat akan ripainya
Tariqat akan bidainya
Haqiqat akan tirainya
Makrifat yang wasil akan isainya
Dengan demikian makrifat merupakan bentuk pengetahuan
tertinggi tentang hakekat. Keadaan yang rohani lahir
daripadanya ialah kedekatan (wasil) dengan Yang Satu.
Rasa dekat ini dapat timbul karena dia menyaksikan dengan
mata batinnya bahwa Kekasih hanya Satu, tidak dua.
Istilah lain yang digunakan para sufi tentang keadaan ini
ialah musyahadah, artinya penyaksian bahwa Tuhan itu
satu. Musyahadah menjamin stabilitas jiwa dan pikiran
seseorang, sebab benar-benar telah terpaut pada tali Yang
Satu. Istilah lain yang digunakan para sufi untuk keadaan
ini ialah haqq al-yaqin, yakni yakin secara mendalam
bahwa kebenaran hakiki ialah Dia. Keyakinan seperti itu
sudah barang tentu mendatangkan kepuasan rohani dan
kebebasan daripada yang selain Dia. Jadi batas antara
lembah makrifat dan lembah isytighna tidak begitu jelas.
Menurut `Attar di lembah keempat ini seseorang mesti
menyibukkan diri dengan hal-hal yang bersifat hakiki dan
utama, mengabaikan hal-hal yang bersifat lahiriah atau
yang semata-mata menyangkut kepentingan diri sendiri.
Seseorang mesti memperbanyak kerja kerohanian, misalnya
dengan ibadah, berderma. memperbanyak amal saleh,
membangun pesantren, menyebarkan kegiatan keagamaan dan
sebagainya. Kata `Attar, Di lembah ini seseorang
mungkin melakukan suatu kegiatan yang bermakna, tetappi
ia tidak menyadari. Kalaupun menyadari ia tidak
perlu menyombongkan diri. Lanjut `Attar, Lupakan
segala yang telah kauperbuat, berikhtiarlah untuk bebas
dan cukupkan dengan dirimu sendiri, meskipun kau kadang
mesti menangis dan bergembira terhadap hasil-hasilnya. Di
lembah keempat ini cahaya kilat kesanggupan, yang
merupakan penemuan sumber-sumber dirimu sendiri,
kecukupan dirimu, menyala begitu terang dan membara
hingga membakar penglihatanmu pada dunia.
Kelima, lembah Tauhid. Di lembah ini semuanya pecah
berkeping-keping, kemudian menyatu kembali. Semua yang
tampak berlainan dan berbeda kelihatan berasal dari
hakekat yang sama. Jadi di lembah ini seseorang menyadari
bahwa hakekat wujud yang banyak itu sebenarnya satu,
maksudnya manifestasi Cinta Yang Satu, yaitu rahman dan
rahim-Nya.
Keenam, lembah Hayrat atau ketakjuban. Di sini kita
menjadi mangsa ketakjuban yang menyilaukan mata, sehingga
seolah-olah kita tenggelam dalam kebingungan dan timbul
rasa duka yang tak terkira. Betapa tidak. Siang berubah
jadi malam, malam berubah siang. Kemalangan tampak
sebagai kebruntungan dan keberuntungan kelihatan sebagai
kemalangan. Untung rugi tak jelas batasnya. Orang yang
mencapai lembah Tauhid pada mulanya akan lupa atas
segalanya, kemudian sadar bahwa bersama dirinya ialah
Yang Satu. Tetapi dia tidak tahu siapa yang bersama
dengan dirinya. Jika orang berada di lembah ini ditanya,
dia akan menjawab: Aku tak tahu apa ini fana
(lenyap) atau baqa (hidup kekal) dalam Dia. Aku tak
tahu apa ini nyata atau tak nyata. Aku sedang bercinta,
tetapi tidak tahu dengan siapa bercinta. `Attar
memberi contoh Kisah Seorang Putri Raja Yang
Mencintai Hambanya. Hamba di sini melambangkan
seorang salik yang tak memikirkan apa-apa lagi, yang
penting mengabdi, dan karena hanyutnya dalam
pengabdiannya maka dia memancarkan keindahan luar biasa.
Putri raja diam-diam jatuh cinta kepadanya, dan dengan
dibius oleh dayang-dayangnya maka hamba itu pun dibawa ke
peraduan sang putri, diberi minuman dan makanan lezat,
dihidangi tari-tarian dan musik yang indah, sebelum
keduanya beradu. Hamba tersebut mengalami semua itu
antara sadar dan tak sadar.
Ketujuh. Lembah Faqir dan Fana Faqir artinya tidak
memiliki apa-apa lagi, semuanya sudah terampas dari
dirinya, kecuali Cintanya kepada Yang Satu. Karena
jiwanya hanya terisi oleh-Nya maka dia sanggup
mengurbankan diri asal saja diperinsahkan oleh
Kekasihnya.. Kefakiran menerbitkan keberanian menentang
yang selain Dia, sebagaimana dimanifestasikan dalam
semangat jihad.. Kefakiran juga dijadikan landasan ethos
dagang yang melahirkan prinsip futuwwa (semangat satria
pinandita). Dengan ethos demikian organisasi-organisasi
dagang Islam (ta`ifa) tumbuh pada abad ke-13 sebagai
organisasi sosial keagamaan yang dipimpin oleh ulama
sufi. Ta`ifa aktif menyebarkan agama Islam dengan
didukung aktivitas perdagangan, pembinaan kota-kota urban
di pesisir dan pengembangan industri, dari mana terbentuk
pusat-pusat penyebaran agama Islam di Nusantara. Pada
masa-masa genting anggota-anggota ta`ifa, termasuk para
pengrajin, santri, dan lain-lain, ikut berjuang melawan
musuh yang mereangi kaum Muslimin, termasuk kaum
penjajah.
Fana ialah persatuan mistik, manunggaling kawula
Gusti atau Unio-mystica. Keadaan ini disusul dengan
baqa, yaitu pengalaman hidup kekal dalam Tuhan.
Apabila seseorang telah mencapai tahapan ini, dia akan
mengenal dirinya yang hakiki, dirinya yang universal, dan
dengan demikian mengenal sungguh-sungguh asal
kerohaniannya. Hadis yang mengatakan, Barang siapa
mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya dapat
dijelaskan melalui uraian di atas. Di sini seseorang
mengenal bahwa dirinya benar-benar makhluk rohani, bukan
sekedar mahluk jasmani dan nafsani.. Dia menyadari bahwa
secara esensial manusia memang makhluk kerohanian,
sebagaimana dinyatakan al-Quran dengan istilah
khalifah Tuhan di muka bumi, dan sekaligus hamba-Nya.
Sebagai khalifah Tuhan menjadi perantara antara alam
rendah dan alam tinggi.
`Attar mengakhiri kisah burung menemui raja mereka
Simurgh, yang tak lain ialah gambaran diri mereka yang
sejati, sebagai berikut: Tahukah kau apa yang
kaumiliki? Masuklah ke dalam dirimu sendiri dan renungkan
ini. Selama kau tak menyadari kehampaan dirimu, dan
selama kau tak meninggalkan kebanggan diri yang palsu,
serta kesombongan dan cinta diri yang berlebihan, kau
tidak akan mencapai puncak keabadian. Di jalan tasawuf
kau muka-muka akan dicampakkan ke dalam lembah kehinaan,
kemudian baru kau akan diangkatnya ke puncak gunung
kemuliaan.
Mengenai pengetahuan tentang diri itu Imam al-Ghazali
mengatakan dalam kitabnya Kimiya-i Sa`adah (Kimia
Kebahagiaan), Pengetahuan tentang diri yang
sebenarnya berada dalam pengetahuan tentang hal-hal
berikut: Siapakah anda, darimana anda datang? Kemana anda
akan pergi, dan apa tujuan anda datang serta tinggal
sejenak di sini, dan di manakah letak kebahagiaan
anda?... Suatu bagian penting dari pengetahuan kita
tentang Tuhan timbul dari kajian dan renungan atas jasad
kita sendiri yang menampakkan kepada kita kebijaksanaan,
kekuasaan serta cinta Sang Pencipta. Manusia dengan
tepatnya disebut `alam al-saghir (jagad cilik) dalam
dirinya. Susunan kerangka jasadnya mesti dipelajari,
bukan saja oleh orang-orang yang ingin menjadi dokter,
tetapi juga oleh orang-orang yang ingin mencapai
pengetahuan yang lebih dalam tentang Tuhan, sebagaimana
kajian yang mendalam tentang keindahan dan corak bahasa
pada sebuah puisi yang agung akan mengungkapkan kepada
kita lebih banyak tentang kejeniusan pengarangnya...
Tetapi di atas segalanya pengetahuan tentang jiwa dan
kerohanian manusia lebih penting sebab pengetahuan
semacam itulah yang dapat membawa kita sampai kepada
pengetahuan tentang Tuhan.
CATATAN
Uraian tentang cinta dalam karangan ini merupakan
ringkasan dari Bab II tesis penulis Estetika Sastra
Sufistik: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-karya Shaykh
Hamzah Fansuri. Universiti Sains Malaysia, P. Pinang,
1996. Tentang buku `Attar dapat dibaca terjemahan dalam
bahasa Indonesia oleh Hartojo Andangjaya, Musyawarah
Burung. Jakarta:Pustaka Jaya, 1982. Sajak-sajak Rumi
diambil dari buku karangan penulis sendiri, Rumi, Sufi
dan Penyair. Bandung: Pustaka, 1985.
Lampiran
KISAH SYEKH SAN`AN
Syekh San`an adalah orang suci dan ulama terkemuka pada
zamannya. Pada suatu hari dia bermimpi bepergian dari
Mekkah menuju Yunani, dan di sana dia menyembah arca yang
sangat indah. Begitu terjaga dia merasa sangat sedih dan
memutuskan pergi ke Yunani untuk mengetahui arti
mimpinya. Diikuti oleh empat ratus muridnya sampailah dia
di negeri seribu biara itu. Setelah mendatangi berbagai
pelosok negeri itu sampailah ia di sebuah biara yang
megah. Di sana dia melihat seorang gadis yang cantik luar
biasa, memandang ke luar dari sebuah jendela.
Gadis Yunani itu ternyata beragama Nasrani. Syekh San`an
sangat terpesona oleh kecantikannya. Ia berseru kepada
murid-muridnya, O alangkah dahsyat cintaku
kepadanya. Andaikata aku dapat membebaskan diri dari
kungkungan agama, tentulah aku beruntung dan
bahagia! Murid-muridnya mengerti maksud perkataan
gurunya. Sementara itu Syekh San`an benar-benar terbakar
api asmara. Dia merasa muda kembali, dan darah di
tubuhnya bergelora. Dia berhasrat mendapatkan gadis
Yunani itu dan menjadikan istrinya seumur hidup.
Siang malam Syekh San`an mengunjungi tempat itu untuk
dapat menatap wajah gadis itu. Keinginannya untuk bertemu
dan berbincang dengannya sedemikian kuatnya. Nasehat
murid-muridnya tidak diacuhkannya, begitu pula ratusan
doa yang mereka panjatkan sia-sia. Syekh San`an malahan
semakin tergila-gila kepada gadis itu. Berhari-hari
lamanya dia selalu gagal menjumpai gadis itu. Pintu biara
tertutup rapat baginya. Pada akhirnya dia putus asa dan
keadaannya begitu menyedihkan. Dia termangu-mangu di
dekat tempat di bawah jendela tempat gadis itu selalu
menampakkan mukanya.
Ketika melihat Syekh San`an sudah putus asa, gadis itupun
keluar, menyilakan masuk kepada Syekh San`an dan
menjamunya dengan makanan yang serba lezat dan minuman
anggur. Karena cintanya Syekh San`an menuruti apa saja
yang diperintahkan si gadis. Namun si gadis belum juga
mau menerima lamaran Syekh San`an. Pada suatu hari ketika
Syekh San`an bersedia masuk agama Nasrani, barulah gadis
itu menerima lamarannya. Kini mereka resmi menjadi
sepasang suami istri. Sebagai mas kawinnya Syekh San`an
harus bersedia memelihara babi, memandikan
binatang-binatang itu dan memberinya makan pagi dan sore.
`Attar menulis pada episode ini, Dalam fitrah kita
masing-masing ada seratus babi. Wahai kalian yang tak
berarti apa-apa, kalian hanya memikirkan bahaya yang
sedang mengancam Syekh San`an! Sedangkan bahaya itu
terdapat juga dalam diri kita masing-masing, dan
menegakkan kepala sejak saat kita mulai melangkah di
jalan pengenalan-diri. Kalau kalian tak mengetahui
perihal babi-babi kalian sendiri, maka kalian tak akan
mengenal Jalan Cinta. Tetapi apabila kalian mulai
menempuh jalan itu, kalian akan menjumpai ratusan babi
dan ratusan berhala pujaan. Halaulah babi-babi itu,
bakarlah berhala-berhala itu di lembah Cinta; atau kalau
tidak, kalian akan menjadi seperti Syekh San`an, hina
dina dicemooh cinta.
Kabar segera tersiar ke negeri-negeri Islam bahwa seorang
ulama terkenal telah memeluk agama Kristen dan menjadi
pemelihara babi, hanya disebabkan oleh cintanya kepada
seorang gadis cantik yang masih muda. O betapa pesona
dunia dapat membelokkan iman dan pengetahuan. Kebetulan
di Mekkah tinggallah seorang Syekh, sahabat karib Syekh
San`an. Mendengar berita itu dia hanya mengurut-urut
dadanya. Murid-murid Syekh San`an yang sedang berada di
Mekkah dipanggilnya semua dan diberi nasehat,
Apabila kalian benar-benar ingin berbuat sesuatu
yang membuahkan hasil, kalian harus mengetuk pintu Tuhan
berulang kali tanpa jemu. Dengan doa yang disertai
keyakinan mendalam kalian akan diterima di hadirat Ilahi.
Mestinya kalian memohon kepada Allah demi guru kalian,
masing-masing dengan doa sendiri. Insya Allah Dia akan
mengembalikan Syekh San`an kepada kalian. Mengapa kalian
enggan mengetuk pintu Tuhan?
Murid-murid itu pun segera berangkat ke Yunani.
Sesampainya di sana mereka memilih tinggal tidak jauh
dari tempat Syekh San`an. Empat puluh hari empat puluh
malam mereka berdoa. Empah puluh hari lamanya mereka
berpuasa, berpantang makan makanan lezat yang mengandung
banyak lemak dan kolestrol. Mereka juga tak boleh tergoda
oleh gadis-gadis cantik yang banyak terdapat di biara
itu. Akhirnya kekuatan doa orang-orang tulus itu pun
menggetarkan langit. Malam itu mereka bermimpi berjumpa
dengan Nabi Muhammad s. a. w. Dalam mimpi mereka Nabi
Muhammad s. a. w. bersabda bahwa Syekh Sanan
sebentar lagi akan kembali ke jalan benar dan
dosa-dosanya akan diampuni. Segala yang telah dia
tinggalkan selama ini, kitab suci al-Qur`an, kiblat dan
sajadah segera akan didatanginya lagi.
Pada malam yang sama wanita Yunani itu juga bermimpi dan
dalam mimpinya melihat matahari turun kepadanya, disertai
suara, Ikuti Syekh San`an suamimu, peluklah
agamanya, jadilah suci seperti hatinya yang telah
dibersihkan oleh cinta. Kau telah membawa dia ke jalanmu,
kini ikuti jalan yang ditempuhnya.
Ketika wanita itu terjaga dari tidurnya, Syekh San`an
telah meninggalkan Yunani bersama empat ratus pengikutnya
menuju Mekkah. Tidak tahan sendiri, dan merasa rindu
kepada Syekh San`an, dia pun menyusul mereka menuju
Mekkah. Kepada Syekh San`an dia berkata, Aku merasa
begitu malu karena kau. Singkaplah tabir rahasia itu, dan
ajarkan Islam kepadaku, agar aku dapat menempuh jalan
kedamaian dan keselematan! Di depan Ka`bah,
disaksikan oleh ratusan murid dan sahabat Syekh San`an,
wanita Nasrani itu mengucapkan kalimah syahadah.
Kebahagiaan memancar dari wajahnya yang cerah setelah
berhari-hari muram oleh kesedihan.
|