Inti Tasawuf dalam Kitab Al-Hikam
Oleh : Dr. Muhammad Nurshomad
Event Artikel : KKA-151 (Jakarta, Desember 1999)
Diupdated pada: Senin 16 April 2001

Pengantar: Antara Hikmah dan Makrifat

Istilah al-Hikmah digunakan dalam Alqur’an sebagaimana firman Allah: “Allah menganugerahkan Hikmah kepada siapa saja yang dikehendaki. Barangsiapa yang mendapat hikmah maka sesungguhnya ia telah memperoleh kebajikan banyak sekali”. Meski dalam penggunaan bahasa Arab hikmah memiliki makna sebagai aforisme namun tradisi tasawuf cenderung menggunakannya sebagai ‘hasil’ proses perjalanan spiritual, atau totalitas pengalaman sufi dalam berkomunikasi dengan Tuhan. Al-Junaid, salah seorang tokoh sufi terkemuka dan juru bicara tasawuf pada zamannya (w. 298 H.) menyitir hadis nabi “hikmah adalah dambaan setiap mu’min. Ia akan memetiknya di mana pun ia temukan”; untuk menegaskan pentingnya makrifat dalam menghayati dan mengaktualisasikan ajaran-ajaran agama. Bahkan al-hikmah ditafsirkan sebagai totalitas pengalaman makrifat yang membentuk sang arif memiliki kearifan. Dengan demikian, hikmah bagi al-Junaid tak lain adalah kearifan yang diperoleh melalui pengalaman makrifat.
Akan halnya dengan mekanisme pengalaman tersebut al-Junaid menegaskan “tak seorang pun akan memperoleh makrifat tanpa melalui sistimatika al-ahwal dan al-maqamat”. Begitu penting sistimatika tersebut dalam tasawuf sehingga para penulis tasawuf cenderung mengasumsikannya sebagai inti filsafat sufisme atau grand theory dalam pemikiran tasawuf. Al-Qusyairi dalam risalah-nya mengisyaratkan dua perspektif sehubungan dengan sistimatika ahwal-maqamat. Pertama, sebagai ‘pola’ pendidikan spritual yang diikuti oleh setiap orang yang hendak menjalani mujahadah; kedua, sebagai siklus pengalaman spiritual yang mengekspresikan kualitas-kualitas sufi tatkala mencapai titik-titik kedekatan tertentu kepada Tuhan. Tapi 'sistimatika' di sini memiliki makna yang berbeda dengan yang biasa kita pahami sebagai dasar-dasar atau kaedah-kaedah tertentu yang dituangkan dalam kerangka teroritis kemudian diimplementasikan dalam praktek seperti halnya teori-teori lainnya di mana ada keterikatan logis antara premis-premis dalam menghasilkan kesimpulan.
Sistimatika 'ahwal dan maqamat' tidak lantas berarti bahwa seseorang akan secara pasti mendapat makrifat jika ia telah merealisasikan dan mengaktualisasikan tahap-tahapnya karena satu alasan, yakni: 'makrifat menurut para sufi adalah anugerah semata dari Allah. Sudah barang tentu mustahil menentukan atau mengidentifikasi cara-cara Allah memberikan anugerah-Nya. Prinsip dasar yang dianut dalam tasawwuf bahwa seseorang melakukan pengabdian kepada Allah tanpa pamrih dan tidak mengharapkan apa pun dari-Nya. Ia melakukan pengabdian semata-mata karena cinta kepada Allah dan berserah diri kepada-Nya. Kesesatan yang diakibatkan oleh pandangan yang keliru mengenai sistimatika 'ahwal dan maqamat' banyak terlihat dalam praktek-praktek pemaksaan diri melakukan latihan-latihan spritual. Bahkan terdapat prilaku yang cenderung dibuat-buat untuk memberi kesan bahwa yang telah berada pada maqam tertinggi, fana misalnya.
Hal yang sama berlaku dalam taraf kajian ilmiah. Banyak penulis tasawwuf, khususnya di abad modern menduga 'sistimatika ahwal dan maqamat' sebagai kerangka teroritis sehingga 'haqaiq', kenyataan-kenyataan spritual seperti makrifat, mahabbah dan sebagainya digambarkan dapat diperoleh dengan mengidentifikasi dasar-dasar pemikiran seorang sufi tertentu. Sikap-sikap mental dan pandangan-pandangan tersebut ditentang oleh al-Junayd. Secara metodologis, 'sistimatika ahwal dan maqamat' tidak lebih dari kondisi-kondisi spiritual yang dialami seorang sufi lantas mendapatkan dirinya dalam keadaan makrifat. Maksudnya kita tidak memproyeksikan suatu keadaan yang akan terjadi tetapi menggambarkan kenyataan yang telah dialami. Dengan cara pandang demikian kita dapat menangkap konsistensi pemikiran Ibn Athaillah dalam al-Hikam.

Konsistensi Pemikiran Ibn Athaillah dalam al-Hikam

Berdasarkan perspektif Al-Qusyairi tentang siklus maqamat maka hikam Ibn Athaillah pada hakekatnya merupakan ekspresi totalitas pengalaman dalam taraf makrifat. Menurut al-Qusyairi masing-masing sufi menyatakan situasi yang sedang di alaminya dan hanya dia yang berhak menafsirkannya. Ibn Athaillah tentunya bukan pengecualian dari fenomena ini. Sebab meskipun ia telah merasa, mengalami, menulis lalu menafsirkan pernyataan-pernyataannya dan yang dengan segala kemampuan linguistiknya berupaya untuk sejelas dan setepat mungkin dalam penafsirannya namun pernyataan-pernyataannya mengenai makrifat tidak luput dari kesamaran. Barangkali kenyataan ini disebakan oleh rumitnya topik yang dibicarakan dan bukan karena keterbatasan bahasa. Bagaimanapun, makrifat yang ingin diuraikan hanya dapat diekspresikan dengan menggunakan bahasa simbolisme.
Tapi betapa pun sulitnya merumuskan pemikiran yang hendak dikembangkan Ibn Athaillah, dari 264 ungkapannya dalam al-Hikam kiranya pemikiran-pemikiran dasar berikut menjadi titik perhatiannya:

1. Sistimatika Ahwal-Maqamat:

Dalam rangkaian hikmah ke-127-28 Ibn Athaillah mengisyaratkan bahwa orang yang melibatkan diri dalam perjalanan spiritual menuju Allah adalah orang, yang karena persepsinya yang jelas tentang perihal yang terbaik baginya, merespon ajakan Allah dengan penuh kesuka-relaan setelah berhasil membebaskan diri dari segala pengaruh hawa nafsu. Sebuah proses yang menjadikan ketetapan hati sebagai sikap mental yang penuh sukarela menuju Allah. Ini merupakan titik sentral dalam perjalanan menuju Allah secara sukarela. Taubat, yakni kembali kepada Allah merupakan langkah awal dalam ahwal-maqamat' sedangkan mahabbah, cinta kepada Allah pondasi yang mendasari gerak langkah itu sendiri dan seluruh langkah-langkah berikutnya. Keinginan untuk bertaubat dan lahirnya rasa cinta kepada Tuhan merupakan konsekwensi pengetahuan akal budi yang pasti dan muncul besama ketetapan hati. Keterikatan antara ketetapan hati dengan lahirnya kesadaran inilah yang ingin dimunculkan Ibn Athaillah ketika ia menegaskan pentingnya membebaskan diri dari kebiasaan-kebiasaan manusiawi yang selalu memandang keterikatan usaha dengan hasil yang hendak dicapai secara matematis.
Diriwayatkan seseorang bergelimang dosa bertanya kepada Rabi’ah al-‘Adawiyah: jika aku bertaubat apakah Tuhan akan menerima taubatku? Jawab Rabi’ah: tidak, jika Dia berkenan engkau akan bertaubat. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa setiap aktifitas manusia pada hakekatnya merupakan perkenan Allah jua. Menurut al-Junaid wujud Tuhan lebih prioritas sehingga Dia selalu mendahului setiap yang ada. Alqur’an sendiri mengisyaratkan hal ini misalnya dalam firman Allah: fa taballahu ‘alaihim liyatubu.
Secara spiritual, pembuktian akan ketetapan hati dalam bentuk praktek tidak berarti sudah bebas dari infiltrasi hawa nafsu, justru pada tahap ini pengaruh infiltrasi tersebut lebih kuat dan lebih berbahaya karena akan menghantarkan kepada syirik terselubung ketika kecenderungan ego mengarahkan jiwa kepada kebanggaan dalam pengabdian. Itu sebabnya mengapa ahwal dan maqamat dinamakan 'mujahadah', perjuangan mengabdikan diri kepada Allah. Dalam mujahadah seseorang akan mendapat 'bantuan', bimbingan dan pemeliharaan dari Allah untuk melawan hawa nafsu selama ia memelihara 'ketetapan hati'nya hingga pada akhirnya seluruh kecenderungan ego dan hawa nafsunya 'ditundukkan' kepada jalan yang diridloi Allah dan yang bersangkutan akan menjadi seperti yang dikatakan Ibn 'Arabi 'penjelmaan kepribadian 'Umar: "Syetan memilih jalan lain jika 'Umar sedang lewat."

2. Konsepsi Fana

Konsepsi al-fana adalah kunci untuk mengenal pemikiran dan pengalaman spiritual sufisme. Sebagaimana ahwal dan maqamat merupakan sistimatika makrifat maka al-fana titik sentral pendakian (mi'raj) Sufi. Ini berarti merealisasikan satu kondisi spiritual (maqamat) tidak akan sempurna tanpa mencapai taraf fana dengan terhapusnya kecenderungan ego dan menjelma menjadi sifat-sifat terpuji. Taubat, umpamanya tidak sempurna kecuali jika fana di dalamnya; dalam arti kata bahwa seseorang melakukan taubat karena terdorong oleh hasrat ingin mengabdikan diri kepada Tuhannya. Dan dalam pengabdian tersebut berjuang meng'ikhlas'kan seluruh hidup dan matinya hanya untuk Allah semata, sedangkan pada waktu yang sama merasakan kecenderungan ego melakukan infiltrasi dengan menanamkan rasa memiliki pengabdian tersebut (yang akibatnya meninggalkan rasa bangga, rasa berhak memperoleh imbalan dan sebagainya) dan berarti melakukan pengabdian dengan pamrih sehingga tiada jalan lain bagi yang bertaubat kecuali menyerahkan diri kepada Tuhan, memohon bimbingan dan petunjuk serta pemeliharaan-Nya dan selalu berlindung kepada-Nya dari kecenderungan-kecenderungan tersebut hingga Allah berkenan 'menerima' taubatnya dalam bentuk bimbingan, siraman cahaya ilahi dan hembusan cinta kasih yang menghapuskan pengaruh kecenderungan ego pada jiwanya.
Dalam perkenan Allah terdapat dua aspek: pertama, aspek zhahir, nyata dan nampak, ya'ni praktek ibadah sebagai tanda kejujuran memanifestasikan hasrat pengabdian. Berkata Ibn Athaillah: "Dambaan orang-orang arif pada Tuhannya adalah agar menjalankan kehambaan dan menunaikan kewajiban kepada Tuhan" Lebih lanjut ia mengatakan: "Kejujuran selalu ada pada wara', zuhud, tawakkal, ridlo, mahabbah, rindu dan tauhid; baik bagi orang-orang yang masih menjalani pendidikan spritual maupun mereka yang sudah mencapai taraf tertinggi dalam makrifat, dan masing-masing harus terlihat pada lahirnya."; kedua, aspek batin, yaitu keikhlasan kepada Allah semata dalam bentuk fana dari perasaan sedang melakukan pengabdian. Sistimatika 'ahwal dan maqamat' pada esensinya adalah penerapan kedua aspek tersebut yang juga memiliki dua taraf: pertama, inisiatif hamba melakukan pengabdian demi membuktikan kejujurannya. Ia akan berjuang dan bergelut dengan jiwanya demi merealisasikan keikhlasan pengabdiannya hanya kepada Allah. Ia selalu mengingat Allah dan mengawasi kecenderungan ego, setiap kali merasa terpengaruh dengan segera menghadapkan hatinya kepada Allah dan memohon perlindungan-Nya. Hal itu ia lakukan terus menerus hingga Allah berkenan memutuskan pengaruh kecenderungan ego melalui bimbingan, siraman cahaya dan hembusan cinta kasih. Ia akan mendaki terus menerus melewati satu persatu 'maqamat' hingga keikhlasan menjadi bagian dari dirinya (al-makannya); pada saat itu ia akan meningkat kepada taraf kedua, ya'ni memandang dirinya sebagai makhluk yang seluruh gerak dan prilakunya tunduk kepada ketentuan Allah semata karena Dia Yang Maha Menguasai. Inilah yang dimaksud oleh Ibn Athaillah sebagai 'pengabdian murni' atau 'mengabdi dalam keEsaan Allah'. Jika dikatakan bahwa taraf spiritual ini adalah taraf 'pasca' maqamat tidak berarti tiada lagi transformasi yang akan terjadi setelah itu justru sebaliknya jenjang-jenjang maqamat dengan taraf yang lebih tinggi akan tetap ada di hadapan hamba karena Allah Yang Maha Luas tiada pernah berakhir nikmat-Nya. Perbedaan antara taraf pertama dengan taraf kedua adalah bahwa pada pertama hamba melakukan inisiatif atau menyadari inisiatifnya sedangkan pada taraf kedua hamba sudah tidak menyadari lagi pengabdiannya. Dengan kata lain yang lebih mudah dipahami hamba melakukan pengabdian secara spontan.
Dengan demikian kejujuran dan keikhlasan merupakan dua mata rantai dalam pengabdian yang hakiki kepada Allah di mana seseorang menjalani proses dalam sistimatika 'ahwal dan maqamat' untuk merealisasikannya. Untuk membuktikan kejujuran dalam setiap 'maqamat' (kondisi spritual) seseorang dituntut melakukan 'muraqabah', pengawasan terhadap setiap kecenderungan ego. Suatu 'maqamat' tak dapat dikatakan sempurna direalisasikan oleh hamba kecuali jika keikhlasan dalam 'maqamat' tersebut menjadi bagian dari jiwanya, dalam hal ini ia harus terlepas dari perasaan dan kesadaran melakukan pengabdian atau ibadah. Ia harus fana dalam 'maqamat'nya. Demikianlah seterusnya hingga keseluruhan 'maqamat' seperti taubat, wara', zuhud, ridlo dan sebagainya terlampaui.

3. Mahabbah dan Makrifat

Keterikatan antara 'mahabbah' dan makrifat dalam pemikiran sufisme amat seolah sepasang kembar yang tak dapat dipisahkan baik subtansi maupun sifat-sifatnya. Dari makrifat lahir mahabbah, cinta. Tiada pengenalan yang tidak melahirkan cinta. Ini berlaku dalam setiap taraf spritual. Jika makrifat bersifat umum maka cinta pun bersifat umum. Cinta menurut al-Junayd adalah "Kecenderungan hati." Al-Kalabadzi menafsirkan : "Ya'ni kecenderungan hati kepada Allah dan kepada apa yang ada di sisi-Nya tanpa dibuat-buat." Kecenderungan ini tidak akan lahir tanpa pengenalan melalui pengetahuan terhadap keagungan pemberian sang kekasih. Al-Junayd mengatakan: "Orang-orang yang cinta kepada Allah terbagi dua: awam dan khawas, yang pertama cinta mereka tergantung kepada pengetahuannya terhadap nikmat yang melimpah sehingga mereka tak kuasa untuk menahan cintanya.."
Gejala pertama dalam cinta adalah mencintai apa yang dicintai Allah dan membenci apa yang dibenci Allah. Dalam Alqur'an Allah menguraikan dan menjelaskan hal-hal yang dicintai pada hamba-Nya seperti "Dia mencintai orang-orang yang bertawakkal; orang-orang yang bersuci, orang-orang yang ikhlas, orang-orang yang bertaqwa dan sebagainya", demikian juga Dia menjelaskan bahwa Dia tidak menyukai orang-orang yang melanggar hukum, orang-orang yang aniaya, orang-orang yang durhaka dan seterusnya. Pernyataan cinta dalam hal ini adalah bersegera merealisasikan kesucian, ketaqwaan dan keikhlasan serta apa saja yang diinformasikan oleh Allah bahwa Dia menyukainya. Tapi cinta seperti ini masih dalam pengertian umumnya yang tergantung kepada adanya nikmat dan pemberian. Berkata al-Junayd: "Setiap cinta yang lahir karena ada maksud akan terhapus jika maksud telah tercapai."
Seiring dengan konsepsi kebenaran sufisme maka kejujuran menghendaki seseorang yang memiliki rasa cinta yang tulus untuk menanamkan budi luhur dan sifat-sifat terpuji (tahalli), dan meninggalkan sifat-sifat buruk (takhalli) serta membersihkan diri dari segala pengaruh yang berhubungan dengan ego. Dalam pandangan Sufi, kejujuran dalam pengabdian, cinta dan makrifat harus berjalan secara integral. Pengawasan dan introspeksi diri dilakukan dalam bentuk praktek 'takhalli' dan 'tahalli'. Dan ini berhubungan dengan kemampuan menolak setiap bisikan dan godaan hawa nafsu
Dengan demikian kita dapat memahami pernyataan al-Qusyairi: "Seseorang tidak dapat dinamakan berada dalam suatu kondisi spiritual (maqamat) kecuali jika ia dapat menyaksikan dirinya ditempatkan oleh Allah dalam kondisi tersebut." sebab kesinambungan ingatan kepada Allah sebagai manifestasi pembersihan diri menghasilkan kesaksian bahwa segala sesuatu berjalan sesuai dengan dan atas kehendak Allah. Kesaksian mana dibutuhkan dalam merealisasikan keimanan tauhid yang paripurna.
Seseorang tidak dapat mengaktualisasikan tauhid yang paripurna kecuali jika telah menjadi ketetapan hatinya bahwa tiada sesuatu pun yang ril kecuali atas kehendak dan ketentuan Allah; dan bahwasanya Allah adalah satu-satunya realitas yang hakiki. Segala sesuatu selain-Nya hanyalah bayangan semata jika dibandingkan dengan keberadaan Allah.
K
ita telah menyinggung bahwa taraf cinta sesuai dan tergantung dengan kapasitas pengetahuan, yakni kesadaran tauhid berikut segala dimensinya. Kesempurnaan tauhid tergantung kepada pengetahuan yang paripurna. Kesempurnaan dalam cinta (mahabbah) pada gilirannya menghendaki fana dari segala sesuatu selain Allah dan akhirnya cinta hanya tertuju kepada Allah sebagaimana pengetahuan hanya tergantung kepada Allah ketika menyadari bahwa keberadaan selain-Nya hanyalah bayang-bayang semata.
Jikalau keterikatan antara cinta dan pengetahuan dalam taraf awam ditentukan oleh kapasitas kesadaran akan nikmat Allah yang melimpah maka keterikatan keduanya dalam taraf khawwash tidak ditentukan oleh apa pun kecuali atas pertimbangan bahwa hanya Allah yang berhak untuk dicintai. Cinta tanpa pamrih mengikuti kesadaran tauhid yang menhendaki bahwa hamba seakan tiada dan Allah tetap seperti sedia kala. Yakni jika hamba menyadari bahwa ia sebenarnya dan pada esensinya tidak mempunyai keberadaan dan oleh karena itu ia tidak berhak mendapatkan sesuatu maka dengan sendirinya apa pun yang dilakukan hanyalah tertuju kepada Allah jua. Cinta yang murni adalah cinta yang bebas maksud.
Cinta demikian ini, yang telah terbebas dari segala maksud dan alasan selain karena semata-mata Dia yang berhak untuk menjadi kekasih, merupakan penjabaran kesempurnaan makrifat. Suatu cinta yang menguasai seluruh jiwa raga, melarutkan hati dan menghapuskan segenap perasaan untuk tidak menyaksikan kecuali sang kekasih. Dalam hubungannya dengan fana cinta yang sejati adalah cinta Allah kepada diri-Nya yang diberlakukan dalam diri hamba (tawalli) sebagaimana tauhid yang murni adalah kesaksian Allah akan keEsaan-Nya yang diberlakukan dalam diri hamba. Di sini terlihat posisi fana yang menentukan dalam konsepsi tauhid dan cinta sejati.
B
ilamana Allah berkenan menempatkan hamba dalam kondisi spiritual ini maka segenap kesadaran dan perasaan hamba mengalami transformasi dan pencerahan karena wujud Allah adalah keberadaan yang lebih sempurna. Dia lebih prioritas (untuk eksis), lebih berkuasa dan lebih berhak untuk hadir menguasai dan menghapuskan selain-Nya. Akibatnya, hamba menjadi bayang-bayang semata ibarat benda mati yang digerakkan oleh dan menurut kehendak pemiliknya. Ini adalah puncak taraf fana di mana seseorang larut dalam kesaksian Allah sebagai satu-satunya kekasih.
Mendapatkan puncak makrifat di mana Allah yang berkenan menangani pengenalan hamba kepada-Nya berikut cinta sejati yang bebas maksud kerena hanya Dia semata yang berhak untuk dicintai adalah konsekuensi keimanan dan tauhid. Hamba tidak merasakan sesuatu selain kekasihnya dan akibatnya mabuk dalam cinta. Allah berfirman : "Sesungguhnya orang-orang beriman lebih keras cintanya kepada Allah." Mabuk dalam cinta berarti tidak menyaksikan sesuatu selain Allah, tidak merasakan sesuatu kecuali kedekatannya kepada sang kekasih karena Dia selalu hadir dalam ingatan, bahkan kehadiran-Nya telah menguasai seluruh potensi jiwa raga sehingga senang hanya akan Dia, terhibur hanya oleh Dia, rindu hanya kepada-Nya, bahkan tiada sesuatu pun yang dilakukan atau ditinggalkannya kecuali merasa dan menyaksikan -dengan segala kesadaran yang mengalir dalam dirinya, termasuk perasaan ini sendiri- bahwa Allah jua Yang Maha Kuasa untuk semua itu.
Sejauh ini kita selalu terlibat dengan konsepsi fana dalam hubungannya dengan cinta kepada Allah karena kenyataan dalam pengalaman yang diekspresikan lewat sebait syair sufi sebagai berikut :

Tiada aku bernafas kecuali
engkau hadir dalam nafasku
engkau semangatku
di mana pun hidup terjalani.

Suatu pernyataan cinta yang menggambarkan kondisi spritual yang dialami seseorang yang sedang larut dalam kesaksian kekasih tatkala gejolak cinta menguasai hati, perasaan dan seluruh potensi jiwa. Suatu kondisi spritual yang tidak diperoleh melalui usaha hamba tetapi atas dasar pilihan Allah yang berkenan hadir untuk kemudian menghapuskan segala sesuatu selain-Nya. Tak heran jika dalam taraf ini cinta mengakibatkan transformasi moral yang ditandai dengan lahirnya sifat-sifat terpuji dan budi luhur. Hal ini dapat dimengerti karena sang hamba telah berupaya secara optimal untuk melepaskan diri dari segala sesuatu yang lahir dari kepentingan diri dan kecenderungan egoismenya. Ia telah merealisasikan kedua aspek fana (takhalli dan tahalli) sehingga kehadiran Allah yang tak pernah luput dari ingatannya mencerminkan akhlak terpuji.
Terdapat dua kenyataan penting dalam sufisme sehubungan dengan konsepsi fana: pertama, bahwa transformasi spritual yang melahirkan budi luhur dan sifat-sifat terpuji memberikan indikasi bahwa pengertian fana relatif; setiap menyebutkan fana berarti ada sesuatu yang ditinggalkan menuju kepada sesuatu yang akan diperoleh. Demikian juga indikasi bahwa dalam pengertian sufisme fana selalu berarti peralihan dari yang jelek kepada yang baik dan dari yang baik kepada yang terbaik, justru bukan sebaliknya padahal secara terminologis pengertian timbal balik memungkinkan; kedua pengertian fana mengandung dimensi positif sebab tiadalah sesuatu ditinggalkan kecuali memperoleh sesuatu yang lain. Dalam konteks ini fana tidak dipersepsikan kecuali mempersepsikan pada saat yang sama al-baqa; antara keduanya tak ada pemisahan. Pengertian fana tidak sempurna tanpa mempersepsikan al-baqa. Bagaimanapun, persoalan tidak lepas dari kesimpulan al-Qushairi sebagai berikut : "Kaum Sufi memberikan pengertian fana sebagai terhapusnya sifat-sifat tercela dan al-baqa sebagai lahirnya sifat-sifat terpuji. Seseorang hamba tidak terlepas dari dua kemungkinan tersebut yang jika bukan salah satunya berarti yang lainnya. Jadi, barangsiapa yang fana dari sifat-sifat tercela berarti dengan sendirinya memiliki sifat-sifat terpuji; sebaliknya barangsiapa yang larut dalam perangai jahat tak akan mungkin memperlihatkan sifat-sifat terpuji.. dan barangsiapa yang berusaha mengobati hatinya dari penyakit-penyakit dengki, iri hati, kikir, pemarah, sombong, congkak dan semacamnya yang termasuk sebagai sifat-sifat yang melambangkan kekerasan watak, dinamakan fana dari sifat-sifat jahat dan jika ia fana dari sifat-sifat jahat berarti ia akan menjadi fair dan jujur; dan barangsiapa yang berada dalam situasi menyaksikan kemaha-kuasaan Tuhan dalam merealisasikan kehendak-Nya dikatakan fana dari kesaksian makhluk; dan barangsiapa yang fana dari bayangan dan angan-angan selain Allah berarti ia memperoleh sifat-sifat yang benar; dan barangsiapa yang seluruh perasaan dan potensi jiwanya dikuasai oleh kesaksian tauhid dikatakan fana dari ciptaan untuk selalu bersama dengan Tuhan."
Ibn 'Arabi sejak dini telah mengingatkan adanya dua kenyataan tersebut. Ia mengatakan: "Ketahuilah -semoga kita semua mendapat kekuatan dari Allah- bahwa fana tidak dibicarakan kecuali dalam konteks relatifitas dan hubungannya kepada apa yang akan ditinggalkan, demikian juga al-baqa selalu berhubungan dengan apa yang akan didapatkan; pengertian relatifitas fana mutlak dalam pemikiran sufisme; dan pengertian tersebut selalu bertolak dari bawah ke atas; meski penggunaan bahasa membolehkan sebaliknya namun para sufi tidak menggunakannya dalam pengertian demikian."
Kiranya dapat disimpulkan bahwa prioritas utama dalam cinta adalah membersihkan diri dari sifat-sifat yang dibenci oleh sang kekasih: sifat-sifat yang melambangkan kekerasan watak; kemudian mentransformasikan diri kedalam sifat-sifat yang disukai oleh sang kekasih. Dan untuk mencapai cinta yang tulus perlu mengingkari segala sesuatu yang berhubungan dengan kecenderungan egoisme yang pada gilirannya membebaskan perasaan dan potensi-potensi jiwa dari menyaksikan adanya sesuatu selain sang kekasih.
Adalah tidak gampang melakukan seluruh bentuk pembersihan tersebut di mana di dalam jiwa terjadi pergelutan dahsyat antara kecenderungan ego dengan hasrat cinta. Untuk membuktikan kejujuran dalam pengabdian seseorang mutlak melakukannya dengan cinta yang tulus, dan cinta yang tulus adalah bahwa seseorang memutuskan segenap hubungannya kepada selain kekasihnya. Kiranya tidak keliru jika dikatakan bahwa keseluruhan upaya pembersihan diri tersebut tiada lain kecuali realisasi ikhlas yang murni untuk Allah semata yang merupakan puncak kehidupan yang diajarkan dalam Islam dan yang dijelaskan oleh Rasulullah Saw ketika Jibril datang kepadanya menanyakan makna 'ihsan', tatkala beliau menajwab: "Ihsan ialah bahwa engkau menyembah Allah seakan melihatnya; dan jika tidak mampu melihatnya yakin sepenuhnya bahwa Dia melihatmu." Ini adalah proses transformasi spiritual yang meletakkan hamba di hadapan Tuhan secara langsung tanpa diperlukan adanya perantara, sebab kesadaran akan dirinya saja mengakibatkan syirik apalagi jika melalui perantara.
Pengertian aspek implementatif tersebut jelas meliputi kedua unsur mujahadah, ya'ni takhalli dari sifat-sifat tercela dan tahalli dengan sifat-sifat terpuji. Merealisasikan keikhlasan yang tulus dalam melakukan pengabdian adalah bahwa seseorang membersihkan diri dari kecenderungan ego karena kecenderungan tersebut mengakibatkan lahirnya rasa memiliki sesuatu yang sebenarnya dan yang dimaksudkan sejak awal hanya untuk Tuhan (pamrih). Ia juga mengakibatkan lahirnya rasa bangga yang merupakan sifat tercela dalam diri.
Semua ini menjelaskan bahwa kesempurnaan tauhid dan keikhlasan atau ikhlas dalam melaksanakan tauhid menghendaki pembersihan diri dari campur tangan apapun selain Allah; dan tiada lain yang dimaksudkan sebagai fana dari perasaan dan potensi jiwa kecuali makna ini. Memahami keterikatan antara mahabbah dengan makrifat dalam bentuk demikian jelas akan membantu memahami pernyataan Ibn Athaillah dalam hikmah ke-68.

4. Visi Transendensi Wujud Empirik

Titik awal yang membedakan tasawuf dari filsafat adalah bahwa sufisme tidak berupaya memberikan definisi formal terhadap hakekat pengetahuan. Sufisme tidak menggunakan logika analisis. Dalam rangka mengenal hakekat dan esensi pengetahuan pendekatan analisis, menurut sufi tidak efektif karena pada dasarnya, pengetahuan terjadi secara istigraqi melibatkan seluruh sistim pengetahuan dan potensi intelektual diri. Dalam hubungannnya dengan ilmu makrifat al-Qusyairi menegaskan sebagai berikut:
“Pengenalan kepada Allah mengharuskan hamba tak sadarkan diri sebagai akibat dominasi zikir menguasai seluruh jiwa raganya. Maka sang arif tidak lagi menyaksikan sesuatu selain Allah. Ia hidup bersama-Nya dan tidak memperdulikan selain-Nya.
Tapi istigraq tersebut tercermin dan terinternalisasi dalam diri, aktifitas dan perilaku sang arif. Oleh karena itu, menurut Ibnu Arabi Teori Pengetahuan dalam sufisme melibatkan diskursus aspek-aspek psikologis dan perilaku manusia sebagai subyek dan obyek pengetahuan yang tercermin dalam perilaku dan moralitasnya. Itu sebabnya mengapa ilmu Tasawuf disebut ilmu Dzauqi, rasa dan pengalaman spiritual. Dengan demikian, pendekatan sufisme bersifat intuitif berbeda dengan pendekatan filsafat yang bersifat analisis menyusul perbedaan persepsi tentang obyek-obyek pengetahuan. Dalam dunia filsafat terdapat rentang jarak antara sang Mahapencipta dengan makhluq-Nya, bahkan dalam batas-batas tertentu filsafat mengabaikan peranan Mahapencipta atau keterikatan makhluk sebagai obyek pengetahuan terhadap Mahapencipta. Padahal menurut kaum sufi, tiada makhluk yang eksis untuk selanjutnya dapat diketahui tanpa pemeliharaan Allah. Lebih dari itu para filsuf sendiri mengakui bahwa tiada jalan bagi manusia untuk mengenal subtansi sesuatu. Hal ini merupakan indikasi bagi kaum sufi dalam menarik kesimpulan bahwa hanya sang Mahapencipta satu-satunya yang berhak mengetahui segala sesuatu persis dengan hakekat dan subtansinya. Dalam hal ini lebih tegas pernyataan Ibnu Arabi sebagai berikut:
“Ketahuilah bahwa tiada sesuatu dalam wujud ini yang mampu mengetahui dzat dan hakekat sesuatu sebagaimana adanya. Pengetahuan manusia bersifat struktural dan analisis sehingga kita hanya mengikuti kesimpulan-kesimpulan dan kesan yang dilahirkan oleh potensi-potensi intelektual baik panca indra, akal budi maupun rasa. Yang berhak mengetahui dzat dan hakekat sesuatu sebagaimana adanya hanya yang Mahatunggal. Jika demikian halnya, maka yang layak kita lakukan adalah mengikuti kehendak Allah agar Dia berkenan mentransformasikan seluruh sistim pengetahuan dan potensi intelektual kita kedalam suasana keilahian agar dengan Dia kita mengenal-Nya dan melalui pengenalan itu kita menangkap setiap obyek pengetahuan.
Pernyataan ini menjelaskan kerangka pemikiran epistimologi dalam tasawuf, baik yang berkaitan dengan sumber, obyek, media maupun orientasi pengetahuan sufisme. Sumber pengetahuan adalah Allah yang Mahapencipta. Cara yang ditempuh untuk menjangkau pengetahuan dari sumbernya adalah pendekatan diri kepada-Nya melalui praktek ibadah. Teori Pengetahuan dalam sufisme berorientasi pengenalan Allah untuk dapat memperoleh pengetahuan terpadu mengenai obyek-obyek pengetahuan.
Orientasi tersebut mencerminkan pandangan ontologi sufisme bahwa sang Mahapencipta dan Mahapemelihara merupakan prinsip dasar epistimologi karena berkat pemeliharaan-Nya obyek-obyek pengetahuan tetap eksis untuk dapat diketahui. Oleh karena itu pada dasarnya obyek pengetahuan cuma satu, yakni mengenal Allah. Bukan sekedar mengetahui adanya sang Pencipta melainkan mengenal-Nya secara langsung. Hal ini dapat berarti mengenal Allah dalam dimensi makhluk atau mengenal makhluk sebagai manifestasi, tajalli Tuhan. Cara yang ditempuh dalam hal ini melalui pola Makrifat. Maka Teori Pengetahuan sufisme adalah ilmu Makrifat yang mengajarkan pendekatan holistik. Tidak saja menganjurkan penggunaan potensi-potensi intelektual tapi segenap potensi manusia termasuk aspek-aspek psikologisnya dalam sebuah acuan integralisasi dan harmonisasi hubungan hamba dengan Tuhan.
Monorealitas pengetahuan dalam ilmu Makrifat tidak berarti mengabaikan potensi-potensi indrawi dan rasional sebagaimana yang terkesan sepintas. Hanya saja kaum sufi secara holistik memandang akar permasalahan dalam setiap makhluk karena di situ tercermin keberadaan Allah, sang Mahapencipta dan Mahapemelihara makhluk. Kita mengetahui ‘sesuatu’ karena sesuatu itu ‘ada’ dan eksis. Sedangkan eksistensi tersebut sebenarnya milik Allah. Jika mengabaikan peranan pemeliharaan Allah maka ‘sesuatu’ yang menjadi obyek pengetahuan akan kehilangan obyektifitasnya. Kecenderungan skeptis yang berkembang dalam dunia filsafat sesungguhnya merupakan akibat dari sikap mengabaikan peran pemeliharaan Allah sebab setiap makhluk tentu membutuhkan sandaran wujud yang lebih absolut. Pemikiran filsafat mempermasalahkan kemampuan potensi-potensi intelektual mempersepsikan secara akurat setiap obyek pengetahuan, baik yang bersifat empiris maupun ideal. Padahal betapa pun solidnya potensi intelektual, jika mengabaikan pemeliharaan Allah, pengetahuan tetap berada pada tataran spekulasi yang amat relatif dan subyektif.
Kecenderungan monorealitas ini hendaknya tidak ditafsirkan sebagai ‘doktrin’ panteisme atau hulul atau pun paham kesatuan Tuhan-hamba karena yang dimaksudkan tidak lebih dari sebuah perspektif ontologis yang mutlak diperlukan bagi setiap kajian epistimologi yang berupaya merumuskan teori pengetahuan yang solid, akurat dan integral. Kecenderungan yang membutuhkan metodologi holistik yang tidak terfokus pada potensi intelektual tertentu dan mempermasalahkan kemampuan memperoleh pengetahuan pasti dan bersifat swaepistemik; entah melalui pengalaman empiris ataukah pengalaman rasional. Metodologi sufisme secara apriori mempermasalahkan kemurnian dan kejernihan yang tercipta dalam sebuah pengalaman. Setiap pengetahuan akan menjadi palsu selama tidak dibebaskan dari pengaruh-pengaruh dan kecenderungan psikologis. Menurut al-Junaid, peletak Teori Pengetahuan sufisme, sedemikian besar intervensi dan keterlibatan kecenderungan hawa nafsu dalam setiap aktifitas intelektual sehingga pengetahuan obyektif sekali pun, dapat menjelma menjadi amat subyektif. Oleh karena itu pembersihan diri menjadi sebuah kebutuhan praepistemik agar segenap potensi intelektual dalam diri manusia lebih solid dan akurat. Atau meminjam pernyataan Ibnu Arabi: “Hendaklah lebih banyak melakukan pendekatan diri kepada-Nya agar Dia berkenan mentransformasikan sistim pengetahuan kedalam suasana keilahian yang lebih sesuai .
Pemikiran sufisme memandang manusia satu kesatuan utuh yang memiliki potensi-potensi fungsional dan struktural. Secara fungsional karakteristik potensi-potensi indrawi, daya nalar rasional dan pengalaman rasa terbatas pada persepsi parsial. Dalam menjangkau realitas, kapasitas pengetahuan manusia hanya menangkap hubungan-hubungan struktural yang ada. Oleh karena itu untuk memperoleh pengetahuan integral dan akurat diperlukan proses panjang dalam fungsionalisasi potensi-potensi intelektual dan psikologis hingga hubungan-hubungan struktural yang ada; baik dalam realitas luar maupun dalam jiwa bisa dipersepsikan dengan jelas dan integral. Dalam kaitan ini Ibn Athaillah mengeritik sufi yang disibukkan oleh aktifitas pembersihan hati karena yang menjadi fokus tasawuf adalah penghayatan akan kehadiran Tuhan. (hikmah ke-130)
Berangkat dari pandangan ontologis bahwa potensi apa pun dalam diri manusia memiliki keterbatasan, sedangkan sumber pengetahuan adalah Tuhan, maka Ilmu Makrifat yang merumuskan metodologi dan cara yang ditempuh dalam rangka memperoleh pengenalan kepada Tuhan, pengenalan Tuhan dalam dimensi makhluk, dan pengenalan makhluk sebagai manifestasi, tajalli Tuhan menjadi titik sentral dalam pemikiran sufisme. Kecenderungan holistik yang tidak saja digunakan untuk menangkap hubungan-hubungan antara struktur-struktur yang ada dalam realitas empiris tetapi juga dalam realitas transendental, bahkan antara realitas empiris itu sendiri dengan realitas transendental menjadi pola pendekatan terbuka. Implikasinya, sejarah pemikiran sufisme tidak mengenal adanya pergelutan aliran pemikiran sebagaimana yang di’derita’ dunia filsafat. Hingga kini aliran-aliran empirisme versus idealisme belum sepenuhnya dapat dipadukan. Ironisnya, filsafat gagal mengatasi kecenderungan skeptis dalam kajian epistimologi.
Dalam perspektif sufisme, filsafat membutuhkan sentuhan spiritual untuk mengatasi dua kekurangan mendasar: pertama, visi praepistemik yang melibatkan peranan sang Mahapencipta dalam mengidentifikasi obyek-obyek pengetahuan; kedua, pendekatan holistik yang menolak standarisasi sistim pengetahuan berdasarkan potensi penalaran rasional semata. Dengan mengatasi kedua kekurangan tersebut filsafat dapat mengakomodasikan potensi-potensi indrawi, akal budi dan rasa dalam hubungan yang lebih harmonis dan integral. Meski tak sepenuhnya menyerupai Makrifat, pengetahuan intuisi yang diperkenalkan pemikiran filsafat juga menekankan pentingnya sistim pengetahuan didasarkan pada prinsip-prinsip yang bersifat transendental. Bentuk-bentuk ideal Plato jelas memperkuat asumsi ini. Bahkan Aristoteles sendiri menyatakan: tanpa akal aktif niscaya pengetahuan menjadi mustahil. Persoalannya, mereka tidak mampu mengelaborasi gagasan tersebut karena tidak memiliki persepsi yang jelas tentang sang Mahapencipta menyusul tidak adanya wahyu yang merupakan referensi penentu dalam kasus seperti ini.
Dengan demikian, Teori Pengetahuan sufisme unik, paripurna dan layak dikaji. Keunikannya membutuhkan pendekatan tersendiri yang sudah barang tentu berbeda dengan pendekatan yang digunakan untuk kajian-kajian filsafat maupun Kalam. Tasawuf adalah pengalaman spritual yang tak mampu dipahami hanya dengan menggunakan analisis logika formal. Kita membutuhkan pendekatan fenomenologi yang ingin memahami perilaku manusia dari kerangka berpikir pelaku itu sendiri. Bagaimana dunia ini dialami oleh sufi. Realitas yang penting adalah bagaimana imajinasi sufi terhadap dunianya. Pendekatan Filsafat Analitik terhadap tasawuf antara lain telah terjebak kedalam generalisasi yang tak beralasan ketika mengasumsikan adanya yang disebut Tasawuf Falsafi dan Tasawuf Sunni. Pernyataan dan ungkapan-ungkapan kaum sufi adalah ekspresi tentang pengalaman spiritual yang dijalani, justru bukan merupakan hasil perenungan dan kontemplasi spekulatif. Adalah ironis jika seuntai ungkapan yang mengekspresikan sebuah pengalaman dalam penghayatan spiritual seperti ungkapan Abu Yazid al-Bustami ‘Aku terlepas dari diriku seperti ular berganti kulit’; lantas ditafsirkan sebagai kerangka filosofis bagi sebuah sistim pemikiran atau doktrin.
Yang tepat adalah bahwa dalam menjalani pengalaman spiritualnya, ada di antara sufi yang karena gejolak cinta yang tak terbendung di satu pihak dan kuatnya waridat di pihak lain sehingga sang sufi tak kuasa menahan dan mengontrol diri. Akibatnya, yang bersangkutan melihat tajalliyat Tuhan pada makhluk-Nya. Seorang sufi tiba-tiba mengalami fana ketika seseorang menyalakan api di depannya semata-mata karena yang terlihat baginya adalah api neraka (siksaan Allah); atau al-Junai menafsirkan terbangnya burung-burung di angkasa sebagai manifestasi keindahan ilahi, yang secara lahiriah dinilai sebagai kegiatan mereka mencari makan. Lebih tegas lagi Ibn Athaillah menyatakan: “wujud seluruhnya serba gelap. Ia menjadi bersinar atas kehadiran (tajalli) Tuhan. Maka barangsiapa yang memandang alam tanpa menyadari kehadiran Tuhan pada saat, sebelum atau pun sesudahnya berarti ia masih membutuhkan pencerahan. Pengetahuannya pun akan terhapus begitu tanda-tanda alam hilang. hikmah ke-14.