Hikam Ibn Athaillah
Oleh : Dr. A. Wahib Muthi
Event Artikel : KKA-151 (Jakarta, Desember 1999)
Diupdated
pada: Senin 16 April 2001
Membicarakan Hikam Ibn
Athaillah membawa kita memasuki pembicaraan tentang
kehidupan rohani. Dalam Islam ajaran tentang kehidupan
rohani dinamakan tasawuf atau sufisme. Pokok ajaran
tasawuf ialah tentang jalan mendekatkan diri kepada Tuhan
yang ditempuh dengan penyucian hati. Kedekatan dengan
Tuhan itu ditandai dengan berbagai bentuk komunikasi
seperti pengalaman wahyu (yang dialami oleh para nabi)
dan ilham (yang dialami oleh para rasul), datangnya
petunjuk dan bimbingan, datangnya ketenteraman, dan
penyaksian terhadap tanda dan kebesaran Tuhan. Dalam
sejarah tasawuf kita mengenal tokoh-tokoh zahid atau sufi
yang mencurahkan hidupnya kepada kehidupan rohani antara
lain Ibrahim bin Adham, Rabiah, Dzun Nun, Bayazid,
Al-Hallaj, Ibn Arabi dan sebagainya.
Dalam pada itu kehidupan tasawuf kemudian mengambil
bentuk tarekat, yakni organisasi atau perkumpulan tasawuf
yang didasarkan atas suatu sistem ajaran tentang
kehidupan rohani yang diajarkan oleh guru rohani tertentu
kepada murid-muridnya. Apa yang diajarkan dalam tarekat
ialah suatu cara tertentu tentang penyucian jiwa, yang
secara garis besarnya ialah peningkatan akidah,
peningkatan ibadah, tatakrama (adab) pergaulan manusia
dengan sesama manusia dan sesama makhluk Tuhan. Secara
khusus tarekat mengajarkan aturan-aturan tentang
pekerjaan-pekerjaan hati yang harus ditempuh untuk
mendekatkan diri Tuhan dan formula-formula tentang wirid,
dzikir, munajat dan doa untuk mendekatkan diri kepada
Tuhan.
Banyak sekali tarekat yang pernah timbul dalam sejarah
dan sebagian masih ada pengikutnya sekarang ini, di
antaranya ialah tarekat Syadziliyah, yang
ajaran-ajarannya dikembangkan oleh tokoh yang kita
bicarakan dalam tulisan ini.
Pengarang Al-Hikam : Ibn Athaillah
Tulisan ini membicarakan ajaran seorang tokoh sufi, Ibn Athaillah yang
ditulis di dalam kitabnya, yang diberi nama Al-Hikam.
Tokoh sufi ini adalah salah satu tokoh sufi yang masyhur
yang dikenal oleh umumnya para ulama dan pengkaji tasawuf
di Indonesia. Kitab al-Hikam dibaca di beberapa pesantren
dan sekolah agama. Kitab ini telah diterjemahkan dalam
bahasa Melayu, dan ada pula beberapa versi terjemahan
dalam bahasa Indonesia.
Ibn Athaillah, pengarang kitab al-Hikam, adalah
seorang sufi dari Mesir. Ia lahir di Iskandariah pada
pertengahan abad ke 7 H/13 M. Ia wafat di Kairo pada
tahun 709 H/1309 M. Ia adalah seorang sufi yang menganut
ajaran tarekat Syadziliyah yang didirikan oleh Syaikh
al-Imam Abul Hasan al-Syadzili, seorang sufi besar
pendiri tarekat Syadziliyah, yang wafat pada tahun 656
H/1258 M. Al-Syadzili mendirikan zawiyah pertamanya di
Tunis pada tahun 625 H/1227 M. Al-Syadzili kemudian pergi
ke Iskandariah. Di Iskandariah dibangun menara-menara di
mana ia mengajarkan tarekatnya kepada murid-muridnya.
Islakandariah menjadi pusat kedua tarekat Syadziliyah dan
di kota ini tarekat Syadziliyah mempunyai pengaruh yang
luas baik di lingkungan rakyat biasa maupun di
tengah-tengah keluarga kerajaan.
Sebelum Syaikh al-Syadzili wafat ia menunjuk muridnya
Abul Abbas al-Mursi (w. 686 H/1288 M) sebagai
penggantinya. Ia menetap di Iskandariah di menara tempat
gurunya mengajar dan memberikan bimbingan tarekat kepada
murid-muridnya. Tentang muridnya itu Syaikh Abul Hasan
al-Syadzili pernah memujinya dengan pujian bahwa ia
lebih mengetahui jalan langit dari pada jalan bumi.
Ibn Athaillah adalah seorang sufi yang menempati
urutan ketiga dalam silsilah guru-guru rohani tarekat
Syadziliyah. Ia adalah murid dari Syaikh Abul Abbas
al-Mursi. Tentang pertemuan pertama Ibn Athaillah
dengan gurunya itu diceriterakannya sebagai berikut :
Suatu ketika saya datang kepadanya, ketika saya
sedang mengalami kesusahan. Beliau menemui saya dan
memberi nasihat : Ketahuilah bahwa apapun keadaan yang
dialami hamba Allah itu sesungguhnya adalah empat hal
saja. Adakalanya ia sedang memperoleh nikmat Allah,
adakalanya sedang mengalami cobaan, adakalanya sedang
berbuat taat kepada Allah, dan adakalanya dalam
mashiyat kepada Allah. Jika engkau ada dalam
keadaan nikmat maka bersyukurlah, jika engkau mengalami
cobaan maka bersabarlah, jika engkau dalam taat kepada
Allah maka berharaplah engkau menanti datangnya anugerah
Allah kepadamu dan jika engkau dalam maksiyat maka
istighfar, mohon ampun kepada Allah.
Nasihat-nasihatnya sangat mengesankan dan semenjak itu
berlangsung hubungan guru dan murid dalam tarekat
Syadziliyah.
Ibn Athaillah semasa mudanya mempelajari dengan
baik ilmu fiqh, tafsir, hadis, kalam dan ilmu sastra. Ia
masyhur sebagai seorang faqih dalam madzhab Maliki. Pada
waktu mudanya ia tidak begitu tertarik dengan jalan sufi,
tetapi mencurahkan minatnya kepada ilmu fiqh. Pertemuanya
dengan Abul Abbas al-Mursi kemudian merupakan saat-saat
yang menentukan dalam perkembangan intelektual dan
spiritualnya. Ia menjadi muridnya yang sangat serius.
Meski ia masuk tarekat dan menempuh jalan sufi, tetapi
ini tidak menghalanginya untuk terus mendalami ilmu fiqh.
Diriwayatkan bahwa gurunya pernah meramalkan pada suatu
saat muridnya itu akan menjadi seorang alim dalam syariah
(fiqh) dan haqiqat (tasawuf). Demikianlah apa yang
dikatakan oleh gurunya itu menjadi kenyataan.
Isi Kitab al-Hikam
Secara harfiah, hikam adalah jamak dari hikmah, yang
berarti pengetahuan yang berguna, yang dibutuhkan manusia
dalam kehidupannya. Pengetahuan yang dimaksud di sini
adalah pengatahuan tentang Tuhan, tentang jalan menuju
kepada Tuhan. Apa yang ditulis dalam al-Hikam adalah
aforisme-aforisme, yakni kalimat-kalimat yang ringkas,
yang mengandung hikmah, nasihat dan bimbingan, tentang
jalan menuju Tuhan.
Dalam bentuk aslinya hikmah-hikmah itu tidak disusun
dengan suatu klasifikasi tertentu atau dibagi dalam bab
demi bab. Sebuah upaya untuk mengklasifikasi
hikmah-hikmah itu dilakukan oleh Victor Danner, yang
menerjemahkan buku ini ke dalam bahasa Inggris, dengan
membaginya menjadi tiga bagian. Bagian pertama terdiri
dari aforisme-aforisme yang dibagi menjadi 25 bagian yang
seluruhnya memuat 262 aforisme. Bagian kedua terdiri dari
empat buah risalah, tulisan-tulisan pendek berbentuk
nasihat yang ditulis Ibn Athaillah kepada teman-teman dan
murid-muridnya. Bagian ketiga, berisi munajat, yang
terletak pada bagian akhir kitab ini.
Pokok pembicaraan Hikam adalah jalan untuk mendekatkan
diri kepada Tuhan. Yang dimaksud dekat dengan Tuhan ialah
kesadaran rohani bahwa Tuhan ada, yang dengan itu manusia
dapat merasakan adanya. Jalan untuk memperoleh kedekatan
dengan Tuhan itu ialah dengan penyucian hati, yakni
mengosongkan hati dari selain Tuhan, mengarahkan
perbuatan, pikiran untuk mengabdi kepada Tuhan dan
mencurahkan rasa hanya kepada Tuhan. Dengan cara demikian
dapat diperoleh pengetahuan tentang Tuhan, dalam arti
kesadaran mengetahui Tuhan, kesadaran bahwa Tuhan ada,
berkuasa atas manusia dan alam semesta, Maha Indah dan
Maha Agung, dan seterusnya. Adanya Tuhan dan
sifat-sifatnya itu disadari oleh sufi, dalam arti
diketahui, dirasakan, dengan jiwa atau kalbunya. Keadaan
inilah yang dimaksud dengan marifah, yang secara
harfiah berarti mengetahui Tuhan, dan sebagai suatu
istilah tasawuf berarti merasakan adanya Tuhan, merasakan
kehadirannya dalam hati dan menyaksikan keindahan dan
kebesarannya dalam alam semesta.
Ibn Athaillah tidak menjelaskan secara sistematik
tentang jalan sufi tetapi menjelaskannya secara global
dengan penekankan bahwa jalan sufi itu harus ditempuh
dengan benar agar benar pula dalam mencapai tujuannya.
Apa yang ditekankan di dalam tulisannya itu ialah
pentingnya keikhlasan dan kesungguhan dalam beribadah,
ketulusan dan keyakinan dalam berdoa, istiqamah dalam
ibadah dan pengharapan kepada anugerah Tuhan.
Berbagai uraian, syarh dan komentar telah ditulis untuk
memahami isi kitab al-Hikam. Syarh (uraian) yang paling
terkenal dan dipelajari di pesantren-pesantren di
Indonesia ialah yang ditulis oleh Ibn Ibbad
al-Rundi, Ibn Ajibah (berjudul Iqadz al-Himam) dan
yang ditulis oleh Syaikh Ahmad Zarruq. Adanya berbagai
uraian komentar menunjukkan penghargaan orang kepada
karya ini dan menunjukkan bahwa hikmah-hikmah itu
mengandung makna yang dalam. Pengarang telah menulisnya
dengan kesadaran untuk membuka interpretasi dan
pemahaman-pemahaman yang tersirat di dalamnya. Ia
bukanlah sebuah kitab yang menjelaskan secara sistemitik
ajaran sufi, tetapi berisi hikmah-hikmah, nasihat dan
tuntunan, dengan kekuatan bahasa yang mengesankan.
Beberapa Kutipan,
(1). Janganlah kiranya bahwa diakhirkannya pemberian
Allah kepadamu padahal engkau terus menerus berdoa
kepadaNya membawa kepada putusnya harapanMu kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menjamin kepadamu untuk mengabulkan
permintaamu, sesuai dengan apa yang Ia pilih untukmu,
bukan sebagaimana yang engkau pilih untuk dirimu, dan
pada waktu yang Dia kehendaki, bukan yang engkau
kehendaki.
(2). Bermacam-macam jenis amal perbuatan yang dilakukan
manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah karena
bermacam-macamnya keadaan spiritual yang dialami manusia
dalam kedekatannya dengan Allah.
(3) Amal perbuatan adalah ibarat sosok raga, jiwa dari
amal perbuatan itu adalah adanya keikhlasan di dalamnya.
.
(4) Tidak ada sesuatu yang lebih berguna bagi kebaikan
hati sebagaimana uzlah yang dengan itu seseorang
memasuki kontemplasi. (Jalan sufi adalah uzlah yang
disertai dengan kontemplasi : pemikiran tentang Tuhan,
tentang ayat-ayatNya, sifat-sifatnya, dan pencurahan hati
untuk senantiasa ingat kepada Tuhan).
(5) Bagaimana mungkin hati disinari dengan cahaya Allah
apabila gambar dunia yang terdapat dalam cerminnya?
Ataukah ia dapat melangkah menuju kepada Allah padahal ia
terbelenggu dengan nafsu syahwatnya? Ataukah ia berharap
masuk dalam kedekatan dengan Allah padahal ia belum
menyucikan diri dari dosa-dosa karena lalai kepadaNya?
Ataukah ia berharap dapat memahami rahasia Allah padahal
ia belum tobat dari kesalahannya ?
(6) Alam semesta seluruhnya dalam kegelapan. Sesungguhnya
yang menyinari alam semesta ialah penampakan al-Haqq di
dalamnya. Barangsiapa yang menyaksikan alam semesta
tetapi tidak menyaksikan keberadaan Allah di dalamnya,
atau padanya, atau sebelumnya, atau sesudahnya, maka
sungguh ia tertutup dari cahaya (yang menyinari alam
semesta) itu.
(7) Janganlah engkau terkejut dengan kesulitan-kesulitan
selagi engkau ada di dunia ini. Sesungguhnya dunia tidak
melahirkan kecuali apa yang merupakan sifatnya dan
tanda-tandanya.
(8) Salah satu tanda adanya keberhasilan dalam tujuan
ialah adalah kembali kepada Allah dalam permulaan
menempuh jalan.
(9) Barangsiapa yang mendapat cahaya dalam permulaan
jalan yang ditempuhnya, maka akan mendapat cahaya pula
dalam tujuan yang dicapainya.
(10) Betapa jauh bedanya orang yang berargumentasi dengan
(kehadiran) Allah untuk menunjukkan adanya Allah, dan
orang yang berargumentasi dengan ciptaan Allah untuk
menunjukkan adanya Allah. Orang yang membuktikan adanya
Allah dengan kahadiran Allah mengetahui kebenaran dan
menetapkan urusan dari asalnya, sedangkan orang yang
berargumentasi dengan ciptaan Allah adalah karena ia
tidak sampai atau bertemu dengan Allah. Mengapa Allah
ghaib dari pandangan manusia sehingga ia harus dibuktikan
adanya, dan mengapa ia jauh sehingga ciptaan Allah
menjadi pertanda yang membawa kepadaNya?
(11) Keinginanmu untuk mengetahui kekurangan-kekurangan
(ayb) yang ada pada dirimu adalah lebih baik bagimu
dari pada keinginanmu untuk mengatahui perkara-perkara
ghaib yang tertutup dari dirimu.
(12) Al-Haq tidak tertutup dari dirimu, tetapi engkaulah
yang tertutup untuk dapat melihatNya. Sebab sekiranya ada
sesuatu yang menutupi Allah berarti ada yang membatasi,
dan apa yang membatasi adalah sesuatu yang berkuasa
atasNya, padahal Allah itu adadalah yang berkuasa atas
semua hambaNya.
(13) Sumber segala perbuatan maksiyat dan kelalaian
kepada Allah adalah menuruti nafsu, dan sumber segala
perbuatan taat, penjagaan diri dan kesadaran kepada Allah
adalah tidak menuruti nafsu. Lebih baik bagimu berkawan
dengan orang yang bodoh yang tidak mengikuti nafsunya,
daripada berkawan dengan orang pandai yang mengikuti
nafsunya. Apalah arti ilmu bagi seorang alim yang
mengikuti nafsunya, dan dimanakah ada kebodohan bagi
orang yang bodoh yang tidak mengikuti nafsunya?
(14) Janganlah engkau meninggalkan dzikir kepada Allah
karena engkau tidak merasakan kehadiran Allah dalam
dzikirmu. Sesungguhnya kelalaianmu kepada Allah ketika
engkau tidak berdzikir kepadaNya adalah lebih buruk dari
pada kelalaianmu kepada Allah ketika engkau berdzikir
kepadaNya. Berharaplah Allah mengangkatmu dari keadaan
atau tingkatan dzikir yang disertai kelalaian kepada
dzikir yang disertai dengan kesadaran, dan dari dzikir
yang disertai dengan kesadaran kepada dzikir yang
ditandai dengan kehadiran (yakni kehadiran Allah di dalam
hatimu), dan dari dzikir yang disertai dengan kehadiran
kepada dzikir yang ditandai dengan lenyapnya segala
sesuatu selain Allah (dari dalam hatimu).
(15) Salah satu di antara tanda-tanda matinya hati ialah
tiadanya kesedihan karena engkau meninggalkan berbuat
taat kepada Allah dan tiadanya penyesalan atas dosa yang
engkau lakukan.
(16) Tidak ada dosa kecil (yang diampuni) ketika engkau
berhadapan dengan keadilan Allah, dan tidak ada dosa
besar (yang tidak diampuni) ketika datang kepadamu
kemurahan Allah.
(17) Tidak ada amal perbuatan yang lebih diharap diterima
Allah kecuali amal perbuatan yang engkau tidak
menyadarinya dan kecil dalam pandanganmu.
(18) Janganlah engkau merasa gembira dengan amal
perbuatan karena amal perbuatan itu dilakukan olehmu,
tetapi hendaknya engkau merasa gembira karena amal
perbuatan itu datang sebagai karunia Allah kepadamu.
Katakanlah dengan anugerah Allah dan dengan rahmatNya,
dengan itu hendaknya mereka merasa gembira, yang demikian
itu adalah lebih baik dari perkara-perkara yang mereka
kumpulkan.
(19) Barang siapa yang engkau lihat menjawab semua yang
ditanyakan orang kepadanya, menyebutkan semua yang
diketahui, mengatakan semua yang disaksikan, ketahuilah
bahwa hal itu menunjukkan kebodohannya.
(20) Bahwasanya Allah menjadikan akhirat sebagai tempat
pembalasan bagi hambanya yang beriman sebabnya ialah
karena dunia tidak dapat menampung apa yang dikaruniakan
kepadanya dan oleh karena terlalu besar tingkatan mereka
untuk mendapat pembalasan di tempat yang tidak kekal ini.
(21) Apabila Allah telah memberikan karunia kepadaMu
berupa ketaatanmu kepada Allah dan kepusan dengan apa
yang dikaruniakan Allah itu kepadamu, maka ketahuilah
bahwasanya Allah telah memberikan nikmatNya kepadamu,
baik nikmat yang lahir maupun yang batin.
(22) Kesedihan karena tidak taat kepada Allah tanpa
disertai tindakan untuk melakukannya adalah tanda bahwa
engkau telah tertipu (oleh dirimu).
(23) Ada dua macam kenikmatan yang tidak sesutupun yang
mempunyai wujud ini terlepas dari padanya : nikmat
diciptakan dan nikmat mendapat anugerah (pemberian).
(24) Hendaknya engkau curahkan perhatianmu untuk
menegakkan salat (dengan sungguh-sungguh), bukan hanya
melakukannya. Tidak semua yang melakukan salat itu
mengerjakannya dengan sungguh-sungguh. Salat adalah
penyucian hati dan pembuka perkara-perkara yang ghaib.
Salat adalah saat untuk bermunajat dan tempat untuk
menyucikan jiwa.
(25) Janganlah engkau meminta ganjaran suatu perbuatan
yang engkau tidak melakukannya.
(26) Apabila engkau mengetahui bahwa setan itu tidak
pernah membiarkan kamu maka janganlah engkau lalai kepada
Ia yang segala urusanMu ada padaNya.
(27) Salah satu dari tanda-tanda mengikuti hawa nafsu
ialah cepat dalam melakukan kebaikan yang dianjurkan dan
malas dalam melakukan yang kewajiban.
(28) Betapa banyak usia manusia yang panjang masanya
tetapi sedikit keberkahannya.
(29) Tercapainya perjalananmu kepada Allah ialah engkau
sampai pada keadaan mengetahui-Nya, dan dekatmu kepada
Allah ialah engkau menyaksikan dekatnya Allah kepada
dirimu.
(30) Barang siapa yang memulai sesuatu dengan Allah maka
akan berakhir pula kepada Allah
|